Total Tayangan Halaman

Senin, 22 September 2008

Bahtsul Masa'il NU: Media Pemikiran Hukum Islam

Oleh:
Imam Yahya (Dosen Fak Syariah IAIN Walisongo)

Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 di Jawa Timur merupakan organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Nusantara. Sebagian besar warga jam’iyyah, berada di daerah pedesaan Jawa dan Madura. Basis massa yang demikian ini sering memposisikan NU menjadi kelompok marginal yang kurang diperhitungkan dalam wacana pemikiran Islam di Indonesia. Namun sebagai organisasi keagamaan yang berada di bawah kepemimpinan kyai-ulama, NU berusaha mempertahankan tradisi keagamaan yang berkembang di tengah masyarakat dengan mengakomodir seluruh tradisi masyarakat tanpa mengurangi akselerasi nilai-nilai universal Islam.
Di awal berdirinya NU hanya memperjuangkan kepentingan keagamaan tradisionalis yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Dalam Anggaran Dasar-nya yang pertama, tujuan NU didirikan adalah untuk memegang teguh salah satu mazhab empat dan mengerjakan apa saja yang menjadi kemaslahatan bangsa.[1] Namun sejalan dengan dinamika warganya, di tahun lima puluhan, NU terlihat dalam kegiatan politik praktis.
Fajrul Falaah, salah seorang tokoh muda NU, merangkum tiga alasan pokok berdirinya NU: (1) Aksi kultural untuk bangsa, yakni menggunakan strategi akulturasi dengan budaya setempat, dalam memperkenalkan Islam pada masyarakat. (2) Aktivitas yang mencerminkan dinamika berpikir kaum muda, dan (3) usaha membela keprihatinan keagamaan internasional, yakni munculnya gerakan Wahabiyah yang berusaha menghilangkan segala khurafat yang ada di kota suci.[2]
Berbeda dengan Falaah, Deliar Noer, salah seorang peneliti senior Indonesia menyatakan bahwa berdirinya NU merupakan respon atas faham reformisme pada aawl abad ke-20 yang dikembangkan oleh Faqih Hasyim, salah seorang murid H. Rasul, pembaharu terkemuka di tanah Minangkabau.[3] Di Sumatra, respon atas kaum pembaharu berupa “Kaum Tua” yang mempertahankan tradisi-tradisi lama, sedangkan di Jawa dan sekitarnya muncul kelompok ulama Nahdatul Ulama. Namun alasan ini oleh Martin van Bruinessen dibantah, karena menurutnya, Noer kurang memberikan alasan yang representatif.[4]
Silang pendapat antar sejarawan yang demikian ini merupakan suatu kewajaran. Mereka mengemukakan preferensi sesuai dengan data yang ditemukan. Deliar Noer misalnya, yang oleh beberapa kalangan dianggap sangat mendiskriditkan NU,[5] merujuk pada data sejarah yang cukup kuat. Sebuah catatan di negeri Belanda, menyebutkan bahwa organisasi NU (ulama tradisionalis) yang merupakan respon atas gerakan reformis, diprakarsai oleh Van Der Plas.[6] Terlepas dari benar atau tidaknya data sejarah Noer, bagi Martin di samping bukti-bukti sejarah yang kuat, aspek reasonable juga penting diperhatikan. Dalam kasus berdirinya NU misalnya, apabila NU merupakan gerakan responsif atas kaum pembaharu yang dikembangkan oleh Faqih Hasyim di Jawa Timur, kenapa NU tidak berdiri pada tahun belasan, di mana usaha kelompok pembaharu sangat gencar.
Begitu juga Falaah, sebagai penelitian dari kalangan NU (insider) tak lepas dari kajian teks dan juga kajian sejarah sosial. Munculnya kelompok studi “tashwrul afkar” di awal abad XX yang dipelopori oleh Abdul Wahab Hasbullah dan rekannya Ahmad Dahlan (kemudian menjadi pimpinan Muhammadiyah), mendorong munculnya jamiyyah NU. Di samping itu terbentuknya “Nahdlat al Tujjr” suatu lembaga yang mewadahi aspirasi kelompok pedagang muslim, serta munculnya komite Hijaz yang dibentuk untuk menghadapi raja Fadh di Saudi Arab, mewarnai ide-ide didirikan jamiyyah NU.[7]
Dengan landasan keagamaan tradisionalis yang dikembangkan, NU mampu bertanah hingga tujuh puluh tahun. Sejak berdiri hingga eksis sekarang ini, NU mengalami dinamika sejarah sesuai dengan situasi dan transformasi masyarakat. Seorang pengamat NU dari Australia, Greg Barton dan Greg Fealy mengklarifikasi sejarah perjalanan NU dalam tiga periode. Pertama, periode awal sebagai organisasi keagamaan, sebagaimana organisasi keagamaan lainnya seperti Muhammadiyah, Persis dan Perti. NU didirikan sebagai jam’iyyah diniyah (organisasi keagamaan) yang mempunyai misi mengembangkan kegiatan-kegiatan keagamaan, pendidikan, ekonomi dan sosial.
Periode pertengahan, yakni ketika NU sebagai organisasi keagamaan, berubah fungsi menjadi sebuah partai politik atau menjadi unsur formal dalam sebuah partai. Era ini dimulai sejak tahun 1930, yakni ketika NU bersama ormas lain mengadakan demo atas represi yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial. Setelah Indonesia merdeka, NU beraliansi dengan Masyumi menjadi partai politik sebagai wahana artikulasi politik umat Islam. Karena itu NU keluar dari Masyumi dan berdiri sendiri sebagai partai politik sampai pada akhirnya tahun 1971 fusi menjadi Partai Persatuan Pembangunan. Di PPP pun, NU tidak dapat berbuat banyak bagi kepentingan bangsa dan negara. Sebagai akumulasi dari kehampaan dalam dunia politik, NU kembali ke khittah 1926.[8]
Periode ketiga, NU kembali pada aktivitas sosial keagamaan.[9] Periode ini sebagai tonggak sejarah baru NU dalam berkhidmat kepada bangsa dan negara. Kembalinya NU pada tujuan awal berdirinya, atau biasanya dikenal dengan kembali ke khittah 1926, tentunya diilhami oleh berbagai peristiwa selama perjalanan enam puluhan tahun. Peristiwa ini dihasilkan pada Muktamar 1984 di Situbondo. Ide kembali ke khittah 1926 ini banyak dimotori oleh tokoh-tokoh muda NU seperti Abdurrahman Wahid yang ingin menampilkan NU sebagai organisasi keagamaan tradisional kritis. Langkah-langkah kelompok ini terlihat jelas setelah NU Pasca Situbondo, dengan kepemimpinan duet Abdurrahman Wahid -Ahmad Siddik program-program kerjanya diarahkan pada pengembangan nilai-nilai ajaran Islam yang transformatif. Sehingga wajar manakala discourse NU dan transformasi sosial pasca Situbondo menjadi menarik bagi pemerhati sosial keagamaan, baik bagi peneliti Indonesia maupun mancanegara.
Dalam konteks ini, NU memainkan peran yang tidak kecil. Ini terlihat pada munculnya gagasan-gagasan segar dalam pembaruan hukum Islam (baca: fiqih) di kalangan NU, bukan hanya karena munculnya tokoh-tokoh muda NU semata, tetapi perkembangan progresif ini dialamatkan pada counter atas faham modernis. Pembaruan fiqih di kalangan nahdiyyin, sebagai konsekuensi perkembangan aspek kehidupan masyarakat, merupakan proses pemaknaan yang terus menerus –menurut Clifford Geertz—yang anarkis. Fikih bukanlah lembaga permanen yang bersifat sakral, tetapi fikih merupakan suatu produk peradaban (civilization product).
Fenomena ini sangat menarik dalam wacana pemikiran hukum di NU. Karena selama ini NU dianggap sangat hati-hati dalam merespon perkembangan hukum yang terjadi dalam masyarakat, bahkan sebagian pengamat menganggap wacana pemikiran hukum NU mengarah pada proses penutupan ijtihad. Ide-ide baru yang dikembangkan dalam pemikiran hukum NU sekarang ini menjadi lebih progresif dan transformatif dengan tawaran pemikiran-pemikiran para Kyai NU –khususnya kalangan muda—yang sangat terbuka dan kritis dengan wacana-wacana baru yang berkembang sekarang ini. Mereka mengembangkan pemikiran kritis yang interpretatif, metodologis, dan filosofis.
Dengan pemikiran yang interpretatif atas teks-teks fikih yang ada, para kyai akan mengetahui latar pemikiran khazanah-khazanah klasik yang telah menjadi bahan perbincangan primer kyai. Begitu juga secara metodologis, pemikiran fikih tidak lagi terkungkung dengan rujukan teks (qauli) saja, tetapi harus diimbangi dengan pembongkaran (dekonstruksi) konteks. Atau dengan kata lain berfikih tidak harus secara teks (madzhab qauli) tetapi juga dengan metodologi yang kontekstual (manhaj). Sedangkan wacana filosofis merupakan alternatif baru dalam mengembangkan fikih manhaji yang mulai dipakai oleh para kyai NU.[10]
Asy-Syafi’i (150-204 H/767-812 M) sebagai madzhab yang dipegangi oleh NU –meskipun secara teoritis NU mengakui madzhab empat—tidak banyak memperkenalkan wacana filsafat dalam ushul fikih. Al risalah sebagai magnum opus-Imam syafi’i menempatkan kemutlakan wahyu (Al-Qur'an) sebagai sumber syari’ah, sehingga realitas sosial harus tunduk pada nash secara menyeluruh.[11] As-Sunnah berposisi sebagai aplikasi dari nilai-nilai Al-Qur'an yang telah dilaksanakan oleh Rasulullah. Sedangkan ijma’ ditempatkan sebagai sumber ketiga dalam ushul fiqih Syafi’i. Dan yang terakhir adalah qiyas (analogi) yakni dengan cara memberi padanan dengan “yurisprudensi” yang telah ada.
Dalam kajian ushul fikih, wacana filsafat banyak dikembangkan dalam kitab Al Muwafqat karangan Imam As-Syatibi (w.790 H), seorang ulama madzhab Maliki, meskipun secara parsial telah dikenalkan oleh Imam Juwaini (w.378 H) dalam Al-Burhn maupun Al Mustashf karangan Imam Ghazali (w.505 H). Syatibi merumuskan teori maqashid syari’ah dengan membagi ke dalam tiga varian, dhoruriyah, hajjiyah dan tahsinyah.[12] Dengan pendekatan maqshid syar’ah, maka akan mudah ditemukan anatomi furu’ dan ashl sebagaimana yang diinginkan oleh kyai NU dalam menginterpretasi teks-teks klasik.
Dengan mengkaji ushul fikih Maliki (al Muwfaqat-Syatibi) nampak ada upaya desakralisasi atas madzhab Syafi’i yang selama ini menjadi handbook kyai NU. Hanya saja dalam forum bahtsul masa’il yang dikembangkan oleh NU, para kyai-ulama tidak tegas menyatakan pembaruan manhaji dalam bahtsul mas’il.
Keputusan bahtsul masa’il di lingkungan NU, dibuat dalam rangka bermadzhab dengan salah satu madzhab empat yang disepakati dan mengutamakan bermadzhab secara qaul. Oleh karena itu dalam memberikan jawaban ittifaq hukum digunakan susunan metodologis sebagai berikut:
1. Dalam kasus yang ditemukan jawabannya dalam ibarat kitab dan hanya satu qaul (pendapat), maka qaul itu yang diambil.
2. Dalam kasus yang hukumnya terdapat dua pendapat maka dilakukan taqrir jama’i dalam memilih salah satunya.
3. Bila jawaban tidak diketemukan dalam ibarat kitab sama sekali, dipakai ilhaq al masail bin nadhariha secara jamai oleh para ahlinya.
4. Masalah yang dikemukakan jawabannya dalam ibarat kitab dan tidak bisa dilakukan ilhq, maka dilakukan istimbat jama’i dengan prosedur madzhab secara manhaji oleh para ahlinya.[13]
Berangkat dari sistem pengambilan keputusan hukum Bahtsul Masail yang dirumuskan pada Munas Bandar Lampung tahun 1992 ini, sebenarnya telah terjadi dinamika pemikiran hukum di lingkungan NU baik dari aspek substansi pembahasan maupun aspek metodologis. Bagi NU perumusan sistem ini sangat berarti bukan saja bagi para kyai yang terlibat langsung dalam arena bahtsul masail, tetapi bagi pengembangan wawasan berpikir masyarakat NU pada umumnya.
Sejauh pengamatan penulis, terjadinya dinamika pemikiran hukum NU itu tidak lepas dari dua faktor; pertama, faktor internal yakni munculnya banyak kyai muda kritis yang mempunyai wawasan keagamaan inklusif dan menyadari munculnya pluralitas agama dan pemahaman keagamaan. Kedua, faktor eksternal yang tidak bisa dihindari. Pergumulan sosial warga nahdiyyin dengan berbagai wacana modern membentuk sikap kritis pada doktrin-doktrin ajaran yang baku. Untuk itu kontekstualisasi ajaran agama menjadi urgen bagi organisasi sosial keagamaan semacam Nahdlatul Ulama.

[1] Hasyim Asy’ari, Qann Asasi Nahdatul Ulama (Kudus: Menara Kudus, 1973), hal. 2
[2] M. Fajrul Falah, Jamiyyah NU Lampau Kini dan Datang, dalam Gur Dur NU dan Masyarakat Sipil, Ellya KH. Darwis (ed.) (Yogyakarta: LkiS, 1994), hal. 170
[3] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1996), hal. 234-235.
[4] Martin van Bruinessen, NU Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru (Yogyakarta: LkiS, 1994), hal. 30
[5] Kritik ini antara lain dikemukakan oleh Martin van Bruinnessen dan Zamakhsyari Dhofier dalam disertasi doktornya, yang kemudian diterjemahkan menjadi Tradisi Pesantren Studi Tentang Paradigma Hidup Kyai
[6] Lihat Deliar Noer, loc.cit.
[7] Fajrul Falaah, loc.cit.
[8] kembalinya NU ke Khittah 1926 bukan hanya berarti melepaskan diri dari keterkaitan dengan tiga parpol dan Golkar yang ada di Indonesia. Makna penting dari political equidistance ini, NU mengajak seluruh warganya untuk menegaskan jati diri lalu menempatkan warga NU untuk berinteraksi aktif dengan dasar negara. Inilah salah satu bukti dilaksanakannya dari Deklarasi Hubungan Islam dan Pancasila yang menyatakan bahwa NU dan seluruh warganya berkewajiban secara syar’i untuk menjaga pemahaman Pancasila yang benar (Deklarasi Situbondo, Hasil Muktamar NU 1984).
[9] Greg Barton dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdatul Ulama dan Negara (Yogyakarta: LkiS, 1997), hal. Xiii.
[10] Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqih Sosial (Yogyakarta: LkiS, 1994), hal. vi
[11] Muhammad Idris As Syafi’i, Al Risalah, editor Ahmad Muhamamd Syakir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1939 M/1358 H), hal. 20
[12] Abi Ishaq as-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari'ah, editor Abdullah Darras (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), Juz I, hal. 10 dan Juz II, hal. 2.
[13] Materi Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama 1992, Sistem Pengambilan Keputusan Hukum dan Hirarki Hasil Keputusan Bahtsul Masil (Jakarta: Sekjen PBNU, 1002), hal. 3-4

Senin, 08 September 2008

Wajah Hukum Pidana Islam di Indonesia

Oleh : Imam Yahya
(Ketua Lakpesdam NU Jawa Tengah, Dosen Fak Syariah IAIN Walisongo)

Ketika tim pembela muslim, dalam kasus bom Bali mengajukan model pancung dalam prosesi esekusi hukuman mati yang akan dijatuhkan kepada Imam Samudera cs, banyak pihak yang membayangkan bahwa hukum Islam itu menakutkan dan tidak manusiawi. Pasalnya hukuman dilakukan secara vis to vis antara terpidana dengan algojo pancung.
Itulah sekedar gambaran ketidaksesuaian model hukuman dalam hukum pidana Islam dengan misi Islam yang rahmatan lil alamin. Sebagai agama yang menghargai Hak-hak Asasi manusia sekaligus memberikan hukuman (zawajir) yang tidak sesaui dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku sekarang ini.
Tulisan ini mencoba melakukan refleksi terhadap hukum pidana Islam (jinayat) sebagai hukum yang humanis dan berperikemanusiaan. Hukuman mati dan potong tangan sebagaimana banyak disalah-prestasikan sebagai inti hukum pidana Islam oleh sebagaian manusia, bisa diminimalisir tanpa harus merevisi ayat-ayat hukum yang bersifat unmum dan universal.

Tiga kajian pokok
Dalam pembangunan sistem hukum di Indonesia, hukum Islam merupakan salah satu sumber pembangunan hukum di Indonesia. Sistem hukum lain yang dijadikan pegangan adalah hukum adat dan hukum Hindia Belanda.
Hukum pidana Islam sebagai sebuah system hukum, mempunyai tiga aspek kajian; yakni tindak pidana (rukn al-amali), pertanggungjawaban pidana (rukn al-madi) dan pidana atau hukuman (rukn al-syar’i). Tiga aspek tersebut harus difahami secara simultan sehingga akan menggambarkan hokum pidana Islam sebagai sebuah sistem hukum yang universal.
Belakangn, hukum pidana Islam hanya difahami dari aspek pidana/hukuman (uqubat) seperti hukum mati, potong tangan, rajam (terpidana dilempar batu hingga mati), dan jilid (terpidana dipukul dengan rotan). Dengan demikian wajah hukum pidana Islam terkesan bengis, barbarian ala Arab pada masa klasik.
Tidak banyak kajian hukum pidana Islam yang membahas bagaimana tindak pidana hukum Islam seperti pembunuhan itu bisa dikenai hukuman qishash. Tidak sembarang pembunuhan, serta merta dibalas dengan pembunuhan. Begitu juga tidak semua pencurian dikenai hukuman potong tangan.
Qishash, pembunuhan dibalas dengan pembunuhan, misalnya bisa ditegakkan manakala memnuhi unsur tindak pidana dan unsur pertangungjawaban pidana. Hanya tindak pidana pembunuhan yang disengaja (al-qatlu al-amd) yang bias dikenai qishash (dibalas pembunuhan). Ini saja apabila pihak keluarga atau ahli waris tidak memberikan ampunan (ma’fu), apabila ada pengampunan dari keluarga maka hukuman qishash tidak bias dilaksanakan. Begitu juga unsure pertanggunjawaban pidana, qishash dilaksanakan manakala pembunuhan dilakukan karena kehendak sendiri bukan ada scenario dari fihak lain.
Yang menarik dari tindak pidana pembunuhan ini, ma’fu (pemaafan) tidak dikenal dalam system hukum konvensional. Sebagai delik biasa, pembunuhan tetap diproses sebagai tindak pidana pembunuhan.

Bahasa Hukum
Persoalan krusial dalam membumikan hukum pidana Islam adalah masih banyaknya istilah-istilah hukum pidana Islam yang menggunakan istilah arab dan latar belakang arab, sehingga hukum pidana islam hanya dianggap pas dengan konteks arab.
Dalam filasafat hukum Islam, secara substansial hukum Islam bersifat universal berlaku diberbagai tempus dan locus (shalihun likulli zamanin wa makanin). Hukum Islam bukanlah hukum yang stagnan.
Kekhasan dari hukum Islam disebabkan karena hukum Islam bersandarkan kepada teks Qur’an (syari’ah). Dari teks-teks hukum Qur’an itulah kemudian diinterpretasikan oleh para fuqaha menjadi hukum Islam termasuk hukum pidana Islam. Sesungguhnya hukum Islam itu berkembang sejak masa sahabat hingga searang ini, tentunya perkembangan hukum Islam disesuaikan dengan konteks budaya dan system masyarakatnya. Untuk itu wujud nyata hukum Islam tidak uniform (seragam), perbedaan tempat dan waktu sangat berpengaruh pada performance hukum Islam.
Inilah wajah hukum pidana Islam yang oleh para pakar hukum Islam menjadi salah satu system hukum yang mapan dan permanent. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional di Indonesia yang hingga saat ini belum selesai, tidak bias lepas dari nuansa hukum pidana Islam.

Jumat, 18 Juli 2008

Relasi Islam dan Barat: Antara Orientalisme dan Oksidentalisme

Pengantar[1]

Membandingkan Islam dan Barat terasa kita akan terjebak dengan simplifikasi permasalahan. Islam adalah sebuah agama yang mempunyai idiologi, pemikiran dan faham, sementara barat adalah suatu tempat yang secara geografis berada di belahan barat dunia, yakni Eropa dan Amerika.
Namun kita sadari bahwa penyebutan Islam dan barat dalam konteks ini mempunyai arti kontekstual bukan arti tekstual. Islam yang berkembang di Timur Tengah diidentikkan dengan Timur sedang Barat diidentikkan dengan non-Islam, meskipun dalam realita Islam juga berkembang di Eropa dan Amerika sejak masa klasik hingga sekarang ini.
Relasi Islam dan Barat kembali menyeruak pasca 11 september 2001, karena disinyalir peristiwa itu didalangi kelompok militan Islam. Relasi ini tidak hanya sekedar wacana tetapi menjadi realitas kehidupan yang menegangkan. Islam bagaikan monster bagi masyarakat barat karena akan mengancam setiap ruang dan waktu. Sementara bagi sebagian kalangan Islam, barat menjadi ancaman yang setiap saat akan menghantui kaum muslim di manapun berada.
Apa dan siapa sebetulnya yang membuat Islam dan barat saling vis avis? Tampaknya inilah yang meski dicari factor-faktor pendukungnya.

Citra Barat tentang Islam

Dalam berbagai analisa intelektual orientalis, barat menjadikan Islam begitu negatif dan buruk, sehingga pencitraan ini menjadikan public image Islam di mata masyarakat barat. Beberapa pencitraan itu di antaranya[2] :
1. Islam sebagai aga0ma yang memutarbalikkan fakta kebenaran Yesus Kristus
2. Islam diajarkan dengan peperangan (ayat perang dan konsep dar al-harb)
3. Islam lebih mengutamakan hawa nafsu seks
4. Muhammad adalah anti kristus
Menjelang abad 18 M ketika Turki Utsmani tidak lagi melakukan ekspanasi, orang barat mulai melakukan pendekatan ekonomi dengan melakukan perdagangan di pusat-pusat pelabuhan Islam. Pergaulan yang semakin intents dengan kaum muslimin mendorong untuk semakin mendalami tradisi keilmuan Islam. Kondisi ini menjadi cikal bakal tumbuhnya orientalisme yang sekarang kita kenal.[3]
Di penghujung abad ke 20 dimulai dengan embargo minyak Iran era Ayatullah Khumaeni, “kebangkitan Islam” mulai digemborkan. Dan barat mulai memandang Islam sebagai musuh baru pasca keruntuhan komunisme di dunia. Di kalangan ilmuan intelektua, tesis Samuel Huntington yang memposisikan Islam sebagai ancaman bagi peradaban barat di dunia modern, mendapatkan respon yang beragam baik di kalangan barat maupun Islam.[4]
Mestinya tesis tersebut hingga kini tidak terbukti. Konflik atau benturan antar kelompok manusia tidak disebabkan oleh peradaban yang berbeda, tetapi lebih didasarkan atas etnis dan golongan yang berbeda meski dalam satu peradaban. Perbedaan peradaban terutama yang berkaitan dengan agama, tidak sepenuhnya menimbulkan benturan atau konflik, justru perbedaan dalam agama-agama bisa dicari benang merah antar pemeluk agama itu. Kecenderaungan ini meguat ketika masing-masing peradaban atau agama dihadapkan pada isu-isu universal seperti kerusakan lingkungan hidup, aborsi atau euthanasia.
Orientalisme yang mulai digugat oleh Edward Said dalam magnum opusnya Orientalism, sudah menjadi bacaan kita di lingkungan masyarakat muslim di Indonesia. Bahkan menurut Johan Hendrik Meuleman produk orientalisme telah memberikan wacana Islam progresif di sebagian kalangan umat Islam Indoensia.[5]
Namun kita perlu waspada sebagaimana diingatkan oleh Edward Said bahwa orientalisme mempunyai tujuan tertentu, mengikuti kecenderungan tertentu, konteks histories, intelektual, hingga tujuan ekonomi tertentu. Tentunya kebanyakan orientalis adalah orang barat dan non-muslim, sehingga wajar apabila mempunyai agenda berbeda dengan kaum muslim yang secara praktis melaksanakan ajaran-ajaran Islam.
Konteks inilah yang kemudian disikapi secara ilmiah oleh Hasan Hanafi dengan bukunya Muqaddimah fi Ilm al-Istighrab, Oksidentalisme; Sikap Kita terhadap Tradisi Barat. Hanafi berkeyakinan bahwa orientalisme mempropagandakan Barat sebagai pusat "kebudayaan kosmopolit". Bahkan pada akhirnya, menurut Hanafi, orientalisme dijadikan kedok belaka untuk melancarkan ekspansi kolonialisme Barat (Eropa) terhadap dunia Timur (Islam).[6] Oleh karena itu tidak salah jika kalangan umat Islam mencurigai image orientalisme yang sangat ideologis.
Oksidentalisme ingin menuntut pembebasan diri dari cengkeraman kolonialisme orientalis. Oksidentalisme sebagaimana dikenalkan oleh Hanafi lebih bersih, objektif, dan netral dibandingkan dengan orientasi orientalisme. Oksidentalisme sekadar menuntut keseimbangan dalam kebudayaan, dalam kekuatan, yang selama ini memposisikan Barat sebagai pusat yang dominan. Oksidentalisme berharap mitos Barat yang dianggap sebagai satu-satunya representasi dunia dapat diakhiri dan sekaligus diruntuhkan. Selama ini kita dikungkung pemahaman semu bahwa barat adalah pusat kekuatan dunia, pusat ilmu pengetahuan, pusat gaya hidup, pusat ekonomi, pusat peradaban, dan karenanya menjadi sandaran peradaban lain.
Namun perlu dicatat bahwa kajian oksidentalisme harus independent dan obyektif sesuai denga tujuan semula. Tidak adanya independensi dan obyektifitas akan membawa oksidentalisme padanan dari orientalisme yang bias dan hegemonic.

Sikap empati

Dari paparan singkat ini kiranya dapat dimengerti bahwa dalam mengkaji relasi Islam dan barat sekarang ini baik kajian oreientalisme maupun oksidentalisme harus didasarkan pada obyektifitas dan idependensi. Menyamakan Islam dengan berbagai kegiatan kelompok radikal Islam yang identik dengan terorisme merupakan tindakan yang naïf, karena generalisasi itu tidak tepat. Begitu juga menjeneralisir Barat dengan mengamati tindakan W Bush yang mengambil kebijakan ganda dalam menyelesaikan konflik dengan Iraq tidak dibenarkan.
Walhasil, dalam konteks relasi Islam dan Barat sekarang ini harus dijauhkan dari bias-bias ideologis, kultural, politik, dan agama. Adalah benar pernyataan Meuleman bahwa dalam melakukan kajian baik orientalisme maupun oksidentalisme agar terus dipelihara sikap empatik dan rendah hati kapan saja kita meneliti dan memberikan pendapat terhadap kelompok lain. Wassalam


[1] Disampaikan pada acara Silaturrahmi Alumni Community Leader Program Heartland International Chicago, Cab. Semarang, Juni 2008. Pernah juga disampaikan Workshop Pemikiran Islam Lembaga Studi Justisia Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang.
[2] WM. Watt, Muslim Christian Encounter, London, 1991, hal. 55
[3] A Azra, Pergolakan Politik Islam, Jakarta, Paramadina, 1996, hal. 195.
[4] Samuel P Huntington, The Clash of Civilization ? Jurnal Ulumul Qur’an, 5/IV/1993.
[5] Johan Hendrik Meuleman, Orientalisme dan Kajian Islam di Indonesia, Jurnal Islamika, April-Juni 1994.
[6] Hassan Hanafi, Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, Jakarta, Paramadina, 2000.

Fundamentalisme adalah Penyakit Islam

Kesimpulan itulah yang dikemukakan oleh dosen Fikih Politik IAIN Walisongo Semarang, Dr. Imam Yahya kala mendiskusikan buku “The Malady of Islam” karya Abdelwahab Meddeb, di Asrama Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang pada diskusi bulanan yang diselenggarakan Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang, beberapa waktu lalu.
Bersama Imam, Tedi Kholiludin dari eLSA juga menjadi salah satu pengantar. Selain dihadiri oleh pengurus eLSA, diskusi itu diikuti oleh kurang lebih 25 orang yang terdiri dari beberapa elemen kampus di Semarang seperti kru LPM Justisia, BEM Akademi Statistika Muhamadiyyah (AIS) dan Pengurus Kelompok Studi Mahasiswa Universitas Negeri Semarang. Tak lupa hadir dalam diskusi ini salah seorang punggawa Institute for Study of Islam and Democracy (INSIDE), Rusmadi. Diskusi ini sendiri dipandu oleh pemimpin redaksi Jurnal Justisia M. Najibur Rohman.
Buku Abdelwahab Meddeb yang terbit tahun 2003 merupakan karya yang hendak menyisir sejauhmana kelompok fundamentalis berperan aktif dalam menciptakan ketakutan dan citra negatif Islam. Karenanya Meddeb menyebut mereka sebagai kelompok yang menjadi penyakit dalam Islam.
Imam mengatakan bahwa Meddeb hendak menawarkan tesis bahwa fundamentalisme adalah problem endemik dalam Islam. ”Sekarang, fundamentalisme berkembang melampaui tujuan utamanya” kata Imam. Secara genealogis, Imam mengatakan bahwa fenomena ini bukanlah barang baru. Akar-akarnya telah ada pada masa Ahmad Ibn Hanbal sekitar tahun 4 H.
”Fundamentalisme Islam memiliki watak pada penafsirannya yang literalis terhadap teks” lanjut Imam. Dalam analisisnya, Imam menunjukkan bahwa secara umum, fundamentalisme bisa dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar yakni Fundamentalisme Salafi dan Fundamentalisme Syi’i. Fundamentalisme salafi adalah gerakan yang dipelopori oleh Muhammad Abdul Wahab. Gerakan ini menyerukan kembali kepada tradisi salaf, yakni generasi awal Islam. Sementara fundamentalisme Syi’i yang digagas oleh Imam Khomeini lebih menitikberatkan pada wilayah politik.
Di akhir paparannya, Imam menawarkan bentuk fundamentalisme rasional. Artinya pemahaman terhadap teks harus melibatkan satu sikap rasional yang dapat membimbing prilaku berdasarkan kenyataan empiri yang realistis.
Sementara Tedi Kholiludin melihat bahwa karya Meddeb ini cukup bagus, meski tidaklah terlalu istimewa. ”Silvana Tropea dari Amazone.com mengatakan bahwa analisis yang dilakukan oleh Meddeb terhadap ’penyakit umat Islam’ bukanlah sesuatu yang mengejutkan (not entirely startling)” ungkap Tedi. Disebut demikian, karena pemikiran yang hendak diajukan Meddeb sudah bisa ditebak, menghantam sendi-sendi pemikiran Fundamentalisme Islam.
Tedi memaparkan, Meddeb hendak mengatakan bahwa tidak ada institusi yang memiliki legitimasi atau kekuasaan absolut terhadap doktrin. Namun secara tradisional akses terhadap teks dijaga ketat; seseorang harus mematuhi kondisi-kondisi khusus untuk membuatnya berbicara atau berbicara dalam namanya. Inilah “kekuasaan tradisional” menjelma menjadi pagar pembatas untuk siapapun masuk dalam lubang teks. Meddeb juga mengatakan bahwa dunia Islam terus menerus tidak bisa dihibur dalam penderitaannya.
”Yang paling menyakitkan bagi kaum fundamentalis adalah paparan Meddeb yang menyimpulkan bahwa tanpa kontribusi dari Persia, Indian dan Yunani, maka tidak pernah akan ada peradaban Islam” pungkas Tedi.
Dalam sesi tanya jawab Rusmadi dari INSIDE menyoroti buku ini dan menyimpulkan bahwa tidak ada yang baru dari karya Meddeb. Sorotan terhadap fundamentalis, sekarang tidak lagi mencakup bagaimana dan apa itu fundamentalisme. Tetapi sekarang banyak yang telah berpikir untuk melampaui fundamentalisme. Misalnya tawaran untuk kembali kepada Islam Kultural, Agama Sipil dan lainnya. ”Tetapi sebagai abstraksi, buku ini cukup bermanfaat” kata Rusmadi.
(Sumber http://www.elsapage.com/muslimfundamentalis.html)

Rabu, 16 Juli 2008

Islam Kalang Islam Lokal

Pengantar

Muslim Kalang adalah sebuah komunitas muslim yang ada di ada di pedesaan Kendal, yang masih mempertahankan tradisi-tradisi asli Jawa yakni animisme dan dinamisme. Mereka mengidentifikasikan dirinya sebagai ”orang wetan” yang hidup di tengah masyarakat Kab. Kendal. Sedangkan bagi orang lain di luar kelompoknya, mereke mengidentifikasikan sebagai ”orang kampung”, yakni penduduk asli daerah di mana orang kalang berada.
Secara fisik, tak ada beda antara orang Kalang dan orang Kendal pada umumnya. Mereka juga tak menutup diri dengan lingkungan di sekitarnya. Sehari-hari, orang-orang Kalang di Wangklukrajan, serta desa-desa lain di Kabupaten Kendal, hidup berbaur bersama masyarakat pada umumnya.
Ke-kalang-an mereka baru terlihat dalam ritus daur hidup, serta sejumlah konsepsi tentang pranata kehidupan. Orang Kalang sejati masih menjalankan ritus-ritus yang diajarkan nenek moyang mereka. Ada upacara obong untuk memperingati kematian, ewuhan (upacara seratus hari), serta ritus-ritus lain, yang khas ala kalang.
Obong sependhak hanyalah satu di antara seabrek ritus yang masih dilaksanakan orang-orang Kalang di Kabupaten Kendal. Laiknya tradisi Jawa pada umumnya, mereka juga menggelar ritus pascakematian, seperti geblakan, nyurtanah, nelungdina, mitungdina, matangpuluh, nyatus, mendhak, dan nyewu. Bedanya, ritus orang Kalang terasa lebih arkais dan njlimet.
Di luar ritus kematian, masih ada upacara lain yang dilakukan orang Kalang secara berkala, seperti ewuhan dan gegalungan. Ewuhan adalah ritus penghormatan untuk leluhur mereka, Demang Kalang. Orang Kalang meyakini leluhur pertama lahir pada Selasa Wage, sedangkan leluhur kedua pada Jumat Wage. Setiap hari-hari tersebut (empat kali dalam setahun), orang Kalang memberi sesaji berupa gemblong, pisang, nasi kluban lengkap dengan lauknya, serta ingkung ayam.
Adapun gegalungan merupakan medium komunikasi antara orang Kalang dengan leluhur yang dimitoskan sebagai anjing. Ritus itu biasanya dilakukan sebelum melaksanakan hajat tertentu. Untuk mengetahui adanya restu leluhur, malam hari, orang Kalang menebar tepung di lantai rumah bagian dalam. Jika esok hari terlihat jejak kaki anjing di lantai, mereka yakin leluhur merestui hajat itu.
Kecuali gegalungan-yang sudah jarang, sebagian besar orang Kalang di Kabupaten Kendal masih menjalankan ritual-ritual itu. Namun dalam pelaksanaannya, ritus-ritus Kalang sudah dipengaruhi oleh tradisi Islam. Taruh misal, penyelenggaraan walimahan sebelum ritus obong sependhak, serta pelafalan doa-doa Islam di antara mantra dukun.
Orang Kalang memang tak menutup diri. Mereka tak menolak unsur budaya lain secara frontal. Bahkan sejak Islam masuk ke Tanah Jawa, mereka secara bergelombang menjadi penganutnya. Kendati demikian, orang Kalang tak meninggalkan ritus-ritus yang diwariskan nenek-moyang mereka.
Sejauh ini, relasi Islam dengan tradisi Kalang di Kabupaten Kendal berjalan seiring. Sebagai muslim, orang-orang Kalang tak menganggap ritus arkais mereka sebagai perbuatan syirik. Bagi mereka, Islam adalah agama, sedangkan ritus Kalang merupakan tradisi. Dua hal itu tak bisa dipersamakan atau dipersatukan.
Dari paparan di atas, jelaslah bahwa tradisi obong sependhak senyatanya bukan semata-mata dimiliki komunitas Mongtongsari Kec Weleri Kab Kendal. Dalam konteks itulah, maka penting untuk dirumuskan masalah penelitian ini (research problem), yaitu mengapa tradisi obong sependhak masih terjaga hingga kini oleh komunitas Montongsari tersebut?
Berikutnya, untuk mengungkap masalah tersebut terdapat dua pertanyaan penelitian (research question); pertama, apa hubungan tradisi obong sependhak dengan ajaran Islam? Kedua, hal-hal apa saja yang membuat tradisi obong sapendhak ini tetap terjaga dijalankan hingga kini di komunitas Montongsari Kendal?
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang tradisi obong sependhak di komunitas Montongsari Kendal yang masih terjaga hingga saat ini. Berikutnya, penelitian ini diharapkan dapat menemukan hubungan tradisi obong sependhak dengan ajaran Islam, dan mampu menjelaskan secara konsepsional tentang tradisi obong sependhak yang masih terjaga hingga kini.

Islam Lokal
Seperti disebut sebelum ini, Islam sangat menghargai tradisi. Istilah tradisi yang digunakan dalam penelitian ini sebagaimana dikemukakan van Peursen, bahwa tradisi dapat diterjemahkan dengan pewarisan atau penerusan norma-norma, adat istiadat, kaidah-kaidah. Tradisi, lanjut Peursen, bukanlah sesuatu yang tak dapat diubah; tradisi justru diperpadukan dengan aneka ragam perbuatan manusia dan diangkat dalam keseluruhannya. Manusialah yang membuat sesuatu dengan tradisi itu; ia menerimanya, menolaknya, atau mengubahnya.[1]
Dalam konteks penelitian ini, teori tradisi tersebut digunakan untuk menela’ah apakah tradisi obong sependhak itu masih terdapat kebaikan di dalamnya atau tidak; akan tetap diterimanya, ditolak atau diubahnya; bahkan mungkin juga akan dipertahankan pada sisi-sisi tertentu dari tradisi obong sependhak. Dengan kerangka teori demikian, Islam dapat melakukan dialog dengan budaya lokalnya.
Hal lain yang perlu ditela’ah lagi dalam penelitian ini adalah istilah upacara. Mengutip Irwan Abdullah dalam Simbol, Makna, dan Pandangan Hidup Jawa, konsep upacara (ceremony) ini lebih luas daripada ritual, sebab di dalam upacara biasanya dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa penting dalam masyarakat. Adapun dalam ritual sering dimanifestasikan lewat pemberian sesaji, berdo’a dan menyayi lagu-lagi sakral, sebab ritual itu bersifat lebih suci dan keramat. Dari batasan itu, obong sependhak nampaknya bukanlah suatu ritual, tetapi lebih dekat pada upacara.[2]

[1] Tradisi yang dimaksud penelitian ini juga dalam pengertian kebudayaan. C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan, penterj. Dick Hartoko, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 11
[2] Irwan Abdullah, Simbol, Makna, dan Pandangan Jawa (Analisis Gunungan pada Upacara Garebeg), Jogjakarta: BKSNT, 2002), hlm. 10-11.

Selasa, 08 Juli 2008

Mandulnya Peran Sosial NU

PERHELATAN akbar Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama NU (PWNU) Jawa Tengah akan digelar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Benda Sirampog, Brebes, 11-13 Juli 2008.

Perhelatan konferensi wilayah (konferwil) tahun ini mempunyai makna strategis dalam rangka menyatukan kembali khitah warga NU (nahdliyyin) di Jateng yang selama beberapa bulan terakhir ini sempat memudar pascapilgub dan pilbup di berbagai daerah.

Meski pemilihan gubernur (pilgub) dan pemiihan bupati (pilbup) menjadi ritual lima tahunan, namun implikasi pesta demokrasi itu tidak saja menimbulkan konflik di tingkat elite, tetapi juga di kalangan nahdliyyin yang menanggung akibat berkepanjangan.

Memang benar bahwa NU bukanlah partai politik (parpol) yang menanggung beban politik secara langsung, tetapi sebagai organisasi keagamaan yang mempunyai massa terbesar di Jawa Tengah, eksistensi organisasi kemasyarakatan (ormas) itu banyak diperhitungkan oleh berbagai parpol besar. Munculnya kader-kader NU yang mumpuni di tingkat Jawa Tengah menambah gairah tersendiri bagi parpol untuk ”menyeret” NU ke dalam ranah politik pratis.

Melalui konferwil itu, kaum nahdliyyin ditantang untuk bisa merumuskan agenda-agenda penting guna meneguhkan eksistensi NU sebagai organiasasi keagamaan yang bermanfaat bagi warganya dan seluruh masyarakat Indonesia.

Paling tidak ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam merumuskan agenda ke depan, yakni merumuskan kembali NU sebagai basis sosial keagamaan, sosial politik, dan sosial budaya.

Meski tidak cukup merepresentasikan seluruh persoalan yang terjadi di kalangan nahdliyin, tetapi tiga agenda tersebut bisa me-recovery terhadap persoalan kontekstual yang terjadi di kalangan warga NU tersebut.

Problem Intelektual

Secara linguistik, nahdlatul ulama berati kebangkitan ulama, yakni munculnya kesadaran para ulama Indonesia akan fungsi dan tugasnya sebagai waratsat al-anbiya (pewaris nabi).

Berdirinya NU yang dimotori oleh para intelektual pesantren, seperti Hadratus Syaih Hasyim Asyíari dan Kyai Wahab Hasbulloh, memberikan nuansa tersendiri bagi perjalanan sosial intelektual Islam. Salah satu yang hingga saat ini masih berlangsung adalah forum bahtsul masail yang diadakan pada setiap acara NU, baik di tingkat pengurus besar (PB) maupun majelis wakil cabang (MWC).

Dalam sejarahnya, bahtsul masail adalah forum intelektual yang merespons berbagai persoalan aktual yang terjadi di kalangan nahdliyyin.

Sebut saja, misalnya, hukum wajib mengusir penjajah Belanda, menerima Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk final, dan memberikan gelar waliyyu al-amri dharuri bi al-syaukah kepada Presiden Soekarno, menjadi diskursus inteletual yang menjadi perbedaan pendapat di kalangan intelektual NU pada saat itu. Tak heran apabila NU menjadi organisasi sosial keagamaan yang disegani oleh semua pihak.

Kontroversi bahtsul masail di Jepara pada penghujung 2007 tentang keharaman rencana pembangunan PLTN di Jepara, serasa menggugah tidur kaum nahdliyyin yang ada di berbagai tingkatan.

Pasca-bahtsul masail PCNU Jepara, NU menyita banyak perhatian publik, baik yang pro maupun kontra PLTN. Bahtsul masail ternyata masih mampu menarik perhatian masyarakat luas, yakni membahas persoalan krusial yang bersinggungan langsung dengan warga masyarakat.

Selama ini agenda bahtsul masail tidak banyak memberikan solusi pemecahan terhadap permasalahan masyarakat secara umum. Bahkan forum itu terasa hanya sebuah ritual acara yang digelar pada setiap konferensi dan musker di PWNU hingga MWC NU.

Perdebatan intelektual tidak lagi mendapat ruang publik di NU, bahkan terjadi gap pemikiran di kalangan tua dengan kalangan muda. Tokoh-tokoh muda seperti Ulil Abshar Abdalla yang liberal, tidak lagi mendapat tempat untuk mengembangkan gagasan-gagasan liberalnya. Bahkan, sebagaian kiai NU ikut-ikutan menghujat pemikiran Ulil dan teman-temannya. Bukankah mereka adalah kader-kader pesantren yang potensial?

Politik dan Sosial

NU bukanlah organisasi sosial politik, tapi tidak mengharamkan warganya untuk berpolitik. Berpolitik adalah hak bagi seluruh warga negara, termasuk kaum nahdliyyin. Bahkan politik adalah wajib bagi setiap komunitas muslim.

Hadis Nabi Muhammad SAW menyatakan, idza kharaja tsalatsatun minkum fal yuammiru ahadukum (apabila ada tiga orang di antara kamu keluar rumah, maka salah satu di antara kamu harus menjadi pemimpin).

Sebagai sebuah institusi besar yang mempunyai puluhan juta anggota di Jawa Tengah, NU harus mampu memainkan peran sebagai pengayom para aktivis NU yang bergiat di berbagai parpol. NU harus bisa menjadi rujukan bagi mereka. Karena itu NU harus mempunyai figur yang mampu bermain politik pada ranah strategis, bukan pelaku politik praktis.

Kegagalan dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2004 dan Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jateng 2008 kemarin, menjadi pelajaran berharga bagi NU dalam merumuskan peran politiknya pada konstalasi politik, baik politik nasional maupun politik lokal.

Kearifan NU dalam berpolitik sangat ditunggu oleh kaum nahdliyyin yang selama ini merasa ditinggalkan oleh tokoh-tokoh panutannya. Banyaknya golongan putih (golput) di Jawa Tengah tidak bisa dilepaskan dari peran warga nahdliyyin yang bimbang dalam menyalurkan aspirasinya.

Begitu juga dalam perspektif sosial budaya, besarnya warga NU di Jawa Tengah tentu memberikan konstribusi yang tidak sedikit bagi pembangunan di provinsi tersebut.
Di tengah masyarakat yang paternalistik, kiai-kiai kampung yang nota bene adalah kaum nahdliyyin bisa memainkan peran sebagai agent social of change (agen perubahan sosial). Kiai tidak saja sebagai pembawa risalah kenabian, tetapi juga sebagai tokoh pelaku perubahan masyarakat.

Forum warga, misalnya, yang tumbuh di berbagai daerah seperti Tegal, Jepara, dan Cilacap, menempatkan kiai-kiai di daerah menjadi tokoh perubahan sosial. Melalui sarana khutbah, pengajian, dan berbagai ritual budaya Islam, masyarakat bisa diajak untuk menatap masa depan yang cerah, tanpa harus bergantung kepada institusi mana pun, termasuk institusi negara.

Sayangnya, mereka berjalan tanpa dikoordinasi oleh struktur NU. Akibatnya, kekuatan itu belum bersifat massif sebagai kekutan riil NU. Mereka banyak dikordinasi oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang didominasi oleh pengurus dari nahdliyyin.
Sementara itu NU dengan berbagai kegiatannya belum bisa menjamah ranah sosial kemasyarakatan yang sesungguhnya amat penting.

Bila tiga agenda tersebut terbukti membuka jalan ke depan, maka yang perlu dipikirikan adalah rencana tindak lanjut kegiatannya.
Kesamaan dalam memperjuangkan misi ahlussunnah waljamaah yang dirumuskan dalam prinsip tawazun (keseimbangan), tasamuh (toleransi), dan tawasut (moderat), dalam berbagai bidang kehidupan, segala persoalan di kalangan warga NU bisa dipecahkan.

Begitu juga dengan agenda PWNU Jawa Tengah ke depan, harus mampu untuk men-support beberapa hal. Di antaranya, pertama, mendorong tumbuhnya diskursus intelektual keagamaan yang moderat, terutama terhadap gelombang pemikiran kaum muda.

Kedua, memberikan kesempatan kepada nahdliyyin untuk mengapresiasi politik sesuai dengan hak-haknya. NU harus bisa menjadi pengayom bagi warganya tanpa melihat latar belakang parpolnya.

Ketiga, munculnya tokoh-tokoh lokal yang berkultur NU dengan berbagai konsentrasi masing-masing, bisa diberi tempat untuk aktualisasi diri di dalam organisasi.(68)

–– Tulisan ini telah dipublikasikan di Suara Merdeka 4 Juli 2008 dengan judul Kontekstualisasi Peran Sosial NU.
-- Imam Yahya, staf Pengajar Sekolah Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang dan Ketua Lakpesdam NU Jateng.

Selasa, 01 Juli 2008

Fiqh Partai Politik

A. Pendahuluan

Bagi sebagian kalangan, kehadiran partai politik Islam misalnya Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, Partai Bulan Bintang, dan Partai Keadilan Sejahtera dalam kancah perpolitikan di Indonesia sekarang ini merupakan fragmentasi partai politik Islam tahun 1955-an. Saat itu partai Islam meliputi Masyumi, NU, PSII Partai Syarikat Islam Indonesia, PERTI Perhimpunan Tarbiyah Islamiyah, serta Partai Persatuan Thariqat Indonesia. Tokoh-tokohnya tidak beranjak dari para pimpinan organisasi sosial keagamaan yang menjadi cikal bakal pendiriannya. Tentunya harapan terhadap tokoh-tokoh berlatarbelakang agama itu akan bisa memberikan nuansa religius dalam berbagai kegiatan partai politik.
Namun partai politik jelas berbeda dengan organisasi sosial keagamaan seperti NU, `Muhammadiyah maupun lainnya. Organisasi sosial keagamaan menjadikan tokoh-tokohnya untuk berkonsentrasi di bidang keagamaan dan kemasyarakatan. Sedang dunia politik adalah bersifat profan yang meniscayakan adanya kepamrihan, penuh muatan politis, dan tendensius. Banyak politisi berlatar belakang agama, yang pada gilirannya menggiring ke arah logika kekuasaan (the logic of power) yang cenderung kooptatif, hegemonik, dan korup. Akibatnya, kekuatan logika (the power of logic) yang dimiliki tokoh agama, seperti logika moralitas yang mengedepankan ketulusan pengabdian menjadi sirna.
Sepintas, argumen yang diajukan beberapa kalangan agar tokoh agama tidak berpolitik sangat luhur dan mulia. Sebagian kalangan itu sepertinya menghendaki agar kesucian, keluhuran moral, dan tugas mulia para kiai yang ada di dunia ‘lain’ harus tetap terjaga dari ‘kubangan’ politik yang penuh dengan kenistaan.
Berpolitik dan berdakwah bagi tokoh agama bagaikan dua sisi mata uang. Berdakwah dan berpolitik sama-sama pentingya. Sejarah politik Islam memberikan pelajaran kepada kita, ketika Nabi wafat persoalan yang pertama muncul adalah persoalan politis, yakni soal pengankatan wakil pemipin negara Madinah pasca Nabi. Namun dengan semangat kebersamaan, tokoh-tokoh politik kelompok anshar harus menerima pengangkatan Abu Bakar yang muhajirin untuk memimpin negara Madinah pasca Nabi.
Dengan paradigma tokoh-tokoh anshar di atas, berpolitik atau masuk ke salah satu parpol, diharapkan bisa menyuarakan kebenaran. Inilah mungkin prinsip-prinsip yang dipraktekkan Rasulullah SAW selama memimpin komunitas muslim di Madinah, bisa menjadi semangat berpolitik para tokoh agama.
Tentu benar bahwa ketika tokoh agama berpolitik, maka akan muncul permasalahan, baik berkaitan dengan penggunaan otoritas dan penggunaan legitimasi, maupun pada substansi keterlibatan tokoh agama dalam politik praktis. Tokoh agama harus melakukan perannya sesuai dengan posisi dan kedudukannya di partai politik dimanapun berada.
Peran itu berupa tugas pencerahan bagi umat manusia sesuai dengan kedudukannya sebagai para pewaris Nabi. Peran itu biasa disebut dengan ‘amar ma’ruf nahi munkar. Sedang rinciannya adalah tugas untuk: (a) mendidik umat di bidang agama dan lainnya, (b) melakukan kontrol terhadap masyarakat, (c) memecahkan problem yang terjadi di masyarakat, (d) menjadi agen perubahan sosial. Kesemua tugas itu, akan berusaha dijalankan oleh para ulama’ sepanjang hidupnya, meski jalur yang ditempuh berbeda.
Inilah perlunya melakukan penelusuran konsep fiqh siyasah berkaitan dengan eksistensi partai politik dalam sejarah politik Islam. Hal ini penting agar prinsip-prinsip yang pernah dilakukan dalam sejarah bisa dijadikan sebagai reverensi bagi para tokoh agama yang bergelut di bidang politik sekarang dan masa yang akan datang. Partai politik Islam tidak haya berlebelkan Islam tetapi secara substansial partai politik Islam harus bisa mencerminkan nilai-nilai Islam yang humanis dan membumi.

B.Politik Kyai dan Kyai Politik
Di tengah masyarakat Indonesia, tokoh agama atau kyai adalah sosok manusia yang disegani, dihormati, dan kadang ditakuti. Rasa segan, hormat, dan takut masyarakat itu tercipta karena kiai mampu memberikan rasa aman, nyaman, dan damai di daerahnya. Bahkan seringkali mampu memberikan solusi atas persoalan yang dihadapi masyarakat. Malah penghormatan masyarakat tidak saja kepada sang kiai tetapi juga kepada anak kiai dan keluarganya. Lucunya posisi dalam strata sosial seperti ini dibaca secara cerdas dan dimanfaatkan secara maksimal oleh anak kiai dalam bersikap kepada masyarakat. Persoalan kemudian muncul, karena kadang-kadang anak kiai bersikap dan berperilaku “lebih kiai ketimbang kiainya” itu sendiri.
Bisa saja membahasakan secara lebih terhormat bahwa seseorang menjadi kiai itu karena dipaksa sejarah. Artinya sejarah menghendaki agar dia menjadi seorang kiai. Untuk itu kita bisa cek kepada nurani masing-masing kiai, apakah mereka memang pernah bercita-cita menjadi kiai, atau berapa persen kiai yang dulunya bercita-cita menjadi kiai. Bisa juga, menjadi kiai itu bukan dipaksa sejarah, tetapi merupakan kecelakaan sejarah.
Kiai politik bisa saja berbeda secara diametral dengan politik kiai. Mungkin saja seorang kiai politik sedang menjalankan misi politik kiai. Tetapi mungkin juga kiai politik lepas sama sekali dengan politik kiai. Misi ke-kiai-annya hilang karena ada kepentingan lain yang lebih menguntungkan, biasanya secara material. Kalau sudah sampai persoalan ini, maka semua tergantung kepada individu masing-masing kiai.
Dalam konteks ini, memposisikan kiai hanya sebagai penjaga dan pengawal moral bangsa tampaknya terlalu sederhana. Namun kiai tidak sebatas pada urusan moralitas semata. Kiai adalah manusia juga. Sebab kiai memang macam-macam dan macam-macam pula politiknya.
Politik kiai dalam konteks ini bukan politik dalam pengertian partisan, yang tidak lebih dari sekadar berebut kursi dan kekuasaan, siapa memperoleh apa dengan cara bagaimana dan kapan, yang seringkali menimbulkan konflik. Politik kiai adalah politik dalam pengertian yang lebih luas, politik kebangsaan, politik bagaimana mengarifi kehidupan yang plural. Sehingga doktrin kiai adalah tasamuh, tawazun, dan ta’adul. Politik kiai bukan siapa menguasai siapa dan siapa menguasai apa. Politik kiai adalah politik yang santun terhadap pluralitas.
Sayangnya, doktrin politik kiai yang tasamuh, tawazun, dan ta’adul sering dimanfaatkan oleh kiai politik dan politisi pada umumnya untuk lebih memperkuat basis legitimasinya. Kasus pilkada di beberapa daerah menegaskan realitas tersebut. Lebih sayang lagi, setelah legitimasi diperoleh, kiai ditinggalkan begitu saja. Tetapi namanya kiai, tetap berjiwa besar dan tidak mendendam.

C. Mengkaca Politik Nabi
Secara tegas sejarah politik Islam tidak memberikan contoh tentang partai politik. Partai politik baru dikenal pada masa moden ini. Apa yang bisa kita cari adalah benih-benih partai politik yang telah dilakukan pada masa lampau khususnya Islam awal.
Peristiwa tsaqifah bani saidah misalnya yang dikenal sebagai cikal bakal politik Islam, bisa menjadi model munculnya partai politik dalam sejarah politik Islam. Kelompok ansar yang merupakan penduduk asli Madinah secara bersama-sama atau berkelompok merasa bertanggungjawab atas keberlangsungan “negara” Madinah yang telah didirikan oleh Nabi dan sahabat-sahabatnya.
Kelompok ini semula memandang bahwa secara politis negara Madinah harus duteruskan dengan cara mencari pengganti Nabi sebagai khalifah di Madinah. Nabi tidak pernah memberikan petunjuk atas apa yang harus dilakukan apabila kelak nanti sahabat ditinggalkan Nabinya. Mereka bermusyawarah dan berkesepakatan bulat memilih Abu Ubaidah sebagai pemimpin pengganti Nabi Muhammad. Hal ini didasarkan kepada integritas Abu Ubaidah sebagai sahabat senior dan mumpuni dalam persoalan politik kenegaraan.
Sebelum Abu Ubaidah dibaiat kaum Anshar, Abu Bakar dan Umar dating dan menganulir kesepakatan yang dihasilkan. Mensikapi permintaan Umar ini kaum Anshar berselisih ada yang menerima dan ada yang menolak bahkan mengancam akan tetap mempunyai pemimpin dari kaum Anshar meski telah dianulir oleh sahabat Abu Bakar dan Umar.
Namun demi persatuan dan kesatuan umat Islam saat itu, mayoritas kaum anshar menerima permohonan Umar yang pada akhirnya meilih Abu Bakar sebagai khalifah pasca meninggalnya Nabi. Alasan Umar, Abu Bakar adalah sahabat yang paling pantas untuk memimpin umat Islam saat itu. Demi kebersamaan akhirnya kaum Anshar dan Muhajirin membaiat Abu Bakar sebagai khalifah.
Ketika dibaiat oleh kaum muslin di tsaqifah bani saidah, Abu Bakar meminta kepada seluruh kaum muslimin, apabila mendapatinya kesalahan dan kekurangan untuk segera mengingatkan atau mengkritiknya. Hal ini karena Abu Bakar menyadari bahwa dirinya adalah manusia biasa yang diberi amanat kaum muslimin untuk memimpin. Tak ada salahnya kalau kaum muslimin melakukan kritik demi kebaikan bersama.
Masih dalam pandangan siyasah, Abu Ubaidah yang menjadi pemimpin Anshar tidak mendapat tempat di pemerintahan Abu Bakar. Abu Bakar lebih banyak mengutamakan sahabat-sahabat yang lebih dulu masuk Islam sebagai pejabat negara. Khalid bin Walid al-Makhzumi misalnya, diangkat sebagai panglima tertinggi angkatan perang. Umar Utsman dan Ali dijadikan sebagai staf ahlinya.
Beberapa peristiwa politik yang terjadi pada zaman klasik bisa kita baca melalui tulisan-tulisan para pujangga politik muslim seperti Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun maupun Al-Mawardi dan Al-Farra. Tokoh-tokoh ini menjadi rujukan awal dalam sejarah politik di samping buku-buku sejarah klasik seperti Tarikh al-Umam wa al-Muluknya al-Thabari, Ibn Atsir, dan Sirah Nabawi-nya Ibn Hisyam.
Al-Mawardi misalnya dalam buku al-Ahkam al-Sulthaniyah memperkenalkan konsep Makzul, yang menurunkan imam (khalifah) apabila seorang pemimpin itu kedapatan melakukan maksiyat terhadap Allah. Ini mengandung maksud bahwa seorang pemimpin harus mengabdikan dirinya untuk kemaslahatan umat dan agamanya. Meski pemimpin telah dibaiat dan disepakati oleh kaum muslimin tetapi masyarakat harus melakukan kontrol bahkan boleh melakukan mosi tidak percaya atas perbuatan pemimpin yang dhalim.*)

Senin, 19 Mei 2008

Kontekstualisasi Aswaja

Pemahaman Aswaja Sebagai Manhaj al Fikr


Dalam tradisi umat Islam di Indonesia, khususnya NU, penganut Aswaja biasanya didefinisikan sebagai orang yang mengikuti salah satu madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) dalam bidang Fiqh, mengikuti Imam al-Asy’ari dan Maturidi dalam bidang akidah dan mengikuti al-Junaydi dan al-Ghazali dalam bidang tasawwuf. Sejauh pengetahuan penulis, definisi ini pertama kali dirumuskan oleh Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari sebagaimana tertuang dalam Qonun Asasi NU.
Secara doktrinal, pengertian Aswaja di atas sama sekali tidak salah. Pengertian ini merupakan definisi operasional yang ditujukan untuk memudahkan pemahaman Aswaja. Definisi ini memang diperuntukkan bagi mereka yang, karena profesi dan tingkat keilmuan yang dimiliknya, tidak mungkin melakukan penelitian kesejarahan terhadap Aswaja. Jadi untuk memudahkan pemahaman, maka disediakanlah jawaban yang praktis operasional. Ini seperti Nabi yang ditanya Malaikat Jibril tentang pengertian Iman, Islam dan Ihsan. Jawaban yang diberikan Nabi merupakan jawaban praktis operasional. Meskipun Nabi yakin persoalan iman tidaklah sesederhana seperti yang digambarkannya, Nabi tidak memberikan pengertian yang njlimet, abstract dan filosofis. Pengertian yang demikian ini bukan merupakan konsumsi masyarakat awam. Jadi kalau Nabi memberikan definisi yang susah difahami awam, malah justeru dapat mengkaburkan misi dakwah Islamiyahnya. Dengan demikian apa yang telah dilakukan oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dengan pemberian definisi operasional Aswaja di atas sebenarnya merupakan sikap yang sangat bijak, yang didasarkan atas kenyataan bahwa kebanyakan umat Islam di Indonesia saat itu belum memungkinkan untuk bisa dibawa ke alam pemikiran Aswaja sebagai sebuah manhaj al fikr
Pola pendekatan Aswaja sebagai manhaj bisa dilakukan dengan cara melihat setting sosio-politik dan kultural saat doktrin itu lahir. Dengan demikian, dalam konteks Fiqh, misalnya, yang harus dijadikan dasar pertimbangan bukanlah produknya melainkan bagaimana kondisi sosial politik dan budaya ketika Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali melahirkan pemikiran Fiqhnya. Dalam bidang teologi maupun Tasawwuf juga harus dilakukan hal yang sama. Bukan apa doktrin yang ditawarkan oleh al-Asy’ari dan al-Maturudi, al-Junaidi dan al-Ghazali, tetapi pertanyaannya bagaimana kondisi sosial politik maupun budaya yang telah melahirkan doktrin tersebut. Jika kita sepakat dengan proses kontekstualisasi ini, maka pemaknaan Aswaja jelas menghendaki kemampuan untuk melakukan pemaknaan kembali terhadap fakta-fakta sejarah yang melatar-belakangi lahirnya doktrin Aswaja.
Berangkat dari pola pendekatan di atas, yang paling penting dalam memahami Aswaja sebagai manhaj adalah menangkap makna dari latar belakang kesejarahan untuk kemudian disarikan menjadi sebuah karakter yang mendasari tingkah laku dalam ber-Islam, dalam bernegara dan berbangsa. Atas dasar inilah KH. Ahmad Siddiq (al-maghfur lah) benar sekali ketika merumuskan karakter Aswaja kedalam tiga sikap, yakni; tawasuth, i’tidal dan tawazun (pertengahan, tegak lurus dan keseimbangan). Ketiga karakter inilah yang menjadi kerangka acuan Aswaja baik dalam mensikapi permasalahan-permasalahan keagamaan maupun politik. Dan inilah yang sebenarnya menjadi inti dari cara memahami Aswaja sebagai sebuah manhaj al fikr.
Selain ketiga karakter di atas, sebenarnya terdapat satu karakter lainya yang jarang diungkap yakni watak Aswaja yang cenderung mementingkan stabilitas sosial. Watak ini sepintas memang dipandang kurang progresif dan bahkan terkesan stagnan. Ini sudah menjadi konsekuensi dari kelompok besar. Karena besarnya itulah gerakan Aswaja menjadi tidak lincah sebagaimana gerakan rasionalis Mu’tazilah atau gerakan ekstrimis Khawarij. Jadi persoalan yang selalu dihadapi kelompok pengikut Aswaja itu memang sangat kompleks, yakni bagaimana menciptakan stabilitas untuk kelompok masyarakat yang memiliki tingkat heterogenitas tingi.
Kesimpulan bahwa Aswaja memiliki karakter tawasuth, i’tidal, tawazun dan mementingkan stabilitas ini bukan tanpa bukti kesejarahan. Semuanya dapat dilacak melalui sejarah kemunculannya. Pertengahan abad kedua Hijriayah mungkin menjadi waktu yang tepat sebagai starting point pelacakan lahirnya Aswaja. Dianggap tepat karena masyarakat Islam saat itu terpecah menjadi beberapa faksi akibat perang Siffin, perang antara Imam Ali dan Mu’awiyah b. Abi Sufyan yang terjadi pada bulan Mei tahun 657.
Perang Sifin telah membuat masyarakat Muslim terpecah paling tidak menjadi empat kelompok, yakni kelompok Ali kw, kelompok Mu’awiyah, kelompok Khawarij dan kelompok Murjiah. Kelompok Murji’ah inilah yang sering disebut sebagai proto sunny atau cikal bakal Sunny. Ia merupakan kelompok mayoritas yang tidak mau terlibat dalam urusan politik praktis. Fungsi sosial mereka adalah penyeimbang diantara berbagai faksi yang bertikai. Mereka lebih menyibukkan pada gerakan moral dan kultural serta pengembangan ilmu pengetahuan. Diantara tokoh Sahabat Nabi yang menempatkan dirinya pada posisi netral adalah Abdullah b. Umar, Abi Bakrah, Imran b. Husein Muhammad b. Shalah, Sa’ad b. Abi Waqas dan lainnya yang pada saat terbunuhnya Usman b. Affan mulai menjauhkan diri dari urusan politik.
Pada masa Tabi’in, kelompok netralis ini masih tetap konsisten dengan gerakan-gerakan kulturalnya. Meskipun diantara mereka ada beberapa yang terjebak dalam watak ekstrim “ke-murjiahan-nya”, secara komunal mereka masih menjadi bagian dari kelompok mayoritas netralis. Imam Abu Hanifah (w. 150/767) saat menentang pendapat ekstim kelompok Khawarij memberikan simpati terhadap kalangan murjiah tersebut. Ia mengaku bahwa pendapatnya itu sama seperti pendapat Ahlul ‘Adli was Sunnah. Labih jauh Abu Hanifah mengatakan “Berkenaan dengan julukan Murjit yang engkau berikan (sehubungan dengan pendapatku) maka apakah dosa dari orang-orang yang berbicara dengan adil (‘adil) dan yang oleh orang-orang yang menyimpang, sekalipun dijuluki demikian (‘adl)? Sebaliknya mereka ini (bukan Murjit-Murjit tetapi) adalah orang-orang penengah (‘adl) yang berada di jalan tengah” (Rahman, 1984:5). Karena inilah al-Asy’ari dalam Maqalat al-Islamiyin (1980:138) memasukkan Abu Hanifah sebagai kelompok Murjiah.
Watak Aswaja yang sangat menekankan pada pentingnya arti keseimbangan serta stabilitas sosial bahkan lebih terlihat lagi dari suatu konsepsi keagamaan yang sangat mengedepankan makna konsensus (ijma’). Dari kata-kata Ahli Sunnah waljama’ah itu sendiri secara eksplisit menunjukkan bahwa kesepakatan sosial merupakan hal yang sangat penting dalam memahami Islam. Dengan penelitian sepintas terhadap al-Muwatha karya Imam Malik b. Anas misalnya, kita dapat langsung faham bahwa kesepakatan sosial mendapatkan ruang yang cukup leluasa. Setelah mengutip hadith Nabi, Imam Malik sering memberikan komentar yang merujuk pada praktek masyarakat Madinah. Komentar-komentar itu biasanya diiucapkan dalam rangkaian kata-kata “qad madlat al-sunnah, al-sunnah ‘indana, al-sunnah allati la ikhtilafa ‘indana, al-amru almujtama ‘alaih indana, al-amru alladhi la ikhtilafa fihi ‘indana”. Ini menunjukkan bahwa Imam Malik memandang kesepakatan sosial menjadi bagian dari mekanisme pemahaman keagamaan.
Proses pembentukan kesepakatan sosial yang terjadi secara alami ini kemudian disanggah oleh Imam al-Syafi’i. Ia tidak mau menggunakan tradisi yang hidup (kesepakatan sosial) sebagai sandaran untuk membangun hukum Islam. Ia kemudian mengambil langkah dengan cara melakukan formalisasi kesepakatan sosial ke dalam bentuk Ijma’. Kesepakatan sosial yang pada masa Imam Malik berorientasi ke depan dan terjadi secara informal (sukuti), menjadi ijma yang berorientasi ke belakang dan berwatak formal.
Bukan saat yang tepat untuk membicarakan secara detail pola-pola pendekatan Ushuli baik yang dilakukan oleh Imam Malik maupun al-Syafi’i. Dengan gambaran singkat di atas, kami hanya ingin menunjukkan bahwa baik Imam Malik maupun al-Syafi’i, meskipun berbeda secara mendasar, tatapi memiliki concern yang sama dalam mensikapi arti pentingnya sebuah jama’ah. Jadi meskipun Imam al-Syafi’i lah yang memotong proses pembentukan sunnah dalam pengertian tradisi yang hidup (living radition) dan telah menghentikan aktivitas ro’y sebagai alat untuk menafsirkan Sunnah Nabi menjadi Sunnah yang hidup, motivasinya jelas untuk tujuan stabilitas jama’ah (social stability). Bisa dibayangkan, betapa kacaunya pemahaman keagamaan jika Imam al-Syafi’i tidak melakukan hal demikian. Jadi konsep stabilitas jama’ah inilah yang menjadi watak Aswaja, dan inilah inti Aswaja sebagai sebuah metoda pemahaman keagamaan.

Kesimpulan
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa dengan munculnya berbagai macam kelompok yang mengatas-namakan pengikut Aswaja, maka Pemahaman Aswaja di kalangan warga NU sudah saatnya untuk dilakukan perubahan orientasi dari Aswaja sebagai doktrin menjadi Aswaja sebagai metoda pemahaman keagamaan. Hal ini penting dilakukan guna memberikan pemaknaan konteks kesejarahan yang benar terhadap Aswaja.
Karakter Aswaja yang tawasut, i’tidal, tawazun dan penekanannya pada stabilitas jama’ah itu secara historis ilmiyah dapat dipertanggungjawabkan. Karena ekstrimitas (tatharruf) tidak dikenal dalam sejarah Aswaja, maka aliran Islam keras yang mengklaim dirinya selaku penganut Aswaja bukan hanya paradoksal tetapi ahistoris.

*Disarikan dari makalah Ketua PWNU Jateng, Drs. H. Abu Hafsin, MA. Ph.D.

Selasa, 25 Maret 2008

Dialektika Hukum Islam

DIALEKTIKA HUKUM ISLAM DAN POLITIK LOKAL
(Analisis Fatwa Bahtsul Masail NU tentang Keharaman Nuklir di Jepara)


A. LATAR BELAKANG
Fatwa haram terhadap pembangunan PLTN di wilayah Jepara yang dikeluarkan oleh Lembaga Bahtsul Masail PCNU Jepara beberapa minggu terakhir, menuai badai pro-kontra. Pasalnya Fatwa LBM menyangkut persoalan PLTN ini, berkaitan dengan kebijakan negara yakni pendirian reaktor Nuklir di desa Balong Kecamatan Kembang Kab Jepara. Proyek ini diyakini dapat memasok kebutuhan listrik di negeri tercinta Indonesia.
Kelompok yang pro PLTN Jepara diwakili oleh kalangan birokratik baik di tingkat pusat maupun daerah. Karena apabila PLTN ini bisa didirikan di Jepara maka keuntungan yang diambil oleh pemerintah sangat signifikan dalam mendongkrak income negara. Tak kurang dari Menteri Ristek Prof. Dr. Kusmayanto Kadiman, sangat antusias dalam melakukan sosialisasi pembangunan PLTN di Jepara ini. Bahkan terselenggaranya Bahtsul Masail yang dilakukan oleh Lembaga Bahtsul Masail juga mendapat suntikan dana dari Menteri Ristek.
Sementara kelompok yang kontra PLTN diwakili oleh kalangan muda yang bergerak di berbagai lembaga swadaya masyarakat dan kampus. Masyarakat Reksa Bumi (Marhem) misalnya yang dikomandani oleh Lilo Sunaryo PhD, dengan lantang menyuarakan bahaya dan kesengsaraan korban PLTN di berbagai negara di dunia. Begitu juga dengan Lembaga kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam NU) yang secara intens melakukan perang terhadap rencana pembangunan PLTN Muria Jepara.
Bagi kelompok ini gambaran PLTN Muria sangat menakutkan. Hal ini didasari pada kenyataan bahwa sejak muncul 1972, saat terbentuk Komisi Persiapan Pembangunan PLTN. Tiga tahun kemudian berdasarkan penelitian yang dilakukan Batan bekerja sama dengan NIRA, Italia, diperoleh 14 calon lokasi, dan lima di antaranya di Jateng. Dari 14 lokasi itu, 11 lokasi di pantai utara Jawa dan tiga di pantai selatan.[1]
Pada 1989, Badan Koordinasi Energi Nasional (Bakoren) memutuskan Batan melaksanakan studi kelayakan, dan terpilihlah NewJec (New Japan Engineering Consultan Inc), anak perusahaan Mitsubishi Heavy Industries (MHI) untuk melaksanakn studi tapak. Akhir 1993, NewJec melaporkannya ke Batan. Dan Ujung Lemah Abang Desa Balong, Jepara, disebut sebagai titik paling aman dari ancaman guncangan gempa bumi.
Tak hanya dari sisi lokasi, mereka juga mendekatinya dari sisi kebijakan energi. Informasi Menristek, di atas kertas harga listrik PLTN sedikit lebih murah (3,5-4 sen dolar AS per KWH) dari sumber konvensional juga menjadi rujukan, termasuk tinjauan manfaat, bahaya, dan risiko.
Pro kontra dalam proses pendiriasn PLTN Muria Jepara ini sesungguhnya merupakan representasi masyarakat dalam memandang pembangunan PLTN Muirisa Jepara. Kekhawatiran rakyat dalam pembangunan PLTN ini patut diperhatikan karena apabila di kemudian hari, terjadi mrabahaya sebagaimana terjadi di Chernobil maupun Jepang belakangan ini.
Perdebatan tentang manfaat atau maslahat tidaknya PLTN inilah yang memicu LBM PCNU Jepara berikhtiar untuk melihat nya dari kacamata Fiqh lewat forum bahtsul Masail. Hal ini wajar karena masyarakat Jepara merupakan masyarakat pantai utara yang mempunyai pemahaman keagamaan yang kuat, sehingga pendekatan keagamaan ini semakin signifikan dalam rangka mensosialisasikan hasil-hasil tehnologi mutahir seperti listrik bertenaga nuklir.
Fatwa haram yang dikeluarkan Lembaga Bahtsul Masil Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PC NU) Jepara untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Semenanjung Muria, Jawa Tengah, merupakan jawaban dari ikhtiar melakukan sosialisasi PLTN di tengah masyarakat. Ijtihad para kyai NU se Kab Jepara ini pada akirnya menjadi polemik baik di kalangan elit NU maupun di kalangan masyarakat pada umumnya.
Banyak masyarakat yang gundah dengan lahirnya fatwa haram ini. Bahkan banyak juga yang memandang lucu atas munculnya fatwa haram ini. Apa korelasi antara tenaga Nuklir dengan pandangan fiqih klasik.
Untuk menjelaskan korelasi ini maka dibutuhkan pendekatan hukum akan lahirnya fatwa haram terhadap rencana pembangumna PLTN. Munculnya fatwa hukum Islam tidaklah tumbuh di tengah hutan belantara, tetapi fatwa hukum Islam muncul karena adanya berbagai rentetan kejadian yang melatar belakanginya.[2]
Hukum Islam sebagai hukum yang diambil dari nilai-nilai yang terkandung dalam dalil-dalil agama, senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan lokus dan waktu. Tidak ada unifikasi hukum Islam secara massal, yang ada adalah kesamaan substansi terhadap hukum suatu perbuatan. PLTN Jepara misaklnya yang diharamkan oleh para ulama, bukan berarti nuklir diharamkan, tetaspi yang diharamkan adalah rencana pembangun PLTN di Jepara pada waktu sekarang ini. Sebenarnya yang haram bukan nuklirnya, tapi ekses negatif yang diperhitungkan akan terjadi karena ketidakmampuan pemerintah. Sedangkan memudaratkan masyarakat, hukumnya haram, baik dari nuklir maupun dari faktor lain.
Untuk itu penelitian ini bermaksud untuk mengetahui latar belakang munculnya fatwa haram sekaligus mengetahui konsistensi lembaga bahtsul Masail NU dalam merumuskan fatwa-fatwa haram.

Pro dan kontra terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Muria kini telah memasuki ranah agama, setelah sejumlah ulama Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Tengah mengeluarkan fatwa haram terhadap PLTN, 1 September lalu.
Pengurus cabang NU Jepara, tuan rumah bahtsul masail yang mencetuskan fatwa haram itu, menolak pembangunan PLTN di Semenanjung Muria. Sementara itu, Pengurus Besar NU berpendapat nuklir—bukan PLTN—bersifat mubah (boleh, netral). Jadi, menghadapi penolakan warga NU di Jepara terhadap pembangunan PLTN di Semenanjung Muria, PB NU mengusulkan supaya PLTN dibangun di tempat lain saja.

1. Hukum Islam berkembang sesuai dengann tempat dan tempatnya
Tak seorang pun ahli hukum yang mampu memberikan rumusan tentang hukum secara definitif, mengingat ruang lingkupnya yang terlalu luas dan banyak aspek yang dikandungnya. Karena itu seorang tokoh hukum barat terkemuka dan ahli filsafat hukum pernah mengungkapkan bahwa tak seorangpun ahli hukum yang mampu membuat definisi tentang hukum.[3] Maka wajar bila dalam literatur barat tidak ditemukan suatu rumusan hukum yang definitif dan universal.[4]
Secara terminologis (istilahi) hukum yang dituliskan dalam penelitian ini adalah hukum Islam. Dua kata “hukum” dan “Islam” secara independen mempunyai arti yang berdiri sendiri, tetapi ketika disatukan akan membentuk satu istilah baru. Dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah maupun literatur Arab lainnya, tak satu pun ayat yang menyebut arti kata hukum Islam baik secara lafdziyyah maupun istilah. Justru term hukum Islam merupakan terjemahan dari istilah yang dipakai oleh ilmuan barat “Islamic Law”. [5]
Dalam wacana ilmu fiqh, para ulama hanya menggunakan term “al-hukm” tanpa mengikutkan kata “al-Islam”. Istilah al-hukm atau hukum Islam mempunyai arti yang cukup distingtif antara ulama ushûl (ushûli) dengan ulama fiqh (baca : fuqaha). Jumhur ulama ushûl misalnya, mengartikan hukum sebagai:

“ khitab Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf baik berupa iqtidha (tuntutan, perintah atau larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadh’i (sebab, syarat dan mani’).[6]

Yang dimaksud dengan khithab di sini adalah inti dari khitab Allah (al-nushush al-syariyyah)[7] yakni kalam nafsi yang tidak berlafadz dan tak bersuara yang hanya dapat diketahui melalui indikasi dalalah lafdhiyyah dan maknawiyyah, bukan pengaruhnya (atsar). Adapun sifat-sifat yang berupa perbuatan-perbuatan mukallaf, yang merupakan hasil atau pengaruh dari al-nushush al-syar’iyyah seperti wajib, sunnah, wajib, makruh dan haram, tidak masuk dalam definisi tersebut. Karena sesunggunhnya khitab Allah itu merupakan kalamullah. Contohnya adalah hukum “ijab” merupakan inti dari khitab “if’al”.[8]
Ibn Qayyim al-Jauziyah dalam bukunya I’lam al-Muwaqqiin menyatakan bahwa taghyiru al-ahkam bi tagayyuri al-azminati wa al-amkinati, hukum itu berubah sesuai dengan waktu dan tempat di mana hukum itu berada. Dengan demikian hukum Islam senantiasa dinamis sesuai dengan perkembangan masyarakatnya.

2. Hukum terpengaruh Politik
Dalam pandangan Moh Mahfud MD, karakter produk hukum senantiasa dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang melahirkannya.[9] Untuk itu fatwa lembaga bahtsul masail juga tidak lepas dari konfigurasi politik yang mengitarinya. Banyaknya kepentingan dalam perencana pembangunan PLTN Jepara, menyebabkan rencana pembangunan PLTN ini mengalami berbagai kendala. Tidak sedikit tokoh-tokoh lokal yang ikut larut dalam pro-kontra pembangunan PLTN, akibatnya konflik antar sesama warga sangat memungkinkan.
Konteks politik pasca reformasi, sangat bepengaruh dalam pembangunan hukum Islam di Indonesia, termasuk fatwa yang dilakukan oleh berbagai organisasi masyarakat seperti NU.
Lahirnya fatwa hukum yang mengharamkan rencana pembengunan PLTN tidak bisa dipisahkan dari situasi kondisi di mana konteks sosial politik itu terjadi.

Pendekatan Fikih dalam Politik
Banyak masyarakat yang menyikapi rencana pembangunan PLTN Muria dengan penuh keheranan terhadap fatwa haram yang dikeluarkan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PC NU) Jepara, Jawa Tengah, atas rencana pembangunan PLTN Muria. Betapa tidak, kiai-kiai "kampung" yang ada di kota kecil itu berani memberikan hukum terhadap sebuah proyek besar yang selama ini menjadi perdebatan petinggi-petinggi dunia.
Namun perlu diingat bahwa tradisi ilmiah di kalangan kyai pesantren adalah melihat persoalan dengan pendekatan fiqh.[10] Rencana pembangunan PLTN Muria yang dihukumi haram didasarkan kepada pendekatan fiqh, bahwa segala selalu diukur dengan mashlahat.
Jika persoalan dikembalikan ke titik nol -terbebas dari kepentingan apa pun- yang dilakukan PC NU Jepara itu bukanlah hal yang aneh atau ganjil. Dalam khazanah keilmuan Islam, khususnya pesantren, memang dikenal dasar-dasar yang bisa dijadikan acuan untuk menghukumi sesuatu, termasuk PLTN. Dasar yang digunakan adalah kemaslahatan umat (maslahah mursalah) atau kesejahteraan umum.

[1] Baca Suara Merdeka, Jumat 7 September 2007, juga www.batan.go.id, September 2007..
[2] Dalam kaidah fiqhiyyah dikenal kaidah Al-Hukmu yaduru maa Illatihi wujudkan wa adaman (hukum itu berubah disebabkan oleh ada atau tidak adanya illat hukum).
[3] Lili Rasyidi, Filsafat Hukum : Apakah Hukum itu ? (Bandung: Rosdakarya, 1993), hal. 29.
[4] Hornby menyatakan law as rule established by authority or custom, regulating the behavior of members of cummunity, cuontry etc., yang artinya bahwa hukum adalah aturan yang dibuat oleh negara atau adat kebiasaan yang diakui oleh masyarakatnya serta negara sebagai sebuah prilaku bagi anggotanya (AS. Hornby, Oxford Advance Learner’s Dictionary of Current English [England: Oxford University Press, 1993], hal. 29).
[5] Noel J. Coulson misalnya dalam The History of Islamic Law mengartikan hukum Islam sebagai implementasi dari doktrin-doktrin yang diwahyukan Tuhan dalam kondisi sosial saat itu (Noel J. Coulson, The History of Islamic Law [England: Oxford University Press, 1964], hal. 8). Sedangkan Josept Schacht mengartikan hukum Islam sebagai keseluruhan khitab Allah yang mengatur kehidupan setiap umat Islam dalam segala aspek hidupnya (Josept Schacht, Introduction to Islamic Law [England, Oxford University Press, 1964], hal. 6).
[6] Lihat Nidhomuddin al-Anshari, Fawatih al-Rahumut [Beirut: Dar al-Fikr, tt.], Juz II, hal. 54, Syaefuddin Abu al-Hasan Ali ibn Ali ibn Muhammad al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushûl al-Ahkam [Beirut: Dar al-Fikr, 1981], Juz I, hal. 49, Muhammad Ali Hasaballah, Ushûl al-Tasyri al-Islamy [Beirut: Dar al-Fikr, tt.],hal. 365.
[7] Jalal Syamsuddin Muhammad ibn Ahmad al-Mahalli, Hasyiyah al-Allamah al-Bannani (Mesir: Musthofa Bab al-Halabi, 1937), Juz I, hal. 47-48.
[8] Wahbah Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islamy (Libanon: Dar al-Fikr al-Muashir, 1981), Juz I, hal. 38.
[9] Lihat Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1998.,hlm. 74.
[10] Baca M Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia, Jakarta: Kompas, 1988.