Total Tayangan Halaman

Selasa, 28 April 2009

Format Partai Politik dalam Sejarah Politik Islam

Oleh : Imam Yahya*)

Bagi sebagian kalangan, kehadiran partai politik Islam seperti Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, Partai Bulan Bintang, atau Partai Keadilan Sejahtera dalam kancah perpolitikan di Indonesia sekarang ini merupakan fragmentasi partai politik Islam tahun 1955-an. Saat itu partai Islam meliputi Masyumi, NU, PSII Partai Syarikat Islam Indonesia, PERTI Perhimpunan Tarbiyah Islamiyah, serta Partai Persatuan Thariqat Indonesia. Tokoh-tokohnya tidak beranjak dari para pimpinan organisasi sosial keagamaan yang menjadi cikal bakal pendiriannya. Tentunya harapan terhadap tokoh-tokoh berlatar belakang agama itu akan bisa memberikan nuansa religius dalam berbagai kegiatan partai politik.
Namun partai politik jelas berbeda dengan organisasi sosial keagamaan seperti NU, `Muhammadiyah maupun lainnya. Organisasi sosial keagamaan menjadikan tokoh-tokohnya untuk berkonsentrasi di bidang keagamaan dan kemasyarakatan. Sedang dunia politik adalah bersifat profan yang meniscayakan adanya kepamrihan, penuh muatan politis, dan tendensius. Banyak politisi berlatar belakang agama, yang pada gilirannya menggiring ke arah logika kekuasaan (the logic of power) yang cenderung kooptatif, hegemonik, dan korup. Akibatnya, kekuatan logika (the power of logic) yang dimiliki tokoh agama, seperti logika moralitas yang mengedepankan ketulusan pengabdian menjadi sirna.
Masyarakat yang mempunyai persepsi bahwa berpolitik itu kotor, lantaran banyaknya prilaku politik dan prilaku politisi yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah politik yang benar. Di sisi lain tokoh agama dianggap sebagai penjaga moralitas umat yang bisa memberika uswah dalam berbagai perilaku kehidupan di masyarakat. Untuk itu tidaklah mungkin seorang tokoh agamawan bisa menjadi seorang tokoh politik pada waktu yang bersamaan.
Sepintas, argumen yang diajukan beberapa kalangan agar tokoh agama tidak berpolitik sangat luhur dan mulia. Sebagian kalangan itu sepertinya menghendaki agar kesucian, keluhuran moral, dan tugas mulia para kiai yang ada di dunia ‘lain’ harus tetap terjaga dari ‘kubangan’ politik yang penuh dengan kenistaan.
Berpolitik dan berdakwah bagi tokoh agama bagaikan dua sisi mata uang. Berdakwah dan berpolitik sama-sama pentingya. Sejarah politik Islam memberikan pelajaran kepada kita, ketika Nabi wafat persoalan yang pertama muncul adalah persoalan politis, yakni soal pengankatan wakil pemipin negara Madinah pasca Nabi. Namun dengan semangat kebersamaan, tokoh-tokoh politik kelompok anshar harus menerima pengangkatan Abu Bakar yang muhajirin untuk memimpin negara Madinah pasca Nabi.
Dengan paradigma tokoh-tokoh anshar di atas, berpolitik atau masuk ke salah satu parpol, diharapkan bisa menyuarakan kebenaran. Inilah mungkin prinsip-prinsip yang dipraktekkan Rasulullah SAW selama memimpin komunitas muslim di Madinah, bisa menjadi semangat berpolitik para tokoh agama.
Tentu benar bahwa ketika tokoh agama berpolitik, maka akan muncul permasalahan, baik berkaitan dengan penggunaan otoritas dan penggunaan legitimasi, maupun pada substansi keterlibatan tokoh agama dalam politik praktis. Tokoh agama harus melakukan perannya sesuai dengan posisi dan kedudukannya di partai politik dimanapun berada.
Peran itu berupa tugas pencerahan bagi umat manusia sesuai dengan kedudukannya sebagai para pewaris Nabi. Peran itu biasa disebut dengan ‘amar ma’ruf nahi munkar. Sedang rinciannya adalah tugas untuk: (a) mendidik umat di bidang agama dan lainnya, (b) melakukan kontrol terhadap masyarakat, (c) memecahkan problem yang terjadi di masyarakat, (d) menjadi agen perubahan sosial. Kesemua tugas itu, akan berusaha dijalankan oleh para ulama’ sepanjang hidupnya, meski jalur yang ditempuh berbeda.
Tulisan ini bermaksud melakukan penelusuran konsep fiqh siyasah berkaitan dengan eksistensi partai politik dalam sejarah politik Islam. Hal ini penting agar prinsip-prinsip yang pernah dilakukan dalam sejarah bisa dijadikan sebagai reverensi bagi para tokoh agama yang bergelut di bidang politik sekarang dan masa yang akan datang. Partai politik Islam tidak haya berlebelkan Islam tetapi secara substansial partai politik Islam harus bisa mencerminkan nilai-nilai Islam yang humanis dan membumi.
Secara tegas sejarah politik Islam tidak memberikan contoh tentang partai politik. Partai politik baru dikenal pada masa moden ini. Apa yang bisa kita cari adalah benih-benih partai politik yang telah dilakukan pada masa lampau khususnya Islam awal.
Peristiwa tsaqifah bani saidah misalnya yang dikenal sebagai cikal bakal politik Islam, bisa menjadi model munculnya partai politik dalam sejarah politik Islam. Kelompok ansar yang merupakan penduduk asli Madinah secara bersama-sama atau berkelompok merasa bertanggungjawab atas keberlangsungan “negara” Madinah yang telah didirikan oleh Nabi dan sahabat-sahabatnya.
Kelompok ini semula memandang bahwa secara politis negara Madinah harus duteruskan dengan cara mencari pengganti Nabi sebagai khalifah di Madinah. Nabi tidak pernah memberikan petunjuk atas apa yang harus dilakukan apabila kelak nanti sahabat ditinggalkan Nabinya. Mereka bermusyawarah dan berkesepakatan bulat memilih Abu Ubaidah sebagai pemimpin pengganti Nabi Muhammad. Hal ini didasarkan kepada integritas Abu Ubaidah sebagai sahabat senior dan mumpuni dalam persoalan politik kenegaraan.
Sebelum Abu Ubaidah dibaiat kaum Anshar, Abu Bakar dan Umar dating dan menganulir kesepakatan yang dihasilkan. Mensikapi permintaan Umar ini kaum Anshar berselisih ada yang menerima dan ada yang menolak bahkan mengancam akan tetap mempunyai pemimpin dari kaum Anshar meski telah dianulir oleh sahabat Abu Bakar dan Umar.
Namun demi persatuan dan kesatuan umat Islam saat itu, mayoritas kaum anshar menerima permohonan Umar yang pada akhirnya meilih Abu Bakar sebagai khalifah pasca meninggalnya Nabi. Alasan Umar, Abu Bakar adalah sahabat yang paling pantas untuk memimpin umat Islam saat itu. Demi kebersamaan akhirnya kaum Anshar dan Muhajirin membaiat Abu Bakar sebagai khalifah.
Ketika dibaiat oleh kaum muslin di tsaqifah bani saidah, Abu Bakar meminta kepada seluruh kaum muslimin, apabila mendapatinya kesalahan dan kekurangan untuk segera mengingatkan atau mengkritiknya. Hal ini karena Abu Bakar menyadari bahwa dirinya adalah manusia biasa yang diberi amanat kaum muslimin untuk memimpin. Tak ada salahnya kalau kaum muslimin melakukan kritik demi kebaikan bersama.
Namun berbeda dengan Umar karena mengetahui keinginan dan harapan kaum Anshar, Khalid bin Walid dengan segala kelebihan dan kekurangannya diganti dengan Abu Ubaid yang dari Anshar. Ini adalah respon Umar atas aspirasi kaum anshar yang menginginkan ada ada rekrutmen kader dari kaum anshar.
Beberapa peristiwa politik yang terjadi pada zaman klasik bisa kita baca melalui tulisan-tulisan para pujangga politik muslim seperti Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun maupun Al-Mawardi dan Al-Farra. Tokoh-tokoh ini menjadi rujukan awal dalam sejarah politik di samping buku-buku sejarah klasik seperti Tarikh al-Umam wa al-Muluknya al-Thabari, Ibn Atsir, dan Sirah Nabawi-nya Ibn Hisyam.
Al-Mawardi misalnya dalam buku al-Ahkam al-Sulthaniyah memperkenalkan konsep Makzul, yang menurunkan imam (khalifah) apabila seorang pemimpin itu kedapatan melakukan maksiyat terhadap Allah. Ini mengandung maksud bahwa seorang pemimpin harus mengabdikan dirinya untuk kemaslahatan umat dan agamanya.
Sementara Ibn Taimiyah yang hidup pasca al-Mawardi mengalami masa yang dilematis. Sebagai seorang intelektual muslim, Ibn Taimiyah menginginkan system ketatanegaraan yang ideal. Kasus pemilihan kepala negara (khalifah) tidak harus didasarkan pada berbagai kualifikasi yang terukur. Untuk itu beliau hanya mensyaratkan dua sifat yakni; sifat amanah dan sifat quwwah. Namun ide Ibn Taimiyah yang fleksibel ini susah diwujudkan karena terbentur dengan beberapa hal, di antaranya suasana pemerintahan yang sedang mengalami kemunduran.

Gagasan Partai Politik
1). Pengertian Partai Politik
Partai politik secara etomologis berasal dari kata partai dan politik. Kata "partai" berasal dari bahasa Inggris "part" yang berarti menunjuk kepada sebagian orang yang seazaz, sehaluan, dan setujuan terutama di bidang politik. Sedangkan politik yang dalam bahasa Inggris politics berarti ilmu yang mengatur ketatanegaraan, atau seni mengatur dan mengurus negara dan ilmu kenegaraan.
Jadi partai politik adalah perkumpulan orang-orang yang seidiologi atau tempat/wadah penyaringan dan pembulatan, serta tempat berkumpulnya orang-orang yang seide, cita-cita dan kepentingan.
Para ahli politik seperti PJ. Bouman, Carl J. Friedrich, dan Mac Iver juga mengartikan partai politik sebagai: sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil.
Secara umum dapat dikatakan, partai politik adalah suatu kelompok yang teorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara konstitusionil, serta menumbuhkan partisipasi masyarakat.
Partisipasi politik merupakan salah satu bentuk dari berbagai kegiatan yang dilakukan partai politik. Partisipasi politik mencakup semua kegiatan seperti turut serta dalam proses pemilihan pemimpin¬ politik baik secara langsung atau tak langsung, kegiatan memilih dalam pemilihan umum, duduk dalam lembaga politik seperti dewan perwakilan rakyat atau mengadakan komunikasi dengan wakil-wakil rakyat yang duduk dalam badan itu, berkampanye, menghadiri kelompok diskusi dan sebagainya.
Dalam kepustakaan ilmu politik, ditemukan beberapa definisi yang berbeda mengenai partai politik. Namun ilmuwan politik tersebut tidak menyertakan aspek ideologi dalam menyusun definisi partai politik. Ramlan Surbakti menduga, hal itu disebabkan oleh pengaruh pandangan di Barat bahwa ideologi telah mati. Padahal pada kenyataannya setiap negara pasti memiliki ideologi, apakah bersifat doktriner, pragmatis atau jalan tengah dari keduanya, dan hal ini tercermin dalam partai yang ada di negara bersangkutan, terlepas dari keragaman definisi ideologi yang dipakai oleh setiap partai politik.
Karena itulah Ramlan Surbakti merumuskan partai politik sebagai Kelompok anggota yang terorganisasi secara rapi dan stabil yang dipersatukan dan dimotivasi dengan ideologi tertentu, dan yang berusaha mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan melalui pemilihan umum dan cara-cara lain yang sah guna melaksanakan alternatif kebijakan umum yang mereka susun, sebagai hasil dari pemaduan berbagai kepentingan yang hidup dalam masyarakat.
Dari sinilah kemudian muncul istilah partai Islam, atau partai yang dilandasakan pada symbol-simbol Islam, penganut Islam maupun substansi ajaran Islam. Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim tak bisa mengelakkan dengan menjamurnya partai-partai yang menamakan dirinya sebagai partai Islam, baik yang secara tekstuial maupun substansial.
Tentunya pembahasan bagaimana format dan bentuk partai Islam tidak lepas dari pola hubungan Islam dan politik yang sekarang ini berkembang di tengah masyarakat Indoensia. Partai Islam semacam Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangaunan serta Partai Bulan Bintang secara tegas menamakan dirinya partai Islam. Sementara Partai Kebangkitan Bangsa serta Partai Amanat Nasional yang jelas berlatarbelakang dirinya organisasi sosial keagamaaan menamakan dirinya sebagai partai terbuka bagi penganut agama manapun.
Bentuk lain adalah partai seperti Partai Golongan Karya, atau Partai Demokrat yang banyak orang muslimnya bukan partai yang berdasarkan Islam. Namun sebagai pribadi-pribadi para anggota partai Golkar atau Demokrat banyakyang mencoba melakukan agregasi terhadap kepentingan-kepentingan umat Islam.
Untuk itu format dan bentuk partai Islam perlu dirumuskan baik sebagai kontektualisasi ajaran Islam maupun sebagai sumbangan Islam terhadap perkembangan politik di Indonesia.

