Kesimpulan itulah yang dikemukakan oleh dosen Fikih Politik IAIN Walisongo Semarang, Dr. Imam Yahya kala mendiskusikan buku “The Malady of Islam” karya Abdelwahab Meddeb, di Asrama Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang pada diskusi bulanan yang diselenggarakan Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang, beberapa waktu lalu.
Bersama Imam, Tedi Kholiludin dari eLSA juga menjadi salah satu pengantar. Selain dihadiri oleh pengurus eLSA, diskusi itu diikuti oleh kurang lebih 25 orang yang terdiri dari beberapa elemen kampus di Semarang seperti kru LPM Justisia, BEM Akademi Statistika Muhamadiyyah (AIS) dan Pengurus Kelompok Studi Mahasiswa Universitas Negeri Semarang. Tak lupa hadir dalam diskusi ini salah seorang punggawa Institute for Study of Islam and Democracy (INSIDE), Rusmadi. Diskusi ini sendiri dipandu oleh pemimpin redaksi Jurnal Justisia M. Najibur Rohman.
Buku Abdelwahab Meddeb yang terbit tahun 2003 merupakan karya yang hendak menyisir sejauhmana kelompok fundamentalis berperan aktif dalam menciptakan ketakutan dan citra negatif Islam. Karenanya Meddeb menyebut mereka sebagai kelompok yang menjadi penyakit dalam Islam.
Imam mengatakan bahwa Meddeb hendak menawarkan tesis bahwa fundamentalisme adalah problem endemik dalam Islam. ”Sekarang, fundamentalisme berkembang melampaui tujuan utamanya” kata Imam. Secara genealogis, Imam mengatakan bahwa fenomena ini bukanlah barang baru. Akar-akarnya telah ada pada masa Ahmad Ibn Hanbal sekitar tahun 4 H.
”Fundamentalisme Islam memiliki watak pada penafsirannya yang literalis terhadap teks” lanjut Imam. Dalam analisisnya, Imam menunjukkan bahwa secara umum, fundamentalisme bisa dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar yakni Fundamentalisme Salafi dan Fundamentalisme Syi’i. Fundamentalisme salafi adalah gerakan yang dipelopori oleh Muhammad Abdul Wahab. Gerakan ini menyerukan kembali kepada tradisi salaf, yakni generasi awal Islam. Sementara fundamentalisme Syi’i yang digagas oleh Imam Khomeini lebih menitikberatkan pada wilayah politik.
Di akhir paparannya, Imam menawarkan bentuk fundamentalisme rasional. Artinya pemahaman terhadap teks harus melibatkan satu sikap rasional yang dapat membimbing prilaku berdasarkan kenyataan empiri yang realistis.
Sementara Tedi Kholiludin melihat bahwa karya Meddeb ini cukup bagus, meski tidaklah terlalu istimewa. ”Silvana Tropea dari Amazone.com mengatakan bahwa analisis yang dilakukan oleh Meddeb terhadap ’penyakit umat Islam’ bukanlah sesuatu yang mengejutkan (not entirely startling)” ungkap Tedi. Disebut demikian, karena pemikiran yang hendak diajukan Meddeb sudah bisa ditebak, menghantam sendi-sendi pemikiran Fundamentalisme Islam.
Tedi memaparkan, Meddeb hendak mengatakan bahwa tidak ada institusi yang memiliki legitimasi atau kekuasaan absolut terhadap doktrin. Namun secara tradisional akses terhadap teks dijaga ketat; seseorang harus mematuhi kondisi-kondisi khusus untuk membuatnya berbicara atau berbicara dalam namanya. Inilah “kekuasaan tradisional” menjelma menjadi pagar pembatas untuk siapapun masuk dalam lubang teks. Meddeb juga mengatakan bahwa dunia Islam terus menerus tidak bisa dihibur dalam penderitaannya.
”Yang paling menyakitkan bagi kaum fundamentalis adalah paparan Meddeb yang menyimpulkan bahwa tanpa kontribusi dari Persia, Indian dan Yunani, maka tidak pernah akan ada peradaban Islam” pungkas Tedi.
Dalam sesi tanya jawab Rusmadi dari INSIDE menyoroti buku ini dan menyimpulkan bahwa tidak ada yang baru dari karya Meddeb. Sorotan terhadap fundamentalis, sekarang tidak lagi mencakup bagaimana dan apa itu fundamentalisme. Tetapi sekarang banyak yang telah berpikir untuk melampaui fundamentalisme. Misalnya tawaran untuk kembali kepada Islam Kultural, Agama Sipil dan lainnya. ”Tetapi sebagai abstraksi, buku ini cukup bermanfaat” kata Rusmadi.
(Sumber http://www.elsapage.com/muslimfundamentalis.html)
Jumat, 18 Juli 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar