Total Tayangan Halaman

Selasa, 18 Desember 2012

UNIFIKASI KALENDER HIJRIYAH DI INDONESIA (MENGGAGAS KALENDER MADZHAB NEGARA)



Oleh: Imam Yahya
(Dosen Fiqh Siyasah Fak Syariah IAIN Semarang)

A.   Pengantar
Penyatuan kalender Hijriyah merupakan isu reguler yang biasanya dibahas pada waktu menjelang datangnya bulan Ramadlon, syawal, dan Dzul Hijjah. Pada awal tiga bulan inilah umat butuh kapan datangnya tanggal satu berkaitan dengan pelaksanaan ibadah.
Kebutuhan akan kepastian tanggal bulan Hijriyah inilah, menandakan bahwa sesungguhnya kalender hijriyah menjadi kebutuhan azazi bagi umat Islam. Umat sering dihadapkan dengan beragamnya pendapat para tokoh Islam yang sering beragam, bahkan terkadang saling menyalahkan antara satu tokoh dengan tokoh lainnya. Keragaman ini menjadi rahmat manakala disikapi saling memahami substansi perbedannnya, sebaliknya menjadi laknat bila menjadikan saling menyalahkan.
Substansi perbedaannya adalah perselisihan madzhab hisab dan madzhab rukyat dalam menentukan awal bulan hijriyah.  Perselisihan ini menjadi persolan klasik yang selalu berkelit berkelindan dalam pusaran konflik umat. Berbagai upaya telah dilaksanakan baik oleh masyarakat maupun mediasi yang dilakukan oleh negara khususnya Badan Hisab Rukyat di bawah naungan Kementerian Agama RI. Namun demikian setiap tahun BHR bersidang dan setiap tahun itu pula pertentangan semakin berkembang.
Perkembangan penetapan tahun hijriyah ini tidak saja menjadi persoalan fiqh dan astronomi yang mempunyai kaidah-kaidah religiusitas dan scientifik, tetapi juga menjadi konflik politik di tengah masyarakat Indonesia. Awal bulan hijriyah yang seharusnya dirayakan dengan ceria, terkadang justru kita umat Islam mengawali dengan saling ejek, baik yang bermadhab hisab maupun rukyah. Tahun baru Hijriyah seharusnya menjadi tonggak kekuatan dan kemajuan umat Islam dalam menyongsong kehidupan yang penuh damai dan sejahtera. Mungkinkah tahun baru Hijriyah menjadi tetenger waktu bagi umat dalam kehidupan sehari-hari.

B.   Tahun Hijriyah
Dalam sejarah Islam, tahun baru hijriyah adalah tahun yang dimulai sejak hijrahnya nabi Muhammad SAW. Penggunaan peristiwa hijrah Nabi ini tentunya mempunyai arti penting bagi perjalanan Islam dalam sejarah klasik. Hijrah terkendung maksud bersatunya umat dalam sebuah komunitas politik yang mempunyai visi sama yakni tegaknya Islam di Madinah.
Perkembangan Islam setelah hijrah dari Makkah ke Madinah menunjukkan perkembangan yang signifikan. Salah satu yang menjadi indikator adalah terbitnya piagam madinah yang oleh para sejarawan muslim dianggap sebagai tomnggak berdirinya negara Islam Madinah yang progresif dan transformatif. Progresif karena di tengah perkembangan umat Islam yang meriah, piagam madinah memberikan ruang bagi ppara pengikut non-Islam tetap tumbuh dan berkembang secara teologis, meski secara politis harus tunduk pada nilai-nilai negara Islam Madinah.
Negara Madinah tidak serta merta mengusir para kelompok non-Islam keluar dari kekuasaannya. Bahkan di antara mereka yang non-Islam juga mempunyai hak dan kewajiban sama dengan warga negara yang beragama Islam. Padangan ini yang kemudian dinamakan transfoirmatif karena transformasi nilai-nilai ajaran Islam yang tidak hanya berdasarkan dpada teks ajaran, tetapi ada interpretasi yang mendalam dalam mengaktualisasikan substansi ajaran Islam.
Semangat  inilah yang kemudian oleh para sahabat terutama Umar bin Khattab dijadikan momentum tonggak awal tahun hijriyah. Semangat hijrah dijadikan sebagai awal tahun yang membedakan dengan tahun masehi yang menghitung awal kelahiran Isa al-masih sebagai awal perhitungan tahun Masehi.
Pada masanya, tahun hijriyah tidak saja diberlakukan dalam pelaksanaan ibadajh, namun tahun Hijriyah juga menajadi kalender umum (civil calender) yang dipergunakan dalam menentukan berbagai persoalan kehidupan umat. Hampir semua perikehidupan masyarakat kala itu, khususnya tata laku budaya, berpatok kuat pada sistem penanggalan.
Penggunaan tahun baru sebagai tahun sipil bahkan telah dikenal ke berbagai belahan dunia sesuai dengan persebaran umat Islam di se antero bumi ini. Di Jawa yang dikenal dengan berbagai kerajaan Jawa salah satunya kerajaan Mataram, tahun jawa menjadi salah satu tahun yang berlaku di tengah masyarakat Mataranm pada waktu itu. Bahkan sang raja, Sultan Agung menetapkan tahun hijriuyah menggantikan tahun Jawa Saka dengan hitungan tahun hijriyah.

C.   Tahun Hijriyah Sebagai Madzhab Negara Masa Sultan Agung

Sultan Agung, raja Mataram Islam yang hidup pada tahun  1613-1645, merupakan Raja Mataram Islam yang memberikan keteladanan akan kearifan, toleransi, pluralisme serta sosok negarawan sejati. Kepercayaan Hindu yang sudah mendarah daging dalam kerajaan Jawa, tidak menutup hati sultan agaung untuk menapresiasi Islam yang datang belakangan. Islam di tanah Jawa belakangan, pelan tapi pasti menggeser agama dan kebudayaan Hindu. Salah satu apresiasi yang paling monumental adalah penyesuaian kalender Jawa Saka yang semula mereduksi sistem penanggalan syamsyiyyah direvii dengan menggunakan perhitungan hijriyah yang menggunakan sistem qomariyah.
Dalam sistem penanggalan Jawa atau yang biasa disebut tahun Saka, mempunyai sistem perputaran waktu khusus (siklus) yaitu Windu, Pasaran, Selapan dan Wuku. Setelah Islam masuk maka banyak istilah yang diubah menjadi istilah Islam.
Meski Sejak saat itu kalender Jawa versi Mataram menggunakan sistem kalender komariah (lunar) yaitu perhitungan penanggalan berdasarkan peredaran bulan, namun tidak langsung menggunakan angka tahun Hijriyah (1035 H). Angka tahun Saka tetap diteruskan demi menghargai eksistensi tahun Saka. Ketika Sultan Agung mengambil kebijakan konversi tahun Saka ke tahun Jawa Islam, tahun saka menunjukkan angka tahun 1547 Saka, untuk mengakomodasi eksistensi tahun Saka maka diteruskan menjadi tahun 1547 Jawa Islam.
Dalam catatan Izzudin, satu Windu = 8 tahun, sedangkan nama-nama tahun pada satu Windu adalah tahun pertama disebut Wawu, kedua (Jimakir), ketiga (Alip), keempat (Ehe), kelima (Jimawal), keenam (Je), ketujuh (Dal) dan kedelapan (Be).
Untuk hitungan pasaran, satu siklus pasaran ada 5 hari. Lima hari pasaran itu adalah 1 (legi), 2 (pahing), 3 (pon), 4 (wage), 5 (kliwon). Dari beberapa hitungan pasaran akan terakumulasi dalam hitungan Salapanan. Untuk satu selapanan adalah 7 siklus pasaran tersebut yaitu dari 7 X 5 = 35 hari. Misalnya tanggal 1 Januari 2013 untuk hari pasarannya adalah Selasa kliwon, selapannya adalah 35 hari lagi yaitu 5 Februari 2013 yang hari pasarannya adalah sama yaitu Selasa kliwon. Berbeda dengan wuku, tidak menghitung hari tetapi hitungan minggu. Jadi satu wuku = 30 minggu.
Kalender Jawa Islam atau kalender Sultan Agung, nama-nama bulan diintrodusir dari nama-nama bulan Hijriyah, meski ada sedikit perubahan disesuaikan dengan konteks masyarakat Jawa pada saat itu. Nama-nama bulan tersebut adalah : Sura (Muharrom), Sapar (Shofar), Mulud (Robiul awal), Bakda Mulud (Robiul tsani), Jumadilawal (jumadil awal), Jumadilakhir (jumadil akhir), Rejeb (Rojab), Ruwah (sya’ban), Pasa (ramadlon), Sawal (syawwal), Dulkangidah (dzul qaidah), Besar (dzul qaidah besar).
Penamaan ini lebih menyesuaikan dengan peristiwa-peristiwa sejarah pada bulan-bulan dimaksud, sebagai upaya membumikan kalender Jawa Islam dalam konteks soaial masyarakat Jawa yang Islami. Sebagai contoh, Syuro yang dijadikan ganti dari Muharrom karena terkandung maksud bahwa pada tanggal 10 (asyrah), ada peristiwa tanggal 10 Syura yang dirasionalisasikan sebagai peringatan meninggalna cucu Nabi, Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Begitu juga dengan Maulud misalnya, sebagai upaya memperingati 12 Robiul awaal di mana Nabi Muhammad SAW dilahirkan. Pembuatan Kalender Jawa Islam itu sekaligus juga untuk merangkul seluruh rakyat Jawa untuk menyatu di bawah kekuasaan Mataram.
Upaya yang dilakukan tidak saja berdampak pada eksistensi politik Sultan Agung di kerajaan Mataram, namun juga sebagai momentum penyatuan sistem penanggalan di penjuru kerajaan Mataram. Titah raja menjadi undang-undang yang harus dipatuhi oleh rakyatnyha.
Dalam perspektif studi Islam, apa yang dilakukan Sultan Agung merevisi penanggalan Jawa dengan penanggalan hijriyah yang didesain akulturatif, merupakan strategi jitu dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Raja sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara mempunyai pengaruh yang kuat dalam proses Islamisasi dan Pribumisasi Islam sebagai kekuatan politik besar di Indonesia.
Untuk melihat praktek konversi penanggalan Islam ala Sultan Agung, ada teori politik Islami yang ditawarkan oleh Bahtiar Effendi. Pendekatan ini akan mencoba mendasarkan pada salah satu teori yang dikembangkan oleh CAO Van Nieuwenhuijze pada pertengahan 1960, yakni dekonfessionalisasi, di mana Islam tidak harus menjadi aturan Islam yang normatif konfensional, tetapi nilai-nilai keislaman seperti nama tahun dan bulan jhijriyah dimasukkan pada kelompoknya (Effendy:2000).
Teori dekonfessionaliasasi ini lebih kepada pola memperluas penerimaan umum, mencakup semua kelompok yang berkepentingan demi kemaslahatan bersama. Konsep ini menawarkan penjelasan konstruktif mengenai politik antagonis antara Islam dan Negara. Sultan Agung melakukan konversi bukan karena islamisasi Jawa semata, tetapi merupakan kemenangan politik Islam yang didukung oleh rakyat. Kekuatan politik Islam inilah yang pada saat itu dijadikan Sultan agung sebagai upaya menyusun kekuatan menentang politik Hindia Belanda.
  
D.  Unifikasi perlu Keputusan Politik
Keputusan Sultan Agung dalam memuluskan sistem penanggalan Jawa Islam di Indonesia ini, bisa dijadikan sebgai tonggak dalam merumuskan unifikasi  penanggalan hijriyah pada masa sekarang ini.Ummat sudah lama menunggu terbitnya penanggalan hijriyah yang permanen. Tidak saja bagi kepentingan ibdah tetapi juga untuk kepentingan sipil sebagaimana waktu Sultan Agung berkuasa.
Dalam buku terbarunya Astronomi Memberi Solusi Penyatuan Umat, Professor Astonomi dan Astrofisikan LAPAN, Prof. Dr. Thmas Jamaluddin menyatakan, unifikasi kalender hijriyah bukanlah sesuatu yang sulit, konsepnya mudah asalkan ada kebersamaan dan kesepakatan. Selagi syarat itu belum dipenuhi bisa jadi unifikasi kalender hijriyah menjadi sesuatu yang impossible (Thomas: 2012).
Unifikasi kalender hijriyah dibutuhkan tiga syarat: (1) ada otoritas tunggal yang menjaga sistem kalender, (2) ada kriteria yang disepakati, dan (3) ada batas wilayah yang jelas. Dengan mewujudkan 3 hal tersebut unifikasi kalender akan segera terbentuk dalam waktu yang singkat.
Untuk otoritas tunggal, mestinya umat Islam sudah mensepakati Kepala Negara dalam hal ini yang berkompeten adalah Menteri Agama sebagai pemegang otoritas tunggal. Kaidah fiqh menyatakan bahwa hukmul hakim ilzamun wa yarfau khilaf, hukum penguasa bersifat tetap dan menyelesakan berbagai sengketa. Meski dalam beberapa hal belum sepenuhnya dilaksanakan di tingkat masyarakat.
حُكْمُ الْحَاكِمِ فِي مَسَائِلِ اْلإِجْتِهَادِ يَرْفَعُ الْخِلاَفَ
Artinya: “Keputusan hakim dalam ijtihad dapat menghilangkan persengketaan.” (As-Syuyuthi: Tt).

Aplikasi kaidah ini adalah apabila dalam suatu kasus penentuan hukum, hakim menetapkan hukum atau keputusan yang dianggap lebih kuat, maka pihak-pihak lain tidak boleh mengingkari keputusan hakim tersebut.
Syamsul Anwar dalam tulisan tentang unifikasi kalender mensyaratkan bahwa kaidah ini berlaku manakala penguasa bersifat adil memberi kepuasan kepada semua pihak. Sungguh sangat indah mestinya apabila putusan hakim itu melegakan semua fihak. Tetapi itulah sifat putusan hakim yang bersifat umum, memaksa dan memberikan sangsi (Anwar: 2012).
Kedua adalah adanya batas wilayah yang jelas. Konsep wilayatul hukmi (menganggap NKRI sebagai satu wilayah hukum) diterima oleh semua ormas Islam pelaksana hisab rukyat di Indonesia. Matla global tidak mungkin diterapkan karena secara astronomis bertentangan dengan ilmu astronomi.
Dalam konteks nation state, konsep wilayatul hukmi menjadi sangat penting mengingat konteks negara sekarang ini berbeda dengan konsep negara Madinah pada zaman klasik. Realitas nation state ini tidak saja berkaitan dengan politik kekinian, tetapi sejarah Islam menyatakan hadits quraib sangat penting untuk dijadikan pedoman dalam merumuskan dan merealisasikan hadits quraib di Indonesia ini.
Dalam fiqh siyasah, ketaatan kepada pemimpin adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan bernegara. Bahkan Sayyidina Ali sebagaimana ditulis dalam Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, enam puluh tahun bersama pemimpin yang dholim lebih baik daripara semalam tanpa pemimpin (Mawardi:1960).
Dan ketiga, kesepakatan terhadap kriteria bersama. kesepakatan ormas-ormas Islam dengan kriteria “2-3-8”, yaitu ketinggian hilal minimal 2 derajat dan jarak bulan-matahari minimal 3 derajat, atau umur bulan 8 jam. Kesepakatan itu kemudian ditegaskan lagi pada September 2011. Kesepakatan terakhir adalah Musyawarah Nasional Hisab Rukyat (Penentuan Awal Bulan Qamariyah) Rabu 25 April 2012 di Kementerian Agama berhasil merumuskan kesepakatan untuk mewujudkan kalender Islam tunggal dengan kriteria bersama yang disepakati.
Kesepatakan terakhir diikuti hampir 50 peserta dari seluruh organisasi sosial keagamaan di Indonesia serta beberapa pesantren yang konsen dalam pengembangan ilmu falak. Secara umum berikut kutipan keputusan yang dijadikan untuk menyatukan pendapat para ahli falak menuju terujudnya unifikasi kalender di Indonesia.
  1. Ada kesadaran bahwa keseragaman takwim Islam Indonesia (untuk penentuan awal bulan Qamariyah selain awal bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijjah)  adalah sebuah kebutuhan bersama yang perwujudannya membutuhkan proses untuk mendekatkan pandangan dan metode yang bisa disepakati bersama.
  2. Untuk menuju kesatuan penetapan awal bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijah dibutuhkan 3 prasyarat yang harus dipenuhi, yaitu: 1) pemberian dan pengakuan otoritas kepada lembaga tertentu (MUI sejauh ini memberikan otoritas tersebut kepada Kementerian Agama RI); 2) adanya kriteria yang disepakati; dan 3) adanya wilayah pemberlakuan hukum;
  3. Sejauh ini belum ada kesepakatan butir kedua, yaitu mengenai kriteria awal bulan qomariyah. Untuk menuju ke sana, pihak-pihak yang hadir dalam forum setuju untuk membentuk tim kecil perumus kriteria yang terdiri dari perwakilan ahli hisab rukyat ormas dan instansi terkait, dengan difasilitasi oleh Kementerian Agama dan supervisi pimpinan ormas.
  4. Untuk menindaklanjuti kegiatan ini, Munas ini mengamanatkan langkah-langkah konkrit sebagai berikut:
    • Merevitalisasi badan yang selama ini menangani hisab dan rukyat (BHR) agar lebih legitimated sehingga keputusannya mempunyai daya ikat kepada ormas yang diwakilinya.
    • Melakukan tindak lanjut kajian secara intensif untuk melakukan upaya pendekatan di wilayah pandangan dan metode sehingga tercapai satu kriteria bersama  dengan melibatkan pakar dan fuqoha.
    • Melakukan penelitian observasi hilal secara kontinyu untuk kepentingan kriteria penetapan awal bulan qomariyah.
    • Mengadakan musyawarah bersama secara intensif untuk menetapkan Takwim secara musyawarah mufakat.
  5. Selama kesatuan takwim itu belum tercapai, semua pihak hendaknya bisa menahan diri untuk menjaga kemaslahatan umat dengan mengedepankan toleransi.
  6. Kepada perwakilan-perwakilan ormas diminta dapat membawa pesan upaya penyatuan Takwim Islam Indonesia ini dalam forum pengambilan keputusan hukum tertinggi di masing-masing ormas.
  7. Perlu memperbanyak frekuensi dialog/silaturahmi antar pimpinan/tokoh ormas yang dapat difasilitasi Kementerian Agama.
  8. Perlu melakukan kaderisasi bersama antar ormas untuk mendalami kompetensi Astronomi.
  9. Membuat kalender Islam tunggal yang disepakati antar ormas Islam.

Prasyarat inilah yang sesungguhnya memberikan PR bagi kita semua para peminat ilmu falak untuk diujudkan dalam dunia nyata di negeri yang oleh syamsul Anwar sebagai masa dimana Peradaban Tanpa Kalender Unifikatif.
Penulis meyakini tiga prasayarat tersebut bisa diwujudkan manakala para pemimpin di Indonesia ini melakukan kajian ulang sekaligus merefleksikan ulang beberapa pokok-pokok fikiran yang selama ini mendayut dalam benak fikiran umat Islam di Indonesia, salah satunya adalah kontekstualisasi teks.
Catatan Prof Thomas, bahwa ilmu pengetahuan bertugas untuk merasionalisasikan teks-teks qauliyah, nampaknya sesuai dengan qaidah al-nushush mutanahiyah wal waqai ghairu mutanahiyah, nash itu bersifat selesai sementara peristiwa itu tidak akan selesai, patut direnungkan. Teks-teks tentang hilal (al-Baqoroh:189) misalnya tidak ada batasan berapa besar hilal yang dirumuskan secara jelas. Seehingga persoalan besaran hilal bersifat ijtihadiyah, yang bisa kapan saja dan di mana saja dilakukan oleh para ulama. Persoalannya adalah ijtihad jamai yang digagas oleh Yusuf Qardhawi, sekaran ini masih jauh dari panggang. Wallohu A’lam bis Showab.  







E.    Daftar Pustaka
Anwar, Syamsul, Peradaban Tanpa Kalender Unifikatif: Inikah Pilihan Kita? www.muhammadiyah.or.id/
Azhari, Susiknan, Revitalisasi Hisab Rukyat di Indonesia (Al-Jamiah, UIN Yogyakarta, Vol 65/IV/2000.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. PT. Ichtiar Baru van Hoeve. Jakarta. 2001.
Hambali, Slamet, Ilmu Falak I, Semarang, 1998.
Hitti, Philip K. History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005.
Izzudin, Hisab Rukyat Menghadap Kiblat (Fiqh Aplikasi Praktis, Fatwa dan Software) Pustaka Riski. Semarang. 2012.
Izzudin, Ilmu Falak Praktis Metode Hisab Rukyat Praktis dan Solusi Permasalahannya, Pustaka Riski. Semarang. 2012.
Jamaluddin, Thomas, Prof. Unifikasi Kalender Islam Nasional, Regional, dan Global Mudah, Asal Mau Bersepakat, (T.Djamaluddin.blogspot.com, Mei 2012).
Purwadi, Dr., M.Hum. Sistem Tata Negara Kerajaan Mataram dalam Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta. Vol. 4. No. 1. Maret 2007 Jurnal Konstitusi..
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 1998.

Minggu, 09 September 2012

Bahtsul Masail Sebagai Wadah Intelektual NU



 

Oleh           : Fathurozi

Judul           : Dinamika Ijtihad NU
Penulis        : Dr. Imam Yahya, M.Ag
Penerbit      : Walisongo Press
Tahun         : Cetakan Pertama, April 2009
Tebal         : 128 halaman

NAHDHATUL  Ulama (NU) adalah organisasi keagamaan Islam (jam’iyyah diniyyah islamiyyah) terbesar di Nusantara. Organisasi yang berdiri pada tanggal 31 Januari 1926 di Jawa Timur. Pengikut jam’iyyah ini, memiliki tipologi unik, berbeda dengan pengikut organisasi keagamaan yang lain. Bagi pengikut Organisasi ini, biasanya di sebut “warga NU”, dan memiliki ikatan emosional yang kuat dengan para Kyai pondok pesantren.

Tujuan didirikan  NU adalah memegang teguh salah satu empat mazhab dan mengerjakan apa yang menjadi kemaslahatan bangsa. Namun sejalan dengan dinamika warganya tahun 50-an, NU terlibat politik Praktis (hlm, 1). Meskipun terjun ke politik, hingga sekarang masih  mempertahankan keagamaan tradisional (hlm,3).

Fajrul Falaah, Salah seorang tokoh muda NU, mencoba merangkum tiga alasan pokok berdirinya NU yakni, pertama, Aksi kultural untuk bangsa, yakni menggunakan strategi akulturasi dengan budaya setempat, dalam memperkenalkan Islam pada masyarakat. Kedua, Aktivitas yang mencerminkan dinamika berpikir kaum muda. Ketiga, usaha membela keprihatinan keagamaan internasional, yakni munculnya gerakan Wahabiyah yang berusaha menghilangkan segala khurafat yang ada di kota suci.

Namun, pendapat Fallaah disangga oleh Deliar Noer, salah seorang peneliti senior Indonesia menyatakan bahwa berdirinya NU merupakan respon atas faham reformisme pada awal abad ke-20 yang dikembangkan oleh Faqih Hasyim, salah seorang murid H. Rasul, pembaharu terkemuka di tanah Minangkabau. Di Sumatra, respon atas kaum pembaharu berupa “Kaum Tua” yang mempertahankan tradisi-tradisi lama, sedangkan di Jawa dan sekitarnya muncul kelompok ulama Nahdatul Ulama. Namun alasan ini dibantah oleh Martin van Bruinessen, karena menurutnya, Noer kurang memberikan alasan yang representatif.

Merujuk pada catatan di negeri Belanda, menyebutkan bahwa organisasi NU (ulama tradisionalis) yang merupakan respon atas gerakan reformis, diprakarsai oleh Van Der Plas. Bagi Martin benar atau salah yang diungkapkan oleh Noer, yang terpenting memperhatikan bukti-bukti sejarah yang kuat, aspek reasonable juga perlu diperhatikan.

Dari persoalan berdirinya NU, jika NU merupakan gerakan responsif atas kaum pembaharu yang dikembangkan oleh Faqih Hasyim di Jawa Timur, kenapa NU tidak berdiri pada tahun belasan, disaat gencarnya gerakan pembaharu, (hlm, 2).

Lain lagi dengan pendapat pengamat NU dari Australia, Greg Barton dan Greg Fealy, menurut mereka sejarah perjalanan NU dibagi dalam 3 (tiga) periode yakni, periode awal sebagai organisasi keagamaan, sebagaimana organisasi keagamaan lainnya seperti Muhammadiyah, Persis dan Perti yang memiliki misi mengembangkan kegiatan-kegiatan keagamaan, pendidikan, ekonomi dan sosial.

Periode pertengahan atau sekitar tahun 1930, NU berubah fungsi menjadi partai politik dan bersama ormas lain mengadakan demo atas represi pemerintah kolonial Belanda, pasca kermerdekaan  NU beserta Masyumi menjadi partai politik sebagai wahana umat islam. Tahun 1971, NU keluar dari Masyumi dan membentuk partai persatuan pembangunan (PPP). Dari kehampaan  dalam dunia politik, NU kembali ke khittah 1926.

Periode ketiga, Periode ini sebagai tonggak sejarah baru NU dalam berkhidmat kepada bangsa dan negara. Kembalinya NU pada tujuan awal berdirinya yaitu sebagai aktivitas sosial keagamaan, atau lebih dikenal dengan kembali ke khittah 1926. Peristiwa ini dihasilkan pada Muktamar 1984 di Situbondo. Ide kembali ke khittah ini, dicetuskan oleh tokoh muda NU yakni, Abdurahman Wahid dan Ahmad Sidiq (hlm, 4).

Sejak kembali khittah, banyak bermunculan gagasan-gagasan segar dalam pembaruan hukum Islam (baca: fiqih) di kalangan NU. Menurut Clifford Geertz, Fikih bukanlah lembaga permanen yang bersifat sakral, tetapi fikih merupakan suatu produk peradaban (civilization product). Dengan begitu pemikiran fikih tidak lagi terkukung dengan rujukan teks (qauli) tetapi diimbangi dengan pembongkaran (dekonstruksi).

Bahtsul Masail 
NU sebagai organisasi keagamaan mempunyai rasa tanggungjawab moral terhadap persoalan yang terjadi di masyarakat. Atas dasar ini lah, kemudian NU membentuk lembaga yang membahas segala persoalaan mulai dari politik, ekonomi sosial, budaya. Forum itu disebut Lajnah Bahtsul Masail (LBM). LBM merupakan lembaga atau forum yang memberikan fatwa hukum keagamaan kepada umat islam. Seperti yang tertuang dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga NU, dalam butir F pasal 16 menyatakan bahwa, tugas bahtsul masail adalah menghimpun, membahas dan memecahkan masalah-masalah yang mauquf dan waqi’iyah yang harus segera mendapatkan kepastian hukum (hlm, 39).

Bahtsul masail di kalangan NU diyakini merupakan tradisi intelektual yang berkembang sejak lama, bahkan ditengarai forum ini lahir sebelum NU dibentuk. Sebetulnya LBM telah berkembang di tengah masyarakat muslim tradisional pesantren jauh sebelum tahun 1926 dimana NU didirikan. Secara individual mereka bertindak sebagai penafsir hukum bagi  muslimin di sekelilingnya (hlm, 42).

Berangkat dari sistem pengambilan keputusan hukum Bahtsul Masail yang dirumuskan pada Munas Bandar Lampung tahun 1992 ini, sebenarnya telah terjadi dinamika pemikiran hukum di lingkungan NU baik dari aspek substansi pembahasan maupun aspek metodologis. Bagi NU perumusan sistem ini sangat berarti bukan saja bagi para kyai yang terlibat langsung dalam arena bahtsul masail, tetapi bagi pengembangan wawasan berpikir masyarakat NU pada umumnya.

Seiring perjalannya waktu bahtsul masail mengalami masa suram dibawah kepimpinan KH. Wahab Hasbullah, NU lebih fokus pada political oriented. Dari sini lah ulama dijajaran tanfidziyah maupun syuriah disibukan ke politik praktis. Tahun 1984 visi non-political disepakati, NU keluar dari politik (hlm, 95). Pada saat itu, NU konsentrasi pada problem-problem kemasyarakatan dan bahtsul masail mulai giat kembali.

Dalam pembahasan bahtsul masail tidak semua berkaitan dengan problem keagamaan. Hal ini dapat diamati dari hasil bahtsul masail tahun 1926 -1997 yakni, persoalan kesehatan 11,3 persen, politik 2,9 persen, ekonomi 11,6 persen, sosial masyarakat, 5,5 persen, advokasi 2,9 persen, perkebunan 3,13 persen dan keagamaan 62,16 persen (hlm, 45).

Keputusan bahtsul masa’il di lingkungan NU, dibuat dalam rangka bermadzhab dengan salah satu madzhab empat yang disepakati dan mengutamakan bermadzhab secara qaul. Oleh karena itu dalam memberikan jawaban ittifaq hukum digunakan susunan metodologis sebagai berikut: 1). Dalam kasus yang ditemukan jawabannya dalam ibarat kitab dan hanya satu qaul (pendapat), maka qaul itu yang diambil. 2). Dalam kasus yang hukumnya terdapat dua pendapat maka dilakukan taqrir jama’i dalam memilih salah satunya. 3). Bila jawaban tidak diketemukan dalam ibarat kitab sama sekali, dipakai ilhaq al masail bin nadhariha secara jamai oleh para ahlinya. 4). Masalah yang dikemukakan jawabannya dalam ibarat kitab dan tidak bisa dilakukan ilhq, maka dilakukan istimbat jama’i dengan prosedur madzhab secara manhaji oleh para ahlinya (hlm,6).

Dalam buku ini Imam Yahya berbicara tentang  ide dasar konsep Metodologi  bahtsul masail yang dirumuskan pada munas Lampung 1992.  Tonggak Dinamika pemikiran hukum Islam dikalangan nadhiyin. Bahtsul masail dikalangan peneliti, dianggap hanya mempertahankan status quo tradisionalisme. Namun memiliki discourse intelektual yang berarti. Discourse intelektual meliputi, materi, objek dan metodologi.
(Sumber;  http://cu2bumi.blogspot.com/2012/02/bahtsul-masail-sebagai-wadah.html)

Sabtu, 07 Juli 2012

ISLAMIC BANKING DISPUTE RESOLUTION IN INDONESIAN

 By : Imam Yahya*)

The development of Islamic banking in Indonesia grows widespread both in quality or quantity. This rapid grow is supported by three factors. First, moslems in Indonesia is a potensial market of Islamic banking. Many moslems in indonesia has stored the money not only base on their emitional religiousity, but also business profits and principles of Islamic economics. The 88 percent of Indonesian population (reach 230 milion people) are moslems. Beside that in several regent in Indnesia, many non-moslems choose syariah banking as alternatif banking. Second, islamic banking give good services to all customers. One of this services is applying the standarization of information technology in islamic banking system, such as mobile banking, islamic credit card and other internet banking system. Third, the lack of conflict in Islamic banking. The Numbers of Islamic economic disputes are resolved by religious courts are still very small. Based on data obtained from the Sub Directorate Sharia Institution and Civil Case Management of Ministery of Law and Human Right, during 2011 the shariah economic case that goes to the religious courts numbered only five. Three things that make the development of Islamic banks in Indonesia more promising, although in national level the assets of Islamic banks is still far compared with a conventional bank. Yet as the institution of sharia, Islamic banks still consider to the possibilities of conflic from internal and external influences. One of the external influences such as the rapid influence of information and technology is the potential problem to cause disputes within Islamic banking. Internet Banking Internet banking is a ussual facility provided to customers,to facilited them in doing the bank actifities such as check, accounts transfer, transfer, and pre-purchased vouchers. In the world of Internet banking technology (virtual world) started a trend and has even become standards. Internet Banking began to emerge as one of the service of the Bank. Service (the service) is starting to become a demand from some customers of the bank, as well as servicing ATM and phone banking or SMS banking. The demands of Internet banking is coming from customers who want fast service, safe, convenient and inexpensive available at any time (24 hours / day, 7 days / week) and can be accessed from anywhere be it from HP, Computer, laptop / note book, PDA, and so on. All demand can be supplied by the internet banking services. But along with an effective internet banking service and efficience for Islamic banks and customers, does not guarantee one hundred per cent well without any problems. Islamic banking disputes will arise as a consequence of a new system which not perfect. To anticipate the emergence of Islamic banking disputes that will require a different treatment with conventional banks, the government set up regulations Act No.3 of 2006 on the religious court (completion of the litigation) and Law no. 30 of 1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution, and Law. 21 of 2008 on Islamic Banking. This law describes the position of the three institutions of dispute settlement; Religious Courts, Mediation, Arbitration in the Arbitration Board of the National Sharia (Basyarnas). The diversity of Islamic economic dispute resolution options (courts, mediation, arbitration) make that syariah banking dispute is not much ended in the Religious. Non-litigation dispute resolution is more benefit than litigation institution. Alternative dispute resolution in Islamic Banking In the settlement of Shari'ah economic disputes, there are two models of dispute resolution, namely through litigation in courts and non-litigation process. While the non-litigation pathway include alternative forms of dispute resolution (Alternative Dispute Resolution) and arbitration. A. Litigation Settlement Religious courts have absolute authority to settle Shariah economy. It is based on the provisions of Article 49 of Act No.3 of 2006 which states that: "The duty and authority of religious Court is to examine, decide, and resolve the matter at the first level of the people which are Muslims in the areas of marriage, inheritance, his testament grants, waqaf, zakat, infaq, sadaqah, and shari'ah economy. ". The disputes in the field of Syariah banking in the authority of Religious Court are namely: a. Disputes in the field of Islamic economics between financial institutions and Islamic financial institutions with their customers. b. Disputes in the field of Islamic finance among financial institutions and Islamic finance; c. Disputes in the field of Islamic finance among the people who are Moslems. Nevertheless, Religious Courts which have been given the authority to examine, hear and resolve the Shari'ah economic case, the substantive law and the formal law needs to be corrected. The Birth of Law. 21 of 2008 on Islamic Banking and Regulation Supreme Court. No 02 of 2008 on the Compilation of Islamic Economic Law (KHES) equip and provide for the judge in performing his new duties, so it is necessary to breakthrough the law in order to meet the development needs of the community law. Laws must be enforced in order to keep the legal authority goes well, especially Law No. 3/2006 on the religious court. This law clearly states that the Islamic banking disputes is absolute competence of the religious court. B. Non litigation Settlement In Indonesia, the settlement of disputes through litigation in non line set in one article, ie Article 6 of Law no. 30 of 1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution. 1) Arbitration The idea of establishment of Islamic arbitration institution in Indonesia, beginning with a meeting of experts, Islamic scholars, lawyers, clerics and scholars to exchange ideas about the need for Islamic arbitration institution in Indonesia. This meeting promoted by MUI on 22 April 1992. After holding several meetings were held several times and after improvements to the design of organizational structures and procedures for examining finally on October 23, 1993 has been inaugurated Arbitration Muamalat Indonesia (BAMUI), now renamed the National Sharia Board of Arbitration (BASYARNAS) which was stated in the National Workshop MUI in 2002. With the enactment of Law no. 30 of 1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution, through Article 81 of the law expressly repeal the three kinds of provisions from the date of enactment. BASYARNAS as a permanent institution established by the MUI serves resolve possible disputes arising in relation Muamalat trade, industry, finance, services. Establishment of this institution was originally associated with the establishment of Bank Muamalat Indonesia and Sharia Micro Finance. 2) Alternative Dispute Resolution Alternative dispute resolution is only set in one article, namely article 6 of Act No.30 of 1999 on arbitration and Alternative Dispute resolution describes the dispute settlement mechanism. Dispute or difference of opinion in the field of civil Islam can be resolved by the parties through the Alternative Dispute Resolution in good faith based on the exclusion of a litigation settlement. If the dispute is not resolved, then the written agreement of the parties, disputes or differences of opinion resolved through the help of one or more of an expert advisor or through a mediator. The model developed by the Alternative Dispute Resolution is quite ideal in terms of concept, but in practice it is also not ruled out. If the path of arbitration and alternative dispute resolution can not resolve the dispute, the courts or the litigation path is the last wicket as the breaker case. Congclution Disputes in Islamic banking is a necessity, especially as the development of Islamic banks face the development of IT such as internet banking system and the application of the National Payment Gateway. As now in progress, the handling of disputes in the Islamic banking must go through the religious court in accordance with Law no. 3 of the religious court, is based on the provisions of Article 49 of Act No.3 of 2006 jis Act No.30 of 1999 and Act 4 of 1998, and Act 21 of 2008 on Islamic Banking. The lack of cases handled by the Syariah Banking, not because there is no dispute, but because of the many options in resolving economic disputes sharia (litigation and non-litigation), through mediation, arbitration and judicial institutions. *) This paper International Conference "PAYMEN GATEWAY AND INTERNATIONAL BANKING SYSTEM IN ISLAMIC ECONOMIC SYSTEM AND UNIVERSAL ECONOMIC LEGAL SYSTEM PERSPECTIVE", conducting on 13-14 Juni 2012 by Faculty of Law UNISSULA Semarang