PERHELATAN akbar Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama NU (PWNU) Jawa Tengah akan digelar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Benda Sirampog, Brebes, 11-13 Juli 2008.
Perhelatan konferensi wilayah (konferwil) tahun ini mempunyai makna strategis dalam rangka menyatukan kembali khitah warga NU (nahdliyyin) di Jateng yang selama beberapa bulan terakhir ini sempat memudar pascapilgub dan pilbup di berbagai daerah.
Meski pemilihan gubernur (pilgub) dan pemiihan bupati (pilbup) menjadi ritual lima tahunan, namun implikasi pesta demokrasi itu tidak saja menimbulkan konflik di tingkat elite, tetapi juga di kalangan nahdliyyin yang menanggung akibat berkepanjangan.
Memang benar bahwa NU bukanlah partai politik (parpol) yang menanggung beban politik secara langsung, tetapi sebagai organisasi keagamaan yang mempunyai massa terbesar di Jawa Tengah, eksistensi organisasi kemasyarakatan (ormas) itu banyak diperhitungkan oleh berbagai parpol besar. Munculnya kader-kader NU yang mumpuni di tingkat Jawa Tengah menambah gairah tersendiri bagi parpol untuk ”menyeret” NU ke dalam ranah politik pratis.
Melalui konferwil itu, kaum nahdliyyin ditantang untuk bisa merumuskan agenda-agenda penting guna meneguhkan eksistensi NU sebagai organiasasi keagamaan yang bermanfaat bagi warganya dan seluruh masyarakat Indonesia.
Paling tidak ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam merumuskan agenda ke depan, yakni merumuskan kembali NU sebagai basis sosial keagamaan, sosial politik, dan sosial budaya.
Meski tidak cukup merepresentasikan seluruh persoalan yang terjadi di kalangan nahdliyin, tetapi tiga agenda tersebut bisa me-recovery terhadap persoalan kontekstual yang terjadi di kalangan warga NU tersebut.
Problem Intelektual
Secara linguistik, nahdlatul ulama berati kebangkitan ulama, yakni munculnya kesadaran para ulama Indonesia akan fungsi dan tugasnya sebagai waratsat al-anbiya (pewaris nabi).
Berdirinya NU yang dimotori oleh para intelektual pesantren, seperti Hadratus Syaih Hasyim AsyĆari dan Kyai Wahab Hasbulloh, memberikan nuansa tersendiri bagi perjalanan sosial intelektual Islam. Salah satu yang hingga saat ini masih berlangsung adalah forum bahtsul masail yang diadakan pada setiap acara NU, baik di tingkat pengurus besar (PB) maupun majelis wakil cabang (MWC).
Dalam sejarahnya, bahtsul masail adalah forum intelektual yang merespons berbagai persoalan aktual yang terjadi di kalangan nahdliyyin.
Sebut saja, misalnya, hukum wajib mengusir penjajah Belanda, menerima Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk final, dan memberikan gelar waliyyu al-amri dharuri bi al-syaukah kepada Presiden Soekarno, menjadi diskursus inteletual yang menjadi perbedaan pendapat di kalangan intelektual NU pada saat itu. Tak heran apabila NU menjadi organisasi sosial keagamaan yang disegani oleh semua pihak.
Kontroversi bahtsul masail di Jepara pada penghujung 2007 tentang keharaman rencana pembangunan PLTN di Jepara, serasa menggugah tidur kaum nahdliyyin yang ada di berbagai tingkatan.
Pasca-bahtsul masail PCNU Jepara, NU menyita banyak perhatian publik, baik yang pro maupun kontra PLTN. Bahtsul masail ternyata masih mampu menarik perhatian masyarakat luas, yakni membahas persoalan krusial yang bersinggungan langsung dengan warga masyarakat.
Selama ini agenda bahtsul masail tidak banyak memberikan solusi pemecahan terhadap permasalahan masyarakat secara umum. Bahkan forum itu terasa hanya sebuah ritual acara yang digelar pada setiap konferensi dan musker di PWNU hingga MWC NU.
Perdebatan intelektual tidak lagi mendapat ruang publik di NU, bahkan terjadi gap pemikiran di kalangan tua dengan kalangan muda. Tokoh-tokoh muda seperti Ulil Abshar Abdalla yang liberal, tidak lagi mendapat tempat untuk mengembangkan gagasan-gagasan liberalnya. Bahkan, sebagaian kiai NU ikut-ikutan menghujat pemikiran Ulil dan teman-temannya. Bukankah mereka adalah kader-kader pesantren yang potensial?
Politik dan Sosial
NU bukanlah organisasi sosial politik, tapi tidak mengharamkan warganya untuk berpolitik. Berpolitik adalah hak bagi seluruh warga negara, termasuk kaum nahdliyyin. Bahkan politik adalah wajib bagi setiap komunitas muslim.
Hadis Nabi Muhammad SAW menyatakan, idza kharaja tsalatsatun minkum fal yuammiru ahadukum (apabila ada tiga orang di antara kamu keluar rumah, maka salah satu di antara kamu harus menjadi pemimpin).
Sebagai sebuah institusi besar yang mempunyai puluhan juta anggota di Jawa Tengah, NU harus mampu memainkan peran sebagai pengayom para aktivis NU yang bergiat di berbagai parpol. NU harus bisa menjadi rujukan bagi mereka. Karena itu NU harus mempunyai figur yang mampu bermain politik pada ranah strategis, bukan pelaku politik praktis.
Kegagalan dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2004 dan Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jateng 2008 kemarin, menjadi pelajaran berharga bagi NU dalam merumuskan peran politiknya pada konstalasi politik, baik politik nasional maupun politik lokal.
Kearifan NU dalam berpolitik sangat ditunggu oleh kaum nahdliyyin yang selama ini merasa ditinggalkan oleh tokoh-tokoh panutannya. Banyaknya golongan putih (golput) di Jawa Tengah tidak bisa dilepaskan dari peran warga nahdliyyin yang bimbang dalam menyalurkan aspirasinya.
Begitu juga dalam perspektif sosial budaya, besarnya warga NU di Jawa Tengah tentu memberikan konstribusi yang tidak sedikit bagi pembangunan di provinsi tersebut.
Di tengah masyarakat yang paternalistik, kiai-kiai kampung yang nota bene adalah kaum nahdliyyin bisa memainkan peran sebagai agent social of change (agen perubahan sosial). Kiai tidak saja sebagai pembawa risalah kenabian, tetapi juga sebagai tokoh pelaku perubahan masyarakat.
Forum warga, misalnya, yang tumbuh di berbagai daerah seperti Tegal, Jepara, dan Cilacap, menempatkan kiai-kiai di daerah menjadi tokoh perubahan sosial. Melalui sarana khutbah, pengajian, dan berbagai ritual budaya Islam, masyarakat bisa diajak untuk menatap masa depan yang cerah, tanpa harus bergantung kepada institusi mana pun, termasuk institusi negara.
Sayangnya, mereka berjalan tanpa dikoordinasi oleh struktur NU. Akibatnya, kekuatan itu belum bersifat massif sebagai kekutan riil NU. Mereka banyak dikordinasi oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang didominasi oleh pengurus dari nahdliyyin.
Sementara itu NU dengan berbagai kegiatannya belum bisa menjamah ranah sosial kemasyarakatan yang sesungguhnya amat penting.
Bila tiga agenda tersebut terbukti membuka jalan ke depan, maka yang perlu dipikirikan adalah rencana tindak lanjut kegiatannya.
Kesamaan dalam memperjuangkan misi ahlussunnah waljamaah yang dirumuskan dalam prinsip tawazun (keseimbangan), tasamuh (toleransi), dan tawasut (moderat), dalam berbagai bidang kehidupan, segala persoalan di kalangan warga NU bisa dipecahkan.
Begitu juga dengan agenda PWNU Jawa Tengah ke depan, harus mampu untuk men-support beberapa hal. Di antaranya, pertama, mendorong tumbuhnya diskursus intelektual keagamaan yang moderat, terutama terhadap gelombang pemikiran kaum muda.
Kedua, memberikan kesempatan kepada nahdliyyin untuk mengapresiasi politik sesuai dengan hak-haknya. NU harus bisa menjadi pengayom bagi warganya tanpa melihat latar belakang parpolnya.
Ketiga, munculnya tokoh-tokoh lokal yang berkultur NU dengan berbagai konsentrasi masing-masing, bisa diberi tempat untuk aktualisasi diri di dalam organisasi.(68)
–– Tulisan ini telah dipublikasikan di Suara Merdeka 4 Juli 2008 dengan judul Kontekstualisasi Peran Sosial NU.
-- Imam Yahya, staf Pengajar Sekolah Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang dan Ketua Lakpesdam NU Jateng.
Selasa, 08 Juli 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar