Total Tayangan Halaman

Selasa, 18 Desember 2012

UNIFIKASI KALENDER HIJRIYAH DI INDONESIA (MENGGAGAS KALENDER MADZHAB NEGARA)



Oleh: Imam Yahya
(Dosen Fiqh Siyasah Fak Syariah IAIN Semarang)

A.   Pengantar
Penyatuan kalender Hijriyah merupakan isu reguler yang biasanya dibahas pada waktu menjelang datangnya bulan Ramadlon, syawal, dan Dzul Hijjah. Pada awal tiga bulan inilah umat butuh kapan datangnya tanggal satu berkaitan dengan pelaksanaan ibadah.
Kebutuhan akan kepastian tanggal bulan Hijriyah inilah, menandakan bahwa sesungguhnya kalender hijriyah menjadi kebutuhan azazi bagi umat Islam. Umat sering dihadapkan dengan beragamnya pendapat para tokoh Islam yang sering beragam, bahkan terkadang saling menyalahkan antara satu tokoh dengan tokoh lainnya. Keragaman ini menjadi rahmat manakala disikapi saling memahami substansi perbedannnya, sebaliknya menjadi laknat bila menjadikan saling menyalahkan.
Substansi perbedaannya adalah perselisihan madzhab hisab dan madzhab rukyat dalam menentukan awal bulan hijriyah.  Perselisihan ini menjadi persolan klasik yang selalu berkelit berkelindan dalam pusaran konflik umat. Berbagai upaya telah dilaksanakan baik oleh masyarakat maupun mediasi yang dilakukan oleh negara khususnya Badan Hisab Rukyat di bawah naungan Kementerian Agama RI. Namun demikian setiap tahun BHR bersidang dan setiap tahun itu pula pertentangan semakin berkembang.
Perkembangan penetapan tahun hijriyah ini tidak saja menjadi persoalan fiqh dan astronomi yang mempunyai kaidah-kaidah religiusitas dan scientifik, tetapi juga menjadi konflik politik di tengah masyarakat Indonesia. Awal bulan hijriyah yang seharusnya dirayakan dengan ceria, terkadang justru kita umat Islam mengawali dengan saling ejek, baik yang bermadhab hisab maupun rukyah. Tahun baru Hijriyah seharusnya menjadi tonggak kekuatan dan kemajuan umat Islam dalam menyongsong kehidupan yang penuh damai dan sejahtera. Mungkinkah tahun baru Hijriyah menjadi tetenger waktu bagi umat dalam kehidupan sehari-hari.

B.   Tahun Hijriyah
Dalam sejarah Islam, tahun baru hijriyah adalah tahun yang dimulai sejak hijrahnya nabi Muhammad SAW. Penggunaan peristiwa hijrah Nabi ini tentunya mempunyai arti penting bagi perjalanan Islam dalam sejarah klasik. Hijrah terkendung maksud bersatunya umat dalam sebuah komunitas politik yang mempunyai visi sama yakni tegaknya Islam di Madinah.
Perkembangan Islam setelah hijrah dari Makkah ke Madinah menunjukkan perkembangan yang signifikan. Salah satu yang menjadi indikator adalah terbitnya piagam madinah yang oleh para sejarawan muslim dianggap sebagai tomnggak berdirinya negara Islam Madinah yang progresif dan transformatif. Progresif karena di tengah perkembangan umat Islam yang meriah, piagam madinah memberikan ruang bagi ppara pengikut non-Islam tetap tumbuh dan berkembang secara teologis, meski secara politis harus tunduk pada nilai-nilai negara Islam Madinah.
Negara Madinah tidak serta merta mengusir para kelompok non-Islam keluar dari kekuasaannya. Bahkan di antara mereka yang non-Islam juga mempunyai hak dan kewajiban sama dengan warga negara yang beragama Islam. Padangan ini yang kemudian dinamakan transfoirmatif karena transformasi nilai-nilai ajaran Islam yang tidak hanya berdasarkan dpada teks ajaran, tetapi ada interpretasi yang mendalam dalam mengaktualisasikan substansi ajaran Islam.
Semangat  inilah yang kemudian oleh para sahabat terutama Umar bin Khattab dijadikan momentum tonggak awal tahun hijriyah. Semangat hijrah dijadikan sebagai awal tahun yang membedakan dengan tahun masehi yang menghitung awal kelahiran Isa al-masih sebagai awal perhitungan tahun Masehi.
Pada masanya, tahun hijriyah tidak saja diberlakukan dalam pelaksanaan ibadajh, namun tahun Hijriyah juga menajadi kalender umum (civil calender) yang dipergunakan dalam menentukan berbagai persoalan kehidupan umat. Hampir semua perikehidupan masyarakat kala itu, khususnya tata laku budaya, berpatok kuat pada sistem penanggalan.
Penggunaan tahun baru sebagai tahun sipil bahkan telah dikenal ke berbagai belahan dunia sesuai dengan persebaran umat Islam di se antero bumi ini. Di Jawa yang dikenal dengan berbagai kerajaan Jawa salah satunya kerajaan Mataram, tahun jawa menjadi salah satu tahun yang berlaku di tengah masyarakat Mataranm pada waktu itu. Bahkan sang raja, Sultan Agung menetapkan tahun hijriuyah menggantikan tahun Jawa Saka dengan hitungan tahun hijriyah.

C.   Tahun Hijriyah Sebagai Madzhab Negara Masa Sultan Agung

Sultan Agung, raja Mataram Islam yang hidup pada tahun  1613-1645, merupakan Raja Mataram Islam yang memberikan keteladanan akan kearifan, toleransi, pluralisme serta sosok negarawan sejati. Kepercayaan Hindu yang sudah mendarah daging dalam kerajaan Jawa, tidak menutup hati sultan agaung untuk menapresiasi Islam yang datang belakangan. Islam di tanah Jawa belakangan, pelan tapi pasti menggeser agama dan kebudayaan Hindu. Salah satu apresiasi yang paling monumental adalah penyesuaian kalender Jawa Saka yang semula mereduksi sistem penanggalan syamsyiyyah direvii dengan menggunakan perhitungan hijriyah yang menggunakan sistem qomariyah.
Dalam sistem penanggalan Jawa atau yang biasa disebut tahun Saka, mempunyai sistem perputaran waktu khusus (siklus) yaitu Windu, Pasaran, Selapan dan Wuku. Setelah Islam masuk maka banyak istilah yang diubah menjadi istilah Islam.
Meski Sejak saat itu kalender Jawa versi Mataram menggunakan sistem kalender komariah (lunar) yaitu perhitungan penanggalan berdasarkan peredaran bulan, namun tidak langsung menggunakan angka tahun Hijriyah (1035 H). Angka tahun Saka tetap diteruskan demi menghargai eksistensi tahun Saka. Ketika Sultan Agung mengambil kebijakan konversi tahun Saka ke tahun Jawa Islam, tahun saka menunjukkan angka tahun 1547 Saka, untuk mengakomodasi eksistensi tahun Saka maka diteruskan menjadi tahun 1547 Jawa Islam.
Dalam catatan Izzudin, satu Windu = 8 tahun, sedangkan nama-nama tahun pada satu Windu adalah tahun pertama disebut Wawu, kedua (Jimakir), ketiga (Alip), keempat (Ehe), kelima (Jimawal), keenam (Je), ketujuh (Dal) dan kedelapan (Be).
Untuk hitungan pasaran, satu siklus pasaran ada 5 hari. Lima hari pasaran itu adalah 1 (legi), 2 (pahing), 3 (pon), 4 (wage), 5 (kliwon). Dari beberapa hitungan pasaran akan terakumulasi dalam hitungan Salapanan. Untuk satu selapanan adalah 7 siklus pasaran tersebut yaitu dari 7 X 5 = 35 hari. Misalnya tanggal 1 Januari 2013 untuk hari pasarannya adalah Selasa kliwon, selapannya adalah 35 hari lagi yaitu 5 Februari 2013 yang hari pasarannya adalah sama yaitu Selasa kliwon. Berbeda dengan wuku, tidak menghitung hari tetapi hitungan minggu. Jadi satu wuku = 30 minggu.
Kalender Jawa Islam atau kalender Sultan Agung, nama-nama bulan diintrodusir dari nama-nama bulan Hijriyah, meski ada sedikit perubahan disesuaikan dengan konteks masyarakat Jawa pada saat itu. Nama-nama bulan tersebut adalah : Sura (Muharrom), Sapar (Shofar), Mulud (Robiul awal), Bakda Mulud (Robiul tsani), Jumadilawal (jumadil awal), Jumadilakhir (jumadil akhir), Rejeb (Rojab), Ruwah (sya’ban), Pasa (ramadlon), Sawal (syawwal), Dulkangidah (dzul qaidah), Besar (dzul qaidah besar).
Penamaan ini lebih menyesuaikan dengan peristiwa-peristiwa sejarah pada bulan-bulan dimaksud, sebagai upaya membumikan kalender Jawa Islam dalam konteks soaial masyarakat Jawa yang Islami. Sebagai contoh, Syuro yang dijadikan ganti dari Muharrom karena terkandung maksud bahwa pada tanggal 10 (asyrah), ada peristiwa tanggal 10 Syura yang dirasionalisasikan sebagai peringatan meninggalna cucu Nabi, Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Begitu juga dengan Maulud misalnya, sebagai upaya memperingati 12 Robiul awaal di mana Nabi Muhammad SAW dilahirkan. Pembuatan Kalender Jawa Islam itu sekaligus juga untuk merangkul seluruh rakyat Jawa untuk menyatu di bawah kekuasaan Mataram.
Upaya yang dilakukan tidak saja berdampak pada eksistensi politik Sultan Agung di kerajaan Mataram, namun juga sebagai momentum penyatuan sistem penanggalan di penjuru kerajaan Mataram. Titah raja menjadi undang-undang yang harus dipatuhi oleh rakyatnyha.
Dalam perspektif studi Islam, apa yang dilakukan Sultan Agung merevisi penanggalan Jawa dengan penanggalan hijriyah yang didesain akulturatif, merupakan strategi jitu dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Raja sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara mempunyai pengaruh yang kuat dalam proses Islamisasi dan Pribumisasi Islam sebagai kekuatan politik besar di Indonesia.
Untuk melihat praktek konversi penanggalan Islam ala Sultan Agung, ada teori politik Islami yang ditawarkan oleh Bahtiar Effendi. Pendekatan ini akan mencoba mendasarkan pada salah satu teori yang dikembangkan oleh CAO Van Nieuwenhuijze pada pertengahan 1960, yakni dekonfessionalisasi, di mana Islam tidak harus menjadi aturan Islam yang normatif konfensional, tetapi nilai-nilai keislaman seperti nama tahun dan bulan jhijriyah dimasukkan pada kelompoknya (Effendy:2000).
Teori dekonfessionaliasasi ini lebih kepada pola memperluas penerimaan umum, mencakup semua kelompok yang berkepentingan demi kemaslahatan bersama. Konsep ini menawarkan penjelasan konstruktif mengenai politik antagonis antara Islam dan Negara. Sultan Agung melakukan konversi bukan karena islamisasi Jawa semata, tetapi merupakan kemenangan politik Islam yang didukung oleh rakyat. Kekuatan politik Islam inilah yang pada saat itu dijadikan Sultan agung sebagai upaya menyusun kekuatan menentang politik Hindia Belanda.
  
D.  Unifikasi perlu Keputusan Politik
Keputusan Sultan Agung dalam memuluskan sistem penanggalan Jawa Islam di Indonesia ini, bisa dijadikan sebgai tonggak dalam merumuskan unifikasi  penanggalan hijriyah pada masa sekarang ini.Ummat sudah lama menunggu terbitnya penanggalan hijriyah yang permanen. Tidak saja bagi kepentingan ibdah tetapi juga untuk kepentingan sipil sebagaimana waktu Sultan Agung berkuasa.
Dalam buku terbarunya Astronomi Memberi Solusi Penyatuan Umat, Professor Astonomi dan Astrofisikan LAPAN, Prof. Dr. Thmas Jamaluddin menyatakan, unifikasi kalender hijriyah bukanlah sesuatu yang sulit, konsepnya mudah asalkan ada kebersamaan dan kesepakatan. Selagi syarat itu belum dipenuhi bisa jadi unifikasi kalender hijriyah menjadi sesuatu yang impossible (Thomas: 2012).
Unifikasi kalender hijriyah dibutuhkan tiga syarat: (1) ada otoritas tunggal yang menjaga sistem kalender, (2) ada kriteria yang disepakati, dan (3) ada batas wilayah yang jelas. Dengan mewujudkan 3 hal tersebut unifikasi kalender akan segera terbentuk dalam waktu yang singkat.
Untuk otoritas tunggal, mestinya umat Islam sudah mensepakati Kepala Negara dalam hal ini yang berkompeten adalah Menteri Agama sebagai pemegang otoritas tunggal. Kaidah fiqh menyatakan bahwa hukmul hakim ilzamun wa yarfau khilaf, hukum penguasa bersifat tetap dan menyelesakan berbagai sengketa. Meski dalam beberapa hal belum sepenuhnya dilaksanakan di tingkat masyarakat.
حُكْمُ الْحَاكِمِ فِي مَسَائِلِ اْلإِجْتِهَادِ يَرْفَعُ الْخِلاَفَ
Artinya: “Keputusan hakim dalam ijtihad dapat menghilangkan persengketaan.” (As-Syuyuthi: Tt).

Aplikasi kaidah ini adalah apabila dalam suatu kasus penentuan hukum, hakim menetapkan hukum atau keputusan yang dianggap lebih kuat, maka pihak-pihak lain tidak boleh mengingkari keputusan hakim tersebut.
Syamsul Anwar dalam tulisan tentang unifikasi kalender mensyaratkan bahwa kaidah ini berlaku manakala penguasa bersifat adil memberi kepuasan kepada semua pihak. Sungguh sangat indah mestinya apabila putusan hakim itu melegakan semua fihak. Tetapi itulah sifat putusan hakim yang bersifat umum, memaksa dan memberikan sangsi (Anwar: 2012).
Kedua adalah adanya batas wilayah yang jelas. Konsep wilayatul hukmi (menganggap NKRI sebagai satu wilayah hukum) diterima oleh semua ormas Islam pelaksana hisab rukyat di Indonesia. Matla global tidak mungkin diterapkan karena secara astronomis bertentangan dengan ilmu astronomi.
Dalam konteks nation state, konsep wilayatul hukmi menjadi sangat penting mengingat konteks negara sekarang ini berbeda dengan konsep negara Madinah pada zaman klasik. Realitas nation state ini tidak saja berkaitan dengan politik kekinian, tetapi sejarah Islam menyatakan hadits quraib sangat penting untuk dijadikan pedoman dalam merumuskan dan merealisasikan hadits quraib di Indonesia ini.
Dalam fiqh siyasah, ketaatan kepada pemimpin adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan bernegara. Bahkan Sayyidina Ali sebagaimana ditulis dalam Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, enam puluh tahun bersama pemimpin yang dholim lebih baik daripara semalam tanpa pemimpin (Mawardi:1960).
Dan ketiga, kesepakatan terhadap kriteria bersama. kesepakatan ormas-ormas Islam dengan kriteria “2-3-8”, yaitu ketinggian hilal minimal 2 derajat dan jarak bulan-matahari minimal 3 derajat, atau umur bulan 8 jam. Kesepakatan itu kemudian ditegaskan lagi pada September 2011. Kesepakatan terakhir adalah Musyawarah Nasional Hisab Rukyat (Penentuan Awal Bulan Qamariyah) Rabu 25 April 2012 di Kementerian Agama berhasil merumuskan kesepakatan untuk mewujudkan kalender Islam tunggal dengan kriteria bersama yang disepakati.
Kesepatakan terakhir diikuti hampir 50 peserta dari seluruh organisasi sosial keagamaan di Indonesia serta beberapa pesantren yang konsen dalam pengembangan ilmu falak. Secara umum berikut kutipan keputusan yang dijadikan untuk menyatukan pendapat para ahli falak menuju terujudnya unifikasi kalender di Indonesia.
  1. Ada kesadaran bahwa keseragaman takwim Islam Indonesia (untuk penentuan awal bulan Qamariyah selain awal bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijjah)  adalah sebuah kebutuhan bersama yang perwujudannya membutuhkan proses untuk mendekatkan pandangan dan metode yang bisa disepakati bersama.
  2. Untuk menuju kesatuan penetapan awal bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijah dibutuhkan 3 prasyarat yang harus dipenuhi, yaitu: 1) pemberian dan pengakuan otoritas kepada lembaga tertentu (MUI sejauh ini memberikan otoritas tersebut kepada Kementerian Agama RI); 2) adanya kriteria yang disepakati; dan 3) adanya wilayah pemberlakuan hukum;
  3. Sejauh ini belum ada kesepakatan butir kedua, yaitu mengenai kriteria awal bulan qomariyah. Untuk menuju ke sana, pihak-pihak yang hadir dalam forum setuju untuk membentuk tim kecil perumus kriteria yang terdiri dari perwakilan ahli hisab rukyat ormas dan instansi terkait, dengan difasilitasi oleh Kementerian Agama dan supervisi pimpinan ormas.
  4. Untuk menindaklanjuti kegiatan ini, Munas ini mengamanatkan langkah-langkah konkrit sebagai berikut:
    • Merevitalisasi badan yang selama ini menangani hisab dan rukyat (BHR) agar lebih legitimated sehingga keputusannya mempunyai daya ikat kepada ormas yang diwakilinya.
    • Melakukan tindak lanjut kajian secara intensif untuk melakukan upaya pendekatan di wilayah pandangan dan metode sehingga tercapai satu kriteria bersama  dengan melibatkan pakar dan fuqoha.
    • Melakukan penelitian observasi hilal secara kontinyu untuk kepentingan kriteria penetapan awal bulan qomariyah.
    • Mengadakan musyawarah bersama secara intensif untuk menetapkan Takwim secara musyawarah mufakat.
  5. Selama kesatuan takwim itu belum tercapai, semua pihak hendaknya bisa menahan diri untuk menjaga kemaslahatan umat dengan mengedepankan toleransi.
  6. Kepada perwakilan-perwakilan ormas diminta dapat membawa pesan upaya penyatuan Takwim Islam Indonesia ini dalam forum pengambilan keputusan hukum tertinggi di masing-masing ormas.
  7. Perlu memperbanyak frekuensi dialog/silaturahmi antar pimpinan/tokoh ormas yang dapat difasilitasi Kementerian Agama.
  8. Perlu melakukan kaderisasi bersama antar ormas untuk mendalami kompetensi Astronomi.
  9. Membuat kalender Islam tunggal yang disepakati antar ormas Islam.

Prasyarat inilah yang sesungguhnya memberikan PR bagi kita semua para peminat ilmu falak untuk diujudkan dalam dunia nyata di negeri yang oleh syamsul Anwar sebagai masa dimana Peradaban Tanpa Kalender Unifikatif.
Penulis meyakini tiga prasayarat tersebut bisa diwujudkan manakala para pemimpin di Indonesia ini melakukan kajian ulang sekaligus merefleksikan ulang beberapa pokok-pokok fikiran yang selama ini mendayut dalam benak fikiran umat Islam di Indonesia, salah satunya adalah kontekstualisasi teks.
Catatan Prof Thomas, bahwa ilmu pengetahuan bertugas untuk merasionalisasikan teks-teks qauliyah, nampaknya sesuai dengan qaidah al-nushush mutanahiyah wal waqai ghairu mutanahiyah, nash itu bersifat selesai sementara peristiwa itu tidak akan selesai, patut direnungkan. Teks-teks tentang hilal (al-Baqoroh:189) misalnya tidak ada batasan berapa besar hilal yang dirumuskan secara jelas. Seehingga persoalan besaran hilal bersifat ijtihadiyah, yang bisa kapan saja dan di mana saja dilakukan oleh para ulama. Persoalannya adalah ijtihad jamai yang digagas oleh Yusuf Qardhawi, sekaran ini masih jauh dari panggang. Wallohu A’lam bis Showab.  







E.    Daftar Pustaka
Anwar, Syamsul, Peradaban Tanpa Kalender Unifikatif: Inikah Pilihan Kita? www.muhammadiyah.or.id/
Azhari, Susiknan, Revitalisasi Hisab Rukyat di Indonesia (Al-Jamiah, UIN Yogyakarta, Vol 65/IV/2000.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. PT. Ichtiar Baru van Hoeve. Jakarta. 2001.
Hambali, Slamet, Ilmu Falak I, Semarang, 1998.
Hitti, Philip K. History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005.
Izzudin, Hisab Rukyat Menghadap Kiblat (Fiqh Aplikasi Praktis, Fatwa dan Software) Pustaka Riski. Semarang. 2012.
Izzudin, Ilmu Falak Praktis Metode Hisab Rukyat Praktis dan Solusi Permasalahannya, Pustaka Riski. Semarang. 2012.
Jamaluddin, Thomas, Prof. Unifikasi Kalender Islam Nasional, Regional, dan Global Mudah, Asal Mau Bersepakat, (T.Djamaluddin.blogspot.com, Mei 2012).
Purwadi, Dr., M.Hum. Sistem Tata Negara Kerajaan Mataram dalam Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta. Vol. 4. No. 1. Maret 2007 Jurnal Konstitusi..
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 1998.