Prof. Dr. H. Thomas Djamaluddin
Profesor Riset
Astronomi-Astrofisika, LAPAN
Anggota Badan Hisab Rukyat,
Kementerian Agama RI
Anggota Tim Tafsir Ilmi,
Kementerian Agama RI
Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah
sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Dan berpeganglah
kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai (tafarruq). Dan ingatlah akan nikmat Allah
kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang
yang bersaudara. Dan (ingatlah) kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu
Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. Dan hendaklah ada di
antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung. Dan
janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih
sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang
yang mendapat siksa yang berat. (QS 3/Ali-Imraan:102-105)
Dulu Muhammadiyah
gencar dengan gerakan pemberantasan TBC (Takhyul, Bid’ah, dan C[k]hurafat).
Namun pembinaan Muhammadiyah atas dasar taqlid tentang hisab hakiki wujudul
hilal telah melemahkan sikap kritis internalnya akan bid’ah yang paling
nyata yang berdampak pada perbedaan penentuan waktu ibadah Ramadhan, baik
mengawalinya maupun mengakhirinya. Bid’ah adalah praktek yang terkait dengan
ibadah yang tidak ada dasar hukumnya. Banyak yang tidak sadar akan bid’ah
wujudul hilal, karena warga Muhammadiyah terfokus pada dalil-dalil hisab
(perhitungan) yang dulu selalu dipertentangkan dengan rukyat (pengamatan)
hilal. Seolah-olah hisab hanya dengan kriteria wujudul hilal. Saat ini hisab
sudah disetarakan dengan rukyat, sepanjang hisabnya memperhatikan kriteria
rukyat.
Secara lebih rinci,
di blog saya ini saya tuliskan kritik saya pada kriteria wujudul hilal (http://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/08/27/muhammadiyah-terbelenggu-wujudul-hilal-metode-lama-yang-mematikan-tajdid-hisab/).
Dengan kritik itu berbagai hujatan saya terima, termasuk gelar baru sebagai
“provokator” karena menggunakan kata “usang” (obsolete) yang sebenarnya bahasa
netral dalam sains. Semoga provokasi saya masih dalam kerangka amar ma’uf nahi
munkar yang diperintahkah Allah dalam QS 3:104, seperti tertulis di atas.
Secara ringkas, fokus kritik saya pada penentuan awal Ramadhan dan akhir
Ramadhan yang terkait dengan pelaksanaan ibadah, mestinya kriteria yang
digunakan juga harus atas dasar dalil-dalil syar’i. Namun, dalil syar’i yang
diajukan untuk mendasari wujudul hilal hanyalah QS 36:40 dengan tafsir
astronomis yang keliru dan mengabaikan sekian banyak dalil rukyat yang
sebenarnya bisa menjadi dasar untuk mendukung kriteria hisab. Dalil rukyat
ketika ditafsirkan secara teknis untuk diterapkan dalam hisab akan berwujud
kriteria imkan rukyat hilal (kemungkinan rukyat hilal) yang dalam bahasa teknis
astronomis disebut kriteria visibilitas hilal. Wujudul hilal mengabaikan
rukyat, sehingga tidak punya pijakan dalil qath’i (tegas) yang mendukungnya.
Dengan demikian wujudul hilal menjadi bid’ah yang nyata. Padahal hisab tidak
harus wujudul hilal, bisa menggunakan kriteria imkan rukyat yang merupakan
tafsir ilmi astronomis atas dalil-dalil rukyat.
Astronomi menawarkan
sekian banyak alternatif kriteria imkan rukyat sebagai hasil kajian ilmiah
berdasarkan data pengamatan yang terus berkembang. Namun jangan berharap
astronom untuk membuat kesepakatan soal kriteria, karena produk sains bukan
harus dipersatukan, masing-maisng peneliti berhak untuk menyajikan data dan
analisisnya, kemudian menyimpulkan kriteria yang dianggapnya terbaik
menggambarkan visibilitas hilal. Untuk aplikasi dalam pembuatan kalender dan
penentuan waktu ibadah, kita lah yang harus memilih salah satu kriteria itu
kemudian menyepakatinya untuk diimplementasikan. Pemilihan kriteria harus
didasarkan pada kemudahan dalam aplikasinya bagi seluruh ahli hisab dan ahli
rukyat. Bagi ahli hisab, kriteria itu sebagai penentu masuknya awal bulan. Bagi
ahli rukyat, kriteria sebagai pemandu rukyat.
Mengapa harus ada
kesepakatan? Ya, demi persatuan dalam sistem kalender dan penentuan awal bulan,
harus ada kesepakatan kriteria. Kita belajar dari penerapan astronomi dalam
penentuan jadwal shalat. Kriteria posisi matahari untuk jadwal shalat
sebenarnya beragam, khususnya untuk Shubuh, Asar, dan Isya. Namun, kita sudah
bisa memilih salah satunya dan menyepakatinya sehingga secara umum semua jadwal
shalat yang diumumkan Kementerian Agama sama dengan jadwal yang dikeluarkan
ormas-ormas Islam. Jadwal kumandang adzan di TV sama dengan jadwal di masjid.
Demikianlah kalau kesepakatan kriteria sudah tercapai.
Beberapa kali
kesepakatan antar-ormas Islam yang difasilitasi Kementerian Agama sudah
tercapai. Kesepakatan pertama tahun 1998 dan yang terakhir 2011 (http://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/09/26/lokakarya-kriteria-awal-bulan-perwakilan-ormas-islam-bersepakat/).
Tetapi Muhammadiyah selalu memisahkan diri dari kesepakatan. Muhammadiyah
memilih tafarruq, berpisah dari ummat dalam hal penentuan awal bulan.
Mereka lebih membela bid’ah wujudul hilal daripada persatuan ummat. Mereka
lebih menjunjung pasal 29 UUD RI “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu” daripada perintah Allah yang qath’i dalam
Al-Quran Surat Ali-Imran (3): 103 “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada
tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai (tafarruq)”.
Muhammadiyah merasa
dipojokkan oleh Pemerintah dan ormas-ormas Islam lainnya dalam sidang itsbat
penentuan Idul Fitri 1432/2011 sehingga memilih tidak akan ikut lagi sidang
itsbat berikutnya. Mari kita tengok sejarah. Ketika terjadi perbedaan Idul
Fitri 1998 karena perbedaan masalah kriteria wujudul hilal vs imkan rukyat,
Menteri Agamanya Dr. Tarmizi Taher dari Muhammadiyah (Ketua Korps Mubalig
Muhammadiyah). Keputusan sidang itsbat menetapkan Idul Fitri jatuh pada 30
Januari 1998, berdasarkan masukan sebagian besar peserta sidang yang
menghendaki kesepakatan kriteria imkan rukyat digunakan. Kesaksian di Cakung
dan Bawean ditolak. Hisab wujudul hilal tidak ada yang mendukung selain Muhammadiyah,
karena Persis sebagai pengamal hisab juga menggunakan imkan rukyat. Ya, tidak
perlu memojokkan Muhammadiyah. Kalau inginnya berbeda dengan yang lain, pasti
Muhammadiyah akan terpojok dengan sendirinya. Perdebatan hangat saat sidang
itsbat adalah hal yang biasa, bukan hanya saat sidang itsbat penetapan Idul
Fitri 1432/2011. Saat sidang itsbat penatapan idul fitri 1998, sidang itsbat
juga diwarnai debat hangat gara-gara masalah perbedaan kriteria. Menteri asal
Muhammadiyah pun harus mengalah, karena sebagian besar peserta sidang itsbat
menghendaki kesepakatan kriteria imkan rukyat yang digunakan, baik dalam
menilai hasil hisab maupun rukyat. Muhammadiyah terpojok, lebih tepatnya
memojokkan diri, tafarruq dari persatuan ummat.
(Makalah ini dikutip dari http://tdjamaluddin.wordpress.com/2012/07/04/hanya-karena-membela-bidah-wujudul-hilal-yang-usang-muhammadiyah-memilih-tafarruq)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar