Imam Yahya dan Moh Adnan
A. Pendahuluan
Hak asasi manusia atau biasa disingkat HAM merupakan sebuah hal yang menjadi keharusan dari sebuah negara untuk menjaminnya dalam konstitusinya. Melalui deklarasi universal ham 10 desember 1948 merupakan tonggak bersejarah berlakunya penjaminan hak mengenai manusia sebagai manusia. Sejarah HAM dimulai dari magna charta di inggris pada tahun 1252 yang kemudian kemudian berlanjut pada bill of rights dan kemudian berpangkal pada DUHAM PBB.
Manusia, menurut Thomas Hobbes adalah makhluk sosial yang menuntut haknya, tetapi tidak menginginkan kawajibannya, karena sifatnya yang alami. Pada diri manusia melekat hak-hak yang diberikan oleh alam, yakni untuk hidup (Life), hak atas kemerdekaan (Liberty), dan hak atas milik (Property), karena sifatnya yang alamiah tadi, mengakibatkan suatu perasaan takut, gelisah, resah akan keberadaan hak-hak asasinya serta kebebasan-kebebasan yang dimilikinya terenggut oleh orang lain, maka didirikanlah negara melalui kontrak sosial. Negara diciptakan untuk melindungi hak-hak asasi setiap individu warganya.
Dalam konteks warga Negara vis a vis Negara inilah, HAM sering tidak diperhatikan. Negara seakan menjadi kuat apabila warga Negara tunduk dan taat tanpa ada koreksi apapun. Civil society mengandaikan bahwa warga Negara mempunyai kekuatan yang berimbang dengan Negara.
Pengertian Hak asasi manusia
Hak Asasi manusia (HAM) adalah, sejumlah hak yang melekat pada setiap individu manusia. Hak-hak itu diperoleh sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, bukan pemberian manusia atau penguasa. Sementara dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tantang HAM, adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum pemerintah dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia.
Bila kita tinjau HAM dalam perspektif Islam adalah Islam menganggap dan meyakini bahwa Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada setiap manusia yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia (Jan Materson/Komisi HAM PBB).Hak asasi Manusia adalah al-huquq al-insan al-dhoruriyyah yakni hak-hak kodrati yang dianugerahkan Allaoh SWT kepada setiap manusia dan tidak dapat dicabut atau dikurangi oleh kekuasaan atau badan apapun.
Di antara konsep yang relevan dengan HAM adalah rumusan fuqaha tentang maqâshid al Syar’i (tujuan Syari’ah) berdasarkan analisi fuqaha, bahwa Allah dan Rasulnya , membuat syari’ah dengan beberapa tujuan, memelihara kebebasan beragama (hifz ad-din), memelihara diri atau menjaga kelangsungan hidup (hifz al-nafs),akal (hifz al-‘Aql),keturunan (hifz al-nasl), dan memelihara harta (hifz al-amwal)
Bentuk HAM secara umum dibagi menjadi 4 kelompok, yakni hak sipil, hak politik, hak ekonomi dan hak sosial budaya. Hak sipil, diperlakukan sama dimuka hukum, bebas dari kekerasan, hidup, dan kehidupan, sementara hak politik, berarti kebebasan berserikat, berpendapat dan berkumpul, kemerdekaan mengeluarkan pemikiran dengan lisan dan tulisan. Adapun hak ekonomi, berupa jaminan sosial, perlindungan kerja, perdagangan dan pembangunan. Hak Sosial Budaya, berupa hak untuk memperoleh pendidikan, hak kekayaan intelektual, kesehatan, perumahan, dan pemukiman.
Dalam UU HAM Nomor 39 Tahun 1999 tertulis dalam Pasal 24 Ayat 1; “ Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.” Sementara dalam pasal 19 Deklarasi HAM (Universal Declaration of Human Right) menyebutkan “Setiap orang berhak untuk mengeluarkan pendapat dan ekspresinya, hak ini mencakup kebebasan untuk memiliki pendapat tanpa adanya campur tangan, dan juga hak untuk mencari, menerima, menyebarkan informasi dan ide melalui media apapun dan tak boleh dihalangi.
Munculnya pasal Kriminalisasi terhadap publik sebagai pengguna informasi, yakni pasal 51 UU KIP, “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan informasi publik secara melawan hukum dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak 5 juta rupiah”, menjadi kontra produktif dalam menegakkan HAM di Indonesia.
Dari pengertian di atas dapat difahami bahwa HAM bukan saja hak untuk mengeluarkan pendapat tetapi juga hak untuk mendapatkan pendapat orang lain. Bagi kalangan masyarakat awam, HAM lebih dilihat sebagai pengakuan terhadap hak-hak sebagai warga Negara.
Konsep HAM berawal dari konsep tentang adanya negara. Gagasan asal mula adanya konsep negara pertama kalinya diperkenalkan oleh seorang filosof Yunani bernama Plato (427-247 SM) yang terkenal dengan konsepnya Negara Ideal, menurutnya bahwa negara ideal adalah suatu komunitas ethical untuk mencapai kebajikan dan kebaikan, karena pada hakekatnya adalah sesuatu keluarga, yang didalamnya kamu semua adalah saudara.
Penguatan Civil Society
Dalam ilmu politik, penguatan civil society menjadi isu penting yang harus dibahas.Civilk society merupakan kondisi ideal di mana ada sekelompok warga yang mampu mandiri dari kungkungan Negara. Mereka mamapu menyeimbangkan hak dan kewajibannya di depan Negara, sehingga warga Negara diperhitungkan sebagai kekuatan mandiri.
Kebanyakan warga Negara memandang bahwa ketaatan kepada Negara merupakan sebuah keharusan bukan sebagai hak warga Negara. Oleh karena itu nilai tawar warga Negara kurang berarti di depan Negara. Sebaliknya apabila warga Negara kuat dan maju, maka warga Negara tidak saja sebagai objek, tetapi justru sebagai subjek Negara. Keseimbangan hak dan kewajiban bagi warga Negara merupakan sebuah keniscayaan
Dengan demikian penguatan hak politik warga Negara akan terlaksana manakala warga Negara menjadi warga Negara yang mandiri tanpa ada ketergantungan dengan Negara (civil society). Dengan Civil society yang kuat hak-hak warga Negara sangat diperhatikan oleh Negara.
Dari uraian di atas yaitu tentang “Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Perspektif Politik”, mengingatkan kepada kita, bahwa HAM sangat diperlukan dalam membangun civil society yang kuat. Civil society sebagai bagian dari unsur-unsur Negara, yakni warga Negara, wilayah, perundang-undangan, dan pemerintah mutlak keberadaannya.
Untuk mewujudkan penguatan civil society maka dibutuhkan dua suasana yakni pengakuan Negara atas hak-hak warga Negara dan penguatan lembaga civil society. Pengakuan Negara atas hak-hak sipil dan politik warga menjadi penting karena dalam sebuah Negara demokrasi political will dari Negara terutama dari penyelengara pemerintahan sangat mentukan eksistensi warga Negara.
Pengakuan hak-hak politik warga Negara sekarang ini bisa dilihat dari berbagai undang-undang politik yang mengakomodir hak-hak politik warga. Diperbolehkannya calon bupati/walikota atau calon presiden dari kelompok independent perlu diapresiasi oleh warga, karena wacana ini sebagai upaya pembelaan terhadap hak politik warga. Begitu juga dengan diberlakukannya UU No 14/2008 tentanag Kebebasan Informasi Publik yang mengamanatkan terbentuknya KIP (Komite Informasi Publik) yang dibentuk di pusat dan Provinsi, merupakan upaya dalam rangka menjamin terealisasinya hak-hak politik warga agar mendapatkan berbagai informasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintah.
Tak kalah pentingnya menggelindingkan isu seputar RUU Hukum Materiil Peradilan Agama yang mengangkat perdebatan pemidanaan nikah sirri, memberikan ruang kepada public untuk mendiskusikannya sebelum RUU disahkan. Terlepas dari perdebatan ini menjadi blunder di kalangan tokoh-tokoh agama, tetapi hah-hak social politik warga menjadi perhatian penyelenggara Negara. Begitu juga dengan isu pembatasaan penggunaan informasi di dunia maya yang digagas Menkominfo, menuai banyak pro dan kontra di kalangan warga masyarakat. Masyarakat mempunyai kebebasan tentang informasi yang tidak boleh terkekang oleh kebijakan Negara manapun.
Sementara dalam bidang penguatan kelembagaan wargta Negara, banyak hal yang harus dipersiapakan, di antaranya mengefektifkan lembaga-lembaga masyarakat seperti LSM, organisasi sosial keagamaan dan sosial kemasyarakatan. LSM yang selama ini dianggap kritis atas perilaku pemerintah tentu harus meningkatkan isu-isu strategis yang diperlukan dalam melakukan kritik terhadap pemerintah. Para aktifis LSM tidak hanya mendahulukan kepentingan kelompoknya dengan menjual isu-isu strategis kepada khalayak, tetapai perlu difikirkan upaya atau langkah-langka yang baik dalam merespon isu-isu kemasyartakatan.
Organisasi social keagamaan seperti NU, MUhammadiyah dan organisasi keagamaan lainnya harus bisa merumuskan ide-ide hingga tehnik operasionalnya dalam kehidupan social kemasyarakatan sehari-hari. NU misalnya, di tengah kesibukannya melayani umat dari kalangan du’afa hingga kelompok menengah ke atas, masih sempat melakukan advokasi anggaran di beberapa daerah yang dilakukan oleh generasi muda NU seperti Lakpesdam. Kegiatan ini dikemas dengan berbagai pelatihan dan advokasi terhadap rancangan RAPBD di tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Upaya ini menjadi catatan bagi organisasi social keagamaan lain agar bisa bersama NU mewujudkan pemerintahan yang good governance.
Dengan mengefektifkan lembaga-lembaga ini, upaya penguatan civil society bisa diwujudkan. Hak-hak politik warga Negara sering diabaikan oelh Negara sehingga setiap saat dan tempat, warga Negara harus bisa pro aktif untuk mendapatkan hak-haknya sebagai warga Negara. Semoga ***)
Senin, 08 Maret 2010
Langganan:
Postingan (Atom)