2). Fungsi Partai Politik
Untuk mengetahui efgektif atau tidakny a sebuah partai politik, maka kita peerlu melihat kinerja maupun dfungsi-fungsi yang sudah dilakukan oleh sebuah partai politik.
Dalam Undang-Undang Partai Politik Nomor 31 tahun 2002, partai politik mempunyai beberapa fungsi di antaranya:
1. Pendidikan politik bagi anggotanya(political education);
2. Sebagai sarana persatuan dankesatuan bangsa
3. Penyalur aspirasi masyarakat
4. Partisipasi politik warga
5. Rekrutmen politik(political selection);
Dalam praktik politik di hampir negara-negara modern saat ini, baik yang bercorak demokratis maupun totaliter, kehadiran partai politik tidak dapat dielakkan. Di negara-negara demokratis, partai politik dipakai sebagai sarana untuk mewujudkan hak rakyat dalam menentukan figur-figur yang akan menjadi pemimpinrrya. Sedangkan di negara-negara totaliter, partai didirikan oleh elite politik dengan pertimbangan bahwa rakyat perlu dibina agar tercipta stabilitas yang berkelanjutan.
Di antara fungsi-fungsi sebuah partai poltik yang utama adalah sebagai berikut:
1. Partai politik adalah media penyaluran aspirasi
Dalam masyarakat modern pendapat dan aspirasi seseorang atau suatu kelompok merupakan suara rakyat yang harus disalurkan sesuai dengan kran demokrasi. Sekecil apapun suara, suara rakyat harus mendapatkan porsi yang layak, karena sesungguhnya kebijakan negara akan kembali untuk kesejahteraan rakyat. Tentunya suara rakyat berbagai ragam macam dan bentuknya. Oleh karena itu partai politik harus mampu untuk menyeleksi dan mengambil yang paling aspiratif. Proses ini dinamakan "penggabungan kepentingan" (interest aggregation).
Setelah dilakukan interest aggregation, suara-suara ini harus menjadi kebijakan negara agar bias direalisasikan dalam kehidupan riil. Proses ini dinamakan "perumusan kepentingan" (interest articulation). Partai politik selanjutnya merumuskannya sebagai usul kebijaksanaan. Dengan demikian rakyat akan mengetahui dan bermnat untuk menggunakan partai politik sebagai wadah untuk menyampaikan unek-uneknya tanpa harus menggunakan kekerasan maupun protes bagai parlemen jalanan.
Di lain fihak partai politik berfungsi juga untuk memperbincangkan dan menyebarluaskan rencana-rencana dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Dengan demikian terjadi arus informasi serta dialog dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas, di mana partai politik memainkan peranan sebagai penghubung antara yang memerintah dan yang diperintah, antara pemerintah dan warga masyarakat.

2. Partai sebagai sarana pendidikan politik
Fungsi partai politik adalah sebagai sarana sosialisasi politik. Di dalam ilmu politik sosialisasi politik diartikan sebagai proses melalui mana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap phenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat di mana ia berada. Biasanya proses sosialisasi berjalan secara berangsur-angsur dari masa kanak-kanak sampai dewasa. Di samping itu sosialisasi politik juga mencakup proses melalui mana masyarakat menyampaikan norma-norma dan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya.
3. Partai politik sebagai sarana rekruitmen politik
Partai politik juga berfungsi untuk mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai. Dengan demikian partai turut memperluas partisipasi politik. Caranya ialah melalui kontak pribadi, persuasi dan lain-lain. Juga diusahakan untuk menarik golongan muda untuk dididik menjadi kader yang di masa mendatang akan mengganti pimpinan lama. Partai politik sebagai sarana pengatur konflik (conflict management)

Partai Politik dalam Kajian Normatif
Dalam wacana politik Islam kita mengenal ada tiga pola hubungan Islam dengan politik yang dikenalkan oleh Abdurrahman Wahid atau Munawir Syadzali. Pertama pola integrative, yakni Islam dipandang sebagai agama yang kaffah sehingga Islam mengatur segala persoalan baik yang berdinensi ke-Tuhanan, maupun berdimensi keduniaan termasuk persoalan politik. Bagi kelompok ini aturan politik dalam Islam haruslah bersifat menyeluruh, sehingga bagi kelompok ini partai Islam harus berlandaskan kepada Alqur’an dan Assunnah.
Kedua, pola sekularistik yakni faham yang menyatakan bahwa Islam itu agama yang mengatur persoalan-persoalan individual yang berhubungan dengan Tuhannya. Persoalan keduniaan tidak diatur secara detail dan bahkan Tuhan memberikan kebebasan kepada umatnya. Oleh karena itu dalam persoalan politik tidak ada kewajiban bagi umat Islam untuk berpartai politik yang berlandaskan kepada ajaran-ajaran Islam. Apalagi wajib berlandasakan kepa Alqur’an dan Assunnah.
Ketiga, pola hubungan yang simbiotik di mana kelompok ini mengakui bahwa Islam adakah agama universal. Islam memberikan prinsip-prinsip kehidupan keduniaan termasuk bidang politik. Bagi kelompok ini partai politik adalah urusan keduniaan, sehingga ajaran Islam hanya mengatur prinsip-prinsip politik secara umum, seperti prinsip al-adalah, al-musawa, dan al-hurriyyah.
Tiga pola ini yang secara paradigmatik menjadi dasar tulisan ini dalam melakukan format ulang terhadap partai politik perspektif Islam.
a. Prinsip-prinsip politik dalam Islam
Sebagai sebuah ajaran yang universal, Islam memberikan pedoman bagi seluruh kehidupan umat manusia, baik kehidupan di dunia ini maupun kelak di akhirat nanti. Ajaran Islam selalu berdimensi dunia dan akhirat, meski terkadang kita umat Islam belum mampu mengungkap dimensinya. Rukun Islam yang lima seperti shalat misalnya, tidak saja berarti ibadah mahdhah kepada Allah, tetapi juga mempunyai dimensi keduniaan seperti kedisiplinan waktu, kebersamaan dalam berjamaah dan sebagainya. Zakat dan haji juga kental dengan dimensi duniawinya.
Begitu juga dengan prinsip-prinsip politik yang terdapat dalam ajaran Islam mempunyai nilai ibadah sekaligus nilai-nilai keduniaan yang humanis dan fleksibel. Beberapa prinsip yang ada antara lain: prinsip persatuan dan kesatuan (QS. Al-Baqarah; 213), kepastian hukum dan keadilan (QS. An-Nisa:58), kepemimpinan (QS, Nisa:59), musyawarah (QS. As-Syura: 38), persaudaraan (QS. Al-hujurat:2), dan tolong menolong (QS. Al-Maidah:2).
Negara Islam Madinah yang berdiri setelah Nabi dan sahabatnya hijrah ke Madinah, merupakan kesempatan pertama kepada Nabi Muhammad untuk membuktikan bahwa Islam bukan saja sebagai agama ritual, sebagaimana agama-agama sebelumnya. Islam adalah agama sekaligus mengajarkan tuntunan bernegara dan bermasyarakat.
Tentu saja format pemerintahan yang digagas oleh Nabi tidak secara mutlak ditetapkan dalam Al-Qur’an karena sesungguhnya Al-Qur’an adalah korpus yang bisa diinterpretasikan oleh umat Nabi hingga akhir masa. Islam hanya mengajarkan nilai-nilai universal yang berkaitan dengan konsep negara Islam.
Sebagai seorang pemimpin pemerintahan, Nabi berpegang kepada ajaran-ajaran Islam dalam Al-Qur’an dan Assunnah. Konsep kepemimpinan yang dikembangkan oleh Nabi adalah konsep yang menekankan pada aspek musyawarah dan menghargai heteroginitas. Hal ini tercermin dalam banyak perilaku politik yang dilakukan oleh Nabi.
Pada saat awal Nabi masih di Madinah adalah mendirikan Masjid dan membuat Perjanjian Madinah atau dikenal dengan : “Piagam Madinah”. Pembuatan masjid di Madinah merupakan upaya Nabi baik secara keagamaan maupun politis menggalang persatuan ummat atau kaum muslimin yang sudah menjadi satu daerah yaitu Madinah. Sebagaimana kita ketahui suku Quraisy yang berasal dari Makkah terdiri dari suku Aus dan Khzraj, dua suku kuat yang hingga masuk Islam masih sering terjadi kontak senjata antar dua suku. Melalui media Masjid, Nabi berupaya untuk mempertemukan sesering mungkim kaum muslimin untuk memikirkan bersama keberlangsungan Islam atau negara Islam Madinah di tengah ancaman kaum musyrik Makkah.
Sementara untuk menggalang persatuan antar penduduk muslim dan non-muslim yakni kaumYahudi di kota Madinah, Nabi membuat piagam Madinah yang menjadi symbol kebersamaan antar ummat dengan kaum Yahudi. Di sinin jelas bahwa Nabi Muhamad menjunjung pluralitas suku agama dan bangsa. Perjanjian Madinah inilah yang hingga kimni masih banyak dicontoh sebagai landasan menjalin ukhuwwah wathaniyah sesama warga negara. Inilah yang oleh Phillip K Hitti disebut sebagai miniatur negara bangsa Madinah.
Sebagai seorang pemimpin pemerintahan, Nabi memimpin jalannya pemerintahan negara Madinah. Namun sebagai orang yang menjunjung musyawarah dan kebersamaan, Nabi Muhammad membuat strata pemerintahan. Beberapa prinsip pemerintahan yang dikembangkan oleh Nabi berdasarkan kepada ayat-ayat Al-Qur’an seperti:
1. Prinsip equality (Al-Musawa)
2. Prinsip Independen (Al-Hurriyyah)
3. Prinsip Pluralisme (Taaddudiyah)
Prinsip-prinsip ini yang kemudian dikembangkan menjadi prinsip berbangsa dan bernegara hingga sekarang ini kita kenal. Universalisme prinsip ini tidak saja bias dikembangkan di negara-negara Islam tetapi juga di negara-negara non-muslim.
b. Latar belakang sosial-historis
Secara tegas sejarah politik Islam tidak memberikan contoh tentang partai politik. Partai politik baru dikenal pada masa moden ini. Apa yang bisa kita cari adalah benih-benih partai politik yang telah dilakukan pada masa lampau khususnya Islam awal.
Peristiwa tsaqifah bani saidah misalnya yang dikenal sebagai cikal bakal politik Islam, bisa menjadi model munculnya partai politik dalam sejarah politik Islam. Kelompok ansar yang merupakan penduduk asli Madinah secara bersama-sama atau berkelompok merasa bertanggungjawab atas keberlangsungan “negara” Madinah yang telah didirikan oleh Nabi dan sahabat-sahabatnya.
Kelompok ini semula memandang bahwa secara politis negara Madinah harus duteruskan dengan cara mencari pengganti Nabi sebagai khalifah di Madinah. Nabi tidak pernah memberikan petunjuk atas apa yang harus dilakukan apabila kelak nanti sahabat ditinggalkan Nabinya. Mereka bermusyawarah dan berkesepakatan bulat memilih Abu Ubaidah sebagai pemimpin pengganti Nabi Muhammad. Hal ini didasarkan kepada integritas Abu Ubaidah sebagai sahabat senior dan mumpuni dalam persoalan politik kenegaraan.
Sebelum Abu Ubaidah dibaiat kaum Anshar, Abu Bakar dan Umar dating dan menganulir kesepakatan yang dihasilkan. Mensikapi permintaan Umar ini kaum Anshar berselisih ada yang menerima dan ada yang menolak bahkan mengancam akan tetap mempunyai pemimpin dari kaum Anshar meski telah dianulir oleh sahabat Abu Bakar dan Umar.
Namun demi persatuan dan kesatuan umat Islam saat itu, mayoritas kaum anshar menerima permohonan Umar yang pada akhirnya meilih Abu Bakar sebagai khalifah pasca meninggalnya Nabi. Alasan Umar, Abu Bakar adalah sahabat yang paling pantas untuk memimpin umat Islam saat itu. Demi kebersamaan akhirnya kaum Anshar dan Muhajirin membaiat Abu Bakar sebagai khalifah.
Ketika dibaiat oleh kaum muslin di tsaqifah bani saidah, Abu Bakar meminta kepada seluruh kaum muslimin, apabila mendapatinya kesalahan dan kekurangan untuk segera mengingatkan atau mengkritiknya. Hal ini karena Abu Bakar menyadari bahwa dirinya adalah manusia biasa yang diberi amanat kaum muslimin untuk memimpin. Tak ada salahnya kalau kaum muslimin melakukan kritik demi kebaikan bersama.
Masih dalam pandangan siyasah, Abu Ubaidah yang menjadi pemimpin Anshar tidak mendapat tempat di pemerintahan Abu Bakar. Abu Bakar lebih banyak mengutamakan sahabat-sahabat yang lebih dulu masuk Islam sebagai pejabat negara. Khalid bin Walid al-Makhzumi misalnya, diangkat sebagai panglima tertinggi angkatan perang. Umar Utsman dan Ali dijadikan sebagai staf ahlinya.
Namun berbeda dengan Umar karena mengetahui keinginan dan harapan kaum Anshar, Khalid bin Walid dengan segala kelebihan dan kekurangannya diganti dengan Abu Ubaid yang dari Anshar. Ini adalah respon Umar atas aspirasi kaum anshar yang menginginkan ada ada rekrutmen kader dari kaum anshar.
Sebagai khalifah yang dikenal aspiratif, Umar juga pernah menyatakan di saat baiat agar masyarakat jangan takut untuk mengkritiknya. Karena sesungguhnya khalifah adalah khadimul ummah, yang melayani umat Islam, sehingga tugas utamanya adalah memberikan solusi terhadap apa yang dirasakan umatnya. Sebagai manusia biasa beliau meinta kaum muslimin mengingatkan segala tindakannya agar tetap sesuai dengan ajaran Rasulallah SAW.
Beberapa peristiwa politik yang terjadi pada zaman klasik bisa kita baca melalui tulisan-tulisan para pujangga politik muslim seperti Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun maupun Al-Mawardi dan Al-Farra. Tokoh-tokoh ini menjadi rujukan awal dalam sejarah politik di samping buku-buku sejarah klasik seperti Tarikh al-Umam wa al-Muluknya al-Thabari, Ibn Atsir, dan Sirah Nabawi-nya Ibn Hisyam.
Al-Mawardi misalnya dalam buku al-Ahkam al-Sulthaniyah memperkenalkan konsep Makzul, yang menurunkan imam (khalifah) apabila seorang pemimpin itu kedapatan melakukan maksiyat terhadap Allah. Ini mengandung maksud bahwa seorang pemimpin harus mengabdikan dirinya untuk kemaslahatan umat dan agamanya. Meski pemimpin telah dibaiat dan disepakati oleh kaum muslimin tetapi masyarakat harus melakukan kontrol bahkan boleh melakukan mosi tidak percaya atas perbuatan pemimpin yang dhalim.
Ajaran politik Islam bukanlah sebagai konsep langit, tetapi konsep bumi. Ini diharapkan bisa menjadi model bagi masyarakat bangsa menjadi politisi yang baik dan benar. Politik bukan selamanya kalah dan menang sebagaimana yang distigmakan sekarang ini. Tetapi sisi positif dari berpolitik itu lebih besar dari pada ungkapan streotip tadi. Meski baru mencari landasan normatif dan historis tetapi upaya ini perlu dilanjutkan dimasa yang akan datang.

Pemikiran Partai Politik dalam Sejarah Politik Islam
Salah satu ciri pemikiran politik sunni adalah menekankan pada faham khilafah centries, yakni kepala negara atau khilafah menempati posisi yang sangat kuat dalam politik kenegaraan. Sebaliknya, rakyat hanya dijadikan penonton yang harus mentaati segala perintah kepala negaranya. Ketaatan dan kepatuhan yang berlebihan ini di dasarkan pada teks-teks Al Qur’an seperti QS. Al-Nisa:59 dan QS Al-An’am: 165.
Pencirian tersebut tentunya didasarkan pada latar belakang dan kecenderungan tokoh-tokoh sunni dalam persoalan politik kenegaraan, semisal Al-Mawardi dan Ibn Taimiyah. Mereka berdua adalah tokoh ilmu politik Islam yang hidup di lingkungan negara Islam yang sedang mengalami kemunduran, terutama setelah berkobarnya perang suci atau perang salib antara tentara Islam dengan tentara.
Pembahasan tentang pokok-pokok pemikiran Ibn Taimiyah dan Al-Mawardi itu dirasa penting karena keduanya memiliki banyak kesamaan. Namun sebagai sebuah karya yang tidak dalam satu waktu dan tempat, keduanya memiliki beberapa perbedaan sesuai dengan latar belakang masing-masing.

1) Perdebatan tentang konsep Imamah
Sebelum masuk pada pembahasan tentang pokok-pokok pikiran tentang partai politik, perlu ditelusuri terlebih dulu pandangan al-Mawardi dan Ibn Taimiyah tentang institusi imamah. Pembahasan ini sangat penting karena beraitan dengan persoalan fundamental yang menyangkut hak-hak politik warga.
Bagi al-Mawardi, institusi imamah diwujudkan dalam rangka melindungi kepentingan agama dan mengatur kehidupan dunia. Hal ini didasarkan pada ijma ulama yang menganggap bahwa perwujudan itu bersifat fardu kifayah. Di samping itu juga didasarkan pada realitas empirik selama masa Nabi, al-khulafa al-rasyidin, dan imperium bani Abbasyiyah dan Umayyah yang merupakan lambang kesatuan politik Islam.
Pandangan ini memberikan implikasi bahwa sejarah politik pada masa Nabi, khalifah, dan pasca khalifah menjadi ”sunnah” yang wajib diikuti oleh kaum-kaum sesudahnya. Fakta ini menjadi terjemahan atas teks-teks agama yang secara umum mewajiban kepatuhan rakyat atas penguasa.
Menghukumi fardu kifayah dalam persoalan institusi imamah merupaan contoh tentang pendekatan fiqh dalam politik di kalangan ulama sunni. Meski seharusnya fiqh bersifat mengikat bagi kaum muslimin, namun kefarduan imamah ini lebih didasarkan pada alasan sosiologis, bukan alasan teologis. Sekelompok manusia yang berkumpul lebih dari dua maka seharusnya salah satu menjadi pemimpin. Karena tanpa ada pemimpin kelompok atau komunitas itu akan hilang dengan sendirinya.
Dalam perspektif ilmu politik kepemimpinan dibutuhkan manakala terjadi perkumpulan antara beberapa orang yang mempunyai tujuan bersama. Sekelompok manusia yang berkelompok menjadi sebuah komunitas politik. Dan komunitas politik itu dapat membentuk Negara manakala memenuhi unsur-unsur terbentuknya suatu Negara; yakni pertama, adanya wilayah yang meliputi wilayah darat, laut, dan udara. Kedua, adanya rakyat, yakni semua orang yang ada di wilayah Negara itu dan yang tunduk pada kekuasaan dari Negara tersebut, baik menggunakan asas ius sanguinis (keturunan) maupun asas ius soli (tempat tinggal/tempat kelahiran). Ketiga terwujudnya pemerintahan yang berkuasa atas seluruh rakyat dan daerahnya, dan keempat terpenuhinya pengakuan dari Negara lain atas eksistensi Negaranya sendiri.
Sekadar menjelaskan, bahwa al-Mawardi mendasarkan teori politiknya atas kenyataan yang ada dan kemudian secara realistik menawarkan saran-saran perbaikan atau reformasi, misalnya dengan mempertahankan status quo. Dia menekankan, bahwa khalifah harus tetap berbangsa Arab dari suku Quraisy. Wazir Tafwidh atau pembantu utama Khalifah dalam penyusunan kebijakan harus berbangsa Arab, dan bahwa perlu ditegaskan persyaratan bagi pengisian jabatan kepala negara serta jabatan pembantu-pembantunya yang penting.
Bagi al-Mawardi, imam (yang dalam pemikirannya adalah seorang raja, presiden, sultan) merupakan sesuatu yang niscaya yang keberadaannya sangat penting dalam suatu masyarakat atau negara. Karena itu, jelasnya, tanpa imam akan timbul suasana chaos. Manusia menjadi tidak bermartabat, begitu juga suatu bangsa menjadi tidak berharga. Dengan demikian, al-Mawardi memberikan juga baju agama kepada jabatan kepala negara di samping baju politik. Kemudian dipertegas lagi bahwa Allah mengangkat seorang pemimpin untuk umatnya sebagai pengganti (khalifah) nabi, untuk mengamankan agama, dengan disertai mandat politik. Di sinilah muncul pemahaman bahwa seorang imam di satu pihak adalah pemimpin agama, dan di lain pihak adalah pemimpin politik.
Sebelumnya, al-Mawardi menjelaskan bahwa diperlukan dua hal dalam proses pemilihan atau seleksi. Pertama, ahl al-ikhtiar atau mereka yang berwenang untuk memilih imam bagi umat. Mereka harus memenuhi tiga syarat: 1). memiliki sikap adil; 2). memiliki ilmu pengetahuan yang memungkinkan mereka mengetahui siapa yang memenuhi syarat untuk diangkat sebagai imam; dan 3). memiliki wawasan yang luas dan kearifan yang memungkinkan mereka memilih siapa yang paling tepat untuk menjadi imam, dan paling mampu mengelola kepentingan umat di antara mereka yang memenuhi syarat untuk jabatan-jabatan itu.
Kedua, ahl al-imamah, atau mereka yang berhak mengisi jabatan imam. Mereka harus memiliki tujuh syarat: 1). sikap adil dengan segala persyaratannya; 2). ilmu pengetahuan yang memadai untuk ijtihad; 3). sehat pendengaran, penglihatan dan lisannya; 4). Utuh anggota-anggota tubuhnya; 5). Wawasan yang memadai untuk mengatur kehidupan rakyat dan mengelola kepentingan umum; 6). keberanian yang memadai untuk melindungi rakyat dan mengenyahkan musuh; dan 7). Keturunan Quraisy.
Lantas bagaimana ketentuan seorang imamah yang dianggap legal? Dalam hal ini, al-Mawardi menjelaskan, jabatan imamah (kepemimpinan) dinilai sah apabila memenuhi dua metodologi. Pertama, dia dipilih oleh parlemen (ahl al-halli wa al-‘aqdi). Mereka inilah yang memiliki wewenang untuk mengikat dan mengurai, atau juga disebut model “ahl al-Ikhtiar”. Kedua, ditunjuk oleh imam sebelumnya (wasiat imam sebelumnya). Dalam hal ini, model pertama dinilai memang selaras dengan demokrasi dalam konteks modern. Sementara, tipe kedua, al-Mawardi merujuk pada eksperimen sejarah, yakni pengangkatan Khalifah Umar bin Khattab oleh khalifah sebelumnya, Abu Bakar Ash Shiddiq. Sebelumnya juga ada rujukan sejarah, lewat pemilihan “dewan formatur” yang memilih khalifah Utsman juga dipilih oleh khalifah sebelumnya, Umar bin Khattab.
Dalam masalah pemecatan seorang khalifah, al-Mawardi menyebutkan dua hal yang mengubah kondisi dirinya, dan karenanya Ia harus mundur dari jabatannya itu. Pertama, cacat dalam keadilannya (bisa disebabkan akibat syahwat, atau akibat syubhat. Kedua, cacat tubuh.
Dalam kaitan ini adalah cacat pancaindera (termasuk cacat yang menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai seorang imam, seperti hilang ingatan secara permanen, hilang penglihatan). Selain itu, juga cacat organ tubuh, dan cacat tindakan. Sedangkan cacat yang tidak menghalangi untuk diangkat sebagai imam, seperti cacat hidung yang menyebabkan tidak mampu mencium bau sesuatu, cacat alat perasa, seperti membedakan rasa makanan.
Berbeda dengan Ibn Taimiyah yang berpendapat bahwa mengatur urusan umat memang merupakan bagian dari kewajiban agama, namun hal ini bukan berarti bahwa agama tidak dapat hidup tanpa negara. Untuk itu Ibn Taimiyah mendapat bahwa ijma bukan sebagai dalil kewajiban tersebut. Sebaliknya Ibn Taimiyah menolak ijma dan menawarkan pendekatan sosiologis dalam mengatur urusan umat.
Bagi Ibn Taimiyah penegakan imamah itu tidak berdasarkan pada ijma tetapi pada kebutuhan praktis sosiologis. Implikasinya Ibn Taimiyah menolak kekuasaan Bani Umayyah dan Bani Abbasyiyah sebagai pijakan dalam persoalan-persoalan keagamaan.
Meski demikian menurut Ibn Taimiyyah, imamah atau kepemimpinan dalam sebuah komunitas masyarakat merupakan kewajiban yang amat penting. Menurutnya sebuah komunitas masyarakat tanpa pemimpin akan berujung pada kondisi chaos, karena pada dasarnya manusia memiliki sifat homo homini lupus, siapa yang kuat dia-lah yang akan berkuasa. Oleh karena itu kondisi tanpa pemimpin lebih jelek daripada sebuah komunitas yang dipimpin oleh orang yang dhalim dan bodoh.

2). Ahl Halli Wal Aqdi: Ide Partai Politik Versi Al-Mawardi
Apa yang digagas oleh dua tokoh Ibn Taimiyah dan al-Mawardi tentang Ahl Halli Wal Aqdi –atau ahl al-syaukah dalam bahasa Ibn Taimiyah--, memberikan pandangan bahwa cita-cita partai politik sudah dikonsepkan oleh dua tokoh tersebut.
Menurut al-Mawardi dlam pemilihan kepala negara harus ada dua institusi; ahl al-ikhtiyar (sekelompok orang yang berhak memilih) dan ahl imamah (sekelompok orang yang berhak menjadi imam). Selanjutnya al-Mawardi mensyaratkan ahl al-ikhtiyar harus adil, punya wawasan yang luas dan bijaksana, agar mampu memilih imam yang bagus. Bagitu juga ahl al-imamah harus memenuhi tujuh syarat di antaranya harus suku quraisy.
Ahl al-ikhtiyar atau selanjutnya disebut ahl al-hilli al-aqdi berhak memilih imam atau kepala negara. Bahkan menurut al-Mawardi mengangkat imam bisa juga diwasiatkan oleh kepala negara sebelumnya kepada calon imam yang aan datang. Menurutnya kebolehan ini berbdasarkan apa yang pernah dilakukan oleh Abu Bakar ketika meninggalkan kekhalifahannya. Sebelum Abu Bakar meninggal beliau menunjuk Umar dan kemudian Umar dibaiat oleh kaum muslimin.
Baiat mutlak diperlukan sebagai tanda kesepakatan politik antara pemilih dan yang dipilihnya. Secara garis besar kepala negara terpilih mempunyai beberapa tugas dan kewajiban; memelihara agama, melaksanakan hukum yang adil, memelihara keamanan negara, menegakkan hudud, membentengi negara ari mususg, memungut fai dan zakat, membagian kepada mustahiq, menyampaikan amanah, memperhatikan rakyatnya secara politis. Dengan tugas dan kewajiban tersebut, maka ada hak bagi kepala negara untuk menuntut kesetiaan rakyat kepada pemimpinnya.
Al-Mawardi juga menegaskan apabila kepala negara di tengah jalan melanggar apa yang diwajibkan kepadnya seperti tidak adanya amanah maka hak masyaraat adalah memakzulkan imam, yakni menurunkan imam demi hukum.
Yang menjadi persoalan adalah ketidak tegasan al-Mawardi tentang prosedur pemilihan Ahl Halli Wal Aqdi. Prakteknya Ahl Halli Wal Aqdi diangkat oleh kepala negara, sehingga Ahl Halli Wal Aqdi tidak efektif sebagai alat kontrol bagi kepala negara. Karena mereka diangkat oleh orang yang dikontrolnya. Apalagi al-Mawardi juga berpendapat bahwq kepala negara bisa diangkat berdasarkan wasiat kepala negara sebelumnya.
Dalam bukunya Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah, menyebutkan bahwa pemilihan kandidat diawali dengan meneliti persyaratan kandidat. Kandidat yang memiliki kualitas yang paling tinggilah yang akan dipilih sebagai kepala negara. Namun kesediaan kandidat juga menjadi pertimbangan tersebut. Karena hal ini merupakan kesepakatan kedua belah fihak; pemilih (ahl al-ikhtiyar) dan yang dipilih (ah al- imamah).
Menurut al-Mawardi, ahl imamah mempunyai beberapa tugas dan kewajiban, di antaranya: memelihara agama, melaksnakan hukum di antara rakyatnya dan menyelesaikan perkara yang terjadi agar tidak ada yang teraniaya dan menganiaya, memelihara keamanan dalam negeri, menegakkan hudud, membentuk tentara yang kuat untuk membentengi negara dari musuh, melakukan jihad terhadap orang yang menolak dakwah, memungut harta fai’ dan zakat dari para muzakki, membagikan zakat kepada para mustahiq, menyampaikan amanah, dan meningkatkan segala sesuatu yang dapat meningkatkan politik pemerintahannya.
Begitu juga dengan ahl al-ikhtiyar. Mereka wajib taat terhadap pemimpin negara selagi kepala negara tersebut masih dalam menjalankan tugas kenegaraan. Sebaliknya manakala kepala negara bisa dilengserkan manakala kepala negara menyimpang dari konteks keadilan, kehilangan salah satu fungsi organ tubuhnya atau tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai kepala negara.
Namun al-Mawardi tampak ragu dengan pernyataannya bahwa penyimpangan kepala negara secara otomatis bisa dijadikan dalalah untuk melengserkan kepala negara. Apabila dia bisa memberikan alasan yang rasional, maka perlu dipertimbangkan. Jadi, yang jelas bisa melengserkan adalah alasan-alasan fisikly, seperti hilangnya kesehatan atau berkurangnya fungsi organ tubuhnya. Di samping itu ketidakjelasan al-Mawardi karena beliau tidak menjelaskan bagaimana tehnis untuk pemilihan kepala negara.
Mungkin saja ketidakjelasan ini sebagai keberpihakan al-Mawardi terhadap kekhalifahan Abbasyiah yang disinyalir banyak melakukan pelanggaran dalam kekuasaan. Idealnya seorang khalifah bisa menentukan arah perjalanan pemerintahan secara independent, tanpa ada gangguan dari orang-orang dekatnya. Namun fakta pada masa Abbasyiah, khalifah tidak banyak melakukan apa-apa.
Mestinya andaikata al-Mawardi menjelaskan secara rinci ide-ide besarnya tentang good governance pada saat itu, banyak di antara khalifah dari bani Abbasyiah yang harus lengser demi hukum. Hal ini sangat mungkin karena al-Mawardi sendiri sebagai Qadhi al-Qudhat.
Oleh karena itu untuk mempertahankan prinsip di atas, al-Mawardi merumuskan konsep wazir tafwid dan wazir tanfidz dalam pemerintahan. Wazir yang pertama adalah kementrian yang memiliki kekuasaan yang agak luas. Wazir ini bisa menentukan kebiajkan politik sendiri. Karenanya al-Mawardi mensyaratkan jabatan diisi oleh orang-orang Arab yang setia kepada kepala negara. Sedangkan wazir bentuk kedua tidak memiliki kewenangannya tersendiri.

3) Ahl al-Syaukah, Partai Politik versi Ibn Taimiyah
Sementara itu, Ibn Taimiyah menolak pendapat al-Mawardi yang memberikan wewenang penuh kepada ahl ahl-hilli wa al-aqdi. Bagi Ibn Taimiyah posisi ini akan mengarah pada pengultusan ahl al-hilli, dan akan fatal akibatnya. Beliau menawarkan konsep ahl al-syaukah, yakni mereka yang mempunyai kekuatan. Mereka adalah orang-orang terpandang dari berbagai profesi dan latar belakang yang mempunyai pengaruh dan terpandang di masyarakatnya. Bahkan menurut Ibn taimiyah ebagaimana dikutip oleh Qamarudin khan, istilah ahl hilli tidak dikenal dalam awal sejarah Islam. Istilah ini mulai ditawarkan sejak Abbasyiyah berkuasa.
Pendapat ini berbeda dengan al-Mawardi yang meniscayakan pemilihan kepala negara ada di tangan Ahl Halli Wal Aqdi. Ibn Taimiyah tidak menerima teori khilafah sunni. Ibn Taimiyah menolak pengangkatan kepala negara oleh Ahl Halli Wal Aqdi karena bagi Ibn taimiyah keadaan Ahl Halli Wal Aqdi hanya sebagai stempel atas apa yang didiinginkan oleh kepala negara.
Menurut Qamarudin, Ahl Halli Wal Aqdi tidak dikenal dalam sejarah klasik pra Abbasyiah. Untuk itu perlu dilakukan penelitian ulang atas praktek Ahl Halli Wal Aqdi pada zaman Abbasyiyah. Sangat mungkin apabila Ahl Halli Wal Aqdi mengarah pada terbentuknya sistem kependetaan dalam Kristen, atau imamah di kalangan muslim Syi’ah.
Sebagai alternatif, Ibn Taimiyah menawarkan konsep al-Syaukah, yakni orang-orang dari berbagai profesi dan kedudukan yang dihormati dan ditaati oleh masyarakat. Ahl al-Syaukah inilah yang memilih dan mengangkat kepala negara, kemudian diikuti sumpah setia oleh masyarakat untuk mentaati segala perintahnya. Seorang tidak bisa menjadi kepala negara tanpa dukungan dari ahl al-syaukah.
Pendapat Ibn Taimiyah ini didasarkan pada perilaku politik klasik pada masa al-khulafa al-rasyidun, sewaktu pengangkatan Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Abu Bakar menjadi khalifah pertama kali pasca nabi bukan karena bay’at Umar, tetapi karena baiat sejumlah tokoh-tokoh sahabat senior yang selanjutnya diiringi sumpah setia oleh seluruh kaum muslim pada saat itu. Begiu juga Umar, diangkat sebagai al-khulafa bukan karena wasiat yang diberikan Abu Bakar, tetapi karena disepakati oleh para tokoh sahabat senior. Untuk itu mereka berdua tidak bisa menjadi khalifah tanpa ada baiat dari kaum muslimin.
Ibn Taimiyah menolak keabsahan kepala negara yang dipilih oleh dua atau empat oarang saja, sebgaimana dikemiukakan al-Mawardi. Karena cara-cara semacam bisa menjurus pada pembenaran terhadap pergantian kepala negara yang kekuasaannya dicapai dengan cara paksa.
Bila dikaitkan dengan latar belakang sosial Ibn Taimiyah, pandangannya merupakan refleksi atas kekecewaannya terhadap Abbasyiah. Sejak abad ke IX, sebenarnya bani Abbas sudah mulai mundur yakni pada masa khalifah al-Watsiq (842-874 M) sampai al-Mu’tashim. Mereka lebih banyak berlaku sebagai khalifah boneka, karena secara de facto mereka hanya diperintah oleh pejabat-pejabat di bawahnya.
Namun demikian Ibn taimiyah juga mengakui bahwa sedikit sekali pemimpin yang memiliki kualifikasi dunia sifat yakni wibawa dan adil.
Dari sini lahirnya kontrak antara kepala negara dan rakyat dan terjadilah hak dan kewajiban timbal balik antara keduanya. Kepala negara mempunyai hak untuk ditata dan berkewajiban untuk mencukupi segala kebutuhan warganya. Sebaliknya rakyat juga mempunyai kewajiban untuk taat kepada kepala negara.

Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut: Pertama, dalam tradisi fiqh siyasah partai politik diinspirasikan oleh institusi ahl al-halli wal aqdi sebagaimana disebutkan al-Mawardi, atau ahl al-syaukah dalam bahasa Ibn Taimiyah. Institusi ini bertugas untuk mencari, memilih dan menetapkan kepala negara.
Kedua, partai politik dalam perspektif Fiqh Siyasah mendasarkan pada keseimbangan urusan duniawi dan ukhrawi (siyasat al-dunya dan haratsat al-din). Hal ini penting agar partai politik tidak hanya mendasarkan pada idiologi who get what, atau idiologi menang kalah.
Ketiga, dalam pemilihan anggota partai politik, diharuskan diambilkan dari orang-orang yang berpengaruh di masyarakatnya. Apalagi menurut Al-Mawardi para tokoh politik harus memenuhi beberapa kriteria di antaranya adil, bijaksana punya integritas kepribadian, sehat jasmani dan rohani. Hal ini untuk menghindarkan partai politik hanya diisi oleh para pencar keuntungan pribadi.

Selasa, 14 April 2009

Hukuman Mati Perspektif Syari'ah

Oleh : Imam Yahya

"Dalam perjalanan sejarah hukum pidana dan pemidanaan menunjukkan ada kaitan antara sistem hukum pidana dan pemidanaan dengan keperluan masyarakat yang ada di sekitarnya"
(Sir Henry James Summer Maine,
dalam Encyclopaedia Americana, 1977).

A. Pengantar
Persoalan hukum yang paling banyak menyedot perhatian masyarakat di Indonesia adalah perdebatan mengenai hukuman mati. Hukuman mati yang dieksekusikan pada Imam Samudera cs di penghujung tahun 2008 ini, seakan menjadi pertanda bahwa hukuman mati masih eksis di negara kita yang mayoritas berpenduduk muslim .
Sementara hampir 130 negara-negara di dunia telah melakukan moratorium bahkan penghapusan hukuman mati. Oleh karenanya, pembahasan berbagai dimensi hukuman mati dari perspektif keadilan sosial dan hokum menjadi sangat penting. Begitu juga dengan pandangan agama Islam, yang notabene dianut oleh sebagian besar warga negara Indonesia, dimensi hukuman mati menjadi menarik untuk dikritisi lebih detail.
Problematika hukuman mati yang berkembang sekarang ini menghasilkan dua arus pemikiran hukum; pertama, adalah mereka yang ingin tetap mempertahankannya berdasarkan ketentuan yang berlaku, dan kedua adalah mereka yang menginginkan pengahapusan secara keseluruhan. Kelompok yang setuju, beralasan jika secara sadar terpidana melakukan tindakan kriminalnya dan menunjukkan pelanggaran berat terhadap hak hidup sesamanya, maka negara tidak wajib melindungi dan menghormati hak hidup terpidana. Para pelaku kejahatan berat harus diancam hukuman mati sehingga bisa menjadi efek jera.
Sedangkan yang menolak hukuman mati beralasan bahwa hukuman yang satu ini merupakan pengingkaran terhadap hak asasi manusia, yaitu berupa hak hidup. Apalagi banyak kalangan yang menganggap pidana mati dalam Islam sangat kejam dan hanya merupakan pelampiasan “balas dendam” semata.
Untuk itu, tulisan ini bermaksud mendeskripsikan tentang berbagai persoalan yang terkait dengan pidana mati, yaitu tentang pandangan hukum Islam terhadap konsep dan penerapaan hukuman pidana mati.

B. HUKUMAN MATI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH
Pembahasan hukum pidana adalah sebuah pembahasan yang berkelanjutan (continuities), seiring dengan kehidupan manusia. Oleh karena itu hukum pidana berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Begitu juga dengan hukuman mati, telah menjadi hukuman yang mensejarah.
Dalam sejarah hukum China, hukuman mati telah diterapkan untuk pidana pembunuhan. Bahkan sejak abad XVIII SM dalam kode raja Hammaurabbi di Babilonia diterangkan lebih detail, hukuman mati diterapan bagi 25 kejahatan besar yang berbeda, di antaranya sebagai hukuman bagi para pembunuh.
Di Kerajaan Mesir hukuman mati juga dilaksanakan, di mana hukuman mati diterapkan bagi orang yang melanggar dan mengambil barang milik penguasa. Biasanya eksekusi mati dilaksanakan dengan cara di palu. Selanjutnya jenis tindak pidana yang diancam hukuman mati berubah-ubah. Misalnya saja di kerajaan Yunani di abad ke-7 Sebelum Masehi hukuman mati berlaku untuk semua tindak pidana. Namun masa-masa selanjutnya jenis tindak pidana yang diancam pidana mati semakin terbatas.
Perjalanan hukuman mati tetap berlangsung hingga munculnya agama-agama besar seperti Kristen, Yahudi dan Islam.
Dalam Perjanjian Lama, paling sedikit ada sembilan kategori “kejahatan besar” yang pelakunya dipandang patut dihukum mati.
Yaitu: (a) membunuh dengan sengaja; (b) mengorbankan anak-anak untuk ritual keagamaan; (c) bertindak sembrono sehingga mengakibatkan kematian orang lain; (d) melindungi hewan yang pernah menimbulkan korban jiwa manusia; (e) menjadi saksi palsu dalam perkara penting; (f) menculik; (g) mencaci atau melukai orang tua sendiri; (h) melakukan perbuatan amoral di bidang seksual; serta (i) melanggar akidah atau aturan agama. Kemudian hukum agama Yahudi juga mengatur jenis dan bentuk hukumannya. Ada empat, yaitu hukuman (a) rajam; (b) bakar; (c) penggal kepala; dan (d) gantung. Jadi dalam agama nasrani, paling tidak perjanjian lama dan perjanjian baru tidak menolak hukuman mati.
Sementara, hukum Yahudi menentukan bahwa para pemuja berhala, penghujat, dan pemberontak dirajam dengan batu dan digantung pada sebuah tiang. Mereka dibiarkan mati secara mengerikan karena dipandang sebagai yang terkutuk oleh Allah. Dan agar bertambah najis, maka mayat mereka segera dikuburkan.
Orang Yahudi menggunakan berbagai teknik eksekusi termasuk hukum rajam, hukum pancung, hukum gantung, penyaliban, melempar terpidana dari atas tebing batu, dan digergaji. Cara eksekusi paling keji dan diperingati sepanjang sejarah manusia adalah penyaliban Yesus di Bukit Golgotha pada tahun 29.
Pada abad ketujuh Sebelum Masehi (SM), eksekusi hukuman mati dilakukan dengan cara yang sangat kejam, seperti disalib, ditenggelamkan di laut, dibakar hidup-hidup, dilempari batu sampai meninggal (hukum rajam), ditombak, dan dimasukkan ke dalam karung berisi anjing, ayam jago, ular berbisa, serta beruk.
Eksekusi hukuman mati yang paling terkenal dilakukan terhadap filsuf Yunani Socrates pada tahun 399 SM dengan menggunakan minuman berisi racun. Ia dituduh melakukan bidah dan mempengaruhi kaum muda dengan pikiran-pikiran yang "sesat".
Sejak tahun 1767 terdapat gerakan penghapusan hukuman mati. Sejak muncul gerakan abolisionis, banyak negara yang mengurangi jenis-jenis tindak pidana yang diancam hukuman mati. Di Inggris, misalnya, antara tahun 1823 sampai 1837 sebanyak 100 di antara 222 tindak pidana yang diancam hukuman mati dihapuskan.
Di beberapa negara seperti di Eropa dan Amerika, penghapusan hukuman mati menjadi semakin marak berkaitan dengan gerakan penegakan Hak Azazi Manusia. Di Amerika misalnya di negara bagian Pennsylvania, secara resmi menghapus hukuman mati pada 1834. Pennsylvania adalah negara bagian pertama yang menghapus hukuman mati. Berangsur-angsur pengadilan di Amerika Serikat tidak menerapkan hukuman mati. Namun pada 1994 Presiden Bill Clinton menandatangani Violent Crime Control and Law Enforcement Act yang memperluas penerapan hukuman mati di AS. Pada 1996 penerapan hukuman mati diperluas lagi melalui Antiterrrorism and Effective Death penalthy Act yang ditandatangani Clinton.
Begitru juga dengan di benua Eropa, penghapusan hukuman mati merebak sekitar tahun 1950 hingga 1980. meski secadrar defacto tidak pernah ada pencabutan hukuman mati. Selanjutnya pada 1999 Paus Johanes Paulus II menyerukan penghapusan hukuman mati. Seruan itu bersamaan dengan Resolusi Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB yang menyerukan moratorium hukuman mati.
Praktek eksekusi beberapa tahun belakangan ini juga sempat memicu debat akan diskursus soal hukuman mati. Paling tidak di Indonesia perdebatan hukuman mati itu direpresentasikan oleh LSM (lembaga masyarakat sipil) dengan kelompok-kelompok penegak hukum.
Kontras menyebutkan ada dua kelompok pro dan kontra hukuman mati yang mewarnai debat hukuman mati di Indoenia. Pertama, kelompok organisasi HAM yang menolak praktek hukuman mati untuk segala bentuk kejahatan. Mereka memandang bahwa hak atas hidup bersifat absolut, sehingga tak ada kewenangan siapapun termasuk negara untuk menghilangkan nyawa seseorang.
Kedua, kelompok yang mempertahankan huuman mati sebagai salah satu alternatif hukuman, karena dianggap masih efektif untuk mengurangi angka kejahatan di Indonesia ini. Kelompok ini biasanya disebut sebagai kelompok dominan yang dipelopori oleh para penegak hukum termasuk pemerintahan.
Dalam sebuah acara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa hukuman mati kepada pengedar narkoba, koruptor, dan pelanggar berat HAM meski ditegakkan karena memberikan rasa adil bagi masyarakat. Majelis Ulama Indonesia/MUI juga pernah mengeluarkan fatwa tentang hukuman mati pada acara Musyawarah Nasionalnya yang ke-7, 28 Juli 2005 di Jakarta. Meski fatwa MUI tidak bersifat mengikat tetapi fatwa MUI ini menjadi pendukung bagi terlaksananya hukuman mati di Indonesia.
Pada masa jabatannya sebagai Ketua MA, Bagir Manan mendukung eksekusi hukuman mati. Menurut Bagir sebaiknya terpidana hukuman mati yang sudah sudah lima tahun divonis hukuman mati, namun belum dilaksanakan, Bagir mengusulkan agar hukumannya diubah menjadi hukuman seumur hidup.
Secara umum hukuman mati yang berlaku di Indonesia didasarkan pada Undang-Undang dan berbagai peraturan yang berlaku di Indonesia. Ada tiga kelompok aturan, yakni:
a) Pidana Mati dalam KUHP
Dalam KUHP warisan Belanda, pidana mati dimungkinkan atas beberapa kejahatan yang berat-berat saja, di antaranya adalah :
1. Pasal 104 (makar terhadap presiden dan wakil presiden)
2. Pasal 111 ayat 2 (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau jadi perang)
3. Pasal 124 ayat 3 (membantu musuh waktu perang)
4. Pasal 140 ayat 3 (makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat yang direncanakan dan berakibat maut)
5. Pasal 340 (pembunuhan berencana)
6. Pasal 365 ayat 4 (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati)
7. Pasal 368 ayat 2 (pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati)
8. Pasal 444 (pembajakan di laut, pesisir dan sungai yang mengakibatkan kematian).

b) Pidana Mati diluar KUHP
Beberapa peraturan di luar KUHP juga mengancamkan pidana mati bagi pelanggarnya.
1. Pasal 2 Undang-Undang No.5 (PNPS) Tahun 1959 tentang wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dan tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang pangan.
2. Pasal 2 Undang-Undang No. 21 (Prp) Tahun 1959 tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana ekonomi.
3. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat No. 12 tahun 1951 tentang senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak.
4. Pasa l13 Undang-Undang No. 11 (PNPS) Tahun 1963 tentang pemberantasan kegiatan subversi. Pasal 23 Undang-Undang no. 31 T ahun 1964 tentang ketentuan pokok tenaga atom.
5. Pasal 36 ayat 4 sub b Undang-Undang no. 9 tahun 1976 tentang Narkotika
6. Undang-Undang No.4 Tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan.
c) Pidana Mati dalam Rancangan KUHP
Sedangkan dalam konsep rancangan KUHP, pidana mati dikeluarkan dari stelsel pidana pokok dan diubah sebagai pidana pokok yang bersifat khusus atau sebagai pidana eksepsional (istimewa). Penempatan pidana mati terlepas dari paket pidana pokok dipandang penting, karena merupakan kompromi dari pandangan yang pro dan kontra hukuman mati. Dalam konsep Rancangan KUHP terdapat beberapa macam tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, antara lain:
1. Pasal 164 tentang menentang ideologi negara Pancasila.
2. Pasal 167 tentang makar untuk membunuh presiden dan wakil presiden
3. Pasal 186 tentang pemberian bantuan kepada musuh.
Pasal 269 tentang terorisme.
Dukungan terhadap hukuman mati ternyata tidak hanya di Indonesia tetapi sebagian dunia internasional, juga masih mengakui eksistensi hukuman mati. Catatan Amnesti internasional mencatat ada 55 negara yang menetapkan hukuman mati sebagai hukuman alternatif.


Negara-Negara yang Masih Menerapkan Hukuman Mati
(Dalam Kurun Waktu 10 Tahun Masih Ada Eksekusi Mati)
(Total 55 Negara)

No Negara No Negara
1. Amerika Serikat 31 Mali
2. Afganistan 32 Mesir
3. Algeria 33 Mongolia
4. Bahamas 34 Oman
5. Bahrain 35 Pakistan
6. Banglades 36 Palestina
7. Belarus 37 Qotar
8. Botswana 38 Christoper
9. Burundi 39 Saudi Arabia
10. Chad 40 Sicrra
11. Cina 41 Singapura
12. Comoras 42 Somalia
13. Ethiopia 43 Sudan
14. Guatemela 44 Syria
15. Guine Equatorial 45 Taiwan
16. Guinea 46 Thailand
17. India 47 Trinidad
18. Indonesia 48 Uganda
19. Iran 49 Uni Emirat Arab
20. Irak 50 Vietnam
21. Japan 51 Yaman
22. Jordan 52 Zimbabwe
23. Kazastan 53 Libia
24. Korsel 54 Uzbekistan
25. Korut 55 Tobago
26. Kuwait
27. Kongo
28. Kuba
29. Libanon
30. Malaysia
Sumber : Amnesty International dan Hands off cain, September 2007.

Menurut Amnesty Internasional, sebagaimana dikutip Kontras, pada tahun 2005, terdapat 2.148 orang dieksekusi di 22 negara di seluruh dunia. 94% angka eksekusi mati tersebut terjadi di hanya empat negara, yakni RRC 1.770 orang dieksekusi, Iran mengeksekusi 94 terhukum, sementara Arab Saudi mencatat 86 orang dieksekusi. Negera urutan terbesar keempat pelaksana eksekusi hukuman mati adalah Amerika Serikat, yakni 60 terhukum di ekseskusi.
Untuk tahun 2006, Amnesty International menyebutkan 25 negara melakukan eksekusi untuk sekitar 1.591 terpidana. Artinya secara geografis jumlah negara yang melakukan eksekusi mati meningkat 10 persen, meski jumlah kasusnya menurun.
Berikut ini instrumen hokum yang melarang hukuman mati dijadikan sebagai hokum terberat dalam pengadilan di dunia ini.

NO Instrumen Hukum Penjelasan Keterangan
1. Universal Declaration of Human Rights,
tahun 1948 Pasal 3 Hak untuk hidup
2. Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan
Politik (International Covenant on Civil
and Political Rights- ICCPR), tahun 1966 Pasal 6
Derivasi dari DUHAM bahwa hak untuk hidup
termasuk dalam non derogable rights atau hak
yang tak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun Hingga 2 November 2003, tercatat 151 negara telah
meratifikasi
3. Second Optional Protocol of ICCPR
aiming of The Abolition of Death Penalty,
tahun 1990 Instrumen ini bertujuan untuk penghapusan
hukuman mati Hingga saat ini, tercatat 50
negara telah meratifikasi
4. Protocol No. 6 European Convention for
the Protection Human Rights and
Fundamental Freedom, 1950 (berlaku
mulai 1 Maret 1985 Instrumen ini bertujuan untuk penghapusan
hukuman mati di kawasan Eropa
5. The Rome Statute of International Criminal Court 17 Juli 1998 Pasal 7 Pasal 7
Instrumen ini tidak mengatur hukuman mati sebagai salah satu bentuk hukuman Hingga saat ini, tercatat 94
negara telah meratifikasi
Sumber, www:imparsial.org

C. HUKUMAN MATI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH
1) Tujuan Pemidanaan
Dalam istilah bahasa Arab hukuman dikenal dengan kata عقوبة (‘uqūbah) yang berarti siksa atau hukuman, yaitu hukuman atas perbuatan yang melanggar ketentuan Syari’ yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat. Sementara dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata punishment, yang berarti a penalty imposed on an offender for a crime or wrongdoing (hukuman yang dijatuhkan kepada pelanggar kejahatan atau melakukakan kesalahan), sedangkan hukuman menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, adalah siksa dan sebagainya yang dikenakan kepada orang yang melanggar undang-undang dan sebagainya; atau keputusan yang dijatuhkan oleh hakim.
Secara istilah hukuman sebagaimana dikemukakan oleh Abd al-Qadir Audah,
العقوبة هى الجزاء المقرر لمصلحة الجماعة على عصيان امر الشارع
Artinya: Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat, karena adanya pelanggaran-pelanggaran atas ketentuan syara’.

Para ahli hukum Islam mengklasifikasi tujuan-tujuan dari syariat didasarkan kemashlahatan tingkat dharuri (primer), Hajji (skunder), dan tahsini (tersier).
1) Menjamin keamanan dari kebutuhan-kebutuhan hidup (Dharuri).
Adalah segala sesuatau yang diperlukan dan harus ada untuk tegaknya kehidupan manusia. Apabila kebutuhan-kebutuhan ini tidak terjamin, akan terjadi kekacauan dan ketidaktertiban di mana-mana. Kebutuhan hidup yang primer ini (dharuriyat), dalam tradisi hukum Islam disebut de¬ngan istilah al-maqasid al-khamsah, yaitu: agama, jiwa, akal pikiran, keturunan, dan hak milik. Syariat telah menetapkan pemenuhan, kemajuan, dan perlindungan tiap kebutuhan itu, serta menegaskan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengannya sebagai ketentuan yang esensial.
2) Menjamin keperluan hidup (hajjiyat).
Ini mencakup hal-¬hal penting untuk menghindari kesukaran, yaitu berbagai fasilitas untuk penduduk dan memudahkan kerja keras dan beban tanggung jawab mereka. Ketiadaan berbagai fasilitas tersebut mungkin tidak menyebabkan kekacauan dan ketidakter¬tiban, akan tetapi dapat menambah kesulitan bagi masya¬rakat.
3) Mem¬buat berbagai perbaikan (tahsini), yaitu hal-hal yang dapat menghiasi kehidupan sosial dan menjadikan manusia mampu berbuat dan mengatur urusan hidup lebih baik (ke¬perluan tersier) dibenarkan oleh adat kebiasaan dan termasuk dalam kahlaq mulia.. Ketiadaan perbaikan-perbaikan ini tidak membawa kekacauan sebagaimana ketiadaan kebutuhan-kebutuhan hidup; juga tidak mencakup apa-apa yang perlu untuk menghilangkan berbagai kesulitan dan membuat hidup menjadi mudah. Perbaikan adalah hal-hal yang apabila tidak dimiliki akan membuat hidup tidak me¬nyenangkan bagi para intelektual.
Sedangkan tujuan pokok dalam penjatuhan hukuman dalam syari'at Islam ada dua, yaitu pencegahan (زجر) dan pengajaran atau pendidikan(تهذيب).
Pencegahan ialah menahan pelaku agar tidak mengulangi perbuatan jarimahnya atau agar ia tidak terus menerus melakukannya. Disamping itu juga sebagai pencegahan terhadap orang lain agar ia tidak melakukan perbuatan jarimah yang serupa.
Jarimah atau perbuatan-perbuatan yang mempunyai implikasi hukum dapat berupa pelanggaran terhadap larangan atau meninggalkan kewajiban. Dalam keadaan seperti itu boleh jadi hukuman meninggalkan kewajiban jauh lebih berat, karena tujuan penjatuhan hukuman pada meninggalkan kewajiban ialah memaksa pelaku untuk mengerjakan kewajiban.
Sedangkan soal pencegahan, besarnya hukuman harus sedemikian rupa sehingga tercukupi tujuan hukuman tersebut, tidak boleh lebih dari batas yang diperlukan, dengan demikian maka terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman. Tidak heran jika hukuman dapat berbeda-beda terutama pada hukuman ta’zir, sesuai dengan bentuk perbuatannya dan kondisi pelakunya.
Adapun hubungannya denga pengajaran dan pendidikan adalah bahwa hukuman memiliki tujuan utama yaitu mengusahakan kebaikan terhadap diri pelaku, sedemikian rupa sehingga penjauhan diri manusia terhadap jarimah merupakan kesadaran pribadi dan kebenciannya terhadap jarimah, bukan karena takut akan hukuman.

2) Hukuman mati dalam teks Islam
Syekh Wahbah az-Zuhaili membagi hukuman dalam Islam menjadi dua bentuk, yaitu: hukuman akhirat (العقوبة الاخروية) dan hukuman dunia (العقوبة الدنيوية)
Hukuman akhirat merupakan kehendak Allah Swt, adalah hukuman yang benar (haq) dan adil (‘adl), ia dapat berbentuk azab atau ampunan dari-Nya. Adapun hukuman dunia menurutnya ada dua macam pula, yaitu: hudud dan ta’zir.
Hudud adalah hukuman-hukuman yang telah ditentukan bentuknya oleh Syari’ dengan nash-nash yang jelas. Hukuman had menurut Hanafiyah ada lima macam yaitu, had zina, had qadzf, had pencurian, had minum hamr, dan had mabuk. Sedangkan menurut jumhur ulama selain Hanafiyah ada tujuh macam yaitu had zina, had qadzf, had pencurian, had hirabah, had mabuk-mabukan, had qisas, had riddah.
Ta’zir adalah hukuman yang tidak ditentukan oleh syara’, tetapi bentuk dan ketentuannya diserahkan kepada wali al-amr (negara) dengan memperhatikan perbedaan waktu dan tempat.
Hukuman mati merupakan salah satu alternative hukuman yang diberikan kepada para pelaku tindak pidana hudud. Namun demikian hukuman mati hanya diberikan kepada empat pelau hudud, yakni pezina muhson, pembunuhan sengaja, hirobah, dan murtad.
1) Pezina Muhson
Pelaku zina yang sudah kawin (muhson), sanksinya dirajam, yakni dilempari batu sampai mati. Hukuman rajam ini semua ulama sepakat dengan banyak hadits yang mengisyaratkan itu, namun yang mbedakannya adalah apakah sebelum dirajam itu didera atau tidak.
Menurut jumhur Ulama, orang yang harus dihukum rajam itu tidak didera. Sedang menurut al-Hasan al-Bashri, Ishaq, Ahmad dan Dawud, seorang yang pernah menikah dan melakukan zina dengan wanita lain maka sanksi hukumnya jilid kemudian dirajam (dicambuk kemudian dilempari batu). Hukuman tersebut dikenakan pada laki-laki dan perempuan. Karena Islam sangat menghargai kehormatan diri dan keturunan, maka sanski hukum yang sangat keras ini dapat diterima akal sehat. Bukankah secara naluriah manusia akan berbuat apa saja demi menjaga dan melindungi harga diri dan keturunannya. Hukuman rajam ini jika diterapkan, sangat kecil kemungkinannya nyawa terpidana dapat diselamatkan.
Hukuman bagi pezina telah ditentukan oleh al-Qur’an dan Hadist. Bagi pelaku zina ghaoru muhson (yang belum menikah) didasarkan pada QS An-Nur:2,
• •  •                         -
Artinya: perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.

Sedangkan bagi orang yang sudah menikah (muhsan) hukumannya menurut para ahli hukum Islam adalah rajam (dilempar batu) sampai mati. Hukuman dera adalah hukuman had, yaitu hukuman yang sudah ditentukan oleh syara’. Oleh karena itu, hakim tidak boleh mengurangi, menambah, menunda pelaksanaanya, atau menggantinya dengan hukuman yang lain.
Hukuman Zina gair muhsan, selain didera harus diasingkan selama satu tahun, hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, dan Turmuzi.

اان النبي صلى الله عليه الصلاة والسلام خذوعنى قدجعل الله لهن سبيلا البكربالبكر جلد مئة وتغريب امر والثيب بالثيب جلد مئة والرجم بالحجارة

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa pezina gair muhsan, dikenai hukuman dera seratus kali, yaitu ayat al-Qur’an dan hadis di atas, jumhur ulama yang terdiri atas Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad berpendapat bahwa hukuman pengasingan harus dilaksanakan bersama-sama dengan hukuman dera seratus kali. Dengan demikian, hukuman pengasingan termasuk hukuman had, dan bukan hukuman ta’zir. Dasarnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ubadah Ibn Samit, yaitu:
……البكر بالبكر جلد ماءة ونقي سنة…..
Artinya: …..Jejaka dengan gadis hukumannya dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun.
Disamping hadis tersebut, jumhur ulama juga beralasan dengan tindakan sahabat antara lain Sayidina Umar dan ali, yang melaksanakan hukuman dera dan pengasingan ini, dan sahabat-sahabat yang lain tidak mengingkarinya. Dengan demikian maka hal ini bisa disebut ijma’.
2) Pembunuhan Sengaja
Pelaku pembunuhan berencana (disengaja), sebagaimana teks al-Qur’an menyatakan:
     •           
Artinya: Dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya”. (QS. Al-Nisa" [4]: 93).
Orang yang membunuh orang Islam (tanpa hak) harus diqisas (dibunuh juga). Jika ahli-ahli waris (yang terbunuh) memaafkannya, maka pelaku tidak diqisas (tidak dihukum bunuh) tetapi harus membayar diyat (denda) yang besar, yaitu seharga 100 ekor unta tunai yang dibayarkan pada waktu itu juga.

3) Perampokan (al-hirabah)
Al-hirabah adalah perampokan atau pengacau keamanan. Mengenai definisi hirabah ulama berbeda-beda dalam mendefinisikannya namun pada intinya sama. Para ulama fiqh, sebagaimana dijelaskan Wahbah, berbeda pendapat dalam mendefinisikan hirabah. Definisi hirabah menurut Hanafi adalah “ke luar untuk mengambil harta dengan jalan kekerasan yang realisasinya menakut-nakuti orang yang lewat di jalan atau mengambil harta, atau membunuh orang”.
Sedangkan Syafi’iyah definisi hirabah adalah:”ke luar untuk mengambil harta, atau membunuh, atau menakut-nakuti, dengan cara kekerasan, dengan berpegang kepada kekuatan, dan jauh dari pertolongan (bantuan)”.
Menurut Imam Malik, hirabah adalah:”mengambil harta dengan tipuan (taktik), baik menggunakan kekuatan atau tidak”. Golongan Dzahiriyah memberikan definisi yang lebih umum, dengan menyebut pelaku perampokan sebagai berikut: “Perampok/Muhariib adalah orang yang melakukan tindak kekerasan dan mengintimidasi orang yang lewat, serta melakukan perusakan di muka bumi.” Imam Ahmad dan Syi’ah Zaidiyah memberikan definisi yang sama dengan definisi yang dikemukakan oleh Hanafiyah, sebagaimana telah disebutkan.
Hukuman bagi jarimah ini ditegaskan dalam al-Qur’an sebagai berikut:
         •                           
Atinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik[414], atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar”. (Al-Maidah [5]: 33)

4) Pelaku Murtad
Riddah dalam arti bahasa adalah الرُجُوعَ عن الشَّىءِ الى غيره yang artinga kembali dari sesuatu ke sesuatu yang lain. Sedangkan dalam kamus al Munawwir riddah berasal dari kata: رَدَّهُ رُدًّا وَرِدَّةً : دَفَعَهُ صَرَفَهُ yang artinya menolak dan memalingkannya. Landasan hukuman mati untuk orang murtad dijelaskan dalam hadis Nabi:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ عِكْرِمَةَ أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَرَّقَ قَوْمًا فَبَلَغَ ابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ (رواه البخارى)
Artinya: ……dari Ibn Abbas ra. Ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: “barang siapa menukar agamanya maka bunuhlah ia.” (H.R. Bukhari)
Dalam hadits lain disebutkan:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ عَمْرِو بْنِ غَالِبٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا رَجُلٍ قَتَلَ فَقُتِلَ أَوْ رَجُلٍ زَنَى بَعْدَمَا أُحْصِنَ أَوْ رَجُلٍ ارْتَدَّ بَعْدَ إِسْلَامِهِ (رواه أحمد)
Artinya: Dari Aisyah RA.telah bersabda Rasulullah SAW: “Tidak halal darah seorang muslim kecuali orang yang membunuh jiwa sehingga karenanya ia harus dibunuh, atau orang yang berzina dan ia muhshan, atau orang yang murtad setelah tadinya ia Islam”. (H.R. Ahmad)
Dua hadits diatas menjelaskan bahwa murtad termasuk salah satu jenis tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati.
Untuk selain empat hal di atas ada jenis ta'zir yang dikenai hukuman mati, misalnya untuk tindak pidana spionase (mata-mata) dan residivis yang sangat berbahaya.
Oleh karena hukuman mati sebagai hukuman ta’zir ini merupakan pengecualian maka hukuman tersebut harus dibatasi dan tidak boleh diperluas, atau diserahkan kepada hakim, eperti halnya hukuman ta’zir yang lain. Dalam hal ini penguasa (ulil amri) harus menentukan jenis-jenis jarimah yang dapat dijatuhkan hkuman mati.
3) Eksekusi Hukuman Mati
Penetapan pelaksanaan hukuman mati dalam Hukum Pidana Islam sangat beragam tergantung si pelaku yang akan di ekskusi. Untuk lebih jelasnya sebagai berikut:
 Untuk Tindak Pidana Zinah Muhshan
Para ulama sepakat, bahwa hukuman yang dikenakan atas diri pelaku zina muhshan (janda, duda, laki-laki yang masih beristri atau istri yang masih bersuami) adalah wajib dirajam sampai mati. Caranya, orang yang berzina tersebut diletakkan di suatu tempat, diikat atau dikubur setengah badannya lalu dilempari batu.
 Untuk Tindak Pidana Pembunuhan Berencana (sengaja)
Para fuqaha sepakat, bahwa wali korban bisa melaksanakan hukuman pembunuhan terhadap pelaku (qishas), namun dengan syarat harus dengan pengawasan penguasa, sebab dalam pelaksanaan memerlukan ketelitian dan jangan sampai berlebihan.
Dikalangan para ulama tidak ada kesepakatan cara atau teknis pelaksanaannya. Menurut Hanabilah dan pendapat yang sohih dari kelompok hanabilah, qishas pada jiwa harus dilaksanakan dengan menggunakan pedang, baik tindak pidana pembunuhannya dilakukan dengan pedang maupun dengan alat yang lainnya, dan bagaimanapun cara atau bentuk perbuatannya.
Menurut Malikiyah dan Syafi’iyyah, orang yang melakukan pembunuhan harus diqishas atau dibunuh dengan alat yang sama dengan yang digunakan untuk membunuh korban dan cara yang digunakannya.
 Untuk Tindak Pidana Hirabah
Ada dua hukuman mati yang dijatuhkan kepada pelaku hirabah yaitu:
1. Hukuman mati biasa. Hukuman ini dijatuhkan kepada perampok (pengganggu keamanan) apabila melakukan pembunuhan.hukum ini merupakan hukum had bukan merupakan hukum qishas. Oeh karena itu hukuman ini tidak boleh dimaafkan.
2. Hukuman mati disalib. Hukuman ini dijatuhkan apabila perampok melakukan pembunuhan dan merampas harta benda. Jadi, hukuman tersebut dijatuhkan atas pembunuhan dan pencurian bersama-sama, dan pembunuhan tersebut merupakan jalan untuk memudahkan pencurian harta.
 Untuk Tindak Pidana Riddah (Murtad)
Mengenai ketentuan cara hukuman mati untuk orang murtad tidak dijelskan, namun cara pelaksanaan pidana mati dalam Islam ada dua pendapat:
1. Pendapat Abu Hanifah bahwa pidana mati dilaksanakan dengan jalan memenggal leher dengan pedang, atau senjata semacamnya.
2. Pendapat syafi’i dan maliki bahwa pidana mati dilaksanakan dengan berbagai cara, tapi harus mempunyai pembatasan.

D. NILAI-NILAI KEADILAN DALAM HUKUMAN MATI
Prokontra tentang pemberlakuan hukuman mati di negeri kita tidak pernah akan selesai, mengingat perbedaan cara pandang dalam melihat hukuman mati. Namun pada tuilisan ini, penulis tidak bermaksud menyelesaikan pro-kontra. Sebaliknya tulisan ini bermaksud mengungkap nalai-nilai keadilan yang menjadi pokok persoalan pada perdebatan pro-kontra hukuman mati.
Dalam hukum pidana dikenal beberapa teori mengenai tujuan pemidanaan, antara lain, teori absolut (teori pembalasan), teori relatif (teori prevensi) dan teori gabungan. Teori absolut (pembalasan) menyatakan bahwa kejahatan sendirilah yang memuat anasir-anasir yang menuntut pidana dan yang membenarkan pidana dijatuhkan. Teori pembalasan ini pada dasarnya dibedakan atas corak subjektif yang pembalasannya ditujukan pada kesalahan si pembuat karena tercela dan corak objektif yang pembalasannya ditujukan sekedar pada perbuatan apa yang telah dilakukan orang yang bersangkutan.
Teori relatif (prevensi) memberikan dasar dari pemidanaan pada pertahanan tata tertib masyarakat. Oleh sebab itu tujuan dari pemidanaan adalah menghindarkan (prevensi) dilakukannya suatu pelanggaran hukum. Sedangkan teori gabungan mendasarkan jalan pikiran bahwa pidana hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan pada salah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur yang lain maupun pada semua unsur yang ada.
Dalam kasus hukuman mati, di mana Indonesia masuk pada 55 negara yang masih memberlakukan hukuman mati, hukuman mati menjadi salah satu pilihan hukuman. Bagi para pakar hukum Indonesia, hukuman mati memiliki nilai-nilai universal yang tidak bertentangan dengan HAM. Karena pelaksanaan hukuman mati merupakan perintah undang-undangan, sehingga masuk kategori alasan penghapus pidana pembenar (wetterlijk voorshrift).
Membunuh, merajam, melukai bahkan menahan dalam kondisi normal merupakan perbuatan yang melanggar HAM, namun karena dilakukan atas perintah undang-undang maka perbuatan tersebut sah demi hukum.
Hukuman mati bukanlah semata sebagai pembalasan bagi pelaku tindak pidana berat, namun juga sebagai upaya menjaga dan menegakkan HAM. Konsep hifdzu al-nafs sebagaimana dikenal dalam ushul fiqh, berarti menjaga jiwa seseorang dari tindakan yang akan menghilangkan nyawa atau kehormatan seseorang.
Dalam literatur-literatur Arab Islam, HAM dalam pengertian kontemporer belum dikenal, bahkan tidak termasuk dalam “apa yang difikirkan” dalam peradaban Arab maupun peradaban-peradaban lainnya. Istilah al-huquq al-insan al-asasi yang dikenal dalam fiqih modern, belum dikenal pada generasi awal. Istilah ini muncul belakangan setelah jadi kontak Islam dengan Barat pada awal abad XX, kendati demikian, materi dan substansi HAM telah menjadi bahasan Fuqaha, dengan konsep dan istilah tersendiri sesuai dengan khazanah intelektual yang dimilikinya.
Di antara konsep yang relevan dengan HAM adalah rumusan fuqaha tentang al-dharuriyat al-khamsah atau biasa dikenal dengan maqâshid al Syar’i berdasarkan analisi fuqaha, bahwa tujuan syariat adalah memelihara kebebasan beragama (hifz ad-din), memelihara diri atau menjaga kelangsungan hidup (hifz al-nafs),akal (hifz al-‘Aql),keturunan (hifz al-nasl), dan memelihara harta (hifz al-amwal), yakni menjaga hal yang lima.
Pemaknaan al-dharuriyyat al-khomsah ini dalam perspektif HAM dimaknai sebagai berikut:
Hifzhu al-ddin, berarti hak untuk beragama dalam berkerpercayaan, serta mengamalkan ajaran sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu, selain itu, berarti pula bahwa setiap orang berkewajiban memelihara dan melindungi hak orang lain untuk beragama dan berkepercayaan sesuai dengan pilihannya.
Hifzhu al-‘aql berarti hak untuk memelihara dan mengembangkan akal pemikiran. Termasuk dalam pengertian ini adalah hak memperoleh pendidikan, serta hak mendapatkan dan mengekspresikan hasil pendidikan serta hak mendapatkan perlindungan atas berbagai hasil karya dan kreativitas intelektual lainnya.
Hifzhu an-Nafs, adalah hak untuk mendapatkan perlindungan keselamatan jiwa, ini berarti bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan memperoleh kehidupan yang layak, mendapatkan jaminan kesehatan, keamanan dan kesejahteraan.
Hifzhu al-nasl wa al-‘ardl, berarti hak untuk berkelurga, hak memperoleh keturunan (reproduksi), hak betempat tinggal yang layak, serta hak memperoleh perlindungan kehormatan.
Hifzhu al-mâl, adalah hak untuk memperoleh usaha dan upaya yang layak, memperoleh jaminan perlindungan atas hak miliknya dan kebebasan mempergunakannya untuk keperluan dan kesejahteraah hidupnya.
Tentunya dalam menerapkan hukuman mati juga melalui proses hukum acara yang teliti. Audah mensyaratkan tiga hal yang harus diperhatikan dalam memutuskan hukuman. Pertama, ruknu al-syar'i (legalitas), kedua ruknu al-Madi (perbuatan pidana), dan ketiga ruknu al-Adabi (kondisi pelaku).
Apabila memenuhi tiga kriteria yang disaratkan dalam hukum pidana Islam di atas, maka pelaku kejahatan demi hukum harus dikenaui hukuman mati.
E. Penutup
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan beberapa hal di antaranya:
Hukuman mati bukanlah pelanggaran hukum, karena penerapan hukuman mati ditegakkan dalam rangka melindungi lembaga-lembaga kehidupan. Hidup ini merupakan HAM bagi setiap orang, maka negara atas nama hukum melindungi warganya dari peristiwa-peristiwa hukum yang merugikan masyarakatnya.
Dalam Islam hukuman mati, terdapat dalam empat kasus, yaitu yang melakukan zina mukhshan, membunuh dengan sengaja, hirabah dan murtad (keluar dari Islam). Dalam Hukum Islam Juga dikenal hukuman mati untuk ta’zir yaitu apabila hukuman mati tersebut dikehendaki oleh umum, misalnya untuk spionase (mata-mata) dan residivis yang sangat berbahaya.
Semoga hukuman mati bisa diterapkan sesuai dengan maqashid syari'ahnya.




DAFTAR PUSTAKA
A’udah, Abdul Qadir, At-Tarikh al-Jina’iy al-Islami Muqaranan bi al-Qanun al-Wahi’y, II, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1994.
Al-Bukhari, Muhammad ibn Isma’il, Shahih Bukhari, jihad, CD. Hadits Syarif.
Dahlan, Abdul Aziz, ed., Ensiklopedi Hukum Islam 6, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2001.
Darmaputera, Eka, Hukuman Mati Pro-Kontra, (Sinar Harapan 4 Oktober 03)
Hamzah, Andi, dkk., Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan Masa Depan, Jakarta: Balai Pustaka, 1985.
Hamzah, Andi, Hukum Pidana Mati di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999).
Hosein, Nadhir, KUHP dan Syariat Islam, dalam www:reformasikuhp.org, 7 April 2009.
Husein, Syahruddin, Pidana Mati Menurut Hukum Pidana Indonesia, Digitized by USU digital library, ©2003,
Imam Ahmad, Musnad Ahmad,
Jabiri, Muhammad Abed, Ham Antara Partikularasi dan Universalitas dalam Syura: Tradisi, Partikularitas dan Sekularitas, Yogyakarta, LKIS, 1997.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2003
Mulya Lubis, Todung dan Lay, Alexander, Kontroversi Hukuman Mati, (Jakarta: Kompas, 2009)
Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: pustaka Progresif, 1996.
Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. 32. Lebih jelas bisa dilihat dalam .
Neufeldt, Victoria, Webster’s New Word Dictionary, New York: Macmillan company, 1996.
Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi III, Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Rafiuddin, Moh, Pro ontra Hukuman Mati (Suara Merdeka, 10 Oktober 2007).
Rasyid, Chainur, SH. Prof., Dasar-dasar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2000.
Rifai, Edy, Hukuman Mati dari Masyarakat Tradisional hingga Modern (www.kompas.com, 30 Oktober 2007).
Roger Hood, The Death Penalty: A World-wide Perspective, (Oxford:Clarendon Press, 1996)
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid Analisa Fikih Para Mujtahid, Jakarta: Pustaka Amani, 2007.
Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Beirut Dar al-Fikr, 1980.
Santoso, Topo, Perlindungan HAM dalam Hukum Pidana (www: pemantauperadilan.com)
Sholehudin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Ide Dasar Doble Track System & Implementasinya, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004,
Suryadinata, Endang, Paradiks Hukuman Mati (www:radartimika.com/10-7-08)
Syatibi, Abi Ishaq, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari'ah (Beirut: Dar al-Fikr, tt.).
www:imparsial.org/publication/download.php/hukum_mati_ind.pdf,
Zuhailiy, Wahbah, al-Fiqh al-Islam wa al-Dillatuh, Damaskus: Daar al-Fikr, 1997
Zuhaily, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus: Dar Al-Fiqr, 1989.

Dinamika Pemikiran Ushul Fiqh Imam Ghozali

Oleh : Imam Yahya

Pengantar

Dalam wacana intelektual Islam, Abu Hamid al-Ghazali (150-505 H / 1059-111 M, selanjutnya disebut Ghazali dikenal sebagai hujjat al-Islam wa al-Muslimin, karena dedikasi dan karya-karyanya dalam mengembangkan pemikiran Islam di berbagai bidang. Lebih dari lima puluh kitab hasil karyanya tersebar dalam katalogisasi kitab klasik, baik bidang teologi, filsafat, tasawuf maupun ilmu Fiqih.1) Master piece-nya dalam bidang tasawuf, ikhya ulum al-din menjadi rujukan primer dalam kajian-kajian ilmu tasawuf para ilmuan belakangan. Begitu pula al-munqiz min al-dalal, salah satukarya otobiografinya sekaligus memuat pandangan teologi Ghazali selalu menghiasi ilmu kalam.

Sedang pandangannya tentang filsafat terangkum dalam maqashid al-falasifah (pemikiran kaum filosuf) yang mengkonstruksi pemikiran-pemikiran ibn Sina dan al-Farabi dan tahafud al-falasifah yang penuh dengan kontroversi, sempat diklaim sebagai biang mundurnya stagnasi pemikiran Islam di dunia muslim. Begitu juga dalam ilmu fiqih -yang akan dikaji dalam tulisan ini- terdapat empat karya besar yang mempresentasikan pemikiran ushul fiqh Ghazali. Di kalangan ilmuan, al-Mustasyfa min ilm ushul dipandang sebagai karya besarnya dalam ushul fiqh. Ibn Khaldun dalam Muqaddimahnya sebagai mana dikutip oleh Ibrahim Sulaiman, memasukkan al-Mustasyfa min ilm ushul karya Imam Juwaeni al-Haramain, kitab al-Mu’tamad karya Abu Husain al-Basyiri al-Mu’tazali, serta al-Umd karya Qadi Abdul Jabar.2)

Karya lain dlaam ilmu ushul, ada beberapa tipologi pemikiran hukum yang dikembangkan oleh al-Ghazali dalam dua kitabnya yang pertama.3) Al-Mankhul min ta’liqat al-ushul dan syifaa al-ghalil fi bayani al-syibhi wa al-mukhayah wa masalik al ta’lil.

Dari tiga kitab karyanya dalam ilmu ushul, ada beberapa tipologi pemikiran hukum yang dikembangkan oleh al-Ghazali dalam dua kitabnya yang pertama (al-Mankhul dan syifaa alGalil), tipologi pemikiran hukumnya mengikuti corak pemikiran hukum gurunya, Imam Haraimain al-Juwaeni. Sedangkan pada al-Mustasyfa. Ghazali menjadi tokoh ushul yang mandiri yang menembakkan ilmu ushul yang filosofis.

Makalah ini mencoba membuat anatomi konteks sejarah sosial yang mencakup tipologi pemikiran hukum Ghazali dengan dua ramuan; bagaimana bentuk tipologi hukum Ghazali dalam karyanya dan mengapa terjadi dinamika dalam pemikiran hukum Ghazali.

Gagasan-gagasan Ilmu Ushul Fiqh

Karya-karya Ghazali telah banyak diedit oleh banyak para ulama, baik ulama yang sezaman maupun ulama belakangan. Fenomena ini merupakan indikasi bahwa karya-karya Ghazali mempunyai makna yang sangat berarti bagi kalangan intelektual. Bahkan belakangan muncul karya-karya ilmiah berkenaan dengan rihlah ilmiah selama Ghazali hidup, seperti yang ditulis oleh Abdurrahman Badawi.

Beberapa karya yang telah diedit, dielaborasi atau diringkas antara lain dalam bidang ushul fiqh. Dari empat karya ushul fiqh Ghazali, hanya tiga buku yang sempat diperbanyak oleh para penulis muslim, yakni al-Mankhul, Syifa al-Galul, dan al-Mustasyfa min Ilm al-Ushul.

Al-Mustashfa min Ilm al-Ushul

Sebagai salah satu karya besar Ghazali, kitab ini ditulis pada masa akhir hayatnya, yakni setelah Ghazali kembali dari Baghdad ke temapt asalnya, Tus. Meskipun sebelum sampai Tus, Ghazali lebih dulu merantau Naisabur.25) Diberbagai tempat perantauannya selama di Baghdad, Ghazali banyak mempelajari ilmu filsafat, khususnya mengkaji filsafat Ibn Sina dan al Farabi, serta karya-karya Aristoteles. Baginya filsafat merupakan salah satu metode untuk mencari kebenaran yang rasionalis. Namun setelah Ghazali mendalami filsafat secara penuh, Ghazali memberikan kritik-kritik tajam terhadap filosuf yang kerangka fikirnya melenceng, dengan karyanya Maqhashid al-Faiasifah dan Tahaful al-Falasifah.

Dengan latar belakang filsafat yang mapan, mainstream pemikiran Ghazali bertambah dinamis. Dalam bidang pemikiran hukum Islam (ushul fiqh), warna filsafatnya lebih dominan bila dibandingkan dengan sebelum Ghazali bergelimang dengan ilmu filsafat. Corak kitab al-Mustashfa banyak dipengaruhi oleh filsafat.26) Bahkan dalam satu tulisannya Ghazali menyatakan barang siapa yang tidak menggunakan mantiq, maka ilmunya tidak tsiqah (tajam).

Sistematika penulisan kitab al-Mustashfa min ilm Ushul Ghazali dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu : tsamrah (al ahkam), al mutsmir (adillar al-ahkam), turuq al-istismar (wajhu al-isridlal), dan al-mustatsmir (al-mujtahid). Empat pokok kajian yang ada dalam al-Mustafshfa, ia disebut al-aqtab al arba’ah.

Dalam qatb yang pertama (al-tsamrah) ini berisi tentang hukum wadh’i, taklift rukhshah, azimah dan berbagai permasalahan yang terkait. Yang kedua (al-mutsmir), meliputi pembahasan dasar hukum al-kitab, as-Sunnah dan ijma’. Sedangkan untuk al-qutb yang ketiga berisi tentang cara-cara istidlal. Atau dengan kata lain bagaimana sebuah hukum itu dibuat dielaborasi dari dalil-dalil yang pasti, dengan dua cara; pertama dengan cara kebahasaan dan kedua dengan memahami konteks al-isyarah, al-mafhum dan lain-lain. Dan yang terakhir adalah tentang al-mustasmir. Qutb ini berisi ijtihad mujtahid dan lain-lain yang berkaitan dengan ijtihad.27)

Sistematika penulisan yang demikian ini sesuai dengan tahapan aspek-aspek kajian dalam ushul fiqh yang harus diketahui oleh orang yang akan melakukan pencarian hukum (istinbath al-ahkam). Disini keunggulan Ghazali dalam menyusun materi kajian dalam sebuah kitab ilmiah. Bahkan Wael B. Haliaq sangat kagum dengan kajian yang dilakukan Ghazali dalam menjelaskan ushul fiqh yang sangat sistematis. Dalam sebuah tulisannya Hallaq pernah menyatakan bahwa Ghazali adalah tokoh pendiri ilmu ushul al-fiqh ternyata karyanya al-Risalah sudah banyak ditamu oleh para pengikutnya.28)

Memang dapat dimaklumi bila dalam kitab al-Mustashfa Ghazali kelihatan lebih independen dari pengaruh luar, karena ia sudah menjadi penulis yang mandiri (Imam Mustaqillan) yang mempunyai kecenderungan kritis. Imam Haramain yang pernah ikut membentuk pola pikir Ghazali juga mulai ditinggalkan. Ghazali ingin mencari trade mark sendiri sesuai dengan kualitas dan integritas kepribadiannya.

Dari keterangan diatas dapat dimengerti bahwa kitab al-Mustashfa ini mencerminkan nilai-nilai pemikiran al-Ghazali yang cerdas. Untuk itu dalam kitab ini Ghazali tidak mengambil atau mengintrodusir ide-ide para ulama pendahulunya. Beberapa pola yang mengindikasikan kepribadiannya dalam kitab ini adalah penggunaan beberapa kata yang dipakai dalam mengungkapkan kepribadiannya dalam kitabini adalah penggunaan beberapa kata yang dipakai dalam mengungkapkan pendapat dirinya; wa al-mukhtar indana (pendapat yang terpilih menurut saya), wa shalih indana (pendapat yang benar menurut saya), dan wa hadza ghairu mardiyyin indana (pendapat ini yang menurut saya tidak layak).

Penutup

Mengakhiri tulisan ini, ada beberapa catatan akhir yang mesti harus diperhatikan dengan pokok masalah yang diangkat. Pertama, dua tulisan Ghazali yang pertama, al-Mankhul dan Syifa al-Ghalil, Ditulis sebelum Ghazali memperdalam ilmu filsafat, yakni sebelum Ghazali mengadakan rihlah ilmiah di Universitas Nidhamiyah di Baghdad. Dengan kondisi Ghazali yang masih pemula maka dua kitab yang pertama kali dikarang lebih diharapkan untuk mempermudah dalam mengkaji ilmu ushul fiqh, yang diperoleh dari para ulama ushul terdahulu. Untuk itu bahasa yang dipakai juga menggunakan bahasa yang mudah dan lugas. Bahkan dalam kitab al-Mankhul, Ghazali menggunakan sistematika penulisan dengan cara tanya jawab yang dijawab sendiri oleh Ghazali.

Disamping itu Ghazali sebagai murid Imam Haramain masih banyak mengintrodusir apa yang pernah disampaikan Imam Haramain khususnya dalam hampir sama dengan al-Burhan fi Ilm ushul fiqh. Materi yang dibahas dalam al-Mankhul dari dua jilid, dibagi menjadi tujuh kitab yaitu : kitab pertama tentang al-bayan (alkitab dan assunah) yang meliputi pembahasan tentang amr, hani, amm, khash, af’al Rasul, Syari'ah, ta’wil serta hal-hal yang berkaitan dengan ijma’. Ketiga tentang qiyas, yang pada kitab syifa al-Ghalil dijelaskan dengan tuntas yang meliputi lima syarat-syarat qiyas versi Ghazali. Keempat adalah istidlal. Dilanjutkan dengan kitab tentang tarjih dan kitab al-Ijtihad. Pada kitab ketujuh yang terakhir, Ghazali mengakhiri dengan persoalan fatwa.29)

Sedangkan untuk al-Mustashfa min ilm al-ushul dikarang oleh Ghazali yang sudah tercurahkan yakni telah mendalami ilmu filsafat. Disini perlu dijelaskan bahwa disaat mendalami ilmu filsafat, bukan berarti Ghazali sama sekali meninggalkan disiplin ilmu-ilmu yang lain seperti tasawuf, ilmu fiqih maupun yang lain. Karena sebelum Ghazali belajar filsafatpun, Ghazali kecil sudah belajar ilmu fiqh maupun ilmu tasawuf.30) Merupakan suatu kewajaran apabila Ghazali sangat antusias untuk belajar filsafat yang sangat beragam, juga karena tuntutan ilmiah karena filsafat dalam Islam pasca ibn Sina (w. 1037) mengalami kemunduran,31) dan baru 1092 Ghazali menulis percikan tulisan tentang filsafat.

Faktor lain yang mendukung munculnya gagasan baru Ghazali juga karena sudah tidak ada tokoh yang paling berpengaruh pada Ghazali, Imam Haramain. Dengan demikian kesempatan Ghazali untuk merefleksikan ide-idenya dalam ushul fiqh menjadi sebuah kenyataan. Pola yang dikembangkan oleh Ghazali berbeda dengan karya-karya sebelumnya, sehingga Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman maupun Muhammad Hasan Haitu memasukkan al-Mustashfa dalam rumpun ilmu ushul fiqh yang empat.32