Oleh:
Imam Yahya
(dosen
pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Walisongo Semarang)
Banyak orang yang menyatakan
bahwa ummat Islam paling disiplin dalam dua hal yakni dalam mengawali dan
mengaakhiri ibadah puasa. Di pagi hari sebelum menyinsing fajar, umat Islam
yang berpuasa akan memulai puasa apabila terdengar imsak, waktu puasa dimulai.
Tanpa komando dari sang kyai atau tokoh muslim, umat pasti akan memulai
berpuasa dengan tidak makan dan minum serta hal-hal lain yang membatalkan.
Begitu juga di waktu maghrib di
mana puasa akan diakhiri denga masuknya waktu maghrib. Semua umat Islam yang
berpuasa akan mengakhiri tepat pada waktunya. Terkadang tanpa mendengarkan
adzan dari masjid yang terdekat dari rumah, asalkan sudah jam maaghrib, dengan
sendirinya akan membatalkan puasa.
Inilah yang sering dijadikan
bahan pembicaraan bahkan olok-olok bagi umat Islam tentang kedisiplinan dan
keakurasian waktu selama bulan suci ramadlon. Meski sesungguhnya problem akuras
waktu masih menjadi kendala bagi semua umat Islam.
Bila kita amati lebih detail
soal waktu ibadah, ibadah puasa memang berbeda dengan ibadah lainnya seperti
sholat, zakat dan haji. Masuknya satu sholat maktubah disebabkan oleh perjalanan
matahari, dan selesainya berarti masuk waktu sholat berikutnya. Masalah
waktunya masih fleksibel. Bagitu juga dengan zakat baik zakat fitrah maupun
zakat maal, disyaratkan manakala sudah khaul atau satu tahun atau
setelah waktu waktu tertentu. Bahkan ibadah haji yang setahun sekali juga
menggunakan batasan waktu yang longgar.
Ibadah puasa mempunyai kekhasan
dalam mengawali dan mengakhiri bulan suci ramadlon. Di awal ramadlon, para ahli
falak (astronomi Islam) telah menentukan regulasi yang ketat baik madzhab hisab
(hitungan) maupun madzab rukyah (melihat langsung matahari).
Hal ini karena secara tektual
ada ayat dan hadits yang secara detail menjelaskan awal bulan ramadlon. Dalam
quran surat al-Baqoroh; 182 Alloh berfirman faman syahida minkumus syahro
falyasum ( barang siapa di antara kamu yang melihay hilal) maka berpuasa.
Begitu juga dalam hadits nabi yang mentakan shumu liyuyatihi wa afthiru
lirukyatih (berpuasalah dikarekana engkao sudah melihat bulan).
Pemahaman para ulama terhadap
teks quran dan hadits inilah yang hingga sekarang ini sering menjadi perdebatan
yang tak terselesaikan, dan bahkan memecah belah umat Islam di Indonesia.
Pemerintah dalam hal ini
Kementerian Agama setiap tahun menyelenggarakan sidang itsbat untuk
memperteukan madhab hisab dan rukyah agar ada jalan tengah dalam menyelesauikan
beda faham di kalangan umat Islam di Indonesia. Dalam kaidah hukum Islam
dinyatakan hukmul hakim ilzamun wa yarfaul khilaf (keputusan pemerintah
bersifat tetap dan menyelesaikan perselisihan ummat). Pemerintah menjadi
penengah di antara perbedaan faham dii kalangan umat Islam.
Itulah cara para ulama di
Indonesia menentukan akurasi bulan ramadlon baik mengawali maupun mengakhiri
bulan puasa ramadlon. Perdedaan menit dalam mengawali dan mengahiri ibadah
puasa berimplikasi pada sah atau tidaknya ibadah yang kita laksanakan.
Dengan mengamati proses
penentuan puasa ini menjadi pelajaran bagi kita bahwa ajaran Islam sangat ketat
dalam persoalan waktu. Ketepatan waktu menjadi barometer kedisiplinan umat
dalam segala perilaku kehidupan manusia. Alloh SWT dalam surat Al-Ashr ayat 1 bersumpah
dengan waktu, menunjukkan waktu itu sangat penting dalam menggapai berbagai
rahmat kehidupan umat Islam.