Oleh:
Imam Yahya (Dosen Fak Syariah IAIN Walisongo)
Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 di Jawa Timur merupakan organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Nusantara. Sebagian besar warga jam’iyyah, berada di daerah pedesaan Jawa dan Madura. Basis massa yang demikian ini sering memposisikan NU menjadi kelompok marginal yang kurang diperhitungkan dalam wacana pemikiran Islam di Indonesia. Namun sebagai organisasi keagamaan yang berada di bawah kepemimpinan kyai-ulama, NU berusaha mempertahankan tradisi keagamaan yang berkembang di tengah masyarakat dengan mengakomodir seluruh tradisi masyarakat tanpa mengurangi akselerasi nilai-nilai universal Islam.
Di awal berdirinya NU hanya memperjuangkan kepentingan keagamaan tradisionalis yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Dalam Anggaran Dasar-nya yang pertama, tujuan NU didirikan adalah untuk memegang teguh salah satu mazhab empat dan mengerjakan apa saja yang menjadi kemaslahatan bangsa.[1] Namun sejalan dengan dinamika warganya, di tahun lima puluhan, NU terlihat dalam kegiatan politik praktis.
Fajrul Falaah, salah seorang tokoh muda NU, merangkum tiga alasan pokok berdirinya NU: (1) Aksi kultural untuk bangsa, yakni menggunakan strategi akulturasi dengan budaya setempat, dalam memperkenalkan Islam pada masyarakat. (2) Aktivitas yang mencerminkan dinamika berpikir kaum muda, dan (3) usaha membela keprihatinan keagamaan internasional, yakni munculnya gerakan Wahabiyah yang berusaha menghilangkan segala khurafat yang ada di kota suci.[2]
Berbeda dengan Falaah, Deliar Noer, salah seorang peneliti senior Indonesia menyatakan bahwa berdirinya NU merupakan respon atas faham reformisme pada aawl abad ke-20 yang dikembangkan oleh Faqih Hasyim, salah seorang murid H. Rasul, pembaharu terkemuka di tanah Minangkabau.[3] Di Sumatra, respon atas kaum pembaharu berupa “Kaum Tua” yang mempertahankan tradisi-tradisi lama, sedangkan di Jawa dan sekitarnya muncul kelompok ulama Nahdatul Ulama. Namun alasan ini oleh Martin van Bruinessen dibantah, karena menurutnya, Noer kurang memberikan alasan yang representatif.[4]
Silang pendapat antar sejarawan yang demikian ini merupakan suatu kewajaran. Mereka mengemukakan preferensi sesuai dengan data yang ditemukan. Deliar Noer misalnya, yang oleh beberapa kalangan dianggap sangat mendiskriditkan NU,[5] merujuk pada data sejarah yang cukup kuat. Sebuah catatan di negeri Belanda, menyebutkan bahwa organisasi NU (ulama tradisionalis) yang merupakan respon atas gerakan reformis, diprakarsai oleh Van Der Plas.[6] Terlepas dari benar atau tidaknya data sejarah Noer, bagi Martin di samping bukti-bukti sejarah yang kuat, aspek reasonable juga penting diperhatikan. Dalam kasus berdirinya NU misalnya, apabila NU merupakan gerakan responsif atas kaum pembaharu yang dikembangkan oleh Faqih Hasyim di Jawa Timur, kenapa NU tidak berdiri pada tahun belasan, di mana usaha kelompok pembaharu sangat gencar.
Begitu juga Falaah, sebagai penelitian dari kalangan NU (insider) tak lepas dari kajian teks dan juga kajian sejarah sosial. Munculnya kelompok studi “tashwrul afkar” di awal abad XX yang dipelopori oleh Abdul Wahab Hasbullah dan rekannya Ahmad Dahlan (kemudian menjadi pimpinan Muhammadiyah), mendorong munculnya jamiyyah NU. Di samping itu terbentuknya “Nahdlat al Tujjr” suatu lembaga yang mewadahi aspirasi kelompok pedagang muslim, serta munculnya komite Hijaz yang dibentuk untuk menghadapi raja Fadh di Saudi Arab, mewarnai ide-ide didirikan jamiyyah NU.[7]
Dengan landasan keagamaan tradisionalis yang dikembangkan, NU mampu bertanah hingga tujuh puluh tahun. Sejak berdiri hingga eksis sekarang ini, NU mengalami dinamika sejarah sesuai dengan situasi dan transformasi masyarakat. Seorang pengamat NU dari Australia, Greg Barton dan Greg Fealy mengklarifikasi sejarah perjalanan NU dalam tiga periode. Pertama, periode awal sebagai organisasi keagamaan, sebagaimana organisasi keagamaan lainnya seperti Muhammadiyah, Persis dan Perti. NU didirikan sebagai jam’iyyah diniyah (organisasi keagamaan) yang mempunyai misi mengembangkan kegiatan-kegiatan keagamaan, pendidikan, ekonomi dan sosial.
Periode pertengahan, yakni ketika NU sebagai organisasi keagamaan, berubah fungsi menjadi sebuah partai politik atau menjadi unsur formal dalam sebuah partai. Era ini dimulai sejak tahun 1930, yakni ketika NU bersama ormas lain mengadakan demo atas represi yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial. Setelah Indonesia merdeka, NU beraliansi dengan Masyumi menjadi partai politik sebagai wahana artikulasi politik umat Islam. Karena itu NU keluar dari Masyumi dan berdiri sendiri sebagai partai politik sampai pada akhirnya tahun 1971 fusi menjadi Partai Persatuan Pembangunan. Di PPP pun, NU tidak dapat berbuat banyak bagi kepentingan bangsa dan negara. Sebagai akumulasi dari kehampaan dalam dunia politik, NU kembali ke khittah 1926.[8]
Periode ketiga, NU kembali pada aktivitas sosial keagamaan.[9] Periode ini sebagai tonggak sejarah baru NU dalam berkhidmat kepada bangsa dan negara. Kembalinya NU pada tujuan awal berdirinya, atau biasanya dikenal dengan kembali ke khittah 1926, tentunya diilhami oleh berbagai peristiwa selama perjalanan enam puluhan tahun. Peristiwa ini dihasilkan pada Muktamar 1984 di Situbondo. Ide kembali ke khittah 1926 ini banyak dimotori oleh tokoh-tokoh muda NU seperti Abdurrahman Wahid yang ingin menampilkan NU sebagai organisasi keagamaan tradisional kritis. Langkah-langkah kelompok ini terlihat jelas setelah NU Pasca Situbondo, dengan kepemimpinan duet Abdurrahman Wahid -Ahmad Siddik program-program kerjanya diarahkan pada pengembangan nilai-nilai ajaran Islam yang transformatif. Sehingga wajar manakala discourse NU dan transformasi sosial pasca Situbondo menjadi menarik bagi pemerhati sosial keagamaan, baik bagi peneliti Indonesia maupun mancanegara.
Dalam konteks ini, NU memainkan peran yang tidak kecil. Ini terlihat pada munculnya gagasan-gagasan segar dalam pembaruan hukum Islam (baca: fiqih) di kalangan NU, bukan hanya karena munculnya tokoh-tokoh muda NU semata, tetapi perkembangan progresif ini dialamatkan pada counter atas faham modernis. Pembaruan fiqih di kalangan nahdiyyin, sebagai konsekuensi perkembangan aspek kehidupan masyarakat, merupakan proses pemaknaan yang terus menerus –menurut Clifford Geertz—yang anarkis. Fikih bukanlah lembaga permanen yang bersifat sakral, tetapi fikih merupakan suatu produk peradaban (civilization product).
Fenomena ini sangat menarik dalam wacana pemikiran hukum di NU. Karena selama ini NU dianggap sangat hati-hati dalam merespon perkembangan hukum yang terjadi dalam masyarakat, bahkan sebagian pengamat menganggap wacana pemikiran hukum NU mengarah pada proses penutupan ijtihad. Ide-ide baru yang dikembangkan dalam pemikiran hukum NU sekarang ini menjadi lebih progresif dan transformatif dengan tawaran pemikiran-pemikiran para Kyai NU –khususnya kalangan muda—yang sangat terbuka dan kritis dengan wacana-wacana baru yang berkembang sekarang ini. Mereka mengembangkan pemikiran kritis yang interpretatif, metodologis, dan filosofis.
Dengan pemikiran yang interpretatif atas teks-teks fikih yang ada, para kyai akan mengetahui latar pemikiran khazanah-khazanah klasik yang telah menjadi bahan perbincangan primer kyai. Begitu juga secara metodologis, pemikiran fikih tidak lagi terkungkung dengan rujukan teks (qauli) saja, tetapi harus diimbangi dengan pembongkaran (dekonstruksi) konteks. Atau dengan kata lain berfikih tidak harus secara teks (madzhab qauli) tetapi juga dengan metodologi yang kontekstual (manhaj). Sedangkan wacana filosofis merupakan alternatif baru dalam mengembangkan fikih manhaji yang mulai dipakai oleh para kyai NU.[10]
Asy-Syafi’i (150-204 H/767-812 M) sebagai madzhab yang dipegangi oleh NU –meskipun secara teoritis NU mengakui madzhab empat—tidak banyak memperkenalkan wacana filsafat dalam ushul fikih. Al risalah sebagai magnum opus-Imam syafi’i menempatkan kemutlakan wahyu (Al-Qur'an) sebagai sumber syari’ah, sehingga realitas sosial harus tunduk pada nash secara menyeluruh.[11] As-Sunnah berposisi sebagai aplikasi dari nilai-nilai Al-Qur'an yang telah dilaksanakan oleh Rasulullah. Sedangkan ijma’ ditempatkan sebagai sumber ketiga dalam ushul fiqih Syafi’i. Dan yang terakhir adalah qiyas (analogi) yakni dengan cara memberi padanan dengan “yurisprudensi” yang telah ada.
Dalam kajian ushul fikih, wacana filsafat banyak dikembangkan dalam kitab Al Muwafqat karangan Imam As-Syatibi (w.790 H), seorang ulama madzhab Maliki, meskipun secara parsial telah dikenalkan oleh Imam Juwaini (w.378 H) dalam Al-Burhn maupun Al Mustashf karangan Imam Ghazali (w.505 H). Syatibi merumuskan teori maqashid syari’ah dengan membagi ke dalam tiga varian, dhoruriyah, hajjiyah dan tahsinyah.[12] Dengan pendekatan maqshid syar’ah, maka akan mudah ditemukan anatomi furu’ dan ashl sebagaimana yang diinginkan oleh kyai NU dalam menginterpretasi teks-teks klasik.
Dengan mengkaji ushul fikih Maliki (al Muwfaqat-Syatibi) nampak ada upaya desakralisasi atas madzhab Syafi’i yang selama ini menjadi handbook kyai NU. Hanya saja dalam forum bahtsul masa’il yang dikembangkan oleh NU, para kyai-ulama tidak tegas menyatakan pembaruan manhaji dalam bahtsul mas’il.
Keputusan bahtsul masa’il di lingkungan NU, dibuat dalam rangka bermadzhab dengan salah satu madzhab empat yang disepakati dan mengutamakan bermadzhab secara qaul. Oleh karena itu dalam memberikan jawaban ittifaq hukum digunakan susunan metodologis sebagai berikut:
1. Dalam kasus yang ditemukan jawabannya dalam ibarat kitab dan hanya satu qaul (pendapat), maka qaul itu yang diambil.
2. Dalam kasus yang hukumnya terdapat dua pendapat maka dilakukan taqrir jama’i dalam memilih salah satunya.
3. Bila jawaban tidak diketemukan dalam ibarat kitab sama sekali, dipakai ilhaq al masail bin nadhariha secara jamai oleh para ahlinya.
4. Masalah yang dikemukakan jawabannya dalam ibarat kitab dan tidak bisa dilakukan ilhq, maka dilakukan istimbat jama’i dengan prosedur madzhab secara manhaji oleh para ahlinya.[13]
Berangkat dari sistem pengambilan keputusan hukum Bahtsul Masail yang dirumuskan pada Munas Bandar Lampung tahun 1992 ini, sebenarnya telah terjadi dinamika pemikiran hukum di lingkungan NU baik dari aspek substansi pembahasan maupun aspek metodologis. Bagi NU perumusan sistem ini sangat berarti bukan saja bagi para kyai yang terlibat langsung dalam arena bahtsul masail, tetapi bagi pengembangan wawasan berpikir masyarakat NU pada umumnya.
Sejauh pengamatan penulis, terjadinya dinamika pemikiran hukum NU itu tidak lepas dari dua faktor; pertama, faktor internal yakni munculnya banyak kyai muda kritis yang mempunyai wawasan keagamaan inklusif dan menyadari munculnya pluralitas agama dan pemahaman keagamaan. Kedua, faktor eksternal yang tidak bisa dihindari. Pergumulan sosial warga nahdiyyin dengan berbagai wacana modern membentuk sikap kritis pada doktrin-doktrin ajaran yang baku. Untuk itu kontekstualisasi ajaran agama menjadi urgen bagi organisasi sosial keagamaan semacam Nahdlatul Ulama.
[1] Hasyim Asy’ari, Qann Asasi Nahdatul Ulama (Kudus: Menara Kudus, 1973), hal. 2
[2] M. Fajrul Falah, Jamiyyah NU Lampau Kini dan Datang, dalam Gur Dur NU dan Masyarakat Sipil, Ellya KH. Darwis (ed.) (Yogyakarta: LkiS, 1994), hal. 170
[3] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1996), hal. 234-235.
[4] Martin van Bruinessen, NU Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru (Yogyakarta: LkiS, 1994), hal. 30
[5] Kritik ini antara lain dikemukakan oleh Martin van Bruinnessen dan Zamakhsyari Dhofier dalam disertasi doktornya, yang kemudian diterjemahkan menjadi Tradisi Pesantren Studi Tentang Paradigma Hidup Kyai
[6] Lihat Deliar Noer, loc.cit.
[7] Fajrul Falaah, loc.cit.
[8] kembalinya NU ke Khittah 1926 bukan hanya berarti melepaskan diri dari keterkaitan dengan tiga parpol dan Golkar yang ada di Indonesia. Makna penting dari political equidistance ini, NU mengajak seluruh warganya untuk menegaskan jati diri lalu menempatkan warga NU untuk berinteraksi aktif dengan dasar negara. Inilah salah satu bukti dilaksanakannya dari Deklarasi Hubungan Islam dan Pancasila yang menyatakan bahwa NU dan seluruh warganya berkewajiban secara syar’i untuk menjaga pemahaman Pancasila yang benar (Deklarasi Situbondo, Hasil Muktamar NU 1984).
[9] Greg Barton dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdatul Ulama dan Negara (Yogyakarta: LkiS, 1997), hal. Xiii.
[10] Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqih Sosial (Yogyakarta: LkiS, 1994), hal. vi
[11] Muhammad Idris As Syafi’i, Al Risalah, editor Ahmad Muhamamd Syakir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1939 M/1358 H), hal. 20
[12] Abi Ishaq as-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari'ah, editor Abdullah Darras (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), Juz I, hal. 10 dan Juz II, hal. 2.
[13] Materi Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama 1992, Sistem Pengambilan Keputusan Hukum dan Hirarki Hasil Keputusan Bahtsul Masil (Jakarta: Sekjen PBNU, 1002), hal. 3-4
Senin, 22 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar