Total Tayangan Halaman

Jumat, 10 Juli 2015

AKURASI WAKTU DI BULAN RAMADLON

Oleh: Imam Yahya
(dosen pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Walisongo Semarang)


Banyak orang yang menyatakan bahwa ummat Islam paling disiplin dalam dua hal yakni dalam mengawali dan mengaakhiri ibadah puasa. Di pagi hari sebelum menyinsing fajar, umat Islam yang berpuasa akan memulai puasa apabila terdengar imsak, waktu puasa dimulai. Tanpa komando dari sang kyai atau tokoh muslim, umat pasti akan memulai berpuasa dengan tidak makan dan minum serta hal-hal lain yang membatalkan.
Begitu juga di waktu maghrib di mana puasa akan diakhiri denga masuknya waktu maghrib. Semua umat Islam yang berpuasa akan mengakhiri tepat pada waktunya. Terkadang tanpa mendengarkan adzan dari masjid yang terdekat dari rumah, asalkan sudah jam maaghrib, dengan sendirinya akan membatalkan puasa.
Inilah yang sering dijadikan bahan pembicaraan bahkan olok-olok bagi umat Islam tentang kedisiplinan dan keakurasian waktu selama bulan suci ramadlon. Meski sesungguhnya problem akuras waktu masih menjadi kendala bagi semua umat Islam.
Bila kita amati lebih detail soal waktu ibadah, ibadah puasa memang berbeda dengan ibadah lainnya seperti sholat, zakat dan haji. Masuknya satu sholat maktubah disebabkan oleh perjalanan matahari, dan selesainya berarti masuk waktu sholat berikutnya. Masalah waktunya masih fleksibel. Bagitu juga dengan zakat baik zakat fitrah maupun zakat maal, disyaratkan manakala sudah khaul atau satu tahun atau setelah waktu waktu tertentu. Bahkan ibadah haji yang setahun sekali juga menggunakan batasan waktu yang longgar.
Ibadah puasa mempunyai kekhasan dalam mengawali dan mengakhiri bulan suci ramadlon. Di awal ramadlon, para ahli falak (astronomi Islam) telah menentukan regulasi yang ketat baik madzhab hisab (hitungan) maupun madzab rukyah (melihat langsung matahari).
Hal ini karena secara tektual ada ayat dan hadits yang secara detail menjelaskan awal bulan ramadlon. Dalam quran surat al-Baqoroh; 182 Alloh berfirman faman syahida minkumus syahro falyasum ( barang siapa di antara kamu yang melihay hilal) maka berpuasa. Begitu juga dalam hadits nabi yang mentakan shumu liyuyatihi wa afthiru lirukyatih (berpuasalah dikarekana engkao sudah melihat bulan).
Pemahaman para ulama terhadap teks quran dan hadits inilah yang hingga sekarang ini sering menjadi perdebatan yang tak terselesaikan, dan bahkan memecah belah umat Islam di Indonesia.
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama setiap tahun menyelenggarakan sidang itsbat untuk memperteukan madhab hisab dan rukyah agar ada jalan tengah dalam menyelesauikan beda faham di kalangan umat Islam di Indonesia. Dalam kaidah hukum Islam dinyatakan hukmul hakim ilzamun wa yarfaul khilaf (keputusan pemerintah bersifat tetap dan menyelesaikan perselisihan ummat). Pemerintah menjadi penengah di antara perbedaan faham dii kalangan umat Islam.
Itulah cara para ulama di Indonesia menentukan akurasi bulan ramadlon baik mengawali maupun mengakhiri bulan puasa ramadlon. Perdedaan menit dalam mengawali dan mengahiri ibadah puasa berimplikasi pada sah atau tidaknya ibadah yang kita laksanakan.
Dengan mengamati proses penentuan puasa ini menjadi pelajaran bagi kita bahwa ajaran Islam sangat ketat dalam persoalan waktu. Ketepatan waktu menjadi barometer kedisiplinan umat dalam segala perilaku kehidupan manusia. Alloh SWT dalam surat Al-Ashr ayat 1 bersumpah dengan waktu, menunjukkan waktu itu sangat penting dalam menggapai berbagai rahmat kehidupan umat Islam.  

Tidak ada komentar: