Dr. Imam Yahya, M.Ag.
(Dosen Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang)
Pendahuluan
Ketika Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum melakukan inspeksi mendadak di awal tahun 2010, dan menemukan “hotel mewah” di rutan Salemba, masyarakat mempertanyakan tentang fungsi penjara yang selama ini berganti nama dengan Lembaga Pemasyarakatan (LP) di Indonesia ini. Artalyta Suryani, terpidana kasus suap Rp 6 miliar kepada jaksa Urip Tri Gunawan, yang menikmati fasilitas itupun merasa bahwa perlakuan ini sesuatu yang wajar. Dari ruang tahanan itu pula dia rutin mengadakan rapat bisnis dengan anak buahnya.
Penjara yang di Indonesia dikenal sejak tahun 1905 pada mulanya diperuntukkan untuk para tahanan politik. Mereka yang menantang pemerintah Hindia Belanda dijebloskan ke penjara sebagai tempat pembalasan atas tindakan kriminal perlawanan terhadap Belanda. Konsep inilah yang hingga saat ini menjadi pegangan khususnya para pengambil kebijakan untuk meneruskan eksistensi pidana penjara.
Sekarang ini penjara yang merupakan Unit Pelayanan Teknis di bawah Departemen Hukum dan HAM RI, telah beralih nama Lembaga Kemayarakatan. Namun, dalam action-nya belum bisa berfungsi dengan maksimal. Ada dua alasan klise yang menjadi kendala. Pertama, masalah otonomi yang terkait dengan terbatasnya pilihan dalam perencanaan dan penganggaran. Kedua, adalah masalah teknologi, yaitu kemampuan pelaksanaan fungsi teknis khususnya pola, bentuk, substansi dan kapasitas pendukung proses pembinaan. Dengan masalah tersebut para penyelenggara penjara merasa wajar apabila fungsi penjara belum dilaksanakan secara maksimal.
Gagasan Negara Tanpa Penjara yang pernah digulirkan oleh beberapa tokoh perlu mendapat apresiasi di saat ketidakmampuan Negara menjalankan fungsi penjara senbagaimana mestinya. M Cherif Bassiouni (2009), seorang ahli hukum Pidana Islam (Islamic Criminal law) menyatakan bahwa hukum pidana penjara penuh dengan gambaran hukuman masa lampau. Teori retributif (teori pembalasan) yang dikenal dalam hukum pidana merupakan a realistic of barbarism. Begitu juga dengan International Conference in Prison Abolition (ICOPA) dalam Konggres ke 3 tahun 1987 menggagas pergeseran dari prison abolition menjadi penal abolition. Bahkan Professor Hazairin Hukum Adat dan Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 1980-an pernah menerbitkan buku dengan judul Tujuh Serangkai Tentang Hukum, tepatnya di bawah judul ”negara tanpa penjara”.
Seiring dengan penghargaan yang tinggi terhadap Hak Asasi Manusia, konsep penjara seakan perlu dievaluasi eksistensi penjara baik dari aspek teori maupun praktis. Tulisan ini mencoba melakukan analisis secara teoritik wabil khusus dari perpektif ilmu pidana Islam (fiqh jinayat).
Teori Hukuman dalam Fiqh
Hukuman atau punishment berarti a penalty imposed on an offender for a crime or wrong doing (Neufeldt, 1996:1091) (hukuman yang dijatuhkan kepada pelanggar kejahatan atau melakukakan kesalahan), sedangkan dalam istilah bahasa Arab dikenal dengan kata عقوبة (‘uqūbah) yang berarti siksa atau hukuman (Munawwir, 1996:952) yaitu hukuman atas perbuatan yang melanggar ketentuan Syari’ yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat.
Dalam konteks Negara kita, pidana penjara adalah salah satu jenis pidana pokok yang terdapat dalam KUHP yang berlaku sekarang (Ius Constitutum) dan RUU KUHP mendatang (Ius Constituendum). Sehingga, sampai saat ini pidana penjara masih menjadi ‘primadona’ dalam hukum pidana Indonesia.
Menurut kamus hukum, penjara adalah tempat di mana orang-orang dikurung dan dibatasi berbagai macam kebebasannya. Mereka dikirim ke penjara dalam rangka mempertanggungjawabkan tindak kriminal, bukan utnuk pindah tempat tinggal atau tempat berkator. Penjara diharapkan mampu meredam tindak kriminal yang dilakukan oleh pelaku kriminal yang meresahkan masyarakat (Arief: 2010). Penjara janganlah menjadi school of crime (sekolah kriminal), yang semula penjahat kecil namun setelah masuk penjara justru tambah kebal dengan kejahatan.
Dalam khazanah hukum Islam, pidana penjara biasa disebut dengan al-habsu atau al-sijnu, yang secara etimologi berarti mencegah dan menahan. Sedangkan istilah hukuman dalam hukum pidana Islam sebagaimana dikemukakan oleh Abd al-Qadir Audah (tt: 609),
العقوبة هى الجزاء المقرر لمصلحة الجماعة على عصيان امر الشارع
Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat, karena adanya pelanggaran-pelanggaran atas ketentuan syara’.
Berdasarkan pengertian bahasa di atas dapat dipahami bahwa hukuman (punishment/uqūbah) adalah segala bentuk siksa, sanksi atau sejenisnya yang dikenakan kepada seseorang akibat dari perbuatannya yang melanggar ketententuan-ketentuan atau peraturan, baik yang ditetapkan oleh Tuhan dalam firman-firman-Nya ataupun peraturan yang disepakati bersama mayarakatnya, seperti norma, perundang-undangan dan sejenisnya.
Para ahli hukum Islam mengklasifikasi tujuan-tujuan dari syariat adalah dalam rangka mencapai kemashlahatan tingkat dharuri (primer), hajji (skunder), dan tahsini (tersier) (Khallaf: 1978). Sedangkan tujuan pokok dalam penjatuhan hukuman dalam syari’at Islam ada dua, yaitu pencegahan (زجر) dan pengajaran atau pendidikan (تهذيب). (Hanafi, 1967: 255).
Pencegahan ialah menahan pelaku agar tidak mengulangi perbuatan jarimahnya atau agar ia tidak terus menerus melakukannya. Disamping itu juga sebagai pencegahan terhadap orang lain agar ia tidak melakukan perbuatan jarimah, sebab ia mengetahui hukuman yang diterima bila ia melakukan perbuatan jarimah serupa.
Perbuatan-perbuatan yang diancam hukuman dapat berupa pelanggaran terhadap larangan atau meninggalkan kewajiban. Dalam keadaan seperti itu boleh jadi hukuman meninggalkan kewajiban jauh lebih berat, karena tujuan penjatuhan hukuman pada meninggalkan kewajiban ialah memaksa pelaku untuk mengerjakan kewajiban.
Begitu juga dalam hukum pidana umum, tujuan pemidanaan yang berkembang dari dahulu sampai sekarang telah semakin munjurus ke arah yang lebih rasional. Tujuan pemidanaan yang paling tua adalah pembalasan (revenge) atau untuk tujuan memuaskan pihak yang dirugikan atau yang menjadi korban kejahatan. Hal ini bersifat primitif, tetapi kadang-kadang masih terasa pengaruhnya pada zaman modern ini.
Sekarang ini berkaitan dengan tujuan pemidanaan, paling tidak terdapat 3 golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana, yaitu: (1) teori absolut atau teori pembalasan (vergeldingstheorien), (2) teori relatif atau teori tujuan (doeltheorien), dan (3) teori gabungan (verenigingstheorien).
Teori yang pertama muncul pada akhir abad ke 18, dianut antara lain oleh Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl, Leo Polak dan beberapa sarjana yang mendasarkan teorinya pada filsafat. Teori ini menyatakan bahwa pemidanaan tidaklah bertujuan untuk hal-hal yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk diajtuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukannya kejahatan. Oleh karena itulah maka teori ini disebut teori absolut.
Yang kedua, teori relative yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk prevensi terjadinya kejahatan. Wujud pidana ini berbeda-beda: menakutkan, memperbaiki atau membinasakan. Yang ketiga teori gabungan antara pembalasan dan prevensi terdapat beberapa variasi.
Shiddiqie (1997:5297) membagi macam-macam hukuman dalam Islam menjadi dua bentuk, yaitu: hukuman akhirat (العقوبة الاخروية) dan hukuman dunia (العقوبة الدنيوية). Hukuman akhirat merupakan kehendak Allah Swt, adalah hukuman yang benar (haq) dan adil (‘adl), ia dapat berbentuk azab atau ampunan dari-Nya. Adapun hukuman dunia menurutnya ada dua macam pula, yaitu: hudud dan takzir.
Hudud adalah hukuman-hukuman yang telah ditentukan bentuknya oleh Syari’ dengan nash-nash yang jelas. Hukuman had menurut Hanafiyah ada tujuh macam yaitu, had zina, had qadzf, had pencurian, had minum hamr, dan had mabuk. Sedangkan menurut jumhur ulama selain Hanafiyah ada tujuh macam yaitu had zina, had qadzf, had pencurian, had hirabah, had mabuk-mabukan, had qisas, had riddah.
Al-Hudud, sanksi hukum yang tertentu dan mutlak yang menjadi hak Allah, yang tidak dapat diubah oleh siapa pun. Sanksi itu wajib dilaksanakan, manakala syarat¬syarat dari tindak pidana itu terpenuhi. Sanksi ini di¬kenakan kepada kejahatan-kejahatan berat seperti zina, sariqah, riddah, qadzaf dan lain-lain. Sedangkan Qishash adalah sanksi hukuman pembalasan seimbang, seperti membunuh terhadap si pembunuh. Al-Diyat adalah sanksi hukuman dalam bentuk ganti rugi, seperti jika ahli waris si terbunuh memberi maaf maka hukuman alternatif adalah diyat. Sanksi hukum Qishash dan Diyat adalah merupa¬kan sanksi hukum perpaduan antara hak Allah dan hak manusia.
Sedangkan Takzir, adalah sanksi hukum yang diserahkan kepada keputusan hakim atau pihak berwenang yang berkompeten melaksanakan hukuman itu, seperti memenjarakan, mengasingkan dan lain-lain. Inilah keluwesan takzir sebagai bentuk hukum Islam yang shalihun likulli zamanin wamakanin.
Secara umum kajian hukum Islam terbagi menjadi hukum ijtihadi (pemikiran hukum) dan hukum tatbiqi (penerapan hukum). Sangsi penjara merupakan salah satu bentuk upaya hukum dalam ranah tatbiqi. Untuk itu dalam pespektif fiqh jinayat, sangsi penjara tetap diberlakukan apabila oleh hakim dibutuhkan dan tepat untuk memberikan balasan dan pendidikan bagi pelaku kejahatan.
Pidana Penjara dalam Perspektif Fiqh Jinayat
Hukum pidana Islam sebagai sebuah sistem hukum, mempunyai tiga aspek kajian; yakni tindak pidana ( rukn al-amali ), pertanggungjawaban pidana ( rukn al-madi ), dan pidana atau hukuman ( rukn al-syar"i ). Tiga aspek tersebut harus dipahami secara simultan sehingga akan menggambarkan hukum pidana Islam sebagai sebuah sistem hukum yang universal (Zuhaili, 1997).
Banyak umat Islam yang memahami hukum pidana Islam hanya dilihat dari satu rukun yakni rukun syar’i, yakni materi pidana, sehingga hukum Islam hanya difahami dari aspek pidana/ hukuman ( uqubat ) seperti hukum mati, potong tangan, rajam (terpidana dilempar batu hingga mati), penjara, dan jilid (terpidana dipukul dengan rotan). Padahal hukum pidana Islam juga membahas tentang pertanggungjawaban pidana dan perbuatan pidana. Dengan memahami perbuatan hukum dan pertanggungjawaban hukum sekaligus, wajah hukum pidana Islam tidak terkesan bengis, barbarian ala Arab pada masa klasik.
Dari ketiga rukun tersebut, yang mempunyai relevansi dengan tulisan ini adalah menyangkut masalah pidana dan pemidanaan. Ancaman pidana yang dikenakan pada tiap-tiap perbuatan pidana hakekatnya adalah menggambarkan ketercelaan dan keseriusan perbuatan yang bersangkutan. Dalam hukum pidana Islam (fiqh jinayat), hukum qishosh diyat berbeda dengan hudud, begitu juga dengan takzir yang secara substansial lebih rendah dari qishosh dan hudud.
Untuk qishosh, diyat dan hudud mestinya sudah jelas dituliskan dalam nash-nash agama, tetapi untuk takzir ini yang rawan dengan subyektifitas. Dalam hukum pidana dikenal azaz legalitas dengan nellum delictum nulla poena sine prevea lege poenali (tak ada delik tanpa aturan yang tertulis dalam hukum). Begitu juga dengan fiqh jinayat mengena la jarimata wa la uqubata illa binasshin (tidak ada jarimah (tindak pidana) dan tidak ada hukuman kecuali ada nash yang menunjukkan (Audah: tth).
Siddiqi (1987:204-6) membagi takzir, dilihat dari manfaat nya, menjadi tiga hal:
1. Takzir atas maksiyat, yakni maksiyat yang tersebut dalam nash, seperti riba, risywah, makan harta anaka yatim.
2. Takzir untuk kemaslahatan, seperti menakzir bapaknya seorang anak yang melakukan tindak pidana, dengan harapan ada perhatian dari orang tua.
3. Takzir atas perbuatan yang diperselisihkan, seperti melakukan perbuatan makruh atau meninggalkan perbuatan yang sunnah.
Adapun bentuk-bentuk pidana takzir yang dikenal dalam teks fiqh jinayat di antaranya; menyalib, jilid, pernjara, perampasan harta benda, dan lain lain. Di antara takzir yang hingga sekarang ini banyak diberlakukan di beberapa Negara adalah pidana penjara atau pengasingan. Istilah penjara yang menggunakan kata al-habsu atau al-sijnu dalam bahasa Arab, bahkan dijadikan sebagai pidana pokok dalam kitab undang-undang Hukum Pidana Negara-negara di dunia.
Di dalam Pasal 10 KUHP di Negara Indonesia misalnya diatur tentang jenis-jenis pidana, yaitu yang terdiri dari pidana pokok (pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan), dan pidana tambahan yang terdiri dari: pencabutan hak-hak tertentu dan perampasan barang-barang tertentu serta pengumuman putusan hakim.
Lebih lanjut berkenaan dengan pidana penjara dalam Pasal 12 KUHP ditegaskan:
(1) pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu;
(2) pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut; (3) pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat dilampaui karena perbarengan (concursus), pengulangan (residive) atau karena ditentukan dalam Pasal 52 dan 52a.
Dalam berbagai kitab fiqh, pembahasan penjara menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan takzir. Berbagai perbuatan jarimah yang tidak masuk dalam qishash diyat dan hudud dikenai dengan hukuman takzir. Contohnya antara lain perbuatan menuduh zina atau qadhaf yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak-anaknya, apabila orang tua tidak bisa mengajukan empat orang saksi, maka hukuman yang diberikan cukup dengan penjara atau pengasingan (Nihayah: 26/33).
Begitu juga dengan pencurian yang tidak memenuhi satu nishab. Bagi seorang pencuri demikian tidak dipotong tangan tetapi di penjara sesuai dengan keyakinan hakim. (Tuhfah:18/346).
Yang perlu menjadi catatan adalah bahwa meski penjara senantiasa eksis dalam setiap generasi fiqh, tetapi fiqh tidak merumuskan institusi penjara. Artinya eksistensi penjara merupakan upaya penyesuaian fiqh dengan konteks di mana fiqh berkembang.
Dalam perspektif ushul fiqh, hukum terbagi menjadi hukum ashliyyah dan hukum muayyidat (Zarqa: tt). Hukum ashliyyat adalah inti atau substansi dari hukum-hukum yang dijelaskan Allah dalam nash-nash sucinya. Potong tangan bagi pencuri misalnya, yang paling substansi adalah larangan mencurinya karena akan merugikan orang lain. Memotong tangan atau memenjarakan seorang pelaku adalah hukum muayyidatnya yakni sangsi-sangsi hukum yang digunakan dalam rangka menguatkan inti dari larangan mencuri.
Hukuman penjara mestinya hanyalah sebagai hukum muayyidat yang menjadi penguat dalam rangka menegakkan hukum-hukum Allah SWT. Sedangkan penjara, pengasingan atau sangsi hukum lainnya hanyalah pelengkap. Untuk itu hukum pidana Islam memandang efektifitas hukuman seperti penjara atau lainnya disesuaikan dengan kondisi kekinian. Penjara bukan satu-satunya media untuk menyadarkan dan menjerakan seseorang untuk berhenti untuk melakukan pelanggaran hukum. Wallohu a’lambi shawab.*)
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, Beirut: Dar al-Qalam, 1978.
Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Legislatif dalam penanggulangan Kejahatan dengan Pidana penjara, Semarang: BP Undip, 2000.
Audah, Abd al-Qadir, al-Tasyri’ al-Jianay al-Islamiy, juz I, Dar al-Kitab, Beirut: tth.
Azhari, Tahir, Criminal Law in Islam and the Muslim World A Comaparative Perspective, Institute of Objective Studies, 1996.
Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1967,
M Cherif Bassiouni, Islamic Criminal law, (2009)
Mun’in, Muhammad Abdul, Nadharoyyah al-Qur’an ila al-jarimah wa al-Iqab, Mesir, dar al-Manar:1988.
Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: pustaka Progresif, 1996.
Neufeldt,Victoria, Webster’s New Word Dictionary, New York: Macmillan company, 1996.
Shiddieqi, Abdurrohim, Al-Jarimah wa al-Uqubah fi Syariat al-Islamiyah, Mesir: Maktamab Nahdhoh:1987.
Zarqa, Mustofa, Al-Madkhal fi al-Fiqh al-Islam, (Beirut: Daar al-Fikr, 1990)..
Zuhailiy,Wahbah az-, al-Fiqh al-Islam wa al-Dillatuh, Damaskus: Daar al-Fikr, 1997.
Senin, 19 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar