Total Tayangan Halaman

Sabtu, 07 Juli 2012

Hanya karena Membela Wujudul Hilal yang Usang, Muhammadiyah Memilih Tafarruq



Prof. Dr. H. Thomas  Djamaluddin
Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN
Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementerian Agama RI
Anggota Tim Tafsir Ilmi, Kementerian Agama RI

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai (tafarruq). Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara. Dan (ingatlah) kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung. Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat. (QS 3/Ali-Imraan:102-105)

Dulu Muhammadiyah gencar dengan gerakan pemberantasan TBC (Takhyul, Bid’ah, dan C[k]hurafat). Namun pembinaan Muhammadiyah atas dasar taqlid tentang hisab hakiki wujudul hilal telah melemahkan sikap kritis internalnya akan bid’ah yang paling nyata yang berdampak pada perbedaan penentuan waktu ibadah Ramadhan, baik mengawalinya maupun mengakhirinya. Bid’ah adalah praktek yang terkait dengan ibadah yang tidak ada dasar hukumnya. Banyak yang tidak sadar akan bid’ah wujudul hilal, karena warga Muhammadiyah terfokus pada dalil-dalil hisab (perhitungan) yang dulu selalu dipertentangkan dengan rukyat (pengamatan) hilal. Seolah-olah hisab hanya dengan kriteria wujudul hilal. Saat ini hisab sudah disetarakan dengan rukyat, sepanjang hisabnya memperhatikan kriteria rukyat.
Secara lebih rinci, di blog saya ini saya tuliskan kritik saya pada kriteria wujudul hilal (http://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/08/27/muhammadiyah-terbelenggu-wujudul-hilal-metode-lama-yang-mematikan-tajdid-hisab/). Dengan kritik itu berbagai hujatan saya terima, termasuk gelar baru sebagai “provokator” karena menggunakan kata “usang” (obsolete) yang sebenarnya bahasa netral dalam sains. Semoga provokasi saya masih dalam kerangka amar ma’uf nahi munkar yang diperintahkah Allah dalam QS 3:104, seperti tertulis di atas. Secara ringkas, fokus kritik saya pada penentuan awal Ramadhan dan akhir Ramadhan yang terkait dengan pelaksanaan ibadah, mestinya kriteria yang digunakan juga harus atas dasar dalil-dalil syar’i. Namun, dalil syar’i yang diajukan untuk mendasari wujudul hilal hanyalah QS 36:40 dengan tafsir astronomis yang keliru dan mengabaikan sekian banyak dalil rukyat yang sebenarnya bisa menjadi dasar untuk mendukung kriteria hisab. Dalil rukyat ketika ditafsirkan secara teknis untuk diterapkan dalam hisab akan berwujud kriteria imkan rukyat hilal (kemungkinan rukyat hilal) yang dalam bahasa teknis astronomis disebut kriteria visibilitas hilal. Wujudul hilal mengabaikan rukyat, sehingga tidak punya pijakan dalil qath’i (tegas) yang mendukungnya. Dengan demikian wujudul hilal menjadi bid’ah yang nyata. Padahal hisab tidak harus wujudul hilal, bisa menggunakan kriteria imkan rukyat yang merupakan tafsir ilmi astronomis atas dalil-dalil rukyat.
Astronomi menawarkan sekian banyak alternatif kriteria imkan rukyat sebagai hasil kajian ilmiah berdasarkan data pengamatan yang terus berkembang. Namun jangan berharap astronom untuk membuat kesepakatan soal kriteria, karena produk sains bukan harus dipersatukan, masing-maisng peneliti berhak untuk menyajikan data dan analisisnya, kemudian menyimpulkan kriteria yang dianggapnya terbaik menggambarkan visibilitas hilal. Untuk aplikasi dalam pembuatan kalender dan penentuan waktu ibadah, kita lah yang harus memilih salah satu kriteria itu kemudian menyepakatinya untuk diimplementasikan. Pemilihan kriteria harus didasarkan pada kemudahan dalam aplikasinya bagi seluruh ahli hisab dan ahli rukyat. Bagi ahli hisab, kriteria itu sebagai penentu masuknya awal bulan. Bagi ahli rukyat, kriteria sebagai pemandu rukyat.
Mengapa harus ada kesepakatan? Ya, demi persatuan dalam sistem kalender dan penentuan awal bulan, harus ada kesepakatan kriteria. Kita belajar dari penerapan astronomi dalam penentuan jadwal shalat. Kriteria posisi matahari untuk jadwal shalat sebenarnya beragam, khususnya untuk Shubuh, Asar, dan Isya. Namun, kita sudah bisa memilih salah satunya dan menyepakatinya sehingga secara umum semua jadwal shalat yang diumumkan Kementerian Agama sama dengan jadwal yang dikeluarkan ormas-ormas Islam. Jadwal kumandang adzan di TV sama dengan jadwal di masjid. Demikianlah kalau kesepakatan kriteria sudah tercapai.
Beberapa kali kesepakatan antar-ormas Islam yang difasilitasi Kementerian Agama sudah tercapai. Kesepakatan pertama tahun 1998 dan yang terakhir 2011 (http://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/09/26/lokakarya-kriteria-awal-bulan-perwakilan-ormas-islam-bersepakat/). Tetapi Muhammadiyah selalu memisahkan diri dari kesepakatan. Muhammadiyah memilih tafarruq, berpisah dari ummat dalam hal penentuan awal bulan. Mereka lebih membela bid’ah wujudul hilal daripada persatuan ummat. Mereka lebih menjunjung pasal 29 UUD RI “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” daripada perintah Allah yang qath’i dalam Al-Quran Surat Ali-Imran (3): 103  “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai (tafarruq)”.
Muhammadiyah merasa dipojokkan oleh Pemerintah dan ormas-ormas Islam lainnya dalam sidang itsbat penentuan Idul Fitri 1432/2011 sehingga memilih tidak akan ikut lagi sidang itsbat berikutnya. Mari kita tengok sejarah. Ketika terjadi perbedaan Idul Fitri 1998 karena perbedaan masalah kriteria wujudul hilal vs imkan rukyat, Menteri Agamanya Dr. Tarmizi Taher dari Muhammadiyah (Ketua Korps Mubalig Muhammadiyah). Keputusan sidang itsbat menetapkan Idul Fitri jatuh pada 30 Januari 1998, berdasarkan masukan sebagian besar peserta sidang yang menghendaki kesepakatan kriteria imkan rukyat digunakan. Kesaksian di Cakung dan Bawean ditolak. Hisab wujudul hilal tidak ada yang mendukung selain Muhammadiyah, karena Persis sebagai pengamal hisab juga menggunakan imkan rukyat. Ya, tidak perlu memojokkan Muhammadiyah. Kalau inginnya berbeda dengan yang lain, pasti Muhammadiyah akan terpojok dengan sendirinya. Perdebatan hangat saat sidang itsbat adalah hal yang biasa, bukan hanya saat sidang itsbat penetapan Idul Fitri 1432/2011. Saat sidang itsbat penatapan idul fitri 1998, sidang itsbat juga diwarnai debat hangat gara-gara masalah perbedaan kriteria. Menteri asal Muhammadiyah pun harus mengalah, karena sebagian besar peserta sidang itsbat menghendaki kesepakatan kriteria imkan rukyat yang digunakan, baik dalam menilai hasil hisab maupun rukyat. Muhammadiyah terpojok, lebih tepatnya memojokkan diri, tafarruq dari persatuan ummat.
(Makalah ini dikutip dari  http://tdjamaluddin.wordpress.com/2012/07/04/hanya-karena-membela-bidah-wujudul-hilal-yang-usang-muhammadiyah-memilih-tafarruq)

Tidak ada komentar: