ABSTRAK
Seorang orientalis kenamaan, Edmund Bosworth, menyatakan bahwa umat Islam identik dengan umat yang suka perang dan haus darah. Pernyataan ini tidak sepenuhnya benar dan juga tidak sepenuhnya salah. Hal ini didasarkan pada sejarah umat Islam sejak abad VIII hingga XVII M yang dihiasi dengan peristiwa perang dan pertikaian baik inter kaum muslim maupun antara kaum muslim dengan kelompok non-Islam. Begitu juga dalam pandangan normatif, perang merupakan salah satu ajaran agama yang diatur dalam kitab suci Al-Qur’an. Sebagai kontribusi dalam persoalan-persoalan fiqh siyasah (ilmu politik), studi ini mengkaji bagaimana pelaksanaan perang pada masa al-khulafâ al-râsyidûn.
Kategori studi ini merupakan library researh dan historical research, sedangkan pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi dan penelaahan. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan normatif dan pendekatan sejarah. Metode analisis data menggunakan historical analysis dan content analysis, sedangkan pemaparan studi menggunakan metode diskriptif.
Sebagai sumber ajaran Islam, Al-Qur’ân memuat aturan-aturan umum tentang perilaku manusia termasuk aturan berperang. Ayat-ayat perang yang tercantum dalam Al- Qur’ân dilatar belakangi konteks sosial politik, di mana komunitas Nabi mengalami tekanan dan didholimi oleh komunitas lain. Oleh karena itu perang harus ditegakkan dalam rangka melindungi komunitas muslim dari perlakuan yang tidak adil dari komunitas lainnya. Sebagaimana ajaran Islam lainnya, semisal qishâsh, potong tangan dan rajam, Al- Qur’ân hanya mengatur prinsip-prinsip perang yang bersifat universal.
Peperangan yang terjadi selama masa al-khulafâ al-râsyidûn dilaksanakan dalam rangka mempertahankan negara Islam Madinah. Perang pada masa Abû Bakar dialamatkan kepada mereka yang keluar dari kekhalifahan Abû Bakar, yakni mereka yang menolak membayarkan zakat. Sementara pada masa ’Umar bin Khattâb sistem dan kelembagaan perang ditata sedemikian rupa. Perang dilakukan oleh tentara murtaziqah (digaji) dan tentara mutatowwiah (sukarela), sementara di pemerintahan ada Departemnen Tentara (dîwân al-jund) dan Departemen Kepolisian (dîwân al-ahdats).
Begitu juga dengan era ’Utsman bin Affan yang banyak melakukan perombakan pimpinan perang. Pergantian pimpinan perang didasarkan pada penyeragaman visi kenegaraan yang dibangun oleh keluarga ’Utsman. Tak ketinggalan pada masa ’Ali bin Abû Thâlib, peperangan dilakukan untuk meredam konflik internal antar sesama kaum muslimin. Perang jamal dan perang siffin misalnya, dilakukan dalam rangka menumpas gerakan oposisi yang dilakukan oleh kaum muslimin yang tidak setuju dengan pemerintahan ’Ali bin Abû Thâlib. Jelasnya perang dilakukan dengan mengedepankan prinsip kenegaraan, bukan untuk penyebaran idiologi ke-Islaman.
ABSTACT
A celebrated orientalist, Edmund Bosworth states that Islamic community is bellicose and bloodthirsty. This statemen is neither right nor wrong. The history of Islamic community since the eighth to seventeenth century was full of battle and conflict among muslim and non-muslim. Beside from the normative point of view of the battle is one religious teaching regulated by Qur’an. For the benefit of making a contribution to Islamic political science, this study will try to explore how the battle and conflict took place in the caliph era.
This study constitutes library research and historical research. Data are gathered through documentation and observation. This research employs normative and historical approaches. The data will be analysed in the contet and the historical analyses whereas the data will be explained in discriptive writing.
As the main source of Islamic teaching, Qur’an regulated general muslim action including war. Verses of war mentioned in Qur’an have own socio political background in which the muslim community has been pressured and ill treated by other community. Due to the reason a war should be launched to protect them from injustice treatmen of other. Liker other regulationof retalitation, cutting hand and killing by stone, Qur’an regulates solely general principles of war.
The battle took place in the caliph era to protect (Islamic) Madinah state. Abu Bakar, the first caliph warred againt some muslims denying of giving religious tax to the state. Umar the second reorganised the battle institution and the war system professionally. In his era there were two kind of soldiers going to war namely professional (murtaziqah) and volunteer (mutatowwiah). The were also separation of army and police departments in the second caliph era.
Utsman bin Affan, the third replaced many commander of army (war). The replacement of the commander was oriented to unite statemenship visions among army founded by Utsman’s royal family. In Ali bin Abu Thalib era, the last Caliph the bettle was declared to stifle internal conflict among muslim community. The battle of Jamal and of siffin, for instance were declared to annihilate opposing movements. From historical accounts it is clear thet the battle in the caliph era is motivated by political reason instead of religious reason.
Kamis, 13 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar