(Analisis Fatwa Keharaman PLTN Jepara)
Oleh: Imam Yahya,1
A.LATAR BELAKANG
Fatwa haram terhadap pembangunan PLTN di wilayah Jepara yang dikeluarkan oleh Lembaga Bahtsul Masail PCNU Jepara beberapa minggu terakhir, menuai badai pro-kontra. Pasalnya Fatwa LBM menyangkut persoalan PLTN ini, berkaitan dengan kebijakan negara yakni pendirian reaktor Nuklir di desa Balong Kecamatan Kembang Kab Jepara. Proyek ini diyakini dapat memasok kebutuhan listrik di negeri tercinta Indonesia.
Kelompok yang pro PLTN Jepara diwakili oleh kalangan birokratik baik di tingkat pusat maupun daerah. Karena apabila PLTN ini bisa didirikan di Jepara maka keuntungan yang diambil oleh pemerintah sangat signifikan dalam mendongkrak income negara. Tak kurang dari Menteri Ristek Prof. Dr. Kusmayanto Kadiman, sangat antusias dalam melakukan sosialisasi pembangunan PLTN di Jepara ini. Bahkan terselenggaranya Bahtsul Masail yang dilakukan oleh Lembaga Bahtsul Masail juga mendapat suntikan dana dari Menteri Ristek.
Sementara kelompok yang kontra PLTN diwakili oleh kalangan muda yang bergerak di berbagai lembaga swadaya masyarakat dan kampus. Masyarakat Reksa Bumi (Marhem) misalnya yang dikomandani oleh Lilo Sunaryo PhD, dengan lantang menyuarakan bahaya dan kesengsaraan korban PLTN di berbagai negara di dunia. Begitu juga dengan Lembaga kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam NU) yang secara intens melakukan perang terhadap rencana pembangunan PLTN Muria Jepara.
Bagi kelompok ini gambaran PLTN Muria sangat menakutkan. Hal ini didasari pada kenyataan bahwa sejak muncul 1972, saat terbentuk Komisi Persiapan Pembangunan PLTN. Tiga tahun kemudian berdasarkan penelitian yang dilakukan Batan bekerja sama dengan NIRA, Italia, diperoleh 14 calon lokasi, dan lima di antaranya di Jateng. Dari 14 lokasi itu, 11 lokasi di pantai utara Jawa dan tiga di pantai selatan (www:batan.go.id).
Pada 1989, Badan Koordinasi Energi Nasional (Bakoren) memutuskan Batan melaksanakan studi kelayakan, dan terpilihlah NewJec (New Japan Engineering Consultan Inc), anak perusahaan Mitsubishi Heavy Industries (MHI) untuk melaksanakn studi tapak. Akhir 1993, NewJec melaporkannya ke Batan. Dan Ujung Lemah Abang Desa Balong, Jepara, disebut sebagai titik paling aman dari ancaman guncangan gempa bumi.
Tak hanya dari sisi lokasi, mereka juga mendekatinya dari sisi kebijakan energi. Informasi Menristek, di atas kertas harga listrik PLTN sedikit lebih murah (3,5-4 sen dolar AS per KWH) dari sumber konvensional juga menjadi rujukan, termasuk tinjauan manfaat, bahaya, dan risiko.
Pro kontra dalam proses pendiriasn PLTN Muria Jepara ini sesungguhnya merupakan representasi masyarakat dalam memandang pembangunan PLTN Muirisa Jepara. Kekhawatiran rakyat dalam pembangunan PLTN ini patut diperhatikan karena apabila di kemudian hari, terjadi mrabahaya sebagaimana terjadi di Chernobil maupun Jepang belakangan ini.
Perdebatan tentang manfaat atau maslahat tidaknya PLTN inilah yang memicu LBM PCNU Jepara berikhtiar untuk melihat nya dari kacamata Fiqh lewat forum bahtsul Masail. Hal ini wajar karena masyarakat Jepara merupakan masyarakat pantai utara yang mempunyai pemahaman keagamaan yang kuat, sehingga pendekatan keagamaan ini semakin signifikan dalam rangka mensosialisasikan hasil-hasil tehnologi mutahir seperti listrik bertenaga nuklir.
Fatwa haram yang dikeluarkan Lembaga Bahtsul Masil Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PC NU) Jepara untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Semenanjung Muria, Jawa Tengah, merupakan jawaban dari ikhtiar melakukan sosialisasi PLTN di tengah masyarakat. Ijtihad para kyai NU se Kab Jepara ini pada akirnya menjadi polemik baik di kalangan elit NU maupun di kalangan masyarakat pada umumnya.
Banyak masyarakat yang gundah dengan lahirnya fatwa haram ini. Bahkan banyak juga yang memandang lucu atas munculnya fatwa haram ini. Apa korelasi antara tenaga Nuklir dengan pandangan fiqih klasik.
Untuk menjelaskan korelasi ini maka dibutuhkan pendekatan hukum akan lahirnya fatwa haram terhadap rencana pembangumna PLTN. Munculnya fatwa hukum Islam tidaklah tumbuh di tengah hutan belantara, tetapi fatwa hukum Islam muncul karena adanya berbagai rentetan kejadian yang melatar belakanginya. Dalam kaidah fiqhiyyah dikenal kaidah Taghyiru al-ahkam bi taghoyyuri al-azminati wal amkan, hukum itu berubah disebabkan perubahan zaman dan tempat (Ibn Qayyim, tt: III/3).
Hukum Islam sebagai hukum yang diambil dari nilai-nilai yang terkandung dalam dalil-dalil agama, senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan lokus dan waktu. Tidak ada unifikasi hukum Islam secara massal, yang ada adalah kesamaan substansi terhadap hukum suatu perbuatan. PLTN Jepara misaklnya yang diharamkan oleh para ulama, bukan berarti nuklir diharamkan, tetaspi yang diharamkan adalah rencana pembangun PLTN di Jepara pada waktu sekarang ini. Sebenarnya yang haram bukan nuklirnya, tapi ekses negatif yang diperhitungkan akan terjadi karena ketidakmampuan pemerintah. Sedangkan memudaratkan masyarakat, hukumnya haram, baik dari nuklir maupun dari faktor lain.
Untuk itu penelitian ini bermaksud untuk mengetahui latar belakang munculnya fatwa haram sekaligus mengetahui konsistensi lembaga bahtsul Masail NU dalam merumuskan fatwa-fatwa haram.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini; Apa yang menyebabkan pembanguna PLTN Muria Kabupaten Jepara diharamkan ? dan Bagaimana konsistensi LBM dalam merumuskan fatwa-fatwa hukum ?.
Pro dan kontra terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Muria kini telah memasuki ranah agama, setelah sejumlah ulama Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Tengah mengeluarkan fatwa haram terhadap PLTN, 1 September 2008.
Pengurus cabang NU Jepara, tuan rumah bahtsul masail yang mencetuskan fatwa haram itu, menolak pembangunan PLTN di Semenanjung Muria. Sementara itu, Pengurus Besar NU berpendapat nuklir—bukan PLTN—bersifat mubah (boleh, netral). Jadi, menghadapi penolakan warga NU di Jepara terhadap pembangunan PLTN di Semenanjung Muria, PB NU mengusulkan supaya PLTN dibangun di tempat lain saja.
B. KERANGKA TEORI
1. Hukum Islam berkembang sesuai dengann tempat dan tempatnya
Tak seorang pun ahli hukum yang mampu memberikan rumusan tentang hukum secara definitif, mengingat ruang lingkupnya yang terlalu luas dan banyak aspek yang dikandungnya. Karena itu seorang tokoh hukum barat terkemuka dan ahli filsafat hukum pernah mengungkapkan bahwa tak seorangpun ahli hukum yang mampu membuat definisi tentang hukum (Rasyidi, 1993: 29). Maka wajar bila dalam literatur barat tidak ditemukan suatu rumusan hukum yang definitif dan universal (Honrnby, 1993:29).
Secara terminologis (istilahi) hukum yang dituliskan dalam penelitian ini adalah hukum Islam. Dua kata “hukum” dan “Islam” secara independen mempunyai arti yang berdiri sendiri, tetapi ketika disatukan akan membentuk satu istilah baru. Dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah maupun literatur Arab lainnya, tak satu pun ayat yang menyebut arti kata hukum Islam baik secara lafdziyyah maupun istilah. Justru term hukum Islam merupakan terjemahan dari istilah yang dipakai oleh ilmuan barat “Islamic Law”. Noel J. Coulson misalnya dalam The History of Islamic Law mengartikan hukum Islam sebagai implementasi dari doktrin-doktrin yang diwahyukan Tuhan dalam kondisi sosial saat itu (Coulson, 1964:8). Sedangkan Josept Schacht mengartikan hukum Islam sebagai keseluruhan khitab Allah yang mengatur kehidupan setiap umat Islam dalam segala aspek hidupnya (Schacht,1964:6).
Dalam wacana ilmu fiqh, para ulama hanya menggunakan term “al-hukm” tanpa mengikutkan kata “al-Islam”. Istilah al-hukm atau hukum Islam mempunyai arti yang cukup distingtif antara ulama ushûl (ushûli) dengan ulama fiqh (baca : fuqaha). Jumhur ulama ushûl misalnya, mengartikan hukum sebagai:
“khitab Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf baik berupa iqtidha (tuntutan, perintah atau larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadh’i (sebab, syarat dan mani’) (Hasaballah,tt:365).
Yang dimaksud dengan khithab di sini adalah inti dari khitab Allah (al-nushush al-syariyyah) yakni kalam nafsi yang tidak berlafadz dan tak bersuara yang hanya dapat diketahui melalui indikasi dalalah lafdhiyyah dan maknawiyyah, bukan pengaruhnya (atsar) (Mahalli, 1937: I/47-48). Adapun sifat-sifat yang berupa perbuatan-perbuatan mukallaf, yang merupakan hasil atau pengaruh dari al-nushush al-syar’iyyah seperti wajib, sunnah, wajib, makruh dan haram, tidak masuk dalam definisi tersebut. Karena sesunggunhnya khitab Allah itu merupakan kalamullah. Contohnya adalah hukum “ijab” merupakan inti dari khitab “if’al” (Zuhaili,1981:I/38).
Ibn Qayyim al-Jauziyah dalam bukunya I’lam al-Muwaqqiin menyatakan bahwa taghyiru al-ahkam bi tagayyuri al-azminati wa al-amkinati, hukum itu berubah sesuai dengan waktu dan tempat di mana hukum itu berada. Dengan demikian hukum Islam senantiasa dinamis sesuai dengan perkembangan masyarakatnya (Ibn Qayyim, tt: III/3).
2. Hukum terpengaruh Politik
Dalam pandangan Moh Mahfud MD, karakter produk hukum senantiasa dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang melahirkannya (Mahfud, 1998:74). Untuk itu fatwa lembaga bahtsul masail juga tidak lepas dari konfigurasi politik yang mengitarinya. Banyaknya kepentingan dalam perencana pembangunan PLTN Jepara, menyebabkan rencana pembangunan PLTN ini mengalami berbagai kendala. Tidak sedikit tokoh-tokoh lokal yang ikut larut dalam pro-kontra pembangunan PLTN, akibatnya konflik antar sesama warga sangat memungkinkan.
Konteks politik pasca reformasi, sangat bepengaruh dalam pembangunan hukum Islam di Indonesia, termasuk fatwa yang dilakukan oleh berbagai organisasi masyarakat seperti NU.
Lahirnya fatwa hukum yang mengharamkan rencana pembengunan PLTN tidak bisa dipisahkan dari situasi kondisi di mana konteks sosial politik itu terjadi.
3.Pendekatan Fikih dalam Politik
Banyak masyarakat yang menyikapi rencana pembangunan PLTN Muria dengan penuh keheranan terhadap fatwa haram yang dikeluarkan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PC NU) Jepara, Jawa Tengah, atas rencana pembangunan PLTN Muria. Betapa tidak, kiai-kiai "kampung" yang ada di kota kecil itu berani memberikan hukum terhadap sebuah proyek besar yang selama ini menjadi perdebatan petinggi-petinggi dunia.
Namun perlu diingat bahwa tradisi ilmiah di kalangan kyai pesantren adalah melihat persoalan dengan pendekatan fiqh (Haidar, 1988). Rencana pembangunan PLTN Muria yang dihukumi haram didasarkan kepada pendekatan fiqh, bahwa segala selalu diukur dengan mashlahat.
Jika persoalan dikembalikan ke titik nol -terbebas dari kepentingan apa pun- yang dilakukan PC NU Jepara itu bukanlah hal yang aneh atau ganjil. Dalam khazanah keilmuan Islam, khususnya pesantren, memang dikenal dasar-dasar yang bisa dijadikan acuan untuk menghukumi sesuatu, termasuk PLTN. Dasar yang digunakan adalah kemaslahatan umat (maslahah mursalah) atau kesejahteraan umum
D. TEMUAN-TEMUAN PENELITIAN
Dari penelitian yang penulis lakukan, maka didaptkan beberapa tekuan-teuan ilmiah yang berkaitan dengan tema utama, di antaranya:
1. Pergeseran Makna Fatwa
a)Substansi Fatwa
Fatwa sering diartikan sebagai hukum yang ditetapkan oleh sebuah lembaga keagamaan, baik NU, Muhammadiyah maupun Majelis Ualam Indonesia (MUI). Tidak sedikit masyarakat yang memandang fatwa ini sebagai penerjemahan dari peraturan-peraturan keagamaan yang diyakini kebenarannya. Akibatnya ketika ada fatwa apapun fatwanya seperti fatwa keharaman menabung di Bank Konvensional oleh MUI misalnya, masyarakat merasa berkeawajiban untuk ikut serta merealisasikan dalam dunia perbankan di Indonesia.
Pengertian fatwa dalam perspektif hukum Islam, ada dua pengertian yakni lafdiyah maupun istilahi. Secara lafdziyah (gramatikal) fatwa berarti suatu perkataan dari bahasa Arab yang memberi arti pernyataan hukum mengenai sesuatu masalah yang timbul kepada siapa yang ingin mengetahuinya. Menurut kamus Lisan al-Arabi, Aftahu fi al-amri Abana Lahu (“Memberi fatwa tentang sesuatu perkara bererti menjelaskan kepadanya”).
Sepertimana Firman Allah s.w.t. di dalam Surah An-Nisa ayat 176
Maksudnya : Mereka (orang-orang Islam umatmu) meminta fatwa kepadamu (wahai Muhammad, mengenai masalah Kalalah). Katakanlah : Allah memberi fatwa kepada kamu dalam perkara Kalalah itu
Sedangkan dalam pengertian istilahi, fatwa berarte pendapat para ulama (mufti) yang mempunyai keahlian dalam hukum Islam tentang aturan-aturan yang diinterpretasikan dari hukum-hukum Allah.
Imam Syatibi sebagaimana dikutif Wahbahmenyatakan:
Innal Mufti Qaimun maqaman Nabi SAW li annal ulama waratsatul anbiya yadullu alaihi al-haditsu syarif “lia annal ulama waratsatul anbiya, wal anbiyaa lam yuratsu dinaran wala dirhaman wa innama waratsul ilma. (Wahbah:1981)
(Artinya: Kedudukan Mufti di kalangan umat ialah pengganti tempat Nabi s.a.w. kerana Ulama’ itu mempusakai tugas para Nabi sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Hadis Rasulullah s.a.w. yang bermaksud : “Sesungguhnya Ulama’ itu adalah pewaris para Nabi dan Nabi tidak meninggalkan pusaka dinar dan dirham, tetapi mereka meninggalkan pusaka ilmu).
Fatwa berarti produk yang dihasilkan sedangkan orang yang mengeluarkan fatwa adalah mufti. Tidaklah sembarangan orang yang menjadi mufti, karena persyaratan mufti di antaranya memahami teks-teks inti dan klasik hukum Islam lainnya. Namun dalam pengertian hukum Islam, fatwa itu berbeda dengan hukum, karena fatwa itu bersifat mandiri sedangkan hukum bersifat kelembagaan.
Dalam Islam, ada semacam kebebasan berfatwa, yang memperlihatkan betapa diskursus agama memberikan ruang gerak bagi perbedaan dalam merumuskan fatwa. Setiap orang bebas memberikan pilihan kepada fatwa tertentu atau mencabutnya. Biasanya fatwa yang mendapat dukungan luas adalah fatwa yang isinya sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekaligus tetap dalam koridor kebenaran. Sementara itu, fatwa yang kaku dan jauh dari realitas kehidupan masyarakat tidak banyak diminati masyarakat, akibatnya fatwa-fatwa tersebut akan lenyap dengan sendirinya.
Dalam tradisi Islam, tak ada sebuah fatwa yang benar-benar diikuti oleh semua penganut Islam. Sebuah fatwa bisa saja dibantah oleh fatwa lain. Dalam kaidah hukum Islam, sejumlah fatwa tidak bisa saling membatalkan (al-ijtihâd la yunqadlu bi al-ijtihâd) (Zarqa, 1989:155). Hukum A tidak bisa dibantah dengan hukum b. Setiap fatwa hukum berlaku dengan sendirinya kepada orang. Inilah watak dari fatwa yang sesungguhnya.
Secara etimologi hukum berasal dari kata “al hukm” yang berarti ‘menetapkan’ atau ‘ketetapan’, ‘memutuskan’ atau ‘keputusan’ yang menetapkan sesuatu pada yang lain, seperti menetapkan hukum haram pada minuman yang memabukkan dan hukum halal pada air susu. Dalam istilah hukum islam, term lain seperti fiqh dan syari’ah sering digunakan.
Dua kata “hukum” dan “Islam” secara independen mempunyai arti yang berdiri sendiri, tetapi ketika disatukan akan membentuk satu istilah baru. Dalam al Qur’an dan As Sunnah maupun literatur Arab lainnya, tak satu pun ayat yang menyebut arti kata hukum Islam baik secara lafdziyyah maupun istilah. Justru term hukum Islam merupakan terjemahan dari istilah yang dipakai oleh ilmuan barat “Islamic Law” (Coulson,1964:8).
Dalam wacana ilmu fiqh, para ulama hanya menggunakan term “al hukm” tanpa mengikutkan kata “al Islam”. Istilah al-hukm atau hukum islam mempunyai arti yang cukup distingtif antara ulama ushul (ushuli) dengan ulama fiqh (baca: fuqaha). Jumhur ulama ushul misalnya, mengartikan hukum sebagai:
خطاب الله تعالى المتعلق با فعال المكلفين بالاقتضاء او التخيير اوالوضع
Artinya: Khitab allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf baik berupa iqtidha (tuntutan, perintah atau larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadh’i (sebab, syarat dan mani’) (al Amidi, 1981:I/49).
1.Fatwa PLTN Muria Jepara
a)PLTN Isu Aktual dan Politis
Proses rencana pembangunan PLTN di Indonesia cukup panjang. Tahun 1972, telah dimulai pembahasan awal dengan membentuk Komisi Persiapan Pembangunan PLTN. Komisi ini kemudian melakukan pemilihan lokasi dan tahun 1975 terpilih 14 lokasi potensial, 5 di antaranya terletak di Jawa Tengah. Lokasi tersebut diteliti BATAN bekerjasama dengan NIRA dari Italia. Dari keempat belas lokasi tersebut, 11 lokasi di pantai utara dan 3 lokasi di pantai selatan.
Pada Desember 1989, Badan Koordinasi Energi Nasional (BAKOREN) memutuskan agar BATAN melaksanakan studi kelayakan dan terpilihlah NewJec (New Japan Enginereering Consoltan Inc) untuk melaksanakan studi tapak dan studi kelayakan selama 4,5 tahun, terhitung sejak Desember 1991 sampai pertengahan 1996.
Pada 30 Desember 1993, NewJec menyerahkan dokumen Feasibility Study Report (FSR) dan Prelimintary Site Data Report ke BATAN. Rekomendasi NewJec adalah untuk bidang studi non-tapak, secara ekonomis, PLTN kompetitif dan dapat dioperasikan pada jaringan listrik Jawa – Bali di awal tahun 2000-an. Tipe PLTN direkomendasikan berskala menengah, dengan calon tapak di Ujung Lemahabang, Grenggengan, dan Ujungwatu.
PLTN adalah pembangkit tenaga listrik tenaga nuklir yang merupakan kumpulan mesin untuk pembangkit tenaga listrik yang memanfaatkan tenaga nuklir sebagai tenaga awalnya. Prinsip kerjanya seperti uap panas yang dihasilkan untuk menggerakkan mesin yang disebut turbin.
Reaktor nuklir sangat membahayakan dan mengancam keselamatan jiwa manusia. Radiasi yang diakibatkan oleh reaktor nuklir ini ada dua. Pertama, radiasi langsung, yaitu radiasi yang terjadi bila radio aktif yang dipancarkan mengenai langsung kulit atau tubuh manusia. Kedua, radiasi tak langsung. Radiasi tak langsung adalah radiasi yang terjadi lewat makanan dan minuman yang tercemar zat radio aktif, baik melalui udara, air, maupun media lainnya (www:batan.go.id).
Ada beberapa bahaya laten dari PLTN yang perlu dipertimbangkan. Pertama, kesalahan manusia (human error) yang bisa menyebabkan kebocoran, yang jangkauan radiasinya sangat luas dan berakibat fatal bagi lingkungan dan makhluk hidup. Kedua, salah satu yang dihasilkan oleh PLTN, yaitu Plutonium memiliki hulu ledak yang sangat dahsyat. Sebab Plutonium inilah, salah satu bahan baku pembuatan senjata nuklir. Kota Hiroshima hancur lebur hanya oleh 5 kg Plutonium. Ketiga, limbah yang dihasilkan (Uranium) bisa berpengaruh pada genetika. Di samping itu, tenaga nuklir memancarkan radiasi radio aktif yang sangat berbahaya bagi nuklir sebagai sumber energi alternatif dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia memiliki cerita perjalanan yang panjang, mulai dari ditemukan hingga pemanfaatannya kini.
Betapa pentingnya PLTN dalam kehidupan masyarakat, baik manfaat dan madharatnya. PLTN menyangkut peri kehidupan masyarakat banyak. Apabila jadi dibangun, PLTN memberikan manfaat yang besar, sebaliknya apabila terjadi kerusakan PLTN, masyarakat juga yang akan menanggungnya. Inilah yang menjadikan PLTN menjadi isu strategis masyarakat Jepara.
b) PCNU jepara sebagai Mediator.
Masalah PLTN merupakan salah satu agenda yang cukup krusial tidak saja di negara-negara modern, tetapi juga negara Indonesia. Karena masalah PLTN tidak hanya menyangkut masalah energi, tapi juga melibatkan aspek lingkungan, ekologi, sosial, politik dan ekonomi.
Sebagai agama yang universal, Islam diharapkan mampu memberikan jawaban mengenai PLTN Muria melalui penelusuran norma-norma Islam, baik dalam bentuk prinsip dasar maupun operasional, baik yang terdapat dalam nash mapun pengalaman historis masyarakat Islam, agar penanganan masalah PLTN tetap mengacu kepada fitrah kemanusiaan.
Untuk meneropong isu PLTN Muria dengan kompleksitas persoalannya, prinsip yang menjadi acuan adalah penegakan kemaslahatan dan pemusnahan kemafsadatan. Dari prinsip ini, maka kebijakan yang menyangkut tentang hajat hidup umat, baik yang dlaruriyyat, hajiyyat maupun tahsiniyyat (Khallaf:1978)..
Aspek maslahat PLTN Muria diperkirakan mampu menanggulangi krisis energy berupa supply kebutuhan listrik Jawa-Bali sebesar 4%. Sedangkan mafsadah-nya bisa berdampak pada aspek lingkungan, ekologi, social, ekonomi dan politik.
Sebagai masyarakat yang berpegang teguh pada ajaran ahlussunnah wal jama'ah yang memegang teguh prinsip tawassuth, i`tidal, tasamuh, dan tawazun (Maskub, 199:93), warga NU memilih untuk melakukan harmonisasi dalam semua bidang, dengan cara al-shidqu, al-amanah wa al-wafa-u bil al-`ahd, dan al-ta`awun. Dengan prinsip ini, maka sesuatu yang dianggap maslahat atau mafsadah perlu dipaparkan secara transparan. Maslahah yang sejalan dengan kepentingan umum perlu didukung melalui kerjasama dan pengembangan solidaritas umat. Sebaliknya, mafsadah yang mengancam tata kehidupan manusia harus dieliminasi.
Mengingat dalam PLTN Muria aspek maslahah dan mafsadah berkumpul, maka PCNU Jepara melakukan upaya mempertemukan kelompok yang pro (memandang maslahat pada PLTN) dan kelompok yang kontra (menolak PLTN) untuk mencari solusi yang win-win solution. Masyarakat butuh pedoman dalam menentukan sikap terhadap rencana pembangunan PLTN.
c) Munculnya Fatwa Haram PLTN
Pro-Kontra mengenai rencana pemerintah hendak membangun PLTN Muria di Ujung Lemah Abang Balong, mendorong Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jepara bekerjasama dengan Lajnah Bahtsul Masail (LBM) Jawa Tengah, mengadakan mubahatsah (pembahasan), dengan melihatnya dari kacamata fikih. Rencana ini dipandang dari sisi kepentingan masyarakat Jepara secara khusus, sebagai sebuah masalah waqi’iyyah atau masalah yang terjadi dalam konteks lokal Jepara dan sekitarnya (Abshor:2008).
Masalah PLTN MURIA ini tidak hanya menyangkut masalah energi, tapi juga melibatkan aspek lingkungan, ekologi, sosial, politik dan ekonomi. Sebagai agama yang syaamil (meliputi berbagai aspek kehidupan) dan kaamil (sempurna secara keseluruhan), Islam diharapkan mampu memberikan jawaban mengenai PLTN Muria melalui penelusuran norma-norma Islam, baik dalam bentuk prinsip dasar maupun operasional, baik yang terdapat dalam nash maupun pengalaman historis masyarakat Islam, agar penanganan masalah PLTN Muria tetap mengacu kepada fitrah kemanusiaan.
Untuk meneropong masalah PLTN Muria dengan kompleksitas persoalannya, prinsip yang menjadi acuan adalah menegakkan kemaslahatan dan menghindarkan kemafsadatan. Dari prinsip ini, maka kebijakan yang menyangkut tentang hajat hidup umat, baik yang dlaruriyyat (kebutuhan primer), hajiyyat (kebutuhan sekunder) maupun tahsiniyyat (kebutuhan tersier atau kemewahan) harus mengakomodir tiga domain utama, yakni (1) domain tata kehidupan; (2) domain pemenuhan kebutuhan; dan (3) domain kesesuaian dengan syari'ah.
Maslahat dan mafsadah dalam konteks ini, yang menjadi acuan hukum adalah yang muhaqqaqah atau nyata, bukan yang mauhumah atau hanya praduga.
Setelah mempertimbangkan berbagai argumentasi dari para pakar, baik yang pro maupun kontra, dan dengan berpegang teguh pada ajaran ahlussunnah wal jama’ah, prinsip tawassuth, i’tidal, tasamuh, tawazun, al-shidqu, al-amanah, dan al-wafa-u bil al-‘ahd, maka forum mubahasah memutuskan:
(1)Pembangunan PLTN Muria haram hukumnya.
(2)Yang berkewajiban menghentikan adalah pemerintah dan seluruh warga mayarakat, sesuai dengan porsi masing-masing.
E. KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas maka dapat diambil kesimpulan antara lain:
Pertama, adanya pergeseran pemaknaan terhadap Fatwa. Fatwa yang pada mulanya tidak mengikat, belakangan fatwa menjadi mengikat secara moral bagi masyarakat.
Kedua, secara hukum, fatwa itu adalah bagian dari hukum Islam yang dikembangkan di kalangan nahdliyyin, sehingga hasilnya bisa digunakan sebagai panduan dalam menjalankan ibadah sehari-hari.
Ketiga, dalam pembutan fatwa hukum tidak bisa lepas dari situasi konteks sosial dan politik. Hal ini disebabkan kriteria bahwa hukum itu sesuai dengan waktu dan tempat yang telah ditentukan.**
Kamis, 10 Desember 2009
Kamis, 05 November 2009
Merespon Wacana Islam dan Demokrasi
CATATAN INTERNATIONAL CONFERENCE
ISLAM, DEMOCRACY, AND GOOD GOVERNANCE IN INDONESIA
Konferensi Internasional dengan tema Islam democracy and good governance in Indonesia yang telah dilaksanakan atas kerjasama IAIN Walisongo dan Universitas Leiden Belanda. Banyak hal yang menarik pada konferensi internasional ini di antaranya :
1.Problem Pemaknaan Demokrasi
Dalam perspektif Islam, demokrasi tidak ditemukan dalam khazanah Islam, karena demokrasi hanya berdasarkan pada pemikiran manusia semata, sedangkan Islam sebagai sebuah agama adalah sebagai seperangkat ajaran yang tidak saja mengatur politik tetapi mengatur pola hidup manusia dari dunia hingga akhirat. Namun bukan berarti Islam dan demokrasi sebagai sesuatu yang bertentangan.
Di kalangan umat Islam sekarang ini terdapat dua sikap ekstrim dalam pemahaman Islam dan demokrasi. Pertama, pemahaman yang didasari pada pemahaman yang sangat bebas terhadap ajaran-ajaran Islam. Kelompok ini sangat terbuka dengan pemikiran-pemikiran baru dan konteks sosial politik yang melatar belakanginya, dan bahkan terkesan meninggalkan teks-teks ajaran klasik yang termaktub dalam al-Qur'an dan al-Sunnah.
Sikap ekstrim kedua, adalah pemahaman yang didasarkan atas emosi keagamaan dan kepatuhan yang berlebihan bahkan dianggap mempunyai otoritas keagamaan yang mutlak kepada seseorang, sehingga kebenaran dianggap hanya ada pada golongan tertentu. Penalaran dengan akal sehat tidak mendapatkan porsi yang layak, sehingga banyak ajaran agama yang difahami secara sempit oleh kelompok yang kedua ini.
Dua fenomena pemahanan mensisakan PR kepada kita, agar IAIN bisa mengambil peran untuk mendamaikan sekaligus merumuskan pemahaman yang moderat, yang berdasarkan pada penalaran yang seimbang terhadap konsep-konsep keagamaan.
2. Kontekstualisasi Konsep Islam, Demokrasi dan Good Governance di Indnesia.
Berbagai pemikiran dan perilaku politik mewarnai makalah-makalah dan seminar selama konferensi internasional berlangsung. Ada 17 sub bahasan yang membahas tema-tema krusial yang berhubungan dengan tema Islam, demokrasi dan GG di Indonesia.
Dari segi konsep pola hubungan islam dan demokrasi menyuguhkan warga moderat dalam konteks wacana relasi islam dan politik di Indonesia. Seminar merespon juga eksistensi politik Islam di dunia internasional, seperti Islam and The West, dan beberapa pengalaman relasi Islam dan politik di berbagai Negara seperti India, Pakistan dan Australia.
3. Beberapa hambatan dalam merealisasikan relasi Islam, Demokrasi dan Good Governance di Indonesia.
Sebagai sebuah konsep, "Islam demokrasi dan good governance" tidak bisa berjalan mulus tanpa ada hambatan yang merintangi. Banyak eksplorasi makalah yang menampilkan tentang hambatan sekalgus solusi membumikan Islam dan Politik di Indonesia.
Makalah tentang hukum Islam di Indonesia yang menyita perhatian sebagian peserta menyampaikan beberapa hambatan penerapan hukum Islam di Indonesia, di antaranya: Tradisi hukum Islam kolonial misalnya, menjadi sangat kuat di kalangan masyarakat muslim Indonesia. Hingga saat ini hukum Islam tidak saja sebagai sumber authoritative hukum poistif di Indonesia tetapi juga sumber persuasive di Indonesia.
4. Rekomendasi International Converence
IAIN dan PTAIN/PTAIS lainnya mempunyai tugas utama dalam mewujudkan center for exccellen bagi studi-studi Islam umumnya dan khususnya tentang studi tentang Islam dan demokrasi. Untuk itu perlu dilakukan kajian yang serius baik dalam bentuk insidental sepesrti konferensi, seminar dan diskusi. Tetapi lebih dari itu perlu disiapkan wadah khusus yang mengkaji tentang Islam dan demokrasi dalam sebuah kajian permanen dalam institusi IAIN. Program studi Islam dan Demokrasi akan sangat bermanfaat apabila diwujudkan di Pascasarjana. Tidak saja menjadi center of exxellen bagi studi hukum Islam tetapi juga bagi studi-studi Politik dan Demokrasi yang unggulan.
Kampus III Ngalian, 6 Nopember 2009
ISLAM, DEMOCRACY, AND GOOD GOVERNANCE IN INDONESIA
Konferensi Internasional dengan tema Islam democracy and good governance in Indonesia yang telah dilaksanakan atas kerjasama IAIN Walisongo dan Universitas Leiden Belanda. Banyak hal yang menarik pada konferensi internasional ini di antaranya :
1.Problem Pemaknaan Demokrasi
Dalam perspektif Islam, demokrasi tidak ditemukan dalam khazanah Islam, karena demokrasi hanya berdasarkan pada pemikiran manusia semata, sedangkan Islam sebagai sebuah agama adalah sebagai seperangkat ajaran yang tidak saja mengatur politik tetapi mengatur pola hidup manusia dari dunia hingga akhirat. Namun bukan berarti Islam dan demokrasi sebagai sesuatu yang bertentangan.
Di kalangan umat Islam sekarang ini terdapat dua sikap ekstrim dalam pemahaman Islam dan demokrasi. Pertama, pemahaman yang didasari pada pemahaman yang sangat bebas terhadap ajaran-ajaran Islam. Kelompok ini sangat terbuka dengan pemikiran-pemikiran baru dan konteks sosial politik yang melatar belakanginya, dan bahkan terkesan meninggalkan teks-teks ajaran klasik yang termaktub dalam al-Qur'an dan al-Sunnah.
Sikap ekstrim kedua, adalah pemahaman yang didasarkan atas emosi keagamaan dan kepatuhan yang berlebihan bahkan dianggap mempunyai otoritas keagamaan yang mutlak kepada seseorang, sehingga kebenaran dianggap hanya ada pada golongan tertentu. Penalaran dengan akal sehat tidak mendapatkan porsi yang layak, sehingga banyak ajaran agama yang difahami secara sempit oleh kelompok yang kedua ini.
Dua fenomena pemahanan mensisakan PR kepada kita, agar IAIN bisa mengambil peran untuk mendamaikan sekaligus merumuskan pemahaman yang moderat, yang berdasarkan pada penalaran yang seimbang terhadap konsep-konsep keagamaan.
2. Kontekstualisasi Konsep Islam, Demokrasi dan Good Governance di Indnesia.
Berbagai pemikiran dan perilaku politik mewarnai makalah-makalah dan seminar selama konferensi internasional berlangsung. Ada 17 sub bahasan yang membahas tema-tema krusial yang berhubungan dengan tema Islam, demokrasi dan GG di Indonesia.
Dari segi konsep pola hubungan islam dan demokrasi menyuguhkan warga moderat dalam konteks wacana relasi islam dan politik di Indonesia. Seminar merespon juga eksistensi politik Islam di dunia internasional, seperti Islam and The West, dan beberapa pengalaman relasi Islam dan politik di berbagai Negara seperti India, Pakistan dan Australia.
3. Beberapa hambatan dalam merealisasikan relasi Islam, Demokrasi dan Good Governance di Indonesia.
Sebagai sebuah konsep, "Islam demokrasi dan good governance" tidak bisa berjalan mulus tanpa ada hambatan yang merintangi. Banyak eksplorasi makalah yang menampilkan tentang hambatan sekalgus solusi membumikan Islam dan Politik di Indonesia.
Makalah tentang hukum Islam di Indonesia yang menyita perhatian sebagian peserta menyampaikan beberapa hambatan penerapan hukum Islam di Indonesia, di antaranya: Tradisi hukum Islam kolonial misalnya, menjadi sangat kuat di kalangan masyarakat muslim Indonesia. Hingga saat ini hukum Islam tidak saja sebagai sumber authoritative hukum poistif di Indonesia tetapi juga sumber persuasive di Indonesia.
4. Rekomendasi International Converence
IAIN dan PTAIN/PTAIS lainnya mempunyai tugas utama dalam mewujudkan center for exccellen bagi studi-studi Islam umumnya dan khususnya tentang studi tentang Islam dan demokrasi. Untuk itu perlu dilakukan kajian yang serius baik dalam bentuk insidental sepesrti konferensi, seminar dan diskusi. Tetapi lebih dari itu perlu disiapkan wadah khusus yang mengkaji tentang Islam dan demokrasi dalam sebuah kajian permanen dalam institusi IAIN. Program studi Islam dan Demokrasi akan sangat bermanfaat apabila diwujudkan di Pascasarjana. Tidak saja menjadi center of exxellen bagi studi hukum Islam tetapi juga bagi studi-studi Politik dan Demokrasi yang unggulan.
Kampus III Ngalian, 6 Nopember 2009
KONTEKSTUALISASI MAKNA JIHAD
Oleh : Dr. Imam Yahya, M.A. (Dosen Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang)
Teror telah hadir dan menjelma dalam kehidupan kita sebagai momok, sebagai virus ganans dan monster yang menakutkan yang sewaktu-waktu dan tidak dapat diduga bisa menjelmakan terjadinya “prahara nasional dan global”, termasuk mewujudkan tragedi kemanusiaan, pengebirian martabat bangsa dan penyejarahan tragedi atas Hak Asasi Manusia (HAM). Hak Asasi Manusia kehilangan eksistensinya dan tercerabut kesucian atau kefitrahannya di tangan pembuat teror yang telah menciptakan kebiadaban berupa aksi animalisasi (kebinatangan) sosial, politik, budaya, dan ekonomi.
Terorisme adalah puncak aksi kekerasan, terrorism is the apex of violence. Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan. Terorisme tidak sama dengan intimidasi atau sabotase. Sasaran intimidasi dan sabotase umumnya langsung, sedangkan terorisme tidak. Korban tindakan Terorisme seringkali adalah orang yang tidak bersalah. Kaum teroris bermaksud ingin menciptakan sensasi agar masyarakat luas memperhatikan apa yang mereka perjuangkan.
Pengertian Terorisme
Mengenai pengertian yang baku dan definitif dari apa yang disebut dengan Tindak Pidana Terorisme itu, sampai saat ini belum ada keseragaman. Menurut Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Oleh karena itu menurut Brian Jenkins, Terorisme merupakan pandangan yang subjektif.
Dalam penjelasan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dinyatakan bahwa terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara, karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi.
Dalam kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Terorisme dapat diartikan sebagai penggunaan kekerasan atau ancaman untuk menurunkan semangat, menakut-nakuti, dan menakutkan, terutama untuk tujuan politik. Sedangkan Hafid Abbas, Dirjen Perlindungan HAM Depkeh dan HAM RI. Terorisme adalah pemakaian kekuatan atau kekerasan tidak sah melawan orang atau property untuk mengintimidasi atau menekan pemerintah, masyarakat sipil, atau bagian-bagiannya, untuk memaksa tujuan sosial, dan politik.
Para aktifis muslim seperti Fauzan al-Anshari, Terorisme adalah tindakan yang menggunakan kekeerasan atau ancaman kekerasan yang berlatar belakang politik atau kekuasaan dalam suatu pemerintah negara. Sementara Imam Samudera mengartikan terorisme sebagai (irhab), menggetarkan musuh. Untuk itu mereka mengartikan terorisme menjadi bagian dari jihad fi sabilillah, menuju ridho Allah SWT. Tidak mengagetkan manakala sebagian para pelaku teroris di Indonesia menganggap dirinya sebagai mujahid fi sabilillah.
Bahkan belakangan terorisme diartikan dengan sangat luas dengan segala tindakan atau ucapan yang membuat orang lain takut. Wal hasil terorisme menjadi sebuah kata yang sangat menakutkan bagi siapa saja baik yang melakukan maupun orang yang mengalami tindakan terorisme. Gambaran ini menjadikan negara dalam hal ini pihak yang mempunyai kekuasaan pertahanan dan keamanan yakni militer merasa sangat diperlukan dalam upaya menangani berbagai upaya terorisme.
Bentuk-bentuk Terorisme
Secara kategoris, gerakan terorisme dilihat dari aspek spiritnya, dapat dibedakan dalam beberapa kategori, diantaranya:
a. Semangat Nasionalisme
Pejuang kemerdekaaan, umumnya menggunakan kekerasan politik untuk melawan rezm penjajah. Memang kekerasan politik tidak selalu identik dengan terorisme. Kekersan politik dalam artian kerusuhan massal, perang saudara, revolusi, atau perang antar bangsa, tidak termasuk kategori terorisme. Namun demikian, terorisme itu sendiri sering terjadi berkaitan kekerasan-kekerasan politik tersebut. Contoh terorisme dengan spirit nasionalisme ini dapat ditemukan di Aljazair, Palestina, dan sejumlah negara jajahan di masa suburnya kolonialisme.
b. Semangat Separatisme
Terorisme karena semangat separatis juga dapat terjadi melalui kekerasan politik. Kekerasan politik yang dipilih sebagai perjuangan oleh kaum separatis, cenderung diklaim sebagai bentuk teror oleh opini dunia. Pemberanian opini dunia itu sangat logis. Sebab, kekerasan politik yang dieksploitasi gerakan separatis selalu memenuhi premis dasar terorisme, yaitu menggunakan ancaman kekerasan dan atau kekerasan untuk menimbulkan ketakutan di lingkungannya. Menurut mereka pembunuhan dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan bukanlah soal yang harus dirisaukan, bahkan sasarannya adalah mereka yang tidak berdosa.
Gerakan separatisme jenis ini hampir terdapat di banyak negara, seperti; IRA di Irlandia, Macan Tamil Ealam di Srilanka, SPLA di Sudan, MNLF di Philipina, dan Gerakan Aceh Merdeka, Republik Maluku Selatan atau Organisasi Papua Merdeka di Indonesia.
c. Semangat Radikalisme Agama
Kelompok-kelompok radikal agama pun ditengarai menggunakan teror untuk memperjuangkan kepentingannya. Kekerasan politikl dalam bentuk teror seringkali dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Kelompok jihad di Mesir, jihad di Yaman, National islamic Front di Sudan, Al-Qaedah yang berbasis di Afganistan, Jamaah Islamiyah yang berbasis di malaysia, atau kelompok-kelompok radikal yahudi seperti Haredi, Gush Emunim, Kach Kabane di israel adalah sekedar contoh elemen-elemen dengan spirit radikalisme agama yang cenderung mengdepankan budaya kekerasan dan terorisme.
d. Gerakan Terorisme yang didorong oleh spirit bisnis
Narcoterorism di Myanmar yang dikenal dengan sebutan United War State Army adalah kelompok teroris yang berlatar belakang perdagangan narkotika dan obat-obatan terlarang. Di Jepang juga dikenal Yakuza, yaitu organisasi di kalangan dunia hitam yang melakukan bisnis illegal dengan mengedepankan metode teror sebagai cara untuk mencpi tujuan.
Sedangkan bentuk-bentuk teroris ditinjau dari segi sejarah terdiri dari:
a. Pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah yang terjadi sebelum perang dunia II.
b. Terorisme dimulai di Aljazair di tahun limapuluhan, dilakukan oleh FLN yang mempopulerkan “serangan yang bersifat acak” terhadap masayrakat sipil yang tidak berdosa. Hal ini untuk melawan apa yang mereka (Algerian Nationalist) disebut sebagai “terorisme negara”.
c. Terorisme muncul pada tahun enampuluhan dan terkenal dengan istilah “terorisme media”, berupa serangan acak atau random terhadap siapa saja dengan tujuan publisitas.
Terorisme Perspektif Fiqh
Persoalan utama yang menjadi pembahasan terorisme dalam pandangan Islam adalah pemaknaan kata “jihad”. Para aktifis muslim yang sering dituduh penyebar teror memahami jihad sebagai bentuk perlawanan terhadap para penolak Islam yang disponsori oleh Amerika Serikat. Maka sekarang ini kita banyak melihat prilaku teror ditujukan kepada asset-asset yang berhubungan dengan Amerika, seperti hoteel Marriot dan Ritzcalsen belakangan ini.
Dalam benak para aktifis muslim, jihad lebih dipahami dalam kerangka balas dendam. Karena kafir telah memerangi muslim tanpa batas, maka muslim wajib membalasnya dengan memerangi kafir secara tanpa batas pula. Menurutnya, dalam ketentuan syari’ah, jihad berarti berperang melawan kaum kafir yang memerangi Islam dan kaum muslimin. Konsep inilah yang ia sebut dengan jihad fi sabilillah. Dalam pemahamannya, ayat al-Qur’an pertama tentang jihad yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah memerangi kaum kafir sebatas yang memerangi Islam. Kaum kafir yang terlibat langsung dalam perang tetap tidak boleh diperangi. Ayat tersebut adalah surat al-Baqarah: 190, ”Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu. Dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”.
Perang dalam sejarah militer Islam melawan Romawi dan Persia didasari oleh etika pelarangan berperang secara ”melampaui batas”, yaitu dilarang membunuh wanita dan anak-anak, orang tua renta, para ahli ibadah dan juga dilarang merusak tanaman dan lingkungan.
Dalam memahami konsep jihad dan perang dalam Islam, meraka membaginya ke dalam empat tahapan; tahapan menahan diri, tahapan diizinkan berperang, tahapan diwajibkan memerangi secara terbatas, dan tahapan kewajiban memerangi seluruh kaum kafir/musyrik. Pada tahap pertama, tahapan enahan diri, jihad belum diperintahkan. Kaum muslimin diperintahkan untuk menahan diri untuk bersabar dan tidak melakukan pembalasan terhadap penindasaan, kekejaman dan celaan kafir quraisy.
Pada tahap kedua, tahapan sebatas diizinkan berperang tetapi belum diperintahkan berperang, sehingga belum ada kewajiban berperang. Pada tahap ketiga, tahapan diwajibkan memerangi kaum kafir secara terbatas, yaitu terbatas kepada kaum kafir yang memerangi kaum muslimin. Sedangkan kaum kafir yang tidak ikut memerangi kaum muslimin tetap tidak diperbolehkan untuk diperangi. Pada tahap keempat, yaitu tahapan yang mewajibkan bagi kaum muslim untuk memerangi seluruh kaum kafir dan musyrik. Dengan ayat-ayat ini, ia melegitimasi bahwa peledakan bom Legian adalah bentuk dari aksi jihad fi sabilillah.
Dalam terminologi agama, jihâd tidak serta merta diartikan sebagai mengangkat senjata untuk memerangi non-muslim, sebagaimana difahami sebagian kalangan umat Islam. Secara umum, arti jihâd dikategorisasikan menjadi tiga pengertian; jihâd dengan hati jihâd dengan harta benda, dan jihâd dengan nyawa.
a) Jihâd dengan hati, maksudnya adalah berjihâd untuk memerangi hawa nafsu yang muncul dari dirinya sendiri. Hawa nafsu ini hanya bisa ditangani oleh dirinya sendiri.
b) Jihâd dengan harta benda. Yakni mendermakan hartanya di jalan Allah.
c) Jihâd dengan nyawa.
Pada pengertian pertama berarti jihâd internal, yakni jihâd dalam memerangi hawa nafsu, yang dalam bahasa Nabi disebut sebagai jihâd al-akbar. Jihâd diinterpretasikan sebagai upaya individual untuk mendekatkan diri dari seorang hamba kepada Khâliq-nya, hanya diri sendirilah yang bertindak sebagai subyek menang atau kalah.
Pada pengertian kedua ini, jihâd sebagai social action (aksi sosial) antar sesama makhluk. Konteks kemiskinan yang selalu melanda umat Islam di sepanjang zaman tentunya harus menjadi perhatian kaum muslimin untuk berusaha maksimal agar terbebas dari segala bentuk kemiskinan. Islam telah mengajarkan prinsip ekonomi Islam seperti zakat dan bait al-mâl yang secara konseptual bisa menjadi kekuatan besar dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umat.
Adapun pada pengertian ketiga, jihâd diartikan sebagai perang yang sesungguhnya, bellum justum dan bellum pium yakni perang demi keadilan dan kesalehan. Menurut Edmund Bosworth dalam Armies of the Prophet, jihâd dalam pengertian inilah yang merupakan salah satu isu populer dalam proses hubungan Islam dan Kristen selama beberapa abad. Kontak Islam dan Kristen ini ditandai dengan banyaknya konflik militer dan angkatan laut antara negara-negara Islam dan non-Islam.
Dalam berbagai pendapat para ahli fiqih, jihâd diartikan sebagai upaya yang dilakukan kaum muslim dalam memerangi non-muslim karena memaksa mereka untuk menganut Islam. Mereka sepakat bahwa jihâd itu dilakukan untuk dalam rangka menolong agama Islam dengan memerangi kaum kafir.
Dalam berbagai pendapat para ahli fiqih, jihâd diartikan sebagai upaya yang dilakukan kaum muslim dalam memerangi non-muslim karena memaksa mereka untuk menganut Islam. Mereka sepakat bahwa jihâd itu dilakukan untuk dalam rangka menolong agama Islam dengan memerangi kaum kafir.
Imam Nawawi al-Bantani menuturkan bahwa jihad itu fardu kifayah yang dilaksanakan paling tidak satu tahun sekali. Jika di negaranya tersebut ada orang kafir. Jika lebih dari satu kali maka itu lebih baik. Kewajiban akan gugur dikarenakan dua hal. Pertama, adanya pemimpin atau tentara yang dipersiapkan untuk berperang. Kedua, sudah terjaminnya keamanan karena kesiapan tentara di masing-masing sudut negara.
Sedangkan Ibn Qasim menjelaskan bahwa hukum jihad pada masa Nabi tepatnya sebelum hijrah adalah fardu kifayah, sedangkan pada masa setelah hijrah ada dua kemungkinan yang pertama jihad hukumnya fardu kifayah yakni jika kaum kafir tetap berada pada negaranya. Apabila kaum kafir masuk dan menyerang masyarakat muslim maka hukum jihad menjadi fardu‘ain. Al-Sya’rani dengan mengutip pendapat Imam Malik mengatakan bahwa kewajiban berjihad sama halnya dengan haji, yaitu adanya perbekalan dan kendaraan.
Ibn Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan jika dilihat dari pelaksanaannya, jihad dapat dibagi menjadi tiga bentuk yaitu jihad mutlaq, jihad hujjah dan jihad ’amm. Jihad mutlaq adalah perang melawan musuh di medan pertempuran. Jihad ini mempunyai persyaratan tertentu, diantaranya; pertama, perang tersebut harus bersifat defensive, Kedua, sebagai hujjah untuk menghilangkan fitnah, Ketiga, hujjah untuk menciptakan perdamaian, Keempat, hujjah untuk mewujudkan kebajikan dan keadilan. Tampak di sini bahwa makna jihad lebih dekat ke dalam pengertian perang (qital).
Adapun jihad hujjah adalah jihad yang dilakukan dalam berhadapan dengan pemeluk agama lain dengan mengemukakan argumentasi yang kuat. Kemudian jihad terakhir adalah jihad ‘amm. Jihad yang dimaksud adalah jihad yang mencakup segala aspek kehidupan baik yang bersifat moral maupun yang bersifat material, terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain di tengah-tengah masyarakat. Jihad seperti ini dapat dilakukan dengan pengorbanan harta, jiwa, tenaga, waktu dan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Jihad ini juga trans-temporal dan tidak terbatas oleh ruang dan bisa dilakukan terhadap musuh yang nyata, setan dan hawa nafsu. Pengertian musuh nyata di sini, di samping perang, juga berarti semua tantangan yang dihadapi umat Islam, seperti kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.
Para ulama fiqh menyatakan bahwa Hukum jihad adalah fardu kifayah dengan dalil-dalil baik dalil dari al-Qur'an maupun sunah yang sahih serta penjelasan ulama ahl al-sunnah antara lain dari al-Qur’an surah an-Nisa’: 95- 96, at-Taubah: 122, al-Muzzamil: 20, dan beberapa hadis Nabi yang shahih. Berdasarkan dalil-dalil ini, maka empat Imam Mazhab dan lainnya telah sepakat bahwa jihad fi sabilillah hukumnya adalah fardu kifayah, apabila sebagian kaum Muslimin melaksanakannya, maka gugur (kewajiban) atas yang lainnya. Kalau tidak ada yang melaksanakannya maka berdosa semuanya.
Para ulama menyebutkan bahwa jihad menjadi fardu ‘ain pada tiga kondisi, yakni: pertama, apabila pasukan muslim dan kafir bertemu dan sudah saling berhadapan di medan perang, maka tidak boleh seseorang mundur atau berbalik. Kedua, apabila musuh menyerang negeri muslim yang aman dan mengepungnya, maka wajib bagi penduduk negeri untuk keluar memerangi musuh (dalam rangka mempertahankan tanah air), kecuali wanita dan anak-anak. Ketiga, apabila Imam meminta satu kaum atau menentukan beberapa orang untuk berangkat perang, maka wajib berangkat. Dalam hal ini dasar hukumnya adalah QS. at-Taubah: 38-39.
Kesimpulan
Terorisme adalah perlawanan atau peperangan bukan pada militer melainkan terhadap orang-orang yang tidak berdosa dan masyarakat sipil. Teror adalah menakut-nakuti dan mengancam. Ia tidak bisa diterima oleh akal manusia dan tidak dibenarkan oleh agama. Kejahatan terorisme merupakan produk perilaku kebiadaban dan kebinatangan. Akibat yang ditimbulkan sangat terasa sebagi wujud pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Berdasarkan ketentuan berlakunya hukum pidana Islam terhadap setiap jarimah yang dilakukan di dar as-salam, teori Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal dapat diberlakukan terhadap setiap orang yang melakukan kejahatan di wilayah dar as-salam tanpa melihat kewarganegaraan pelaku begitu juga terhadap kejahatan yang dilakukan penduduk dar as-salam di dar al-harb, ketentuan hukum Islam senantiasa dapat diberlakukan berdasarkan ke-Islaman pelaku maupun akad zimmah.
Teror telah hadir dan menjelma dalam kehidupan kita sebagai momok, sebagai virus ganans dan monster yang menakutkan yang sewaktu-waktu dan tidak dapat diduga bisa menjelmakan terjadinya “prahara nasional dan global”, termasuk mewujudkan tragedi kemanusiaan, pengebirian martabat bangsa dan penyejarahan tragedi atas Hak Asasi Manusia (HAM). Hak Asasi Manusia kehilangan eksistensinya dan tercerabut kesucian atau kefitrahannya di tangan pembuat teror yang telah menciptakan kebiadaban berupa aksi animalisasi (kebinatangan) sosial, politik, budaya, dan ekonomi.
Terorisme adalah puncak aksi kekerasan, terrorism is the apex of violence. Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan. Terorisme tidak sama dengan intimidasi atau sabotase. Sasaran intimidasi dan sabotase umumnya langsung, sedangkan terorisme tidak. Korban tindakan Terorisme seringkali adalah orang yang tidak bersalah. Kaum teroris bermaksud ingin menciptakan sensasi agar masyarakat luas memperhatikan apa yang mereka perjuangkan.
Pengertian Terorisme
Mengenai pengertian yang baku dan definitif dari apa yang disebut dengan Tindak Pidana Terorisme itu, sampai saat ini belum ada keseragaman. Menurut Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Oleh karena itu menurut Brian Jenkins, Terorisme merupakan pandangan yang subjektif.
Dalam penjelasan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dinyatakan bahwa terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara, karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi.
Dalam kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Terorisme dapat diartikan sebagai penggunaan kekerasan atau ancaman untuk menurunkan semangat, menakut-nakuti, dan menakutkan, terutama untuk tujuan politik. Sedangkan Hafid Abbas, Dirjen Perlindungan HAM Depkeh dan HAM RI. Terorisme adalah pemakaian kekuatan atau kekerasan tidak sah melawan orang atau property untuk mengintimidasi atau menekan pemerintah, masyarakat sipil, atau bagian-bagiannya, untuk memaksa tujuan sosial, dan politik.
Para aktifis muslim seperti Fauzan al-Anshari, Terorisme adalah tindakan yang menggunakan kekeerasan atau ancaman kekerasan yang berlatar belakang politik atau kekuasaan dalam suatu pemerintah negara. Sementara Imam Samudera mengartikan terorisme sebagai (irhab), menggetarkan musuh. Untuk itu mereka mengartikan terorisme menjadi bagian dari jihad fi sabilillah, menuju ridho Allah SWT. Tidak mengagetkan manakala sebagian para pelaku teroris di Indonesia menganggap dirinya sebagai mujahid fi sabilillah.
Bahkan belakangan terorisme diartikan dengan sangat luas dengan segala tindakan atau ucapan yang membuat orang lain takut. Wal hasil terorisme menjadi sebuah kata yang sangat menakutkan bagi siapa saja baik yang melakukan maupun orang yang mengalami tindakan terorisme. Gambaran ini menjadikan negara dalam hal ini pihak yang mempunyai kekuasaan pertahanan dan keamanan yakni militer merasa sangat diperlukan dalam upaya menangani berbagai upaya terorisme.
Bentuk-bentuk Terorisme
Secara kategoris, gerakan terorisme dilihat dari aspek spiritnya, dapat dibedakan dalam beberapa kategori, diantaranya:
a. Semangat Nasionalisme
Pejuang kemerdekaaan, umumnya menggunakan kekerasan politik untuk melawan rezm penjajah. Memang kekerasan politik tidak selalu identik dengan terorisme. Kekersan politik dalam artian kerusuhan massal, perang saudara, revolusi, atau perang antar bangsa, tidak termasuk kategori terorisme. Namun demikian, terorisme itu sendiri sering terjadi berkaitan kekerasan-kekerasan politik tersebut. Contoh terorisme dengan spirit nasionalisme ini dapat ditemukan di Aljazair, Palestina, dan sejumlah negara jajahan di masa suburnya kolonialisme.
b. Semangat Separatisme
Terorisme karena semangat separatis juga dapat terjadi melalui kekerasan politik. Kekerasan politik yang dipilih sebagai perjuangan oleh kaum separatis, cenderung diklaim sebagai bentuk teror oleh opini dunia. Pemberanian opini dunia itu sangat logis. Sebab, kekerasan politik yang dieksploitasi gerakan separatis selalu memenuhi premis dasar terorisme, yaitu menggunakan ancaman kekerasan dan atau kekerasan untuk menimbulkan ketakutan di lingkungannya. Menurut mereka pembunuhan dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan bukanlah soal yang harus dirisaukan, bahkan sasarannya adalah mereka yang tidak berdosa.
Gerakan separatisme jenis ini hampir terdapat di banyak negara, seperti; IRA di Irlandia, Macan Tamil Ealam di Srilanka, SPLA di Sudan, MNLF di Philipina, dan Gerakan Aceh Merdeka, Republik Maluku Selatan atau Organisasi Papua Merdeka di Indonesia.
c. Semangat Radikalisme Agama
Kelompok-kelompok radikal agama pun ditengarai menggunakan teror untuk memperjuangkan kepentingannya. Kekerasan politikl dalam bentuk teror seringkali dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Kelompok jihad di Mesir, jihad di Yaman, National islamic Front di Sudan, Al-Qaedah yang berbasis di Afganistan, Jamaah Islamiyah yang berbasis di malaysia, atau kelompok-kelompok radikal yahudi seperti Haredi, Gush Emunim, Kach Kabane di israel adalah sekedar contoh elemen-elemen dengan spirit radikalisme agama yang cenderung mengdepankan budaya kekerasan dan terorisme.
d. Gerakan Terorisme yang didorong oleh spirit bisnis
Narcoterorism di Myanmar yang dikenal dengan sebutan United War State Army adalah kelompok teroris yang berlatar belakang perdagangan narkotika dan obat-obatan terlarang. Di Jepang juga dikenal Yakuza, yaitu organisasi di kalangan dunia hitam yang melakukan bisnis illegal dengan mengedepankan metode teror sebagai cara untuk mencpi tujuan.
Sedangkan bentuk-bentuk teroris ditinjau dari segi sejarah terdiri dari:
a. Pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah yang terjadi sebelum perang dunia II.
b. Terorisme dimulai di Aljazair di tahun limapuluhan, dilakukan oleh FLN yang mempopulerkan “serangan yang bersifat acak” terhadap masayrakat sipil yang tidak berdosa. Hal ini untuk melawan apa yang mereka (Algerian Nationalist) disebut sebagai “terorisme negara”.
c. Terorisme muncul pada tahun enampuluhan dan terkenal dengan istilah “terorisme media”, berupa serangan acak atau random terhadap siapa saja dengan tujuan publisitas.
Terorisme Perspektif Fiqh
Persoalan utama yang menjadi pembahasan terorisme dalam pandangan Islam adalah pemaknaan kata “jihad”. Para aktifis muslim yang sering dituduh penyebar teror memahami jihad sebagai bentuk perlawanan terhadap para penolak Islam yang disponsori oleh Amerika Serikat. Maka sekarang ini kita banyak melihat prilaku teror ditujukan kepada asset-asset yang berhubungan dengan Amerika, seperti hoteel Marriot dan Ritzcalsen belakangan ini.
Dalam benak para aktifis muslim, jihad lebih dipahami dalam kerangka balas dendam. Karena kafir telah memerangi muslim tanpa batas, maka muslim wajib membalasnya dengan memerangi kafir secara tanpa batas pula. Menurutnya, dalam ketentuan syari’ah, jihad berarti berperang melawan kaum kafir yang memerangi Islam dan kaum muslimin. Konsep inilah yang ia sebut dengan jihad fi sabilillah. Dalam pemahamannya, ayat al-Qur’an pertama tentang jihad yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah memerangi kaum kafir sebatas yang memerangi Islam. Kaum kafir yang terlibat langsung dalam perang tetap tidak boleh diperangi. Ayat tersebut adalah surat al-Baqarah: 190, ”Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu. Dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”.
Perang dalam sejarah militer Islam melawan Romawi dan Persia didasari oleh etika pelarangan berperang secara ”melampaui batas”, yaitu dilarang membunuh wanita dan anak-anak, orang tua renta, para ahli ibadah dan juga dilarang merusak tanaman dan lingkungan.
Dalam memahami konsep jihad dan perang dalam Islam, meraka membaginya ke dalam empat tahapan; tahapan menahan diri, tahapan diizinkan berperang, tahapan diwajibkan memerangi secara terbatas, dan tahapan kewajiban memerangi seluruh kaum kafir/musyrik. Pada tahap pertama, tahapan enahan diri, jihad belum diperintahkan. Kaum muslimin diperintahkan untuk menahan diri untuk bersabar dan tidak melakukan pembalasan terhadap penindasaan, kekejaman dan celaan kafir quraisy.
Pada tahap kedua, tahapan sebatas diizinkan berperang tetapi belum diperintahkan berperang, sehingga belum ada kewajiban berperang. Pada tahap ketiga, tahapan diwajibkan memerangi kaum kafir secara terbatas, yaitu terbatas kepada kaum kafir yang memerangi kaum muslimin. Sedangkan kaum kafir yang tidak ikut memerangi kaum muslimin tetap tidak diperbolehkan untuk diperangi. Pada tahap keempat, yaitu tahapan yang mewajibkan bagi kaum muslim untuk memerangi seluruh kaum kafir dan musyrik. Dengan ayat-ayat ini, ia melegitimasi bahwa peledakan bom Legian adalah bentuk dari aksi jihad fi sabilillah.
Dalam terminologi agama, jihâd tidak serta merta diartikan sebagai mengangkat senjata untuk memerangi non-muslim, sebagaimana difahami sebagian kalangan umat Islam. Secara umum, arti jihâd dikategorisasikan menjadi tiga pengertian; jihâd dengan hati jihâd dengan harta benda, dan jihâd dengan nyawa.
a) Jihâd dengan hati, maksudnya adalah berjihâd untuk memerangi hawa nafsu yang muncul dari dirinya sendiri. Hawa nafsu ini hanya bisa ditangani oleh dirinya sendiri.
b) Jihâd dengan harta benda. Yakni mendermakan hartanya di jalan Allah.
c) Jihâd dengan nyawa.
Pada pengertian pertama berarti jihâd internal, yakni jihâd dalam memerangi hawa nafsu, yang dalam bahasa Nabi disebut sebagai jihâd al-akbar. Jihâd diinterpretasikan sebagai upaya individual untuk mendekatkan diri dari seorang hamba kepada Khâliq-nya, hanya diri sendirilah yang bertindak sebagai subyek menang atau kalah.
Pada pengertian kedua ini, jihâd sebagai social action (aksi sosial) antar sesama makhluk. Konteks kemiskinan yang selalu melanda umat Islam di sepanjang zaman tentunya harus menjadi perhatian kaum muslimin untuk berusaha maksimal agar terbebas dari segala bentuk kemiskinan. Islam telah mengajarkan prinsip ekonomi Islam seperti zakat dan bait al-mâl yang secara konseptual bisa menjadi kekuatan besar dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umat.
Adapun pada pengertian ketiga, jihâd diartikan sebagai perang yang sesungguhnya, bellum justum dan bellum pium yakni perang demi keadilan dan kesalehan. Menurut Edmund Bosworth dalam Armies of the Prophet, jihâd dalam pengertian inilah yang merupakan salah satu isu populer dalam proses hubungan Islam dan Kristen selama beberapa abad. Kontak Islam dan Kristen ini ditandai dengan banyaknya konflik militer dan angkatan laut antara negara-negara Islam dan non-Islam.
Dalam berbagai pendapat para ahli fiqih, jihâd diartikan sebagai upaya yang dilakukan kaum muslim dalam memerangi non-muslim karena memaksa mereka untuk menganut Islam. Mereka sepakat bahwa jihâd itu dilakukan untuk dalam rangka menolong agama Islam dengan memerangi kaum kafir.
Dalam berbagai pendapat para ahli fiqih, jihâd diartikan sebagai upaya yang dilakukan kaum muslim dalam memerangi non-muslim karena memaksa mereka untuk menganut Islam. Mereka sepakat bahwa jihâd itu dilakukan untuk dalam rangka menolong agama Islam dengan memerangi kaum kafir.
Imam Nawawi al-Bantani menuturkan bahwa jihad itu fardu kifayah yang dilaksanakan paling tidak satu tahun sekali. Jika di negaranya tersebut ada orang kafir. Jika lebih dari satu kali maka itu lebih baik. Kewajiban akan gugur dikarenakan dua hal. Pertama, adanya pemimpin atau tentara yang dipersiapkan untuk berperang. Kedua, sudah terjaminnya keamanan karena kesiapan tentara di masing-masing sudut negara.
Sedangkan Ibn Qasim menjelaskan bahwa hukum jihad pada masa Nabi tepatnya sebelum hijrah adalah fardu kifayah, sedangkan pada masa setelah hijrah ada dua kemungkinan yang pertama jihad hukumnya fardu kifayah yakni jika kaum kafir tetap berada pada negaranya. Apabila kaum kafir masuk dan menyerang masyarakat muslim maka hukum jihad menjadi fardu‘ain. Al-Sya’rani dengan mengutip pendapat Imam Malik mengatakan bahwa kewajiban berjihad sama halnya dengan haji, yaitu adanya perbekalan dan kendaraan.
Ibn Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan jika dilihat dari pelaksanaannya, jihad dapat dibagi menjadi tiga bentuk yaitu jihad mutlaq, jihad hujjah dan jihad ’amm. Jihad mutlaq adalah perang melawan musuh di medan pertempuran. Jihad ini mempunyai persyaratan tertentu, diantaranya; pertama, perang tersebut harus bersifat defensive, Kedua, sebagai hujjah untuk menghilangkan fitnah, Ketiga, hujjah untuk menciptakan perdamaian, Keempat, hujjah untuk mewujudkan kebajikan dan keadilan. Tampak di sini bahwa makna jihad lebih dekat ke dalam pengertian perang (qital).
Adapun jihad hujjah adalah jihad yang dilakukan dalam berhadapan dengan pemeluk agama lain dengan mengemukakan argumentasi yang kuat. Kemudian jihad terakhir adalah jihad ‘amm. Jihad yang dimaksud adalah jihad yang mencakup segala aspek kehidupan baik yang bersifat moral maupun yang bersifat material, terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain di tengah-tengah masyarakat. Jihad seperti ini dapat dilakukan dengan pengorbanan harta, jiwa, tenaga, waktu dan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Jihad ini juga trans-temporal dan tidak terbatas oleh ruang dan bisa dilakukan terhadap musuh yang nyata, setan dan hawa nafsu. Pengertian musuh nyata di sini, di samping perang, juga berarti semua tantangan yang dihadapi umat Islam, seperti kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.
Para ulama fiqh menyatakan bahwa Hukum jihad adalah fardu kifayah dengan dalil-dalil baik dalil dari al-Qur'an maupun sunah yang sahih serta penjelasan ulama ahl al-sunnah antara lain dari al-Qur’an surah an-Nisa’: 95- 96, at-Taubah: 122, al-Muzzamil: 20, dan beberapa hadis Nabi yang shahih. Berdasarkan dalil-dalil ini, maka empat Imam Mazhab dan lainnya telah sepakat bahwa jihad fi sabilillah hukumnya adalah fardu kifayah, apabila sebagian kaum Muslimin melaksanakannya, maka gugur (kewajiban) atas yang lainnya. Kalau tidak ada yang melaksanakannya maka berdosa semuanya.
Para ulama menyebutkan bahwa jihad menjadi fardu ‘ain pada tiga kondisi, yakni: pertama, apabila pasukan muslim dan kafir bertemu dan sudah saling berhadapan di medan perang, maka tidak boleh seseorang mundur atau berbalik. Kedua, apabila musuh menyerang negeri muslim yang aman dan mengepungnya, maka wajib bagi penduduk negeri untuk keluar memerangi musuh (dalam rangka mempertahankan tanah air), kecuali wanita dan anak-anak. Ketiga, apabila Imam meminta satu kaum atau menentukan beberapa orang untuk berangkat perang, maka wajib berangkat. Dalam hal ini dasar hukumnya adalah QS. at-Taubah: 38-39.
Kesimpulan
Terorisme adalah perlawanan atau peperangan bukan pada militer melainkan terhadap orang-orang yang tidak berdosa dan masyarakat sipil. Teror adalah menakut-nakuti dan mengancam. Ia tidak bisa diterima oleh akal manusia dan tidak dibenarkan oleh agama. Kejahatan terorisme merupakan produk perilaku kebiadaban dan kebinatangan. Akibat yang ditimbulkan sangat terasa sebagi wujud pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Berdasarkan ketentuan berlakunya hukum pidana Islam terhadap setiap jarimah yang dilakukan di dar as-salam, teori Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal dapat diberlakukan terhadap setiap orang yang melakukan kejahatan di wilayah dar as-salam tanpa melihat kewarganegaraan pelaku begitu juga terhadap kejahatan yang dilakukan penduduk dar as-salam di dar al-harb, ketentuan hukum Islam senantiasa dapat diberlakukan berdasarkan ke-Islaman pelaku maupun akad zimmah.
Selasa, 03 November 2009
Pengurus IAEI Jawa Tengah
PENGURUS IKATAN AHLI EKONOMI ISLAM
( I A E I )
WILAYAH PROPINSI JAWA TENGAH
DEWAN KEHORMATAN
Anggota : H. Bibit Waluyo (Pemprov Jateng)
Anggota : Prof. Dr. H. Abdul Djamil, M.A. (IAIN)
Anggota : Prof. Dr. dr. H. Susilo Wibowo, MS. And (UNDIP)
Anggota : Prof. Dr. H. Sudijono Sastroatmodjo, M.Si. (UNNES)
Anggota : Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, M.A. (UNWAHAS)
Anggota : Prof. Laode M Kamaluddin, M.Sc., M.Eng., Ph.D. (UNISSULA)
Anggota : Prof. Dr. H. Susanto, M.Pd. (UNIMUS)
Anggota : Dr. Ir. H. Edi Noersasongko, M.Komp. (UDINUS)
DEWAN PEMBINA/PENASEHAT
Anggota : H. Hasan Toha Putra, MBA. (Toha Putra/Pengusaha)
Anggota : Prof. Dr. H. Imam Ghazali, M.Com (UNDIP)
Anggota : Prof. Dr. H. Sugeng Wahyudi, MM. (UNDIP)
Anggota : H. Suwanto, SE, MM (Aneka Ilmu/Pengusaha)
Anggota : H. Imam Syafi’i (Galatama/Pengusaha)
Anggota : H. Ali Mufiz, MPA (MAJT Semarang)
Anggota : Dr. H. Zaeni Aboe Amin (BI Semarang)
Anggota : Drs. H. Muhyiddin, M.Ag. (IAIN)
Anggota : Drs. KH. Ahmad Darodji, M.Si. (MUI Jateng)
Anggota : Dr. H. Mohamad Nasir, SE. M.Si, Akt. (UNDIP)
Anggota : Dr. H. M. Chabachib, SE. M.Si (UNDIP)
Anggota : Drs. K.H. Mohammad Adnan, M.A.(PWNU Jateng)
Anggota : H. Mahdi Mahmudi, S.E., M.A. (BI Semarang)
Anggota : KH. Ahmad Harits Shodaqoh (Pondok Pesantren)
Anggota : Drs. H. Rozikhan, M.A. (PD Muhammadiyah)
Anggota : Prof. Dr. H. Abdul Hadi, MA. (STAIN Kudus)
Anggota : Dr. H. Moh Maufur, M.Pd. (UPS Tegal/Kopertis Jateng)
DEWAN PENGURUS
Ketua Umum : Prof. Dr. H. Miyasto, S.U. (UNDIP)
Wakil Ketua Umum : Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag. (IAIN)
Ketua I : H. Moh. Zulfa, S.E. M.M. (UNISSULA)
Ketua II : Dr. H. Edy Yusuf, M.Sc. (UNDIP)
Ketua III : Dr. Agus Prayitno, M.M. (UDINUS)
Sekretaris Umum : Dr. Imam Yahya, M.Ag. (IAIN)
Sekretaris I : Darwanto, SE. M.Si.(UNDIP)
Sekretaris II : H. Umar Hadzik, S.E. M.M. (UNWAHAS)
Sekretaris III : H. Ali Masykur, S.E. M.Komp. (UNISBANK)
Bendahara Umum : Dr. Indri Kartika, SE. M.Si., Akt. (UNISSULA)
Wakil Bendahara : Moh Saifullah, M.Ag. (IAIN)
Wakil Bendahara : Ahmad Nuruddin, SE. (BSM Semarang)
Bidang-bidang:
Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum :
Prof. Dr. H. M. Syafrudin (BAN PT DIKTI / UNDIP)
Drs. H. Musahadi, M.Ag. (IAIN)
Dr. H. Abdul Hakim, SE. M.Si (UNISSULA)
Dr. Abdul Syukur, SE (UDINUS)
Dr. Hj. Widhy Setyowati, SE. MM. Akt (UNISBANK)
Muh Khafidz, S.Pd. M.Si. (UNNES)
Parju, SE. M.Si (UNTAG)
Dra. Hj. Tri Wahyu R., M.Si. (UNDIP)
Siti Amaroh, SE. M.Si. (STAIN Kudus)
Kajian dan Pelatihan :
Dr. H. Shophianto, SE. MM. (UDINUS)
H. Zaenal, S.E., M.Si. (UNISSULA)
Dr. Ade Dedi Rohayana, MA.(STAIN Pkl)
Indra Juheri, SE (Bank Indonesia Semarang)
Nur Fatoni, M.Ag., (IAIN)
Arif Pujiyono, S.E., M.Si. (UNDIP)
Siti Mutma’inah S.E., M.Si., Akt. (UNDIP)
Nanang Yusroni, SE. M.Si. (Unwahas)
Anita Rahmawati, M.Ag. (STAIN Kudus)
Penelitian dan Pengembangan:
Rahman el-Junusi, SE. M.M.(IAIN)
Faqih Nabhan, SE. MM (STAIN Salatiga)
Dr. Mutammimah, SE., M.Si.(UNISSULA)
Dr. Alimudin Rizal, SE. MM. (UNISBANK)
Dr. Anies Chariri, Mcom, Akt. (UNDIP)
Mahmud, SE. MM (UDINUS)
Amir Mahmud, S.Pd., M.Si. (UNNES)
Ratno Purnomo, S.E., M.Si. (UNSOED)
Dr. Suharnomo, M.Si. (UNDIP)
Hubungan Masyarakat:
Drs. H. Maksun,M.Ag.(IAIN)
Novita Wulandari, S.E., M.M. (BI Semarang)
Agus Waluyo, M.Ag. (STAIN Salatiga)
Dr. Nurhadi, SE. M.Si. (STAIN Kudus)
Moh Idris, SE. M.Si. (Univ Muria Kudus)
Sri Nawatmi, SE.MM. (UDINUS)
Drs. Syamsu Hadi, M.Si.(UNNES)
Bagas Pratomo, S.E. (Suara Merdeka)
Dr. H. Abdurahman, M.Si., Akt. (UNDIP)
Hubungan antar Lembaga dan Kerjasama :
Wuryanto, S.E., M.Si. (Bank Indonesia Semarang)
Ahmad Fahmi Adjie, S.E. (BMI Semarang)
Ahmad Dahlan, M.Si (STAIN Purwokerto)
Sri Hartono, SE., MS. (UNISSULA)
Kusumantoro, S.Pd., M.Si. (UNNES)
Retno DH, SE (BPRS Roemani Semarang)
H. Muhammad Fauzi, SE. MM. (IAIN)
Sapto Brastokoro, S.E. (YBWSA)
Publikasi dan Informasi :
Moh. Arifin, S.Ag. M.Hum. (IAIN)
Ashari, SE., M.Si. (UNISSULA)
Agung Yulianto, S.Pd., M.Si. (UNNES)
Johan Arifin, MM (IAIN)
Drs. Miftahuddin, M.Ag. (STAIN Salatiga)
Hj. Nurhayati, SE. M.Si. (UNTAG)
M. Zaenuri, S.E., M.M (UMK)
M. Imron, S.E., M.M. (STIE NU Jepara)
Khanifah, SE. M.Si. (Unwahas)
Kewirausahaan :
H. Abdul Yazid (BMT BUS Lasem)
Kartiko A Wibowo, SE., MM. (BPRS Binama Smg)
Syam’ani, S.E. M.M. (POLINES).
Drs. Ali Fauzan (BMT Ben Taqwa Grobogan)
H. Abdul Ghofur, M.Ag. (IAIN)
Harjum Muharam, S.E., M.E. (UNDIP)
Malik Cahyadin, S.E., M.Si. (UNS Solo)
Eka Rahayuningsih, SE., MM (STAIN Kudus)
Lembaga Keuangan dan Perbankan :
Imam Samekto, SE (BNI Syariah)
H. Nur Basuki (BMT Marhamah Wonosobo)
Sugeng Supriyadi, SE (BPRS Asad ALif)
Slamet, SE. M.Ag. MM. (Bank Indonesia Semarang)
Drs. Ahmad Mujahid , (BPRS Binama Semarang)
Muh Arif Zainul (Bank NIaga Syariah Semarang)
Siti Aisyah Suciningtyas, S.E., M.Si. (UNISSULA)
Pengembangan Sumber Daya Insani :
Dr. Purbayu, SE (Undip)
Widianto, Ph.D. (UNISSULA)
Dra. Hj. Mujibatun, M.Ag. (IAIN)
Drs. H Sa'ad (BMT Tamziz Wonosobo)
Drs. Agus Wahyudi, M.Si. (UNNES)
Askar Yuniato, SE. MM. (UNISBANK)
( I A E I )
WILAYAH PROPINSI JAWA TENGAH
DEWAN KEHORMATAN
Anggota : H. Bibit Waluyo (Pemprov Jateng)
Anggota : Prof. Dr. H. Abdul Djamil, M.A. (IAIN)
Anggota : Prof. Dr. dr. H. Susilo Wibowo, MS. And (UNDIP)
Anggota : Prof. Dr. H. Sudijono Sastroatmodjo, M.Si. (UNNES)
Anggota : Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, M.A. (UNWAHAS)
Anggota : Prof. Laode M Kamaluddin, M.Sc., M.Eng., Ph.D. (UNISSULA)
Anggota : Prof. Dr. H. Susanto, M.Pd. (UNIMUS)
Anggota : Dr. Ir. H. Edi Noersasongko, M.Komp. (UDINUS)
DEWAN PEMBINA/PENASEHAT
Anggota : H. Hasan Toha Putra, MBA. (Toha Putra/Pengusaha)
Anggota : Prof. Dr. H. Imam Ghazali, M.Com (UNDIP)
Anggota : Prof. Dr. H. Sugeng Wahyudi, MM. (UNDIP)
Anggota : H. Suwanto, SE, MM (Aneka Ilmu/Pengusaha)
Anggota : H. Imam Syafi’i (Galatama/Pengusaha)
Anggota : H. Ali Mufiz, MPA (MAJT Semarang)
Anggota : Dr. H. Zaeni Aboe Amin (BI Semarang)
Anggota : Drs. H. Muhyiddin, M.Ag. (IAIN)
Anggota : Drs. KH. Ahmad Darodji, M.Si. (MUI Jateng)
Anggota : Dr. H. Mohamad Nasir, SE. M.Si, Akt. (UNDIP)
Anggota : Dr. H. M. Chabachib, SE. M.Si (UNDIP)
Anggota : Drs. K.H. Mohammad Adnan, M.A.(PWNU Jateng)
Anggota : H. Mahdi Mahmudi, S.E., M.A. (BI Semarang)
Anggota : KH. Ahmad Harits Shodaqoh (Pondok Pesantren)
Anggota : Drs. H. Rozikhan, M.A. (PD Muhammadiyah)
Anggota : Prof. Dr. H. Abdul Hadi, MA. (STAIN Kudus)
Anggota : Dr. H. Moh Maufur, M.Pd. (UPS Tegal/Kopertis Jateng)
DEWAN PENGURUS
Ketua Umum : Prof. Dr. H. Miyasto, S.U. (UNDIP)
Wakil Ketua Umum : Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag. (IAIN)
Ketua I : H. Moh. Zulfa, S.E. M.M. (UNISSULA)
Ketua II : Dr. H. Edy Yusuf, M.Sc. (UNDIP)
Ketua III : Dr. Agus Prayitno, M.M. (UDINUS)
Sekretaris Umum : Dr. Imam Yahya, M.Ag. (IAIN)
Sekretaris I : Darwanto, SE. M.Si.(UNDIP)
Sekretaris II : H. Umar Hadzik, S.E. M.M. (UNWAHAS)
Sekretaris III : H. Ali Masykur, S.E. M.Komp. (UNISBANK)
Bendahara Umum : Dr. Indri Kartika, SE. M.Si., Akt. (UNISSULA)
Wakil Bendahara : Moh Saifullah, M.Ag. (IAIN)
Wakil Bendahara : Ahmad Nuruddin, SE. (BSM Semarang)
Bidang-bidang:
Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum :
Prof. Dr. H. M. Syafrudin (BAN PT DIKTI / UNDIP)
Drs. H. Musahadi, M.Ag. (IAIN)
Dr. H. Abdul Hakim, SE. M.Si (UNISSULA)
Dr. Abdul Syukur, SE (UDINUS)
Dr. Hj. Widhy Setyowati, SE. MM. Akt (UNISBANK)
Muh Khafidz, S.Pd. M.Si. (UNNES)
Parju, SE. M.Si (UNTAG)
Dra. Hj. Tri Wahyu R., M.Si. (UNDIP)
Siti Amaroh, SE. M.Si. (STAIN Kudus)
Kajian dan Pelatihan :
Dr. H. Shophianto, SE. MM. (UDINUS)
H. Zaenal, S.E., M.Si. (UNISSULA)
Dr. Ade Dedi Rohayana, MA.(STAIN Pkl)
Indra Juheri, SE (Bank Indonesia Semarang)
Nur Fatoni, M.Ag., (IAIN)
Arif Pujiyono, S.E., M.Si. (UNDIP)
Siti Mutma’inah S.E., M.Si., Akt. (UNDIP)
Nanang Yusroni, SE. M.Si. (Unwahas)
Anita Rahmawati, M.Ag. (STAIN Kudus)
Penelitian dan Pengembangan:
Rahman el-Junusi, SE. M.M.(IAIN)
Faqih Nabhan, SE. MM (STAIN Salatiga)
Dr. Mutammimah, SE., M.Si.(UNISSULA)
Dr. Alimudin Rizal, SE. MM. (UNISBANK)
Dr. Anies Chariri, Mcom, Akt. (UNDIP)
Mahmud, SE. MM (UDINUS)
Amir Mahmud, S.Pd., M.Si. (UNNES)
Ratno Purnomo, S.E., M.Si. (UNSOED)
Dr. Suharnomo, M.Si. (UNDIP)
Hubungan Masyarakat:
Drs. H. Maksun,M.Ag.(IAIN)
Novita Wulandari, S.E., M.M. (BI Semarang)
Agus Waluyo, M.Ag. (STAIN Salatiga)
Dr. Nurhadi, SE. M.Si. (STAIN Kudus)
Moh Idris, SE. M.Si. (Univ Muria Kudus)
Sri Nawatmi, SE.MM. (UDINUS)
Drs. Syamsu Hadi, M.Si.(UNNES)
Bagas Pratomo, S.E. (Suara Merdeka)
Dr. H. Abdurahman, M.Si., Akt. (UNDIP)
Hubungan antar Lembaga dan Kerjasama :
Wuryanto, S.E., M.Si. (Bank Indonesia Semarang)
Ahmad Fahmi Adjie, S.E. (BMI Semarang)
Ahmad Dahlan, M.Si (STAIN Purwokerto)
Sri Hartono, SE., MS. (UNISSULA)
Kusumantoro, S.Pd., M.Si. (UNNES)
Retno DH, SE (BPRS Roemani Semarang)
H. Muhammad Fauzi, SE. MM. (IAIN)
Sapto Brastokoro, S.E. (YBWSA)
Publikasi dan Informasi :
Moh. Arifin, S.Ag. M.Hum. (IAIN)
Ashari, SE., M.Si. (UNISSULA)
Agung Yulianto, S.Pd., M.Si. (UNNES)
Johan Arifin, MM (IAIN)
Drs. Miftahuddin, M.Ag. (STAIN Salatiga)
Hj. Nurhayati, SE. M.Si. (UNTAG)
M. Zaenuri, S.E., M.M (UMK)
M. Imron, S.E., M.M. (STIE NU Jepara)
Khanifah, SE. M.Si. (Unwahas)
Kewirausahaan :
H. Abdul Yazid (BMT BUS Lasem)
Kartiko A Wibowo, SE., MM. (BPRS Binama Smg)
Syam’ani, S.E. M.M. (POLINES).
Drs. Ali Fauzan (BMT Ben Taqwa Grobogan)
H. Abdul Ghofur, M.Ag. (IAIN)
Harjum Muharam, S.E., M.E. (UNDIP)
Malik Cahyadin, S.E., M.Si. (UNS Solo)
Eka Rahayuningsih, SE., MM (STAIN Kudus)
Lembaga Keuangan dan Perbankan :
Imam Samekto, SE (BNI Syariah)
H. Nur Basuki (BMT Marhamah Wonosobo)
Sugeng Supriyadi, SE (BPRS Asad ALif)
Slamet, SE. M.Ag. MM. (Bank Indonesia Semarang)
Drs. Ahmad Mujahid , (BPRS Binama Semarang)
Muh Arif Zainul (Bank NIaga Syariah Semarang)
Siti Aisyah Suciningtyas, S.E., M.Si. (UNISSULA)
Pengembangan Sumber Daya Insani :
Dr. Purbayu, SE (Undip)
Widianto, Ph.D. (UNISSULA)
Dra. Hj. Mujibatun, M.Ag. (IAIN)
Drs. H Sa'ad (BMT Tamziz Wonosobo)
Drs. Agus Wahyudi, M.Si. (UNNES)
Askar Yuniato, SE. MM. (UNISBANK)
Kamis, 08 Oktober 2009
Islam dan Demokrasi : Sebuah Problem Pemaknaan
Oleh : Dr. Imam Yahya,MA.(Dosen Fakultas Syari'ah dan Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang)
Minggu ini tanggal 6-8 Oktober 2009, Departemen Agama RI, IAIN Walisongo Semarang bersama Universitas Leiden kembali menggelar perhelatan akbar, Konferensi Internasional tentang Islam, HAM, and Good Governance in Indonesia. Acara ini merupakan salah satu acara yang mendapat perhatian besar dari Depag RI karena melalui acara ini diharapkan terlahir pemikiran-pemikiran cerdas tentang sumbangsih Islam terhadap proses demokratisasi di Indonesia.
Konferensi ini sangat tepat bagi umat Islam karena di saat yang bersamaan Islam dan umat Islam sering dikaitkan dengan berbagai isu terorisme di berbagai belahan dunia. Dalam berbagai pengakuan para pelaku bom bunuh diri di negeri kita, mereka atas nama jihad rela untuk menjadi "pengantin" bom dengan imbalan syurga jannatun naim. Mereka memahami Islam sebagai ajaran yang menghalalkan pertumpahan darah tanpa melihat konteks ayat-ayat al-Qur'an itu diturunkan.
Begitu juga dengan performance Islam di berbagai belahan dunia khususnya di timur tengah, Isam identik dengan berbagai kekerasan yang dilakukan oleh kelompok Taliban di Afganistan atau kelompok Hamas di Palestina. Tak terkecuali persitiwa WTC 2001 di Amerika sembilan tahun yang lampau, telah merubah kesan dunia akan kebiadaban Islam dan kaum muslimin terhadap sendi-sendi kehidupan umat manusia.
Tema Islam, demokrasi dan Good Governance seakan menawarkan substansi konsep Islam dalam merespon persoalan politik kontemporer tanpa menghilangkan nilai-ilai religiusitas dalam kehidupan umat manusia. Sentilan Presiden Amerika Serikat Hussein Barrack Obama dalam pidato di Mesir beberapa hari setelah dialantik menjadi Presiden, yang mencontohkan Indonesia sebagai Negara Islam moderat, perlu dibuktikan dalam kehidupan riil di Indonesia.
Konsep Demokrasi
Demokrasi sebagaimana didefinisikan oleh Lincoln, adalah pemerintahan dari rakyat, melalui rakyat, dan untuk kepentingan rakyat. Demokrasi mengandaikan masyarakat secara langsung menempati posisi pemerintahan. Mereka berperan dalam seluruh aktivitas politik, legislatif, ekskutif, dan yudikatif. Dalam konsep politik, demokrasi adalah apa yang sering dikaitkan dengan konsep politik, atau konsep sosial tertentu, seperti konsep persamaan di hadapan di undang-undang, kebebasan berkepercayaan dan akidah, keadilan sosial, jaminan atas hak-hak tertentu, seperti hak hidup, berkebebasan, dan bekerja, serta sejenisnya.
Bila difahami secara tekstual maka demokrasi adalah kekuasaan yang tidak terbatas, karena rakyat yang punya kepentingan dan rakyat pulalah yang akan melaksanakan di tengah-tengah mereka. Oleh karena itu filsuf kenamaan seperti Jean Jacques Rousseau menyempurnakan konsep demokrasi ini dengan teori demokrasi perwakilan, di mana rakyat menitipkan hak dan kewajibannya melalui wakil-wakilnya yang duduk baik di legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sistem perwakilan inilah yang kemudian dikembangkan menjadi norma berharga dan prinsip yang diterima dalam dunia politik kontemporer.
Dalam sejarah ilmu politik, demokrasi bermula dari Revolusi Perancis tahun 1789, meski sistem perwakilan semacam parlemen ini telah dijalankan di Inggris jauh sebelum terjadi revolusi. Sesungguhnya pemikiran mengenai prinsip kedaulatan rakyat yang merupakan dasar pemikiran demokrasi telah dibicarakan beberapa puluh tahun sebelum meletusnya Revolusi Perancis. Pemikiran tersebut dapat ditemukan pada tulisan-tulisan John Locke, Montesquieu, Rousseau, dan Ibnu Khaldun yakni tokoh-tokoh yang melahirkan prinsip-prinsip politik di dunia modern.
Pemikiran demokrasi ini merupakan reaksi dan perlawanan terhadap pemikiran penyerahan diri kepada Tuhan yang berkembang di Eropa pada saat itu. Pemikiran penyerahan diri ini menyatakan bahwa para raja menjalankan hukum atas pilihan dan penyerahan dari Tuhan. Dengan demikian, para raja mempunyai kekuasaan mutlak dalam kehidupan politik, bahan sampai kekuasaan yang tidak terbatas. Wajarlah bila paham kedaulatan rakyat saat itu menjadi alternatif untuk keluar dari kekuasaan mutlak para raja atas dasar perwakilan Tuhan.
Memaknai Demokrasi dalam Islam
Bagi Islam, secara umum demokrasi adalah konsepsi netral yang bisa berarti positif dan negatif. Kenegatifannya manakala konsep tersebut mengabdi pada imperialisme Barat dan disatu sisi dipaksakan pada dunia timur, sehingga demokrasi hanya sebagai lip-service. Sementara aspek positifnya, konsep demokrasi mampu menumbangkan rezim-rezim diktator di berbagai belahan negara komunis di penghujung abad yang lampau.
Para pakar politik, terutama di kalangan negara-negara Islam, melihat adanya persamaan dan kemiripan antara Islam dan demokrasi. Sistem demokrasi saat ini menjadi trend di dunia Barat, dan lambat laun disosialisasikan se antero dunia ini. Demokrasi adalah sebuah sistem politik yang menekankan pada hak-hak dan kewajiban rakyat, dan keseimbangan antara rakyat dan Negara. Sementara Islam sangat menghargai esistensi kemanusiaan.
Sejarah Islam telah membuktikan bahwa jauh sebelum gagasan demorasi dikembangkan kembali pasca reformasi Perancis, tahun 1789, Al-Qur'an telah memberikan tawaran untuk melakukan pemerintahan yang berbasis pada kekuatan rakyat. Hal ini bisa dilihat dari ajaran-ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Qur'an dan al-Hadits, seperti konsep musyawarah sebagaimana disebutkan dalam surat al-Syuro: 38 dan Ali Imron: 159. Dua ayat tersebut membekali kepada umat agar dalam menyelenggarakan urusan duniawi termasuk urusan politik harus berlandasakan pada musyawarah di antara mereka. Dalam konteks politik, musyawarah menjadi sangat berarti sebagai win-win solution di antara pihak-pihak yang bertikai.
Praktek demokrasi sesungguhnya telah berlangsung sejak zaman Rasulullah hidup bersama masyarakat kota Madinah. Peristiwa Baitul Aqabah I dan II, Nabi Muhammad diangkat menjadi imam oleh utusan dari Madinah. Begitu juga dalam memilih khalifah yang empat, musyawarah diadakan di antara perwakilan suku-suku dan golongan (ulama, bangsawan, tentara, dan sahabat. Sebelum jenazah Nabi Muhammad saw., para sahabat bermusyawarah di suatau tempat, yang pada akhirnya dikenal dengan tsaqifah bani Saidah untuk memilih pengganti Rasulullah sebagai imam (kepala Negara) sekaligus sebagai kepala agama (rasululloh).
Bagitu juga tentang ketaatan rakyat kepada pemerintahannya secara prinsip diatur dalam al-Qur'an dan al-Hadita. Dalam QS. Annisa:59, menyatakan wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah SWT, tatatilah Rasulnya, dan para pemimpin di antara kamu. Ayat ini memberikan konsep ketaatan rakyat kepada pemerintah sejajar dengan ketaatan dalam beribadah. Begitu pentingnya ayat-ayat politik ini sehingga dibutuhkan penalaran yang jernih dalam menangkap makna yang tersirat dalam berbagai teks al-Qur'an.
Di kalangan umat Islam, terdapat tiga pola pemahaman relasi Islam dan politik; pertama pola integralistik, di mana kelompok ini memahami bahwa Islam mengatur secara detail persoalan sosial kemasyarakatan, termasuk persoalan politik kenegaraan. Kedua, pola sekularistik di mana Islam dan politik adalah sesuatu yang berbeda, sehingga agama mengurusi hal-hal yang ukhrowi, sementafa politik hany berdimensi transcendental.
Dan ketiga pola fakultatif yakni pemahaman yang sangat moderat dan realistik. Faham ini menyadari bahwa Islam adalah agama yang sempurna (kaffah), namun al-Qur'an tidak memberikan aturan detail perihal suatu macam ibadah. Konsekwensinya, urusan detail tentang persoalan muamalah termasuk politik diserahkan secara tehnis sesuai dengan situasi dan kondisi.
Pola pertama memberikan penekanan pada makna skripturalistik (tektualis), sehingga banyak menimbulkan gagasan formalisasi politik Islam seperti khilafah dan imamah. Sedangkan pola kedua lebih menitik beratkan pada kekuatan makna substantif sehingga muncul pemisahan diametral antara Islam dan politik. Sementara pola ketiga inilah yang banyak dianut umat Islam Indonesia, sehingga ketika memaknai demokrasi secara formal tidak ada dalam Islam, namun nilai-nilai demokrasi dapat difahami dari ayat-ayat politik dalam al-Qur'an.
Pemahaman inilah yang hendak digali dalam Konferensi Internasional tentang Islam, Demokrasi and Good Governance in Indonesia. Islam bukan hanya agama ritual tetapi Islam adalah sebuah way of life bagi umat manusia. Wallohu a'lam bi shawab.
Minggu ini tanggal 6-8 Oktober 2009, Departemen Agama RI, IAIN Walisongo Semarang bersama Universitas Leiden kembali menggelar perhelatan akbar, Konferensi Internasional tentang Islam, HAM, and Good Governance in Indonesia. Acara ini merupakan salah satu acara yang mendapat perhatian besar dari Depag RI karena melalui acara ini diharapkan terlahir pemikiran-pemikiran cerdas tentang sumbangsih Islam terhadap proses demokratisasi di Indonesia.
Konferensi ini sangat tepat bagi umat Islam karena di saat yang bersamaan Islam dan umat Islam sering dikaitkan dengan berbagai isu terorisme di berbagai belahan dunia. Dalam berbagai pengakuan para pelaku bom bunuh diri di negeri kita, mereka atas nama jihad rela untuk menjadi "pengantin" bom dengan imbalan syurga jannatun naim. Mereka memahami Islam sebagai ajaran yang menghalalkan pertumpahan darah tanpa melihat konteks ayat-ayat al-Qur'an itu diturunkan.
Begitu juga dengan performance Islam di berbagai belahan dunia khususnya di timur tengah, Isam identik dengan berbagai kekerasan yang dilakukan oleh kelompok Taliban di Afganistan atau kelompok Hamas di Palestina. Tak terkecuali persitiwa WTC 2001 di Amerika sembilan tahun yang lampau, telah merubah kesan dunia akan kebiadaban Islam dan kaum muslimin terhadap sendi-sendi kehidupan umat manusia.
Tema Islam, demokrasi dan Good Governance seakan menawarkan substansi konsep Islam dalam merespon persoalan politik kontemporer tanpa menghilangkan nilai-ilai religiusitas dalam kehidupan umat manusia. Sentilan Presiden Amerika Serikat Hussein Barrack Obama dalam pidato di Mesir beberapa hari setelah dialantik menjadi Presiden, yang mencontohkan Indonesia sebagai Negara Islam moderat, perlu dibuktikan dalam kehidupan riil di Indonesia.
Konsep Demokrasi
Demokrasi sebagaimana didefinisikan oleh Lincoln, adalah pemerintahan dari rakyat, melalui rakyat, dan untuk kepentingan rakyat. Demokrasi mengandaikan masyarakat secara langsung menempati posisi pemerintahan. Mereka berperan dalam seluruh aktivitas politik, legislatif, ekskutif, dan yudikatif. Dalam konsep politik, demokrasi adalah apa yang sering dikaitkan dengan konsep politik, atau konsep sosial tertentu, seperti konsep persamaan di hadapan di undang-undang, kebebasan berkepercayaan dan akidah, keadilan sosial, jaminan atas hak-hak tertentu, seperti hak hidup, berkebebasan, dan bekerja, serta sejenisnya.
Bila difahami secara tekstual maka demokrasi adalah kekuasaan yang tidak terbatas, karena rakyat yang punya kepentingan dan rakyat pulalah yang akan melaksanakan di tengah-tengah mereka. Oleh karena itu filsuf kenamaan seperti Jean Jacques Rousseau menyempurnakan konsep demokrasi ini dengan teori demokrasi perwakilan, di mana rakyat menitipkan hak dan kewajibannya melalui wakil-wakilnya yang duduk baik di legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sistem perwakilan inilah yang kemudian dikembangkan menjadi norma berharga dan prinsip yang diterima dalam dunia politik kontemporer.
Dalam sejarah ilmu politik, demokrasi bermula dari Revolusi Perancis tahun 1789, meski sistem perwakilan semacam parlemen ini telah dijalankan di Inggris jauh sebelum terjadi revolusi. Sesungguhnya pemikiran mengenai prinsip kedaulatan rakyat yang merupakan dasar pemikiran demokrasi telah dibicarakan beberapa puluh tahun sebelum meletusnya Revolusi Perancis. Pemikiran tersebut dapat ditemukan pada tulisan-tulisan John Locke, Montesquieu, Rousseau, dan Ibnu Khaldun yakni tokoh-tokoh yang melahirkan prinsip-prinsip politik di dunia modern.
Pemikiran demokrasi ini merupakan reaksi dan perlawanan terhadap pemikiran penyerahan diri kepada Tuhan yang berkembang di Eropa pada saat itu. Pemikiran penyerahan diri ini menyatakan bahwa para raja menjalankan hukum atas pilihan dan penyerahan dari Tuhan. Dengan demikian, para raja mempunyai kekuasaan mutlak dalam kehidupan politik, bahan sampai kekuasaan yang tidak terbatas. Wajarlah bila paham kedaulatan rakyat saat itu menjadi alternatif untuk keluar dari kekuasaan mutlak para raja atas dasar perwakilan Tuhan.
Memaknai Demokrasi dalam Islam
Bagi Islam, secara umum demokrasi adalah konsepsi netral yang bisa berarti positif dan negatif. Kenegatifannya manakala konsep tersebut mengabdi pada imperialisme Barat dan disatu sisi dipaksakan pada dunia timur, sehingga demokrasi hanya sebagai lip-service. Sementara aspek positifnya, konsep demokrasi mampu menumbangkan rezim-rezim diktator di berbagai belahan negara komunis di penghujung abad yang lampau.
Para pakar politik, terutama di kalangan negara-negara Islam, melihat adanya persamaan dan kemiripan antara Islam dan demokrasi. Sistem demokrasi saat ini menjadi trend di dunia Barat, dan lambat laun disosialisasikan se antero dunia ini. Demokrasi adalah sebuah sistem politik yang menekankan pada hak-hak dan kewajiban rakyat, dan keseimbangan antara rakyat dan Negara. Sementara Islam sangat menghargai esistensi kemanusiaan.
Sejarah Islam telah membuktikan bahwa jauh sebelum gagasan demorasi dikembangkan kembali pasca reformasi Perancis, tahun 1789, Al-Qur'an telah memberikan tawaran untuk melakukan pemerintahan yang berbasis pada kekuatan rakyat. Hal ini bisa dilihat dari ajaran-ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Qur'an dan al-Hadits, seperti konsep musyawarah sebagaimana disebutkan dalam surat al-Syuro: 38 dan Ali Imron: 159. Dua ayat tersebut membekali kepada umat agar dalam menyelenggarakan urusan duniawi termasuk urusan politik harus berlandasakan pada musyawarah di antara mereka. Dalam konteks politik, musyawarah menjadi sangat berarti sebagai win-win solution di antara pihak-pihak yang bertikai.
Praktek demokrasi sesungguhnya telah berlangsung sejak zaman Rasulullah hidup bersama masyarakat kota Madinah. Peristiwa Baitul Aqabah I dan II, Nabi Muhammad diangkat menjadi imam oleh utusan dari Madinah. Begitu juga dalam memilih khalifah yang empat, musyawarah diadakan di antara perwakilan suku-suku dan golongan (ulama, bangsawan, tentara, dan sahabat. Sebelum jenazah Nabi Muhammad saw., para sahabat bermusyawarah di suatau tempat, yang pada akhirnya dikenal dengan tsaqifah bani Saidah untuk memilih pengganti Rasulullah sebagai imam (kepala Negara) sekaligus sebagai kepala agama (rasululloh).
Bagitu juga tentang ketaatan rakyat kepada pemerintahannya secara prinsip diatur dalam al-Qur'an dan al-Hadita. Dalam QS. Annisa:59, menyatakan wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah SWT, tatatilah Rasulnya, dan para pemimpin di antara kamu. Ayat ini memberikan konsep ketaatan rakyat kepada pemerintah sejajar dengan ketaatan dalam beribadah. Begitu pentingnya ayat-ayat politik ini sehingga dibutuhkan penalaran yang jernih dalam menangkap makna yang tersirat dalam berbagai teks al-Qur'an.
Di kalangan umat Islam, terdapat tiga pola pemahaman relasi Islam dan politik; pertama pola integralistik, di mana kelompok ini memahami bahwa Islam mengatur secara detail persoalan sosial kemasyarakatan, termasuk persoalan politik kenegaraan. Kedua, pola sekularistik di mana Islam dan politik adalah sesuatu yang berbeda, sehingga agama mengurusi hal-hal yang ukhrowi, sementafa politik hany berdimensi transcendental.
Dan ketiga pola fakultatif yakni pemahaman yang sangat moderat dan realistik. Faham ini menyadari bahwa Islam adalah agama yang sempurna (kaffah), namun al-Qur'an tidak memberikan aturan detail perihal suatu macam ibadah. Konsekwensinya, urusan detail tentang persoalan muamalah termasuk politik diserahkan secara tehnis sesuai dengan situasi dan kondisi.
Pola pertama memberikan penekanan pada makna skripturalistik (tektualis), sehingga banyak menimbulkan gagasan formalisasi politik Islam seperti khilafah dan imamah. Sedangkan pola kedua lebih menitik beratkan pada kekuatan makna substantif sehingga muncul pemisahan diametral antara Islam dan politik. Sementara pola ketiga inilah yang banyak dianut umat Islam Indonesia, sehingga ketika memaknai demokrasi secara formal tidak ada dalam Islam, namun nilai-nilai demokrasi dapat difahami dari ayat-ayat politik dalam al-Qur'an.
Pemahaman inilah yang hendak digali dalam Konferensi Internasional tentang Islam, Demokrasi and Good Governance in Indonesia. Islam bukan hanya agama ritual tetapi Islam adalah sebuah way of life bagi umat manusia. Wallohu a'lam bi shawab.
Selasa, 15 September 2009
Terorisme Dalam Perspektif Syariah: Kontekstualisasi Makna Jihad
Oleh : Dr. Imam Yahya, M.A.2
Drama eksekusi Imam Amrozi cs, terpidana bom Bali, di awal tahun 2009 seakan menjadi lonceng dimulainya pertarungan antara kelompok teroris dengan aparat keamanan di negeri ini. Serentetan pengejaran kelompok teoris yang dialakukan tim densus 88 diberbagai daerah, seperti Cilacap, Semarang dan daerah-daerah lain di Indonesia diakui oleh banyak fihak sebagai keberhasilan tim densus 88 dalam memberantas terorisme yang berkembang laten di Indonesia. Namun apa daya tangan tak sampai, alih-alih mengurangi aktifitas teroisme, hotel Marriot 2 dan Ritz Carlten di Jakarta dijadikan sasaran bom bunuh diri bagi para calon ”pengantin”.
Tentu saja, serangkaian tragedi pemboman ini merupakan pukulan yang dahsyat bagi bangsa Indonesia. Mungkin kalau tidak ada tragedi Marriot 2 dan Ritz Carlten serta rentetan pemboman sebelumnya, isu terorisme di Indosesia akan selalu diabaikan dan UU Terorisme tidak pernah dilaksanakan.
Teror telah hadir dan menjelma dalam kehidupan kita sebagai momok, sebagai virus ganans dan monster yang menakutkan yang sewaktu-waktu dan tidak dapat diduga bisa menjelmakan terjadinya “prahara nasional dan global”, termasuk mewujudkan tragedi kemanusiaan, pengebirian martabat bangsa dan penyejarahan tragedi atas Hak Asasi Manusia (HAM). Hak Asasi Manusia kehilangan eksistensinya dan tercerabut kesucian atau kefitrahannya di tangan pembuat teror yang telah menciptakan kebiadaban berupa aksi animalisasi (kebinatangan) sosial, politik, budaya, dan ekonomi.3
Terorisme adalah puncak aksi kekerasan, terrorism is the apex of violence. Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan. Terorisme tidak sama dengan intimidasi atau sabotase. Sasaran intimidasi dan sabotase umumnya langsung, sedangkan terorisme tidak. Korban tindakan Terorisme seringkali adalah orang yang tidak bersalah. Kaum teroris bermaksud ingin menciptakan sensasi agar masyarakat luas memperhatikan apa yang mereka perjuangkan.
Pengertian Terorisme
Mengenai pengertian yang baku dan definitif dari apa yang disebut dengan Tindak Pidana Terorisme itu, sampai saat ini belum ada keseragaman. Menurut Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Oleh karena itu menurut Brian Jenkins, Terorisme merupakan pandangan yang subjektif. 4
1. UU Tindak Pidana Teorisem
Dalam penjelasan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dinyatakan bahwa terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara, karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi.5
Untuk itulah maka muncul Undang-Undang atau Perarturan Pemerintah Pengganti UU yang secara tegas menangani terorisme dengan memasukkan ke dalam tindak pidana khusus, yakni tindak pidana terorisme. Tentu pemerintah Indonesia tidak sendiri, karena Perpu ini merupakan rativikasi peraturan sejenis yang berlaku di tingkat internasional.
2. Departemen Pertahanan USA
Menurut Departemen Pertahanan USA, terorisme adalah perbuatan melawan hukum atau tindakan yang mengandung ancamana dengan kekerasan dan paksaan terhadap individu atau hak milik untuk memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat dengan tujuan politik, agama dan idiologi. 6 Atau bisa diartikan sebagai tindakan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang berlatar belakang politik atau kekuasaan dalam suatu pemerintahan negara.
Bahkan belakangan terorisme diartikan dengan sangat luas dengan segala tindakan atau ucapan yang membuat orang lain takut. Wal hasil terorisme menjadi sebuah kata yang sangat menakutkan bagi siapa saja baik yang melakukan maupun orang yang mengalami tindakan terorisme. Gambaran ini menjadikan negara dalam hal ini pihak yang mempunyai kekuasaan pertahanan dan keamanan yakni militer merasa sangat diperlukan dalam upaya menangani berbagai upaya terorisme.
3. Kamus Umum Bahasa Indonesia
Dalam kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Terorisme dapat diartikan sebagai penggunaan kekerasan atau ancaman untuk menurunkan semangat, menakut-nakuti, dan menakutkan, terutama untuk tujuan politik. Sedangkan Hafid Abbas, Dirjen Perlindungan HAM Depkeh dan HAM RI. Terorisme adalah pemakaian kekuatan atau kekerasan tidak sah melawan orang atau property untuk mengintimidasi atau menekan pemerintah, masyarakat sipil, atau bagian-bagiannya, untuk memaksa tujuan sosial, dan politik.7
Menurut Webster’s New World College Dictionary (1996), terorisme adalah “the use of force or threats to demoralize, intimidate, and subjugate.” Terorisme dibagi kedalam dua macam definisi, yaitu definisi tindakan teroris (terrorism act) dan pelaku terorisme (terrorism actor). Disepakati oleh kebanyakan ahli bahwa tindakan yang tergolong kedalam tindakan Terorisme adalah tindakan-tindakan yang memiliki elemen: kekerasan, tujuan politik, teror/intended audience.
4. Aktifis Muslim
Para aktifis muslim seperti Fauzan al-Anshari, Terorisme adalah tindakan yang menggunakan kekeerasan atau ancaman kekerasan yang berlatar belakang politik atau kekuasaan dalam suatu pemerintah negara.8 Sementara Imam Samudera mengartikan terorisme sebagai (irhab), menggetarkan musuh. Untuk itu mereka mengartikan terorisme menjadi bagian dari jihad fi sabilillah, menuju ridho Allah SWT. Tidak mengagetkan manakala sebagian para pelaku teroris di Indonesia menganggap dirinya sebagai mujahid fi sabilillah.9
Para penulis barat menyatakan bahwa terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Terorisme itu berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan karena terorisme bisa dilakukan secara terorganisir dan dalam waktu lama.
Sedangkan berbagai pendapat dan pandangan mengenai pengertian/istilah yang berkaitan dengan terorisme di atas, dapat ditarik kesimpulan, bahwasanya terorisme adalah kekerasan terorganisasi, menempatkan kekerasan sebagai kesadaran, metode berpikir sekaligus alat pencapaian tujuan. Dari banyak definisi yang dikemukakan oleh banyak pihak, yang menjadi ciri dari suatu tindak pidana terorisme adalah:
Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut.
a.Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.
b.Menggunakan kekerasan.
c.Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah.
d.Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama.
Bentuk-bentuk Terorisme
Secara kategoris, gerakan terorisme dilihat dari aspek spiritnya, dapat dibedakan dalam beberapa kategori, diantaranya:
a.Semangat Nasionalisme
Pejuang kemerdekaaan, umumnya menggunakan kekerasan politik untuk melawan rezm penjajah. Memang kekerasan politik tidak selalu identik dengan terorisme. Kekersan politik dalam artian kerusuhan massal, perang saudara, revolusi, atau perang antar bangsa, tidak termasuk kategori terorisme. Namun demikian, terorisme itu sendiri sering terjadi berkaitan kekerasan-kekerasan politik tersebut.10 Contoh terorisme dengan spirit nasionalisme ini dapat ditemukan di Aljazair, Palestina, dan sejumlah negara jajahan di masa suburnya kolonialisme.
b.Semangat Separatisme
Terorisme karena semangat separatis juga dapat terjadi melalui kekerasan politik. Kekerasan politik yang dipilih sebagai perjuangan oleh kaum separatis, cenderung diklaim sebagai bentuk teror oleh opini dunia. Pemberanian opini dunia itu sangat logis. Sebab, kekerasan politik yang dieksploitasi gerakan separatis selalu memenuhi premis dasar terorisme, yaitu menggunakan ancaman kekerasan dan atau kekerasan untuk menimbulkan ketakutan di lingkungannya. Menurut mereka pembunuhan dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan bukanlah soal yang harus dirisaukan, bahkan sasarannya adalah mereka yang tidak berdosa.11
Gerakan separatisme jenis ini hampir terdapat di banyak negara, seperti; IRA di Irlandia, Macan Tamil Ealam di Srilanka, SPLA di Sudan, MNLF di Philipina, dan Gerakan Aceh Merdeka, Republik Maluku Selatan atau Organisasi Papua Merdeka di Indonesia.
c.Semangat Radikalisme Agama
Kelompok-kelompok radikal agama pun ditengarai menggunakan teror untuk memperjuangkan kepentingannya. Kekerasan politikl dalam bentuk teror seringkali dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan.12 Kelompok jihad di Mesir, jihad di Yaman, National islamic Front di Sudan, Al-Qaedah yang berbasis di Afganistan, Jamaah Islamiyah yang berbasis di malaysia, atau kelompok-kelompok radikal yahudi seperti Haredi, Gush Emunim, Kach Kabane di israel adalah sekedar contoh elemen-elemen dengan spirit radikalisme agama yang cenderung mengdepankan budaya kekerasan dan terorisme.
d.Gerakan Terorisme yang didorong oleh spirit bisnis
Narcoterorism di Myanmar yang dikenal dengan sebutan United War State Army adalah kelompok teroris yang berlatar belakang perdagangan narkotika dan obat-obatan terlarang. Di Jepang juga dikenal Yakuza, yaitu organisasi di kalangan dunia hitam yang melakukan bisnis illegal dengan mengedepankan metode teror sebagai cara untuk mencpi tujuan.
Sedangkan bentuk-bentuk teroris ditinjau dari segi sejarah terdiri dari:
a.Pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah yang terjadi sebelum perang dunia II.
b.Terorisme dimulai di Aljazair di tahun limapuluhan, dilakukan oleh FLN yang mempopulerkan “serangan yang bersifat acak” terhadap masayrakat sipil yang tidak berdosa. Hal ini untuk melawan apa yang mereka (Algerian Nationalist) disebut sebagai “terorisme negara”.
c.Terorisme muncul pada tahun enampuluhan dan terkenal dengan istilah “terorisme media”, berupa serangan acak atau random terhadap siapa saja dengan tujuan publisitas. 13
Selain itu, bentuk-bentuk terorisme dilihat dari pelakunya ada yang personal,; terorisme yang bersifat kolektif, dan terorisme yang dilakukan negara. Terorisme dalam bentuk personal ini, biasanya dilakukan dalam bentuk pengeboman seseorang pada orang lain atau kelompok dengan tujuan pribadi, dendam, atau bom bunuh diri.
Sedangkan terorisme yang bersifat kolektif, para teroris melakukan operasinya dengan suatu perencanaan. Biasanya teroris semacam ini dilembagakan dalam sebuah jaringan yang rapi, seperti yang sering disebut-sebut sebagai al-Qaedah. Sasaran terorisme dalam kategori ini adalah simnbol-simbol kekuasaan dan pusat perekonomian.
Adapun terorisme yang dilakukan negara biasanya disebut sebagai “state terorism” terorisme oleh negara. Penggagasnya adalah perdana menteri Mahathir Muhammad. Menurutnya, terorisme yang dikerahkan negara, tidak kalah dahsyatnya dari terorisme personal maupun kolektif. Perbedaanya adalah kalau terorisme personal dan kolektif biasa dilaksanakan secara sembunyi- sembunyi, sedangkan terorisme yang dilakukan oleh negara dilakukan secara terang-terangan dan dapat diliha dengan kasat mata. 14
Terorisme yang dilakukan oleh negara merupakan salah satu bentuk kejahatan yang tergolong sangat istimewa. Sebab negara adalah suatu organisasi besar yang dipilari oleh kekuatan rakyat, namun disisi lain punya kewajiban mengatur, melindungi, dan menyejahterahkan kehidupan rakyat secara material meupun non-metrial. Oleh karena itu, tatkala negara itu, melalui pejabat pemerintahannya terlibat dalam tindakan kriminal secara vertikal, horisontal, regional, nasional maupun internasional, maka otomatis rakyatlah yang menjadi korban. Sejumlah negara sering disebut-sebut sebagai state terorism, seperti lybia dan Israel misalnya.
Terorisme Perspektif Fiqh
Persoalan utama yang menjadi pembahasan terorisme dalam pandangan Islam adalah pemaknaan kata “jihad”. Para aktifis muslim yang sering dituduh penyebar teror memahami jihad sebagai bentuk perlawanan terhadap para penolak Islam yang disponsori oleh Amerika Serikat. Maka sekarang ini kita banyak melihat prilaku teror ditujukan kepada asset-asset yang berhubungan dengan Amerika, seperti hotel JW Marriot dan Ritzcalten belakangan ini.
Dalam benak para aktifis muslim, jihad lebih dipahami dalam kerangka balas dendam. Karena kafir telah memerangi muslim tanpa batas, maka muslim wajib membalasnya dengan memerangi kafir secara tanpa batas pula. Menurutnya, dalam ketentuan syari’ah, jihad berarti berperang melawan kaum kafir yang memerangi Islam dan kaum muslimin. Konsep inilah yang ia sebut dengan jihad fi sabilillah.15 Dalam pemahamannya, ayat al-Qur’an pertama tentang jihad yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah memerangi kaum kafir sebatas yang memerangi Islam. Kaum kafir yang terlibat langsung dalam perang tetap tidak boleh diperangi. Ayat tersebut adalah surat al-Baqarah: 190, ”Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu. Dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”.
Perang dalam sejarah militer Islam melawan Romawi dan Persia didasari oleh etika pelarangan berperang secara ”melampaui batas”, yaitu dilarang membunuh wanita dan anak-anak, orang tua renta, para ahli ibadah dan juga dilarang merusak tanaman dan lingkungan.16
Dalam memahami konsep jihad dan perang dalam Islam, meraka membaginya ke dalam empat tahapan; tahapan menahan diri, tahapan diizinkan berperang, tahapan diwajibkan memerangi secara terbatas, dan tahapan kewajiban memerangi seluruh kaum kafir/musyrik. Pada tahap pertama, tahapan enahan diri, jihad belum diperintahkan. Kaum muslimin diperintahkan untuk menahan diri untuk bersabar dan tidak melakukan pembalasan terhadap penindasaan, kekejaman dan celaan kafir quraisy.17
Pada tahap kedua, tahapan sebatas diizinkan berperang tetapi belum diperintahkan berperang, sehingga belum ada kewajiban berperang. Pada tahap ketiga, tahapan diwajibkan memerangi kaum kafir secara terbatas, yaitu terbatas kepada kaum kafir yang memerangi kaum muslimin. Sedangkan kaum kafir yang tidak ikut memerangi kaum muslimin tetap tidak diperbolehkan untuk diperangi. Pada tahap keempat, yaitu tahapan yang mewajibkan bagi kaum muslim untuk memerangi seluruh kaum kafir dan musyrik. Dengan ayat-ayat ini, ia melegitimasi bahwa peledakan bom Legian adalah bentuk dari aksi jihad fi sabilillah.18
Dalam terminologi agama, jihâd tidak serta merta diartikan sebagai mengangkat senjata untuk memerangi non-muslim, sebagaimana difahami sebagian kalangan umat Islam. Secara umum, arti jihâd dikategorisasikan menjadi tiga pengertian; jihâd dengan hati jihâd dengan harta benda, dan jihâd dengan nyawa.
a)Jihâd dengan hati, maksudnya adalah berjihâd untuk memerangi hawa nafsu yang muncul dari dirinya sendiri. Hawa nafsu ini hanya bisa ditangani oleh dirinya sendiri.
b)Jihâd dengan harta benda.19 Yakni mendermakan hartanya di jalan Allah.
c)Jihâd dengan nyawa.20
Pada pengertian pertama berarti jihâd internal, yakni jihâd dalam memerangi hawa nafsu, yang dalam bahasa Nabi disebut sebagai jihâd al-akbar. Jihâd diinterpretasikan sebagai upaya individual untuk mendekatkan diri dari seorang hamba kepada Khâliq-nya, hanya diri sendirilah yang bertindak sebagai subyek menang atau kalah.
Pada pengertian kedua ini, jihâd sebagai social action (aksi sosial) antar sesama makhluk. Konteks kemiskinan yang selalu melanda umat Islam di sepanjang zaman tentunya harus menjadi perhatian kaum muslimin untuk berusaha maksimal agar terbebas dari segala bentuk kemiskinan. Islam telah mengajarkan prinsip ekonomi Islam seperti zakat dan bait al-mâl yang secara konseptual bisa menjadi kekuatan besar dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umat.
Adapun pada pengertian ketiga, jihâd diartikan sebagai perang yang sesungguhnya, bellum justum dan bellum pium yakni perang demi keadilan dan kesalehan.21 Menurut Edmund Bosworth dalam Armies of the Prophet, jihâd dalam pengertian inilah yang merupakan salah satu isu populer dalam proses hubungan Islam dan Kristen selama beberapa abad. Kontak Islam dan Kristen ini ditandai dengan banyaknya konflik militer dan angkatan laut antara negara-negara Islam dan non-Islam.22
Dalam berbagai pendapat para ahli fiqih, jihâd diartikan sebagai upaya yang dilakukan kaum muslim dalam memerangi non-muslim karena memaksa mereka untuk menganut Islam.23 Mereka sepakat bahwa jihâd itu dilakukan untuk dalam rangka menolong agama Islam dengan memerangi kaum kafir.24
Dalam berbagai pendapat para ahli fiqih, jihâd diartikan sebagai upaya yang dilakukan kaum muslim dalam memerangi non-muslim karena memaksa mereka untuk menganut Islam. Mereka sepakat bahwa jihâd itu dilakukan untuk dalam rangka menolong agama Islam dengan memerangi kaum kafir.
Imam Nawawi al-Bantani menuturkan bahwa jihad itu fardu kifayah yang dilaksanakan paling tidak satu tahun sekali. Jika di negaranya tersebut ada orang kafir. Jika lebih dari satu kali maka itu lebih baik. Kewajiban akan gugur dikarenakan dua hal. Pertama, adanya pemimpin atau tentara yang dipersiapkan untuk berperang. Kedua, sudah terjaminnya keamanan karena kesiapan tentara di masing-masing sudut negara.25
Sedangkan Ibn Qasim menjelaskan bahwa hukum jihad pada masa Nabi tepatnya sebelum hijrah adalah fardu kifayah, sedangkan pada masa setelah hijrah ada dua kemungkinan yang pertama jihad hukumnya fardu kifayah yakni jika kaum kafir tetap berada pada negaranya. Apabila kaum kafir masuk dan menyerang masyarakat muslim maka hukum jihad menjadi fardu‘ain.26 Al-Sya’rani dengan mengutip pendapat Imam Malik mengatakan bahwa kewajiban berjihad sama halnya dengan haji, yaitu adanya perbekalan dan kendaraan.27
Ibn Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan jika dilihat dari pelaksanaannya, jihad dapat dibagi menjadi tiga bentuk yaitu jihad mutlaq, jihad hujjah dan jihad ’amm. Jihad mutlaq adalah perang melawan musuh di medan pertempuran. Jihad ini mempunyai persyaratan tertentu, diantaranya; pertama, perang tersebut harus bersifat defensive, Kedua, sebagai hujjah untuk menghilangkan fitnah, Ketiga, hujjah untuk menciptakan perdamaian, Keempat, hujjah untuk mewujudkan kebajikan dan keadilan. Tampak di sini bahwa makna jihad lebih dekat ke dalam pengertian perang (qital).
Adapun jihad hujjah adalah jihad yang dilakukan dalam berhadapan dengan pemeluk agama lain dengan mengemukakan argumentasi yang kuat. Kemudian jihad terakhir adalah jihad ‘amm. Jihad yang dimaksud adalah jihad yang mencakup segala aspek kehidupan baik yang bersifat moral maupun yang bersifat material, terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain di tengah-tengah masyarakat.28 Jihad seperti ini dapat dilakukan dengan pengorbanan harta, jiwa, tenaga, waktu dan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Jihad ini juga trans-temporal dan tidak terbatas oleh ruang dan bisa dilakukan terhadap musuh yang nyata, setan dan hawa nafsu. Pengertian musuh nyata di sini, di samping perang, juga berarti semua tantangan yang dihadapi umat Islam, seperti kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.
Para ulama fiqh menyatakan bahwa Hukum jihad adalah fardu kifayah dengan dalil-dalil baik dalil dari al-Qur'an maupun sunah yang sahih serta penjelasan ulama ahl al-sunnah antara lain dari al-Qur’an surah an-Nisa’: 95- 96, at-Taubah: 122, al-Muzzamil: 20, dan beberapa hadis Nabi yang shahih. Berdasarkan dalil-dalil ini, maka empat Imam Mazhab dan lainnya telah sepakat bahwa jihad fi sabilillah hukumnya adalah fardu kifayah, apabila sebagian kaum Muslimin melaksanakannya, maka gugur (kewajiban) atas yang lainnya. Kalau tidak ada yang melaksanakannya maka berdosa semuanya.
Para ulama menyebutkan bahwa jihad menjadi fardu ‘ain pada tiga kondisi, yakni: pertama, apabila pasukan muslim dan kafir bertemu dan sudah saling berhadapan di medan perang, maka tidak boleh seseorang mundur atau berbalik. Kedua, apabila musuh menyerang negeri muslim yang aman dan mengepungnya, maka wajib bagi penduduk negeri untuk keluar memerangi musuh (dalam rangka mempertahankan tanah air), kecuali wanita dan anak-anak. Ketiga, apabila Imam meminta satu kaum atau menentukan beberapa orang untuk berangkat perang, maka wajib berangkat. Dalam hal ini dasar hukumnya adalah QS. at-Taubah: 38-39.
Terorisme dalam Fiqh Jinayat (Pidana Islam)
Dalam hukum pidana Islam terorisme dimasukkan dalam golongan Jarimah Hirabah.29 Jarimah jenis ini, adalah tindak pidana yang dilakukan oleh orang, yaitu pengambilan barang/harta milik orang lain secara terang-terang disertai tindak kekerasan. Peristiwa semacam ini dapat disebut sebagai perampokan.30 Modus operandinya hirabah ini terdiri dari 4 macam:
a.bermaksud untuk mengambil harta secara kekerasan, melakukan intimidasi, tetapi kemudian tanpa mengambil harta dan tanpa membunuh.
b.keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, membunuh tetapi tanpa mengambil harta.
c.keluar mengambil harta secara kekerasan, kemudian ia mengambil harta tanpa membunuh
d.keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, kemudian mengambil harta dan membunuh korban.
Dalam kaidah hukum Islam disebutkan bahwa setiap orang yang berada di dar as-salam sama di hadapan syariat, dalam artian bahwa hukum Islam dapat diberlakukan terhadap siapa saja yang berada di dar as-salam. Dalam kaidah lain disebutkan bahwa suatu perbuatan tidak akan dikenai hukuman kecuali berdasarkan nash. Dalam penjabaranya, nash ini haruslah mengikat atau berlaku terhadap pelaku perbuatan dan juga berlaku di tempat dilakukannya perbuatan tersebut.31
Abu Yusuf salah seorang tokoh fikih dalam madzhab Hanafi berpendapat bahwa hukum Islam berlaku atas semua tindak pidana yang terjadi di daerah hukum dar as-salam, baik ia bermukim (penduduk) seperti seorang muslim atau zimmiy, ataupun bermukim untuk sementara seperti seorang musta’min. Ia berasumsi bahwa seorang muslim diharuskan menuruti dan melaksanakan syariat Islam karena ke-Islamanya dan seorang zimmiy dikarenakan akad zimmah-nya yang menjamin keamanan yang tetap baginya di dar as-salam. Adapun bagi seorang musta’min, ia harus melaksanakan hukum-hukum Islam dan mentaatinya mengingat ‘aqd al-amn (yaitu akad jaminan keamanan) yang waktunya terbatas sesuai dengan perjanjian yang telah memberikan kepadanya hak untuk menetap dalam jangka waktu tertentu di dar as-salam.32
Selanjutnya Imam Malik, asy-Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa hukum Islam dapat diterapkan atas segala kejahatan atau terorisme yang dilakukan di mana saja selama tempat tersebut masih termasuk dalam daerah yuridiksi dar as-salam, baik pelakunya adalah seorang muslim, zimmiy maupun musta’min. Ini berarti bahwa aturan-aturan pidana tidak terikat oleh wilayah melainkan terikat oleh subyek hukum.33 Jadi setiap muslim tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang dilarang atau meninggalkan hal-hal yang diwajibkan di manapun ia berada.
Kesimpulan
Terorisme adalah perlawanan atau peperangan bukan pada militer melainkan terhadap orang-orang yang tidak berdosa dan masyarakat sipil. Teror adalah menakut-nakuti dan mengancam. Ia tidak bisa diterima oleh akal manusia dan tidak dibenarkan oleh agama. Kejahatan terorisme merupakan produk perilaku kebiadaban dan kebinatangan. Akibat yang ditimbulkan sangat terasa sebagi wujud pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Berdasarkan ketentuan berlakunya hukum pidana Islam terhadap setiap jarimah yang dilakukan di dar as-salam, teori Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal dapat diberlakukan terhadap setiap orang yang melakukan kejahatan di wilayah dar as-salam tanpa melihat kewarganegaraan pelaku begitu juga terhadap kejahatan yang dilakukan penduduk dar as-salam di dar al-harb, ketentuan hukum Islam senantiasa dapat diberlakukan berdasarkan ke-Islaman pelaku maupun akad zimmah.
Drama eksekusi Imam Amrozi cs, terpidana bom Bali, di awal tahun 2009 seakan menjadi lonceng dimulainya pertarungan antara kelompok teroris dengan aparat keamanan di negeri ini. Serentetan pengejaran kelompok teoris yang dialakukan tim densus 88 diberbagai daerah, seperti Cilacap, Semarang dan daerah-daerah lain di Indonesia diakui oleh banyak fihak sebagai keberhasilan tim densus 88 dalam memberantas terorisme yang berkembang laten di Indonesia. Namun apa daya tangan tak sampai, alih-alih mengurangi aktifitas teroisme, hotel Marriot 2 dan Ritz Carlten di Jakarta dijadikan sasaran bom bunuh diri bagi para calon ”pengantin”.
Tentu saja, serangkaian tragedi pemboman ini merupakan pukulan yang dahsyat bagi bangsa Indonesia. Mungkin kalau tidak ada tragedi Marriot 2 dan Ritz Carlten serta rentetan pemboman sebelumnya, isu terorisme di Indosesia akan selalu diabaikan dan UU Terorisme tidak pernah dilaksanakan.
Teror telah hadir dan menjelma dalam kehidupan kita sebagai momok, sebagai virus ganans dan monster yang menakutkan yang sewaktu-waktu dan tidak dapat diduga bisa menjelmakan terjadinya “prahara nasional dan global”, termasuk mewujudkan tragedi kemanusiaan, pengebirian martabat bangsa dan penyejarahan tragedi atas Hak Asasi Manusia (HAM). Hak Asasi Manusia kehilangan eksistensinya dan tercerabut kesucian atau kefitrahannya di tangan pembuat teror yang telah menciptakan kebiadaban berupa aksi animalisasi (kebinatangan) sosial, politik, budaya, dan ekonomi.3
Terorisme adalah puncak aksi kekerasan, terrorism is the apex of violence. Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan. Terorisme tidak sama dengan intimidasi atau sabotase. Sasaran intimidasi dan sabotase umumnya langsung, sedangkan terorisme tidak. Korban tindakan Terorisme seringkali adalah orang yang tidak bersalah. Kaum teroris bermaksud ingin menciptakan sensasi agar masyarakat luas memperhatikan apa yang mereka perjuangkan.
Pengertian Terorisme
Mengenai pengertian yang baku dan definitif dari apa yang disebut dengan Tindak Pidana Terorisme itu, sampai saat ini belum ada keseragaman. Menurut Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Oleh karena itu menurut Brian Jenkins, Terorisme merupakan pandangan yang subjektif. 4
1. UU Tindak Pidana Teorisem
Dalam penjelasan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dinyatakan bahwa terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara, karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi.5
Untuk itulah maka muncul Undang-Undang atau Perarturan Pemerintah Pengganti UU yang secara tegas menangani terorisme dengan memasukkan ke dalam tindak pidana khusus, yakni tindak pidana terorisme. Tentu pemerintah Indonesia tidak sendiri, karena Perpu ini merupakan rativikasi peraturan sejenis yang berlaku di tingkat internasional.
2. Departemen Pertahanan USA
Menurut Departemen Pertahanan USA, terorisme adalah perbuatan melawan hukum atau tindakan yang mengandung ancamana dengan kekerasan dan paksaan terhadap individu atau hak milik untuk memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat dengan tujuan politik, agama dan idiologi. 6 Atau bisa diartikan sebagai tindakan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang berlatar belakang politik atau kekuasaan dalam suatu pemerintahan negara.
Bahkan belakangan terorisme diartikan dengan sangat luas dengan segala tindakan atau ucapan yang membuat orang lain takut. Wal hasil terorisme menjadi sebuah kata yang sangat menakutkan bagi siapa saja baik yang melakukan maupun orang yang mengalami tindakan terorisme. Gambaran ini menjadikan negara dalam hal ini pihak yang mempunyai kekuasaan pertahanan dan keamanan yakni militer merasa sangat diperlukan dalam upaya menangani berbagai upaya terorisme.
3. Kamus Umum Bahasa Indonesia
Dalam kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Terorisme dapat diartikan sebagai penggunaan kekerasan atau ancaman untuk menurunkan semangat, menakut-nakuti, dan menakutkan, terutama untuk tujuan politik. Sedangkan Hafid Abbas, Dirjen Perlindungan HAM Depkeh dan HAM RI. Terorisme adalah pemakaian kekuatan atau kekerasan tidak sah melawan orang atau property untuk mengintimidasi atau menekan pemerintah, masyarakat sipil, atau bagian-bagiannya, untuk memaksa tujuan sosial, dan politik.7
Menurut Webster’s New World College Dictionary (1996), terorisme adalah “the use of force or threats to demoralize, intimidate, and subjugate.” Terorisme dibagi kedalam dua macam definisi, yaitu definisi tindakan teroris (terrorism act) dan pelaku terorisme (terrorism actor). Disepakati oleh kebanyakan ahli bahwa tindakan yang tergolong kedalam tindakan Terorisme adalah tindakan-tindakan yang memiliki elemen: kekerasan, tujuan politik, teror/intended audience.
4. Aktifis Muslim
Para aktifis muslim seperti Fauzan al-Anshari, Terorisme adalah tindakan yang menggunakan kekeerasan atau ancaman kekerasan yang berlatar belakang politik atau kekuasaan dalam suatu pemerintah negara.8 Sementara Imam Samudera mengartikan terorisme sebagai (irhab), menggetarkan musuh. Untuk itu mereka mengartikan terorisme menjadi bagian dari jihad fi sabilillah, menuju ridho Allah SWT. Tidak mengagetkan manakala sebagian para pelaku teroris di Indonesia menganggap dirinya sebagai mujahid fi sabilillah.9
Para penulis barat menyatakan bahwa terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Terorisme itu berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan karena terorisme bisa dilakukan secara terorganisir dan dalam waktu lama.
Sedangkan berbagai pendapat dan pandangan mengenai pengertian/istilah yang berkaitan dengan terorisme di atas, dapat ditarik kesimpulan, bahwasanya terorisme adalah kekerasan terorganisasi, menempatkan kekerasan sebagai kesadaran, metode berpikir sekaligus alat pencapaian tujuan. Dari banyak definisi yang dikemukakan oleh banyak pihak, yang menjadi ciri dari suatu tindak pidana terorisme adalah:
Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut.
a.Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.
b.Menggunakan kekerasan.
c.Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah.
d.Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama.
Bentuk-bentuk Terorisme
Secara kategoris, gerakan terorisme dilihat dari aspek spiritnya, dapat dibedakan dalam beberapa kategori, diantaranya:
a.Semangat Nasionalisme
Pejuang kemerdekaaan, umumnya menggunakan kekerasan politik untuk melawan rezm penjajah. Memang kekerasan politik tidak selalu identik dengan terorisme. Kekersan politik dalam artian kerusuhan massal, perang saudara, revolusi, atau perang antar bangsa, tidak termasuk kategori terorisme. Namun demikian, terorisme itu sendiri sering terjadi berkaitan kekerasan-kekerasan politik tersebut.10 Contoh terorisme dengan spirit nasionalisme ini dapat ditemukan di Aljazair, Palestina, dan sejumlah negara jajahan di masa suburnya kolonialisme.
b.Semangat Separatisme
Terorisme karena semangat separatis juga dapat terjadi melalui kekerasan politik. Kekerasan politik yang dipilih sebagai perjuangan oleh kaum separatis, cenderung diklaim sebagai bentuk teror oleh opini dunia. Pemberanian opini dunia itu sangat logis. Sebab, kekerasan politik yang dieksploitasi gerakan separatis selalu memenuhi premis dasar terorisme, yaitu menggunakan ancaman kekerasan dan atau kekerasan untuk menimbulkan ketakutan di lingkungannya. Menurut mereka pembunuhan dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan bukanlah soal yang harus dirisaukan, bahkan sasarannya adalah mereka yang tidak berdosa.11
Gerakan separatisme jenis ini hampir terdapat di banyak negara, seperti; IRA di Irlandia, Macan Tamil Ealam di Srilanka, SPLA di Sudan, MNLF di Philipina, dan Gerakan Aceh Merdeka, Republik Maluku Selatan atau Organisasi Papua Merdeka di Indonesia.
c.Semangat Radikalisme Agama
Kelompok-kelompok radikal agama pun ditengarai menggunakan teror untuk memperjuangkan kepentingannya. Kekerasan politikl dalam bentuk teror seringkali dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan.12 Kelompok jihad di Mesir, jihad di Yaman, National islamic Front di Sudan, Al-Qaedah yang berbasis di Afganistan, Jamaah Islamiyah yang berbasis di malaysia, atau kelompok-kelompok radikal yahudi seperti Haredi, Gush Emunim, Kach Kabane di israel adalah sekedar contoh elemen-elemen dengan spirit radikalisme agama yang cenderung mengdepankan budaya kekerasan dan terorisme.
d.Gerakan Terorisme yang didorong oleh spirit bisnis
Narcoterorism di Myanmar yang dikenal dengan sebutan United War State Army adalah kelompok teroris yang berlatar belakang perdagangan narkotika dan obat-obatan terlarang. Di Jepang juga dikenal Yakuza, yaitu organisasi di kalangan dunia hitam yang melakukan bisnis illegal dengan mengedepankan metode teror sebagai cara untuk mencpi tujuan.
Sedangkan bentuk-bentuk teroris ditinjau dari segi sejarah terdiri dari:
a.Pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah yang terjadi sebelum perang dunia II.
b.Terorisme dimulai di Aljazair di tahun limapuluhan, dilakukan oleh FLN yang mempopulerkan “serangan yang bersifat acak” terhadap masayrakat sipil yang tidak berdosa. Hal ini untuk melawan apa yang mereka (Algerian Nationalist) disebut sebagai “terorisme negara”.
c.Terorisme muncul pada tahun enampuluhan dan terkenal dengan istilah “terorisme media”, berupa serangan acak atau random terhadap siapa saja dengan tujuan publisitas. 13
Selain itu, bentuk-bentuk terorisme dilihat dari pelakunya ada yang personal,; terorisme yang bersifat kolektif, dan terorisme yang dilakukan negara. Terorisme dalam bentuk personal ini, biasanya dilakukan dalam bentuk pengeboman seseorang pada orang lain atau kelompok dengan tujuan pribadi, dendam, atau bom bunuh diri.
Sedangkan terorisme yang bersifat kolektif, para teroris melakukan operasinya dengan suatu perencanaan. Biasanya teroris semacam ini dilembagakan dalam sebuah jaringan yang rapi, seperti yang sering disebut-sebut sebagai al-Qaedah. Sasaran terorisme dalam kategori ini adalah simnbol-simbol kekuasaan dan pusat perekonomian.
Adapun terorisme yang dilakukan negara biasanya disebut sebagai “state terorism” terorisme oleh negara. Penggagasnya adalah perdana menteri Mahathir Muhammad. Menurutnya, terorisme yang dikerahkan negara, tidak kalah dahsyatnya dari terorisme personal maupun kolektif. Perbedaanya adalah kalau terorisme personal dan kolektif biasa dilaksanakan secara sembunyi- sembunyi, sedangkan terorisme yang dilakukan oleh negara dilakukan secara terang-terangan dan dapat diliha dengan kasat mata. 14
Terorisme yang dilakukan oleh negara merupakan salah satu bentuk kejahatan yang tergolong sangat istimewa. Sebab negara adalah suatu organisasi besar yang dipilari oleh kekuatan rakyat, namun disisi lain punya kewajiban mengatur, melindungi, dan menyejahterahkan kehidupan rakyat secara material meupun non-metrial. Oleh karena itu, tatkala negara itu, melalui pejabat pemerintahannya terlibat dalam tindakan kriminal secara vertikal, horisontal, regional, nasional maupun internasional, maka otomatis rakyatlah yang menjadi korban. Sejumlah negara sering disebut-sebut sebagai state terorism, seperti lybia dan Israel misalnya.
Terorisme Perspektif Fiqh
Persoalan utama yang menjadi pembahasan terorisme dalam pandangan Islam adalah pemaknaan kata “jihad”. Para aktifis muslim yang sering dituduh penyebar teror memahami jihad sebagai bentuk perlawanan terhadap para penolak Islam yang disponsori oleh Amerika Serikat. Maka sekarang ini kita banyak melihat prilaku teror ditujukan kepada asset-asset yang berhubungan dengan Amerika, seperti hotel JW Marriot dan Ritzcalten belakangan ini.
Dalam benak para aktifis muslim, jihad lebih dipahami dalam kerangka balas dendam. Karena kafir telah memerangi muslim tanpa batas, maka muslim wajib membalasnya dengan memerangi kafir secara tanpa batas pula. Menurutnya, dalam ketentuan syari’ah, jihad berarti berperang melawan kaum kafir yang memerangi Islam dan kaum muslimin. Konsep inilah yang ia sebut dengan jihad fi sabilillah.15 Dalam pemahamannya, ayat al-Qur’an pertama tentang jihad yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah memerangi kaum kafir sebatas yang memerangi Islam. Kaum kafir yang terlibat langsung dalam perang tetap tidak boleh diperangi. Ayat tersebut adalah surat al-Baqarah: 190, ”Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu. Dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”.
Perang dalam sejarah militer Islam melawan Romawi dan Persia didasari oleh etika pelarangan berperang secara ”melampaui batas”, yaitu dilarang membunuh wanita dan anak-anak, orang tua renta, para ahli ibadah dan juga dilarang merusak tanaman dan lingkungan.16
Dalam memahami konsep jihad dan perang dalam Islam, meraka membaginya ke dalam empat tahapan; tahapan menahan diri, tahapan diizinkan berperang, tahapan diwajibkan memerangi secara terbatas, dan tahapan kewajiban memerangi seluruh kaum kafir/musyrik. Pada tahap pertama, tahapan enahan diri, jihad belum diperintahkan. Kaum muslimin diperintahkan untuk menahan diri untuk bersabar dan tidak melakukan pembalasan terhadap penindasaan, kekejaman dan celaan kafir quraisy.17
Pada tahap kedua, tahapan sebatas diizinkan berperang tetapi belum diperintahkan berperang, sehingga belum ada kewajiban berperang. Pada tahap ketiga, tahapan diwajibkan memerangi kaum kafir secara terbatas, yaitu terbatas kepada kaum kafir yang memerangi kaum muslimin. Sedangkan kaum kafir yang tidak ikut memerangi kaum muslimin tetap tidak diperbolehkan untuk diperangi. Pada tahap keempat, yaitu tahapan yang mewajibkan bagi kaum muslim untuk memerangi seluruh kaum kafir dan musyrik. Dengan ayat-ayat ini, ia melegitimasi bahwa peledakan bom Legian adalah bentuk dari aksi jihad fi sabilillah.18
Dalam terminologi agama, jihâd tidak serta merta diartikan sebagai mengangkat senjata untuk memerangi non-muslim, sebagaimana difahami sebagian kalangan umat Islam. Secara umum, arti jihâd dikategorisasikan menjadi tiga pengertian; jihâd dengan hati jihâd dengan harta benda, dan jihâd dengan nyawa.
a)Jihâd dengan hati, maksudnya adalah berjihâd untuk memerangi hawa nafsu yang muncul dari dirinya sendiri. Hawa nafsu ini hanya bisa ditangani oleh dirinya sendiri.
b)Jihâd dengan harta benda.19 Yakni mendermakan hartanya di jalan Allah.
c)Jihâd dengan nyawa.20
Pada pengertian pertama berarti jihâd internal, yakni jihâd dalam memerangi hawa nafsu, yang dalam bahasa Nabi disebut sebagai jihâd al-akbar. Jihâd diinterpretasikan sebagai upaya individual untuk mendekatkan diri dari seorang hamba kepada Khâliq-nya, hanya diri sendirilah yang bertindak sebagai subyek menang atau kalah.
Pada pengertian kedua ini, jihâd sebagai social action (aksi sosial) antar sesama makhluk. Konteks kemiskinan yang selalu melanda umat Islam di sepanjang zaman tentunya harus menjadi perhatian kaum muslimin untuk berusaha maksimal agar terbebas dari segala bentuk kemiskinan. Islam telah mengajarkan prinsip ekonomi Islam seperti zakat dan bait al-mâl yang secara konseptual bisa menjadi kekuatan besar dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umat.
Adapun pada pengertian ketiga, jihâd diartikan sebagai perang yang sesungguhnya, bellum justum dan bellum pium yakni perang demi keadilan dan kesalehan.21 Menurut Edmund Bosworth dalam Armies of the Prophet, jihâd dalam pengertian inilah yang merupakan salah satu isu populer dalam proses hubungan Islam dan Kristen selama beberapa abad. Kontak Islam dan Kristen ini ditandai dengan banyaknya konflik militer dan angkatan laut antara negara-negara Islam dan non-Islam.22
Dalam berbagai pendapat para ahli fiqih, jihâd diartikan sebagai upaya yang dilakukan kaum muslim dalam memerangi non-muslim karena memaksa mereka untuk menganut Islam.23 Mereka sepakat bahwa jihâd itu dilakukan untuk dalam rangka menolong agama Islam dengan memerangi kaum kafir.24
Dalam berbagai pendapat para ahli fiqih, jihâd diartikan sebagai upaya yang dilakukan kaum muslim dalam memerangi non-muslim karena memaksa mereka untuk menganut Islam. Mereka sepakat bahwa jihâd itu dilakukan untuk dalam rangka menolong agama Islam dengan memerangi kaum kafir.
Imam Nawawi al-Bantani menuturkan bahwa jihad itu fardu kifayah yang dilaksanakan paling tidak satu tahun sekali. Jika di negaranya tersebut ada orang kafir. Jika lebih dari satu kali maka itu lebih baik. Kewajiban akan gugur dikarenakan dua hal. Pertama, adanya pemimpin atau tentara yang dipersiapkan untuk berperang. Kedua, sudah terjaminnya keamanan karena kesiapan tentara di masing-masing sudut negara.25
Sedangkan Ibn Qasim menjelaskan bahwa hukum jihad pada masa Nabi tepatnya sebelum hijrah adalah fardu kifayah, sedangkan pada masa setelah hijrah ada dua kemungkinan yang pertama jihad hukumnya fardu kifayah yakni jika kaum kafir tetap berada pada negaranya. Apabila kaum kafir masuk dan menyerang masyarakat muslim maka hukum jihad menjadi fardu‘ain.26 Al-Sya’rani dengan mengutip pendapat Imam Malik mengatakan bahwa kewajiban berjihad sama halnya dengan haji, yaitu adanya perbekalan dan kendaraan.27
Ibn Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan jika dilihat dari pelaksanaannya, jihad dapat dibagi menjadi tiga bentuk yaitu jihad mutlaq, jihad hujjah dan jihad ’amm. Jihad mutlaq adalah perang melawan musuh di medan pertempuran. Jihad ini mempunyai persyaratan tertentu, diantaranya; pertama, perang tersebut harus bersifat defensive, Kedua, sebagai hujjah untuk menghilangkan fitnah, Ketiga, hujjah untuk menciptakan perdamaian, Keempat, hujjah untuk mewujudkan kebajikan dan keadilan. Tampak di sini bahwa makna jihad lebih dekat ke dalam pengertian perang (qital).
Adapun jihad hujjah adalah jihad yang dilakukan dalam berhadapan dengan pemeluk agama lain dengan mengemukakan argumentasi yang kuat. Kemudian jihad terakhir adalah jihad ‘amm. Jihad yang dimaksud adalah jihad yang mencakup segala aspek kehidupan baik yang bersifat moral maupun yang bersifat material, terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain di tengah-tengah masyarakat.28 Jihad seperti ini dapat dilakukan dengan pengorbanan harta, jiwa, tenaga, waktu dan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Jihad ini juga trans-temporal dan tidak terbatas oleh ruang dan bisa dilakukan terhadap musuh yang nyata, setan dan hawa nafsu. Pengertian musuh nyata di sini, di samping perang, juga berarti semua tantangan yang dihadapi umat Islam, seperti kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.
Para ulama fiqh menyatakan bahwa Hukum jihad adalah fardu kifayah dengan dalil-dalil baik dalil dari al-Qur'an maupun sunah yang sahih serta penjelasan ulama ahl al-sunnah antara lain dari al-Qur’an surah an-Nisa’: 95- 96, at-Taubah: 122, al-Muzzamil: 20, dan beberapa hadis Nabi yang shahih. Berdasarkan dalil-dalil ini, maka empat Imam Mazhab dan lainnya telah sepakat bahwa jihad fi sabilillah hukumnya adalah fardu kifayah, apabila sebagian kaum Muslimin melaksanakannya, maka gugur (kewajiban) atas yang lainnya. Kalau tidak ada yang melaksanakannya maka berdosa semuanya.
Para ulama menyebutkan bahwa jihad menjadi fardu ‘ain pada tiga kondisi, yakni: pertama, apabila pasukan muslim dan kafir bertemu dan sudah saling berhadapan di medan perang, maka tidak boleh seseorang mundur atau berbalik. Kedua, apabila musuh menyerang negeri muslim yang aman dan mengepungnya, maka wajib bagi penduduk negeri untuk keluar memerangi musuh (dalam rangka mempertahankan tanah air), kecuali wanita dan anak-anak. Ketiga, apabila Imam meminta satu kaum atau menentukan beberapa orang untuk berangkat perang, maka wajib berangkat. Dalam hal ini dasar hukumnya adalah QS. at-Taubah: 38-39.
Terorisme dalam Fiqh Jinayat (Pidana Islam)
Dalam hukum pidana Islam terorisme dimasukkan dalam golongan Jarimah Hirabah.29 Jarimah jenis ini, adalah tindak pidana yang dilakukan oleh orang, yaitu pengambilan barang/harta milik orang lain secara terang-terang disertai tindak kekerasan. Peristiwa semacam ini dapat disebut sebagai perampokan.30 Modus operandinya hirabah ini terdiri dari 4 macam:
a.bermaksud untuk mengambil harta secara kekerasan, melakukan intimidasi, tetapi kemudian tanpa mengambil harta dan tanpa membunuh.
b.keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, membunuh tetapi tanpa mengambil harta.
c.keluar mengambil harta secara kekerasan, kemudian ia mengambil harta tanpa membunuh
d.keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, kemudian mengambil harta dan membunuh korban.
Dalam kaidah hukum Islam disebutkan bahwa setiap orang yang berada di dar as-salam sama di hadapan syariat, dalam artian bahwa hukum Islam dapat diberlakukan terhadap siapa saja yang berada di dar as-salam. Dalam kaidah lain disebutkan bahwa suatu perbuatan tidak akan dikenai hukuman kecuali berdasarkan nash. Dalam penjabaranya, nash ini haruslah mengikat atau berlaku terhadap pelaku perbuatan dan juga berlaku di tempat dilakukannya perbuatan tersebut.31
Abu Yusuf salah seorang tokoh fikih dalam madzhab Hanafi berpendapat bahwa hukum Islam berlaku atas semua tindak pidana yang terjadi di daerah hukum dar as-salam, baik ia bermukim (penduduk) seperti seorang muslim atau zimmiy, ataupun bermukim untuk sementara seperti seorang musta’min. Ia berasumsi bahwa seorang muslim diharuskan menuruti dan melaksanakan syariat Islam karena ke-Islamanya dan seorang zimmiy dikarenakan akad zimmah-nya yang menjamin keamanan yang tetap baginya di dar as-salam. Adapun bagi seorang musta’min, ia harus melaksanakan hukum-hukum Islam dan mentaatinya mengingat ‘aqd al-amn (yaitu akad jaminan keamanan) yang waktunya terbatas sesuai dengan perjanjian yang telah memberikan kepadanya hak untuk menetap dalam jangka waktu tertentu di dar as-salam.32
Selanjutnya Imam Malik, asy-Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa hukum Islam dapat diterapkan atas segala kejahatan atau terorisme yang dilakukan di mana saja selama tempat tersebut masih termasuk dalam daerah yuridiksi dar as-salam, baik pelakunya adalah seorang muslim, zimmiy maupun musta’min. Ini berarti bahwa aturan-aturan pidana tidak terikat oleh wilayah melainkan terikat oleh subyek hukum.33 Jadi setiap muslim tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang dilarang atau meninggalkan hal-hal yang diwajibkan di manapun ia berada.
Kesimpulan
Terorisme adalah perlawanan atau peperangan bukan pada militer melainkan terhadap orang-orang yang tidak berdosa dan masyarakat sipil. Teror adalah menakut-nakuti dan mengancam. Ia tidak bisa diterima oleh akal manusia dan tidak dibenarkan oleh agama. Kejahatan terorisme merupakan produk perilaku kebiadaban dan kebinatangan. Akibat yang ditimbulkan sangat terasa sebagi wujud pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Berdasarkan ketentuan berlakunya hukum pidana Islam terhadap setiap jarimah yang dilakukan di dar as-salam, teori Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal dapat diberlakukan terhadap setiap orang yang melakukan kejahatan di wilayah dar as-salam tanpa melihat kewarganegaraan pelaku begitu juga terhadap kejahatan yang dilakukan penduduk dar as-salam di dar al-harb, ketentuan hukum Islam senantiasa dapat diberlakukan berdasarkan ke-Islaman pelaku maupun akad zimmah.
Kamis, 06 Agustus 2009
DEWAN PENGURUS
PUSKAPOLHAM IAIN WALISONGO SEMARANG
TAHUN 2008-2011
Penanggungjawab : Dekan Fakultas Syariah IAIN Walisongo
Penasehat : Prof. Dr. H. Muhibbin, MA.
Prof. Dr. Ahmad Gunaryo, M.Sc.
Ketua : Dr. Imam Yahya, MA
Sekretaris : Moh Arifin, M.Hum.
Bendahara : Brillian Ernawati, SH. MH.
Anggota : Drs. Arif Junaedi, M.A.
Drs. Musahady, MA.
Iman Fadhilah, M.Si.
Tedy Kholiludin, M.Hum.
PUSKAPOLHAM IAIN WALISONGO SEMARANG
TAHUN 2008-2011
Penanggungjawab : Dekan Fakultas Syariah IAIN Walisongo
Penasehat : Prof. Dr. H. Muhibbin, MA.
Prof. Dr. Ahmad Gunaryo, M.Sc.
Ketua : Dr. Imam Yahya, MA
Sekretaris : Moh Arifin, M.Hum.
Bendahara : Brillian Ernawati, SH. MH.
Anggota : Drs. Arif Junaedi, M.A.
Drs. Musahady, MA.
Iman Fadhilah, M.Si.
Tedy Kholiludin, M.Hum.
Rabu, 13 Mei 2009
Meredefinisi Relasi Islam dan Negara
Seperti diketahui, dinamika hubungan agama dan negara telah menjadi faktor kunci dalam sejarah peradaban/kebiadaban umat manusia. Di samping dapat melahirkan kemajuan besar, hubungan antara keduanya juga telah menimbulkan malapetaka besar. Tidak ada bedanya, baik ketika negara bertahta di atas agama (pra abad pertengahan), ketika negara di bawah agama (di abad pertengahan) atau ketika negara terpisah dari agama (pasca abad pertengahan, atau di abad modern sekarang ini).
Pola hubungan ronde pertama dan kedua sudah lewat. Bahwa masih ada sisa sisa masa lalu, dalam urusan apa pun termasuk hubungan negara agama, bisa terjadi. Tapi, sekurang kurangnya secara teori, kini kita telah merasa cocok di ronde ketiga, ronde sekular, di mana agama dan negara harus terpisah, dengan wilayah jurisdiksinya masing masing. Agama untuk urusan pribadi, negara untuk urusan publik.
Sejauh ini kita beranggapan hubungan sekularistik untuk agama negara merupakan opsi yang terbaik. Dalam pola hubungan ini, agama tidak lagi bisa memperalat negara untuk melakukan kedzaliman atas nama Tuhan; demikian pula negara tidak lagi bisa memperalat agama untuk kepentingan penguasa.
Tapi apakah persoalan hubungan agama-negara sesederhana itu? Bahwa pola hubungan sekularistik pada mulanya merupakan "wisdom" yang didapat oleh masyarakat Barat dari sejarah panjang hubungan raja dan gereja, kiranya jelas. Bagi umat Islam sendiri, Barat atau Timur sesungguhnya bukan merupakan kategori benar salah atau baik buruk. Barat bisa benar, Timur bisa salah; tapi juga bisa sebaliknya. "Kebaikan bukan soal Barat atau di Timur, melainkan soal ketakwaan" (Q: Al Baqarah/176).
Tapi memang, sejak gagasan sekularisme ini didakwahkan ke Timur, umat Islam menjadi terbelah antara yang menerima dan yang menolak. Yang menolak umumnya karena kecurigaan terhadap apa saja yang datang dari Barat. Tanpa mencoba mengerti kesulitan masyarakat Barat sendiri selama bera¬bad abad dalam menata hubungan agama negara, mereka mencurigai sekularisme sebagai gagasan untuk memarjinalkan Islam dari kehidupan nyata.
Sementara itu, kelompok yang menerima berargumen bahwa seperti umumnya agama, Islam pun terbatas jangkaunnya pada urusan pribadi. Jika ia ditarik ke ruang publik (negara) akan membawa petaka seperti yang pernah terjadi di Barat. Sekularisme adalah pilihan terbaik jika kita ingin membiarkan negara dan agama dalam kewajarannya. Biarlah mereka mengurus tugasnya masing-masing; agama di wilayah privat, negara untuk wilayah publik.
***
Mencoba memahami konteks sekularisme di Barat dan konteks Islam di Timur mungkin dapat membantu kita keluar dari cara pikir dokotomis yang naif. Pertama, dalam konteks Barat sekularisme adalah modus penyelesaian konflik antara otoritas lembaga negara di satu pihak versus otoritas lembaga agama dalam tubuh Gereja di lain pihak. Dalam Islam, otoritas keagamaan seperti gereja, lebih lebih gereja abad per¬tengahan yang monolitik dan sentralistik, tidak diketemukan.
Bukan tidak ada otoritas sama sekali, akan tetapi dalam mainstream Islam otoritas itu terdesentrali¬sasi sedemikian rupa pada pribadi pribadi tokoh (ulama) atau pada organisasi-organisasi keagamaan yang satu sama lain bisa berbeda fatwa atau bahkan saling menolak. Oleh sebab itu tidak pernah bisa dikatakan bahwa ada satu masa dalam sejarah Islam dimana negara (sultan) sepenuhnya berhadapan dengan otoritas agama (ulama); Juga tidak pernah terjadi sebaliknya, otoritas agama sepenuhnya ditaklukkan oleh otoritas negara.
Kedua, dalam konteks Barat abad pertengahan, sekularisme yang berkonotasi menghukum otoritas agama dan mengurungnya di ruang privat, memang beralasan. Pada waktu itu, agama (baca: Gere¬ja) telah menjadi instrumen dominatif bagi elite politik maupun ekonomi untuk mempertahankan previlagenya. Pada saat yang sama, agama telah kehilangan watak profetiknya sebagai pembela masyarakat, khususnya petani dan buruh yang tertindas.
Jujur saja, dosa-dosa agama (gereja) yang terjadi di Barat tersebut juga terdapat dalam Islam. Akan tetapi ada beberapa hal penting yang membedakan. Dalam Islam, seperti dikatakan di atas, tidak ada otoritas tunggal yang telah memainkan dosa dosa itu secara utuh dan terpusat. Pada saat seba¬gian ulama Islam berkolusi dengan penguasa, mayoritas ulama tetap setia hidup di tengah tengah dan bersama rakyat. Di antara mereka ada yang sekadar apatis (uzlah) dari politik kekuasaan, sebagian terus melancarkan kritik, bahkan beberapa dengan tinda¬kan, gerakan.
Ketiga, dalam konteks kelahiran negara modern, ada juga fakta yang tidak boleh dilupakan. Di Barat negara modern lahir dari atau bebarengan dengan gerakan pemakzulan terhadap otoritas agama (gereja). Di Timur, di dunia Islam termasuk Indone¬sia, negara modern lahir justru dari semangat heroisme keagamaan (kesyahidan) untuk memerdekaan bangsanya dari tirani penjajahan, yang nota bene adalah Barat.
Itulah sebabnya hubungan agama negara dalam abad modern di Timur umumnya dan di dunia Islam khususnya, tidak bisa begitu saja diacukan kepada pengalaman Barat dan dipecahkan dengan resep Barat, sekularisme itu. Tapi jangan salah. Dengan mengatakan begitu bukan berarti sekularisme musti kita tolak mentah dan kita kembali ke teokratisme, seperti usul kaum revivalis-fundamentalis. Kita tahu bahwa dalam teokratisme, secara formal negara ditaklukkan pada kepentingan agama, padahal kenyataannya ia ditaklukkan pada kepentingan elitenya belaka.
Dengan demikian, mematrik negara hanya dalam kolom sekularis atau teokratis, kiranya terlalu menyederhanakan masalah. Lebih-lebih dalam konteks Islam, hubungan agama negara terlalu komopleks untuk dilihat secara hitam putih begitu saja. Disamping karena faktor kesejarahan yang berbeda dengan Barat, dalam konteks ajaran (normatif) mengkotakkan agama hanya pada ruang privat dan negara pada urusan publik juga mengandung mafsadah tersendiri.
Bahkan di Barat pun sekularisme yang secara ketat memenjarakan agama di ruang privat sudah dikritik. Sikap cuci tangan agama terhadap derita kemanusiaan yang terjadi di ruang publik akibat kesewenang-wenangan negara (state) secara moral jelas tidak dapat dipertanggungjawabkan. Telah muncul opsi baru yang oleh Jose Casanova disebut deprivatisasi agama. Gerakan teologi pembebasan di Amerika Latin maupun Political Theology di Eropa bagaimana pun merupakan refleksi dari kritik tersebut.
***
Jika di Barat sendiri sekularisme mulai dipersoalkan, maka bagaimana dalam Islam? Dari struktur internal ajaran Islam kita bisa membuat pemilahan beberapa tingkatan yang berimplikasi pada pola hubungan agama-negara yang berbeda.
Pertama, ajaran yang bersifat privat, semisal soal keyakinan (akidah) kepada Allah, malaikat, takdir dan hari akhir. Keyaki¬nan keyakinan seperti ini adalah perkara yang benar benar pribadi; apa yang diyakini sesama muslim tentang Tuhan atau hari akhir, misalnya, tidak mungkin bisa diseragamkan antara satu orang dengan yang lain. Dalam hal ini negara bukan saja tidak punya kewenangan untuk mengintervensi, bahkan tidak punya kemampuan apa pun untuk menjangkaunya.
Kedua, ajaran keagamaan yang bersifat komunal-keumatan seperti soal-soal peribadatan (doa, salat, pusa, haji dan yang terkait dengannya). Masuk dalam kategori ini adalah hukum agama tentang keluarga (al ahwal al syahsiyat). Dengan dalih apa pun, negara tidak borhak mengerahkan polisi untuk, misalnya, memaksa seseorang menjalankan salat atau puasa. Bahkan intervensi negara atau pemerintah yang selama ini terjadi dalam urusan penyeragaman hari raya atau soal keabsahan suatu perni¬kahan, adalah salah kaprah yang perlu segera diakhiri.
Ketiga, ajaran keagaman (Islam) yang bersifat publik, misalnya ajaran ajaran Islam tentang muamalat (etika perdata), jinayat (pidana) dan siyasah (etika mengelola kekuasaan dan kekayaan negara). Pada tingkat ajaran kategori inilah terbuka proses pengkayaan (enrichment) dan substansiasi hukum agama terhadap hukum negara.
Tidak bisa dikatakan bahwa dalam negara kebangsaan hukum agama haram ikut memperkaya bangunan hukum publik dari negara yang bersangkutan. Jangankah hukum agama yang dianut oleh masyarakat di negeri itu; hukum warisan penjajah yang telah memeras kita ratusan tahun dan kita usir dengan darah para syuhada pun bisa diusung menjadi hukum di negeri kita.
Akan tetapi kita semua harus menyadari bahwa sesuci dan sekuat apa pun tawaran-tawaran hukum (syariat) keagamaan tersebut tidak dapat diberlakukan begitu saja sebagai hukum positif. Dalam konteks negara kebangsaan hukum agama, termasuk yang dianut oleh mayoritas sekalipun, baru merupakan bahan mentah (row material) seperti halnya hukum adat (adat manapun) atau hukum hukum yang dicomot dari bangsa lain.
Untuk bisa menjadi bagian dari hukum publik, maka hukum-hukum tersbut harus memenuhi dua syarat. Pertama, syarat substansial menyangkut isi hukum yang harus beroreintasi pada kepentingan publik, bukan hanya kepentingan kelompok tertentu. Kedua, syarat prosedural artinya hukum itu dapat meyakinkan nalar publik untuk diterima melalui prosedur penetapan hukum secara demokratis yang juga disepakati oleh publik. Hukum apapun yang memenuhi kedua syarat ini berhak mengisi bangunan hukum positif dan perundang-undangan suatau negara. Tidak terkecuali hukum yang berbasis agama.
Bahkan untuk negara modern yang kini telah menjadi semakin repressif, koruptif, ekploitatif dan tidak perduli dengan nasib masyarakat lemah, maka kontribusi agama-agama dengan kekayaan nilai-nilai etik dan moralnya sangatlah diperlukan. Kita butuh sekali kontribusi etika sosial Kristiani dengan basis kasih-nya terutama bagi mereka yang terpinggirkan. Kita butuh sentuhan etika Hinduisme dengan semangat ahimsa (non-violence)-nya; etika Budhis dengan etos kesederhanaannya; dan etika Islam dengan spirit keadilan-nya. Juga dari agama-agama lain
Oleh sebab itu, tidak ada manfaat apa pun bagi umat Islam untuk meributkan nasib 7 kata yang terbuang, kecuali sekedar untuk trik-trik politik belaka. Jika memang sungguh-sungguh ingin memberikan kontribusi kepada negara yakinkanlah nalar publik bangsa ini bahwa syariat agama yang mereka yakini dapat lebih menjamin pemenuhan hak dan kemaslahatan rakyat banyak, apa pun agama, suku, etniknya; bukan hanya untuk kepentingan kelompok sendiri semata. *
Disarikan dari tulisan Masdar F. Mas’udi, Katib Syuriah PBNU
Pola hubungan ronde pertama dan kedua sudah lewat. Bahwa masih ada sisa sisa masa lalu, dalam urusan apa pun termasuk hubungan negara agama, bisa terjadi. Tapi, sekurang kurangnya secara teori, kini kita telah merasa cocok di ronde ketiga, ronde sekular, di mana agama dan negara harus terpisah, dengan wilayah jurisdiksinya masing masing. Agama untuk urusan pribadi, negara untuk urusan publik.
Sejauh ini kita beranggapan hubungan sekularistik untuk agama negara merupakan opsi yang terbaik. Dalam pola hubungan ini, agama tidak lagi bisa memperalat negara untuk melakukan kedzaliman atas nama Tuhan; demikian pula negara tidak lagi bisa memperalat agama untuk kepentingan penguasa.
Tapi apakah persoalan hubungan agama-negara sesederhana itu? Bahwa pola hubungan sekularistik pada mulanya merupakan "wisdom" yang didapat oleh masyarakat Barat dari sejarah panjang hubungan raja dan gereja, kiranya jelas. Bagi umat Islam sendiri, Barat atau Timur sesungguhnya bukan merupakan kategori benar salah atau baik buruk. Barat bisa benar, Timur bisa salah; tapi juga bisa sebaliknya. "Kebaikan bukan soal Barat atau di Timur, melainkan soal ketakwaan" (Q: Al Baqarah/176).
Tapi memang, sejak gagasan sekularisme ini didakwahkan ke Timur, umat Islam menjadi terbelah antara yang menerima dan yang menolak. Yang menolak umumnya karena kecurigaan terhadap apa saja yang datang dari Barat. Tanpa mencoba mengerti kesulitan masyarakat Barat sendiri selama bera¬bad abad dalam menata hubungan agama negara, mereka mencurigai sekularisme sebagai gagasan untuk memarjinalkan Islam dari kehidupan nyata.
Sementara itu, kelompok yang menerima berargumen bahwa seperti umumnya agama, Islam pun terbatas jangkaunnya pada urusan pribadi. Jika ia ditarik ke ruang publik (negara) akan membawa petaka seperti yang pernah terjadi di Barat. Sekularisme adalah pilihan terbaik jika kita ingin membiarkan negara dan agama dalam kewajarannya. Biarlah mereka mengurus tugasnya masing-masing; agama di wilayah privat, negara untuk wilayah publik.
***
Mencoba memahami konteks sekularisme di Barat dan konteks Islam di Timur mungkin dapat membantu kita keluar dari cara pikir dokotomis yang naif. Pertama, dalam konteks Barat sekularisme adalah modus penyelesaian konflik antara otoritas lembaga negara di satu pihak versus otoritas lembaga agama dalam tubuh Gereja di lain pihak. Dalam Islam, otoritas keagamaan seperti gereja, lebih lebih gereja abad per¬tengahan yang monolitik dan sentralistik, tidak diketemukan.
Bukan tidak ada otoritas sama sekali, akan tetapi dalam mainstream Islam otoritas itu terdesentrali¬sasi sedemikian rupa pada pribadi pribadi tokoh (ulama) atau pada organisasi-organisasi keagamaan yang satu sama lain bisa berbeda fatwa atau bahkan saling menolak. Oleh sebab itu tidak pernah bisa dikatakan bahwa ada satu masa dalam sejarah Islam dimana negara (sultan) sepenuhnya berhadapan dengan otoritas agama (ulama); Juga tidak pernah terjadi sebaliknya, otoritas agama sepenuhnya ditaklukkan oleh otoritas negara.
Kedua, dalam konteks Barat abad pertengahan, sekularisme yang berkonotasi menghukum otoritas agama dan mengurungnya di ruang privat, memang beralasan. Pada waktu itu, agama (baca: Gere¬ja) telah menjadi instrumen dominatif bagi elite politik maupun ekonomi untuk mempertahankan previlagenya. Pada saat yang sama, agama telah kehilangan watak profetiknya sebagai pembela masyarakat, khususnya petani dan buruh yang tertindas.
Jujur saja, dosa-dosa agama (gereja) yang terjadi di Barat tersebut juga terdapat dalam Islam. Akan tetapi ada beberapa hal penting yang membedakan. Dalam Islam, seperti dikatakan di atas, tidak ada otoritas tunggal yang telah memainkan dosa dosa itu secara utuh dan terpusat. Pada saat seba¬gian ulama Islam berkolusi dengan penguasa, mayoritas ulama tetap setia hidup di tengah tengah dan bersama rakyat. Di antara mereka ada yang sekadar apatis (uzlah) dari politik kekuasaan, sebagian terus melancarkan kritik, bahkan beberapa dengan tinda¬kan, gerakan.
Ketiga, dalam konteks kelahiran negara modern, ada juga fakta yang tidak boleh dilupakan. Di Barat negara modern lahir dari atau bebarengan dengan gerakan pemakzulan terhadap otoritas agama (gereja). Di Timur, di dunia Islam termasuk Indone¬sia, negara modern lahir justru dari semangat heroisme keagamaan (kesyahidan) untuk memerdekaan bangsanya dari tirani penjajahan, yang nota bene adalah Barat.
Itulah sebabnya hubungan agama negara dalam abad modern di Timur umumnya dan di dunia Islam khususnya, tidak bisa begitu saja diacukan kepada pengalaman Barat dan dipecahkan dengan resep Barat, sekularisme itu. Tapi jangan salah. Dengan mengatakan begitu bukan berarti sekularisme musti kita tolak mentah dan kita kembali ke teokratisme, seperti usul kaum revivalis-fundamentalis. Kita tahu bahwa dalam teokratisme, secara formal negara ditaklukkan pada kepentingan agama, padahal kenyataannya ia ditaklukkan pada kepentingan elitenya belaka.
Dengan demikian, mematrik negara hanya dalam kolom sekularis atau teokratis, kiranya terlalu menyederhanakan masalah. Lebih-lebih dalam konteks Islam, hubungan agama negara terlalu komopleks untuk dilihat secara hitam putih begitu saja. Disamping karena faktor kesejarahan yang berbeda dengan Barat, dalam konteks ajaran (normatif) mengkotakkan agama hanya pada ruang privat dan negara pada urusan publik juga mengandung mafsadah tersendiri.
Bahkan di Barat pun sekularisme yang secara ketat memenjarakan agama di ruang privat sudah dikritik. Sikap cuci tangan agama terhadap derita kemanusiaan yang terjadi di ruang publik akibat kesewenang-wenangan negara (state) secara moral jelas tidak dapat dipertanggungjawabkan. Telah muncul opsi baru yang oleh Jose Casanova disebut deprivatisasi agama. Gerakan teologi pembebasan di Amerika Latin maupun Political Theology di Eropa bagaimana pun merupakan refleksi dari kritik tersebut.
***
Jika di Barat sendiri sekularisme mulai dipersoalkan, maka bagaimana dalam Islam? Dari struktur internal ajaran Islam kita bisa membuat pemilahan beberapa tingkatan yang berimplikasi pada pola hubungan agama-negara yang berbeda.
Pertama, ajaran yang bersifat privat, semisal soal keyakinan (akidah) kepada Allah, malaikat, takdir dan hari akhir. Keyaki¬nan keyakinan seperti ini adalah perkara yang benar benar pribadi; apa yang diyakini sesama muslim tentang Tuhan atau hari akhir, misalnya, tidak mungkin bisa diseragamkan antara satu orang dengan yang lain. Dalam hal ini negara bukan saja tidak punya kewenangan untuk mengintervensi, bahkan tidak punya kemampuan apa pun untuk menjangkaunya.
Kedua, ajaran keagamaan yang bersifat komunal-keumatan seperti soal-soal peribadatan (doa, salat, pusa, haji dan yang terkait dengannya). Masuk dalam kategori ini adalah hukum agama tentang keluarga (al ahwal al syahsiyat). Dengan dalih apa pun, negara tidak borhak mengerahkan polisi untuk, misalnya, memaksa seseorang menjalankan salat atau puasa. Bahkan intervensi negara atau pemerintah yang selama ini terjadi dalam urusan penyeragaman hari raya atau soal keabsahan suatu perni¬kahan, adalah salah kaprah yang perlu segera diakhiri.
Ketiga, ajaran keagaman (Islam) yang bersifat publik, misalnya ajaran ajaran Islam tentang muamalat (etika perdata), jinayat (pidana) dan siyasah (etika mengelola kekuasaan dan kekayaan negara). Pada tingkat ajaran kategori inilah terbuka proses pengkayaan (enrichment) dan substansiasi hukum agama terhadap hukum negara.
Tidak bisa dikatakan bahwa dalam negara kebangsaan hukum agama haram ikut memperkaya bangunan hukum publik dari negara yang bersangkutan. Jangankah hukum agama yang dianut oleh masyarakat di negeri itu; hukum warisan penjajah yang telah memeras kita ratusan tahun dan kita usir dengan darah para syuhada pun bisa diusung menjadi hukum di negeri kita.
Akan tetapi kita semua harus menyadari bahwa sesuci dan sekuat apa pun tawaran-tawaran hukum (syariat) keagamaan tersebut tidak dapat diberlakukan begitu saja sebagai hukum positif. Dalam konteks negara kebangsaan hukum agama, termasuk yang dianut oleh mayoritas sekalipun, baru merupakan bahan mentah (row material) seperti halnya hukum adat (adat manapun) atau hukum hukum yang dicomot dari bangsa lain.
Untuk bisa menjadi bagian dari hukum publik, maka hukum-hukum tersbut harus memenuhi dua syarat. Pertama, syarat substansial menyangkut isi hukum yang harus beroreintasi pada kepentingan publik, bukan hanya kepentingan kelompok tertentu. Kedua, syarat prosedural artinya hukum itu dapat meyakinkan nalar publik untuk diterima melalui prosedur penetapan hukum secara demokratis yang juga disepakati oleh publik. Hukum apapun yang memenuhi kedua syarat ini berhak mengisi bangunan hukum positif dan perundang-undangan suatau negara. Tidak terkecuali hukum yang berbasis agama.
Bahkan untuk negara modern yang kini telah menjadi semakin repressif, koruptif, ekploitatif dan tidak perduli dengan nasib masyarakat lemah, maka kontribusi agama-agama dengan kekayaan nilai-nilai etik dan moralnya sangatlah diperlukan. Kita butuh sekali kontribusi etika sosial Kristiani dengan basis kasih-nya terutama bagi mereka yang terpinggirkan. Kita butuh sentuhan etika Hinduisme dengan semangat ahimsa (non-violence)-nya; etika Budhis dengan etos kesederhanaannya; dan etika Islam dengan spirit keadilan-nya. Juga dari agama-agama lain
Oleh sebab itu, tidak ada manfaat apa pun bagi umat Islam untuk meributkan nasib 7 kata yang terbuang, kecuali sekedar untuk trik-trik politik belaka. Jika memang sungguh-sungguh ingin memberikan kontribusi kepada negara yakinkanlah nalar publik bangsa ini bahwa syariat agama yang mereka yakini dapat lebih menjamin pemenuhan hak dan kemaslahatan rakyat banyak, apa pun agama, suku, etniknya; bukan hanya untuk kepentingan kelompok sendiri semata. *
Disarikan dari tulisan Masdar F. Mas’udi, Katib Syuriah PBNU
Selasa, 28 April 2009
Format Partai Politik dalam Sejarah Politik Islam
Oleh : Imam Yahya*)
Bagi sebagian kalangan, kehadiran partai politik Islam seperti Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, Partai Bulan Bintang, atau Partai Keadilan Sejahtera dalam kancah perpolitikan di Indonesia sekarang ini merupakan fragmentasi partai politik Islam tahun 1955-an. Saat itu partai Islam meliputi Masyumi, NU, PSII Partai Syarikat Islam Indonesia, PERTI Perhimpunan Tarbiyah Islamiyah, serta Partai Persatuan Thariqat Indonesia. Tokoh-tokohnya tidak beranjak dari para pimpinan organisasi sosial keagamaan yang menjadi cikal bakal pendiriannya. Tentunya harapan terhadap tokoh-tokoh berlatar belakang agama itu akan bisa memberikan nuansa religius dalam berbagai kegiatan partai politik.
Namun partai politik jelas berbeda dengan organisasi sosial keagamaan seperti NU, `Muhammadiyah maupun lainnya. Organisasi sosial keagamaan menjadikan tokoh-tokohnya untuk berkonsentrasi di bidang keagamaan dan kemasyarakatan. Sedang dunia politik adalah bersifat profan yang meniscayakan adanya kepamrihan, penuh muatan politis, dan tendensius. Banyak politisi berlatar belakang agama, yang pada gilirannya menggiring ke arah logika kekuasaan (the logic of power) yang cenderung kooptatif, hegemonik, dan korup. Akibatnya, kekuatan logika (the power of logic) yang dimiliki tokoh agama, seperti logika moralitas yang mengedepankan ketulusan pengabdian menjadi sirna.
Masyarakat yang mempunyai persepsi bahwa berpolitik itu kotor, lantaran banyaknya prilaku politik dan prilaku politisi yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah politik yang benar. Di sisi lain tokoh agama dianggap sebagai penjaga moralitas umat yang bisa memberika uswah dalam berbagai perilaku kehidupan di masyarakat. Untuk itu tidaklah mungkin seorang tokoh agamawan bisa menjadi seorang tokoh politik pada waktu yang bersamaan.
Sepintas, argumen yang diajukan beberapa kalangan agar tokoh agama tidak berpolitik sangat luhur dan mulia. Sebagian kalangan itu sepertinya menghendaki agar kesucian, keluhuran moral, dan tugas mulia para kiai yang ada di dunia ‘lain’ harus tetap terjaga dari ‘kubangan’ politik yang penuh dengan kenistaan.
Berpolitik dan berdakwah bagi tokoh agama bagaikan dua sisi mata uang. Berdakwah dan berpolitik sama-sama pentingya. Sejarah politik Islam memberikan pelajaran kepada kita, ketika Nabi wafat persoalan yang pertama muncul adalah persoalan politis, yakni soal pengankatan wakil pemipin negara Madinah pasca Nabi. Namun dengan semangat kebersamaan, tokoh-tokoh politik kelompok anshar harus menerima pengangkatan Abu Bakar yang muhajirin untuk memimpin negara Madinah pasca Nabi.
Dengan paradigma tokoh-tokoh anshar di atas, berpolitik atau masuk ke salah satu parpol, diharapkan bisa menyuarakan kebenaran. Inilah mungkin prinsip-prinsip yang dipraktekkan Rasulullah SAW selama memimpin komunitas muslim di Madinah, bisa menjadi semangat berpolitik para tokoh agama.
Tentu benar bahwa ketika tokoh agama berpolitik, maka akan muncul permasalahan, baik berkaitan dengan penggunaan otoritas dan penggunaan legitimasi, maupun pada substansi keterlibatan tokoh agama dalam politik praktis. Tokoh agama harus melakukan perannya sesuai dengan posisi dan kedudukannya di partai politik dimanapun berada.
Peran itu berupa tugas pencerahan bagi umat manusia sesuai dengan kedudukannya sebagai para pewaris Nabi. Peran itu biasa disebut dengan ‘amar ma’ruf nahi munkar. Sedang rinciannya adalah tugas untuk: (a) mendidik umat di bidang agama dan lainnya, (b) melakukan kontrol terhadap masyarakat, (c) memecahkan problem yang terjadi di masyarakat, (d) menjadi agen perubahan sosial. Kesemua tugas itu, akan berusaha dijalankan oleh para ulama’ sepanjang hidupnya, meski jalur yang ditempuh berbeda.
Tulisan ini bermaksud melakukan penelusuran konsep fiqh siyasah berkaitan dengan eksistensi partai politik dalam sejarah politik Islam. Hal ini penting agar prinsip-prinsip yang pernah dilakukan dalam sejarah bisa dijadikan sebagai reverensi bagi para tokoh agama yang bergelut di bidang politik sekarang dan masa yang akan datang. Partai politik Islam tidak haya berlebelkan Islam tetapi secara substansial partai politik Islam harus bisa mencerminkan nilai-nilai Islam yang humanis dan membumi.
Secara tegas sejarah politik Islam tidak memberikan contoh tentang partai politik. Partai politik baru dikenal pada masa moden ini. Apa yang bisa kita cari adalah benih-benih partai politik yang telah dilakukan pada masa lampau khususnya Islam awal.
Peristiwa tsaqifah bani saidah misalnya yang dikenal sebagai cikal bakal politik Islam, bisa menjadi model munculnya partai politik dalam sejarah politik Islam. Kelompok ansar yang merupakan penduduk asli Madinah secara bersama-sama atau berkelompok merasa bertanggungjawab atas keberlangsungan “negara” Madinah yang telah didirikan oleh Nabi dan sahabat-sahabatnya.
Kelompok ini semula memandang bahwa secara politis negara Madinah harus duteruskan dengan cara mencari pengganti Nabi sebagai khalifah di Madinah. Nabi tidak pernah memberikan petunjuk atas apa yang harus dilakukan apabila kelak nanti sahabat ditinggalkan Nabinya. Mereka bermusyawarah dan berkesepakatan bulat memilih Abu Ubaidah sebagai pemimpin pengganti Nabi Muhammad. Hal ini didasarkan kepada integritas Abu Ubaidah sebagai sahabat senior dan mumpuni dalam persoalan politik kenegaraan.
Sebelum Abu Ubaidah dibaiat kaum Anshar, Abu Bakar dan Umar dating dan menganulir kesepakatan yang dihasilkan. Mensikapi permintaan Umar ini kaum Anshar berselisih ada yang menerima dan ada yang menolak bahkan mengancam akan tetap mempunyai pemimpin dari kaum Anshar meski telah dianulir oleh sahabat Abu Bakar dan Umar.
Namun demi persatuan dan kesatuan umat Islam saat itu, mayoritas kaum anshar menerima permohonan Umar yang pada akhirnya meilih Abu Bakar sebagai khalifah pasca meninggalnya Nabi. Alasan Umar, Abu Bakar adalah sahabat yang paling pantas untuk memimpin umat Islam saat itu. Demi kebersamaan akhirnya kaum Anshar dan Muhajirin membaiat Abu Bakar sebagai khalifah.
Ketika dibaiat oleh kaum muslin di tsaqifah bani saidah, Abu Bakar meminta kepada seluruh kaum muslimin, apabila mendapatinya kesalahan dan kekurangan untuk segera mengingatkan atau mengkritiknya. Hal ini karena Abu Bakar menyadari bahwa dirinya adalah manusia biasa yang diberi amanat kaum muslimin untuk memimpin. Tak ada salahnya kalau kaum muslimin melakukan kritik demi kebaikan bersama.
Namun berbeda dengan Umar karena mengetahui keinginan dan harapan kaum Anshar, Khalid bin Walid dengan segala kelebihan dan kekurangannya diganti dengan Abu Ubaid yang dari Anshar. Ini adalah respon Umar atas aspirasi kaum anshar yang menginginkan ada ada rekrutmen kader dari kaum anshar.
Beberapa peristiwa politik yang terjadi pada zaman klasik bisa kita baca melalui tulisan-tulisan para pujangga politik muslim seperti Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun maupun Al-Mawardi dan Al-Farra. Tokoh-tokoh ini menjadi rujukan awal dalam sejarah politik di samping buku-buku sejarah klasik seperti Tarikh al-Umam wa al-Muluknya al-Thabari, Ibn Atsir, dan Sirah Nabawi-nya Ibn Hisyam.
Al-Mawardi misalnya dalam buku al-Ahkam al-Sulthaniyah memperkenalkan konsep Makzul, yang menurunkan imam (khalifah) apabila seorang pemimpin itu kedapatan melakukan maksiyat terhadap Allah. Ini mengandung maksud bahwa seorang pemimpin harus mengabdikan dirinya untuk kemaslahatan umat dan agamanya.
Sementara Ibn Taimiyah yang hidup pasca al-Mawardi mengalami masa yang dilematis. Sebagai seorang intelektual muslim, Ibn Taimiyah menginginkan system ketatanegaraan yang ideal. Kasus pemilihan kepala negara (khalifah) tidak harus didasarkan pada berbagai kualifikasi yang terukur. Untuk itu beliau hanya mensyaratkan dua sifat yakni; sifat amanah dan sifat quwwah. Namun ide Ibn Taimiyah yang fleksibel ini susah diwujudkan karena terbentur dengan beberapa hal, di antaranya suasana pemerintahan yang sedang mengalami kemunduran.
Gagasan Partai Politik
1). Pengertian Partai Politik
Partai politik secara etomologis berasal dari kata partai dan politik. Kata "partai" berasal dari bahasa Inggris "part" yang berarti menunjuk kepada sebagian orang yang seazaz, sehaluan, dan setujuan terutama di bidang politik. Sedangkan politik yang dalam bahasa Inggris politics berarti ilmu yang mengatur ketatanegaraan, atau seni mengatur dan mengurus negara dan ilmu kenegaraan.
Jadi partai politik adalah perkumpulan orang-orang yang seidiologi atau tempat/wadah penyaringan dan pembulatan, serta tempat berkumpulnya orang-orang yang seide, cita-cita dan kepentingan.
Para ahli politik seperti PJ. Bouman, Carl J. Friedrich, dan Mac Iver juga mengartikan partai politik sebagai: sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil.
Secara umum dapat dikatakan, partai politik adalah suatu kelompok yang teorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara konstitusionil, serta menumbuhkan partisipasi masyarakat.
Partisipasi politik merupakan salah satu bentuk dari berbagai kegiatan yang dilakukan partai politik. Partisipasi politik mencakup semua kegiatan seperti turut serta dalam proses pemilihan pemimpin¬ politik baik secara langsung atau tak langsung, kegiatan memilih dalam pemilihan umum, duduk dalam lembaga politik seperti dewan perwakilan rakyat atau mengadakan komunikasi dengan wakil-wakil rakyat yang duduk dalam badan itu, berkampanye, menghadiri kelompok diskusi dan sebagainya.
Dalam kepustakaan ilmu politik, ditemukan beberapa definisi yang berbeda mengenai partai politik. Namun ilmuwan politik tersebut tidak menyertakan aspek ideologi dalam menyusun definisi partai politik. Ramlan Surbakti menduga, hal itu disebabkan oleh pengaruh pandangan di Barat bahwa ideologi telah mati. Padahal pada kenyataannya setiap negara pasti memiliki ideologi, apakah bersifat doktriner, pragmatis atau jalan tengah dari keduanya, dan hal ini tercermin dalam partai yang ada di negara bersangkutan, terlepas dari keragaman definisi ideologi yang dipakai oleh setiap partai politik.
Karena itulah Ramlan Surbakti merumuskan partai politik sebagai Kelompok anggota yang terorganisasi secara rapi dan stabil yang dipersatukan dan dimotivasi dengan ideologi tertentu, dan yang berusaha mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan melalui pemilihan umum dan cara-cara lain yang sah guna melaksanakan alternatif kebijakan umum yang mereka susun, sebagai hasil dari pemaduan berbagai kepentingan yang hidup dalam masyarakat.
Dari sinilah kemudian muncul istilah partai Islam, atau partai yang dilandasakan pada symbol-simbol Islam, penganut Islam maupun substansi ajaran Islam. Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim tak bisa mengelakkan dengan menjamurnya partai-partai yang menamakan dirinya sebagai partai Islam, baik yang secara tekstuial maupun substansial.
Tentunya pembahasan bagaimana format dan bentuk partai Islam tidak lepas dari pola hubungan Islam dan politik yang sekarang ini berkembang di tengah masyarakat Indoensia. Partai Islam semacam Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangaunan serta Partai Bulan Bintang secara tegas menamakan dirinya partai Islam. Sementara Partai Kebangkitan Bangsa serta Partai Amanat Nasional yang jelas berlatarbelakang dirinya organisasi sosial keagamaaan menamakan dirinya sebagai partai terbuka bagi penganut agama manapun.
Bentuk lain adalah partai seperti Partai Golongan Karya, atau Partai Demokrat yang banyak orang muslimnya bukan partai yang berdasarkan Islam. Namun sebagai pribadi-pribadi para anggota partai Golkar atau Demokrat banyakyang mencoba melakukan agregasi terhadap kepentingan-kepentingan umat Islam.
Untuk itu format dan bentuk partai Islam perlu dirumuskan baik sebagai kontektualisasi ajaran Islam maupun sebagai sumbangan Islam terhadap perkembangan politik di Indonesia.
2). Fungsi Partai Politik
Untuk mengetahui efgektif atau tidakny a sebuah partai politik, maka kita peerlu melihat kinerja maupun dfungsi-fungsi yang sudah dilakukan oleh sebuah partai politik.
Dalam Undang-Undang Partai Politik Nomor 31 tahun 2002, partai politik mempunyai beberapa fungsi di antaranya:
1. Pendidikan politik bagi anggotanya(political education);
2. Sebagai sarana persatuan dankesatuan bangsa
3. Penyalur aspirasi masyarakat
4. Partisipasi politik warga
5. Rekrutmen politik(political selection);
Dalam praktik politik di hampir negara-negara modern saat ini, baik yang bercorak demokratis maupun totaliter, kehadiran partai politik tidak dapat dielakkan. Di negara-negara demokratis, partai politik dipakai sebagai sarana untuk mewujudkan hak rakyat dalam menentukan figur-figur yang akan menjadi pemimpinrrya. Sedangkan di negara-negara totaliter, partai didirikan oleh elite politik dengan pertimbangan bahwa rakyat perlu dibina agar tercipta stabilitas yang berkelanjutan.
Di antara fungsi-fungsi sebuah partai poltik yang utama adalah sebagai berikut:
1. Partai politik adalah media penyaluran aspirasi
Dalam masyarakat modern pendapat dan aspirasi seseorang atau suatu kelompok merupakan suara rakyat yang harus disalurkan sesuai dengan kran demokrasi. Sekecil apapun suara, suara rakyat harus mendapatkan porsi yang layak, karena sesungguhnya kebijakan negara akan kembali untuk kesejahteraan rakyat. Tentunya suara rakyat berbagai ragam macam dan bentuknya. Oleh karena itu partai politik harus mampu untuk menyeleksi dan mengambil yang paling aspiratif. Proses ini dinamakan "penggabungan kepentingan" (interest aggregation).
Setelah dilakukan interest aggregation, suara-suara ini harus menjadi kebijakan negara agar bias direalisasikan dalam kehidupan riil. Proses ini dinamakan "perumusan kepentingan" (interest articulation). Partai politik selanjutnya merumuskannya sebagai usul kebijaksanaan. Dengan demikian rakyat akan mengetahui dan bermnat untuk menggunakan partai politik sebagai wadah untuk menyampaikan unek-uneknya tanpa harus menggunakan kekerasan maupun protes bagai parlemen jalanan.
Di lain fihak partai politik berfungsi juga untuk memperbincangkan dan menyebarluaskan rencana-rencana dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Dengan demikian terjadi arus informasi serta dialog dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas, di mana partai politik memainkan peranan sebagai penghubung antara yang memerintah dan yang diperintah, antara pemerintah dan warga masyarakat.
2. Partai sebagai sarana pendidikan politik
Fungsi partai politik adalah sebagai sarana sosialisasi politik. Di dalam ilmu politik sosialisasi politik diartikan sebagai proses melalui mana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap phenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat di mana ia berada. Biasanya proses sosialisasi berjalan secara berangsur-angsur dari masa kanak-kanak sampai dewasa. Di samping itu sosialisasi politik juga mencakup proses melalui mana masyarakat menyampaikan norma-norma dan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya.
3. Partai politik sebagai sarana rekruitmen politik
Partai politik juga berfungsi untuk mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai. Dengan demikian partai turut memperluas partisipasi politik. Caranya ialah melalui kontak pribadi, persuasi dan lain-lain. Juga diusahakan untuk menarik golongan muda untuk dididik menjadi kader yang di masa mendatang akan mengganti pimpinan lama. Partai politik sebagai sarana pengatur konflik (conflict management)
Partai Politik dalam Kajian Normatif
Dalam wacana politik Islam kita mengenal ada tiga pola hubungan Islam dengan politik yang dikenalkan oleh Abdurrahman Wahid atau Munawir Syadzali. Pertama pola integrative, yakni Islam dipandang sebagai agama yang kaffah sehingga Islam mengatur segala persoalan baik yang berdinensi ke-Tuhanan, maupun berdimensi keduniaan termasuk persoalan politik. Bagi kelompok ini aturan politik dalam Islam haruslah bersifat menyeluruh, sehingga bagi kelompok ini partai Islam harus berlandaskan kepada Alqur’an dan Assunnah.
Kedua, pola sekularistik yakni faham yang menyatakan bahwa Islam itu agama yang mengatur persoalan-persoalan individual yang berhubungan dengan Tuhannya. Persoalan keduniaan tidak diatur secara detail dan bahkan Tuhan memberikan kebebasan kepada umatnya. Oleh karena itu dalam persoalan politik tidak ada kewajiban bagi umat Islam untuk berpartai politik yang berlandaskan kepada ajaran-ajaran Islam. Apalagi wajib berlandasakan kepa Alqur’an dan Assunnah.
Ketiga, pola hubungan yang simbiotik di mana kelompok ini mengakui bahwa Islam adakah agama universal. Islam memberikan prinsip-prinsip kehidupan keduniaan termasuk bidang politik. Bagi kelompok ini partai politik adalah urusan keduniaan, sehingga ajaran Islam hanya mengatur prinsip-prinsip politik secara umum, seperti prinsip al-adalah, al-musawa, dan al-hurriyyah.
Tiga pola ini yang secara paradigmatik menjadi dasar tulisan ini dalam melakukan format ulang terhadap partai politik perspektif Islam.
a. Prinsip-prinsip politik dalam Islam
Sebagai sebuah ajaran yang universal, Islam memberikan pedoman bagi seluruh kehidupan umat manusia, baik kehidupan di dunia ini maupun kelak di akhirat nanti. Ajaran Islam selalu berdimensi dunia dan akhirat, meski terkadang kita umat Islam belum mampu mengungkap dimensinya. Rukun Islam yang lima seperti shalat misalnya, tidak saja berarti ibadah mahdhah kepada Allah, tetapi juga mempunyai dimensi keduniaan seperti kedisiplinan waktu, kebersamaan dalam berjamaah dan sebagainya. Zakat dan haji juga kental dengan dimensi duniawinya.
Begitu juga dengan prinsip-prinsip politik yang terdapat dalam ajaran Islam mempunyai nilai ibadah sekaligus nilai-nilai keduniaan yang humanis dan fleksibel. Beberapa prinsip yang ada antara lain: prinsip persatuan dan kesatuan (QS. Al-Baqarah; 213), kepastian hukum dan keadilan (QS. An-Nisa:58), kepemimpinan (QS, Nisa:59), musyawarah (QS. As-Syura: 38), persaudaraan (QS. Al-hujurat:2), dan tolong menolong (QS. Al-Maidah:2).
Negara Islam Madinah yang berdiri setelah Nabi dan sahabatnya hijrah ke Madinah, merupakan kesempatan pertama kepada Nabi Muhammad untuk membuktikan bahwa Islam bukan saja sebagai agama ritual, sebagaimana agama-agama sebelumnya. Islam adalah agama sekaligus mengajarkan tuntunan bernegara dan bermasyarakat.
Tentu saja format pemerintahan yang digagas oleh Nabi tidak secara mutlak ditetapkan dalam Al-Qur’an karena sesungguhnya Al-Qur’an adalah korpus yang bisa diinterpretasikan oleh umat Nabi hingga akhir masa. Islam hanya mengajarkan nilai-nilai universal yang berkaitan dengan konsep negara Islam.
Sebagai seorang pemimpin pemerintahan, Nabi berpegang kepada ajaran-ajaran Islam dalam Al-Qur’an dan Assunnah. Konsep kepemimpinan yang dikembangkan oleh Nabi adalah konsep yang menekankan pada aspek musyawarah dan menghargai heteroginitas. Hal ini tercermin dalam banyak perilaku politik yang dilakukan oleh Nabi.
Pada saat awal Nabi masih di Madinah adalah mendirikan Masjid dan membuat Perjanjian Madinah atau dikenal dengan : “Piagam Madinah”. Pembuatan masjid di Madinah merupakan upaya Nabi baik secara keagamaan maupun politis menggalang persatuan ummat atau kaum muslimin yang sudah menjadi satu daerah yaitu Madinah. Sebagaimana kita ketahui suku Quraisy yang berasal dari Makkah terdiri dari suku Aus dan Khzraj, dua suku kuat yang hingga masuk Islam masih sering terjadi kontak senjata antar dua suku. Melalui media Masjid, Nabi berupaya untuk mempertemukan sesering mungkim kaum muslimin untuk memikirkan bersama keberlangsungan Islam atau negara Islam Madinah di tengah ancaman kaum musyrik Makkah.
Sementara untuk menggalang persatuan antar penduduk muslim dan non-muslim yakni kaumYahudi di kota Madinah, Nabi membuat piagam Madinah yang menjadi symbol kebersamaan antar ummat dengan kaum Yahudi. Di sinin jelas bahwa Nabi Muhamad menjunjung pluralitas suku agama dan bangsa. Perjanjian Madinah inilah yang hingga kimni masih banyak dicontoh sebagai landasan menjalin ukhuwwah wathaniyah sesama warga negara. Inilah yang oleh Phillip K Hitti disebut sebagai miniatur negara bangsa Madinah.
Sebagai seorang pemimpin pemerintahan, Nabi memimpin jalannya pemerintahan negara Madinah. Namun sebagai orang yang menjunjung musyawarah dan kebersamaan, Nabi Muhammad membuat strata pemerintahan. Beberapa prinsip pemerintahan yang dikembangkan oleh Nabi berdasarkan kepada ayat-ayat Al-Qur’an seperti:
1. Prinsip equality (Al-Musawa)
2. Prinsip Independen (Al-Hurriyyah)
3. Prinsip Pluralisme (Taaddudiyah)
Prinsip-prinsip ini yang kemudian dikembangkan menjadi prinsip berbangsa dan bernegara hingga sekarang ini kita kenal. Universalisme prinsip ini tidak saja bias dikembangkan di negara-negara Islam tetapi juga di negara-negara non-muslim.
b. Latar belakang sosial-historis
Secara tegas sejarah politik Islam tidak memberikan contoh tentang partai politik. Partai politik baru dikenal pada masa moden ini. Apa yang bisa kita cari adalah benih-benih partai politik yang telah dilakukan pada masa lampau khususnya Islam awal.
Peristiwa tsaqifah bani saidah misalnya yang dikenal sebagai cikal bakal politik Islam, bisa menjadi model munculnya partai politik dalam sejarah politik Islam. Kelompok ansar yang merupakan penduduk asli Madinah secara bersama-sama atau berkelompok merasa bertanggungjawab atas keberlangsungan “negara” Madinah yang telah didirikan oleh Nabi dan sahabat-sahabatnya.
Kelompok ini semula memandang bahwa secara politis negara Madinah harus duteruskan dengan cara mencari pengganti Nabi sebagai khalifah di Madinah. Nabi tidak pernah memberikan petunjuk atas apa yang harus dilakukan apabila kelak nanti sahabat ditinggalkan Nabinya. Mereka bermusyawarah dan berkesepakatan bulat memilih Abu Ubaidah sebagai pemimpin pengganti Nabi Muhammad. Hal ini didasarkan kepada integritas Abu Ubaidah sebagai sahabat senior dan mumpuni dalam persoalan politik kenegaraan.
Sebelum Abu Ubaidah dibaiat kaum Anshar, Abu Bakar dan Umar dating dan menganulir kesepakatan yang dihasilkan. Mensikapi permintaan Umar ini kaum Anshar berselisih ada yang menerima dan ada yang menolak bahkan mengancam akan tetap mempunyai pemimpin dari kaum Anshar meski telah dianulir oleh sahabat Abu Bakar dan Umar.
Namun demi persatuan dan kesatuan umat Islam saat itu, mayoritas kaum anshar menerima permohonan Umar yang pada akhirnya meilih Abu Bakar sebagai khalifah pasca meninggalnya Nabi. Alasan Umar, Abu Bakar adalah sahabat yang paling pantas untuk memimpin umat Islam saat itu. Demi kebersamaan akhirnya kaum Anshar dan Muhajirin membaiat Abu Bakar sebagai khalifah.
Ketika dibaiat oleh kaum muslin di tsaqifah bani saidah, Abu Bakar meminta kepada seluruh kaum muslimin, apabila mendapatinya kesalahan dan kekurangan untuk segera mengingatkan atau mengkritiknya. Hal ini karena Abu Bakar menyadari bahwa dirinya adalah manusia biasa yang diberi amanat kaum muslimin untuk memimpin. Tak ada salahnya kalau kaum muslimin melakukan kritik demi kebaikan bersama.
Masih dalam pandangan siyasah, Abu Ubaidah yang menjadi pemimpin Anshar tidak mendapat tempat di pemerintahan Abu Bakar. Abu Bakar lebih banyak mengutamakan sahabat-sahabat yang lebih dulu masuk Islam sebagai pejabat negara. Khalid bin Walid al-Makhzumi misalnya, diangkat sebagai panglima tertinggi angkatan perang. Umar Utsman dan Ali dijadikan sebagai staf ahlinya.
Namun berbeda dengan Umar karena mengetahui keinginan dan harapan kaum Anshar, Khalid bin Walid dengan segala kelebihan dan kekurangannya diganti dengan Abu Ubaid yang dari Anshar. Ini adalah respon Umar atas aspirasi kaum anshar yang menginginkan ada ada rekrutmen kader dari kaum anshar.
Sebagai khalifah yang dikenal aspiratif, Umar juga pernah menyatakan di saat baiat agar masyarakat jangan takut untuk mengkritiknya. Karena sesungguhnya khalifah adalah khadimul ummah, yang melayani umat Islam, sehingga tugas utamanya adalah memberikan solusi terhadap apa yang dirasakan umatnya. Sebagai manusia biasa beliau meinta kaum muslimin mengingatkan segala tindakannya agar tetap sesuai dengan ajaran Rasulallah SAW.
Beberapa peristiwa politik yang terjadi pada zaman klasik bisa kita baca melalui tulisan-tulisan para pujangga politik muslim seperti Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun maupun Al-Mawardi dan Al-Farra. Tokoh-tokoh ini menjadi rujukan awal dalam sejarah politik di samping buku-buku sejarah klasik seperti Tarikh al-Umam wa al-Muluknya al-Thabari, Ibn Atsir, dan Sirah Nabawi-nya Ibn Hisyam.
Al-Mawardi misalnya dalam buku al-Ahkam al-Sulthaniyah memperkenalkan konsep Makzul, yang menurunkan imam (khalifah) apabila seorang pemimpin itu kedapatan melakukan maksiyat terhadap Allah. Ini mengandung maksud bahwa seorang pemimpin harus mengabdikan dirinya untuk kemaslahatan umat dan agamanya. Meski pemimpin telah dibaiat dan disepakati oleh kaum muslimin tetapi masyarakat harus melakukan kontrol bahkan boleh melakukan mosi tidak percaya atas perbuatan pemimpin yang dhalim.
Ajaran politik Islam bukanlah sebagai konsep langit, tetapi konsep bumi. Ini diharapkan bisa menjadi model bagi masyarakat bangsa menjadi politisi yang baik dan benar. Politik bukan selamanya kalah dan menang sebagaimana yang distigmakan sekarang ini. Tetapi sisi positif dari berpolitik itu lebih besar dari pada ungkapan streotip tadi. Meski baru mencari landasan normatif dan historis tetapi upaya ini perlu dilanjutkan dimasa yang akan datang.
Pemikiran Partai Politik dalam Sejarah Politik Islam
Salah satu ciri pemikiran politik sunni adalah menekankan pada faham khilafah centries, yakni kepala negara atau khilafah menempati posisi yang sangat kuat dalam politik kenegaraan. Sebaliknya, rakyat hanya dijadikan penonton yang harus mentaati segala perintah kepala negaranya. Ketaatan dan kepatuhan yang berlebihan ini di dasarkan pada teks-teks Al Qur’an seperti QS. Al-Nisa:59 dan QS Al-An’am: 165.
Pencirian tersebut tentunya didasarkan pada latar belakang dan kecenderungan tokoh-tokoh sunni dalam persoalan politik kenegaraan, semisal Al-Mawardi dan Ibn Taimiyah. Mereka berdua adalah tokoh ilmu politik Islam yang hidup di lingkungan negara Islam yang sedang mengalami kemunduran, terutama setelah berkobarnya perang suci atau perang salib antara tentara Islam dengan tentara.
Pembahasan tentang pokok-pokok pemikiran Ibn Taimiyah dan Al-Mawardi itu dirasa penting karena keduanya memiliki banyak kesamaan. Namun sebagai sebuah karya yang tidak dalam satu waktu dan tempat, keduanya memiliki beberapa perbedaan sesuai dengan latar belakang masing-masing.
1) Perdebatan tentang konsep Imamah
Sebelum masuk pada pembahasan tentang pokok-pokok pikiran tentang partai politik, perlu ditelusuri terlebih dulu pandangan al-Mawardi dan Ibn Taimiyah tentang institusi imamah. Pembahasan ini sangat penting karena beraitan dengan persoalan fundamental yang menyangkut hak-hak politik warga.
Bagi al-Mawardi, institusi imamah diwujudkan dalam rangka melindungi kepentingan agama dan mengatur kehidupan dunia. Hal ini didasarkan pada ijma ulama yang menganggap bahwa perwujudan itu bersifat fardu kifayah. Di samping itu juga didasarkan pada realitas empirik selama masa Nabi, al-khulafa al-rasyidin, dan imperium bani Abbasyiyah dan Umayyah yang merupakan lambang kesatuan politik Islam.
Pandangan ini memberikan implikasi bahwa sejarah politik pada masa Nabi, khalifah, dan pasca khalifah menjadi ”sunnah” yang wajib diikuti oleh kaum-kaum sesudahnya. Fakta ini menjadi terjemahan atas teks-teks agama yang secara umum mewajiban kepatuhan rakyat atas penguasa.
Menghukumi fardu kifayah dalam persoalan institusi imamah merupaan contoh tentang pendekatan fiqh dalam politik di kalangan ulama sunni. Meski seharusnya fiqh bersifat mengikat bagi kaum muslimin, namun kefarduan imamah ini lebih didasarkan pada alasan sosiologis, bukan alasan teologis. Sekelompok manusia yang berkumpul lebih dari dua maka seharusnya salah satu menjadi pemimpin. Karena tanpa ada pemimpin kelompok atau komunitas itu akan hilang dengan sendirinya.
Dalam perspektif ilmu politik kepemimpinan dibutuhkan manakala terjadi perkumpulan antara beberapa orang yang mempunyai tujuan bersama. Sekelompok manusia yang berkelompok menjadi sebuah komunitas politik. Dan komunitas politik itu dapat membentuk Negara manakala memenuhi unsur-unsur terbentuknya suatu Negara; yakni pertama, adanya wilayah yang meliputi wilayah darat, laut, dan udara. Kedua, adanya rakyat, yakni semua orang yang ada di wilayah Negara itu dan yang tunduk pada kekuasaan dari Negara tersebut, baik menggunakan asas ius sanguinis (keturunan) maupun asas ius soli (tempat tinggal/tempat kelahiran). Ketiga terwujudnya pemerintahan yang berkuasa atas seluruh rakyat dan daerahnya, dan keempat terpenuhinya pengakuan dari Negara lain atas eksistensi Negaranya sendiri.
Sekadar menjelaskan, bahwa al-Mawardi mendasarkan teori politiknya atas kenyataan yang ada dan kemudian secara realistik menawarkan saran-saran perbaikan atau reformasi, misalnya dengan mempertahankan status quo. Dia menekankan, bahwa khalifah harus tetap berbangsa Arab dari suku Quraisy. Wazir Tafwidh atau pembantu utama Khalifah dalam penyusunan kebijakan harus berbangsa Arab, dan bahwa perlu ditegaskan persyaratan bagi pengisian jabatan kepala negara serta jabatan pembantu-pembantunya yang penting.
Bagi al-Mawardi, imam (yang dalam pemikirannya adalah seorang raja, presiden, sultan) merupakan sesuatu yang niscaya yang keberadaannya sangat penting dalam suatu masyarakat atau negara. Karena itu, jelasnya, tanpa imam akan timbul suasana chaos. Manusia menjadi tidak bermartabat, begitu juga suatu bangsa menjadi tidak berharga. Dengan demikian, al-Mawardi memberikan juga baju agama kepada jabatan kepala negara di samping baju politik. Kemudian dipertegas lagi bahwa Allah mengangkat seorang pemimpin untuk umatnya sebagai pengganti (khalifah) nabi, untuk mengamankan agama, dengan disertai mandat politik. Di sinilah muncul pemahaman bahwa seorang imam di satu pihak adalah pemimpin agama, dan di lain pihak adalah pemimpin politik.
Sebelumnya, al-Mawardi menjelaskan bahwa diperlukan dua hal dalam proses pemilihan atau seleksi. Pertama, ahl al-ikhtiar atau mereka yang berwenang untuk memilih imam bagi umat. Mereka harus memenuhi tiga syarat: 1). memiliki sikap adil; 2). memiliki ilmu pengetahuan yang memungkinkan mereka mengetahui siapa yang memenuhi syarat untuk diangkat sebagai imam; dan 3). memiliki wawasan yang luas dan kearifan yang memungkinkan mereka memilih siapa yang paling tepat untuk menjadi imam, dan paling mampu mengelola kepentingan umat di antara mereka yang memenuhi syarat untuk jabatan-jabatan itu.
Kedua, ahl al-imamah, atau mereka yang berhak mengisi jabatan imam. Mereka harus memiliki tujuh syarat: 1). sikap adil dengan segala persyaratannya; 2). ilmu pengetahuan yang memadai untuk ijtihad; 3). sehat pendengaran, penglihatan dan lisannya; 4). Utuh anggota-anggota tubuhnya; 5). Wawasan yang memadai untuk mengatur kehidupan rakyat dan mengelola kepentingan umum; 6). keberanian yang memadai untuk melindungi rakyat dan mengenyahkan musuh; dan 7). Keturunan Quraisy.
Lantas bagaimana ketentuan seorang imamah yang dianggap legal? Dalam hal ini, al-Mawardi menjelaskan, jabatan imamah (kepemimpinan) dinilai sah apabila memenuhi dua metodologi. Pertama, dia dipilih oleh parlemen (ahl al-halli wa al-‘aqdi). Mereka inilah yang memiliki wewenang untuk mengikat dan mengurai, atau juga disebut model “ahl al-Ikhtiar”. Kedua, ditunjuk oleh imam sebelumnya (wasiat imam sebelumnya). Dalam hal ini, model pertama dinilai memang selaras dengan demokrasi dalam konteks modern. Sementara, tipe kedua, al-Mawardi merujuk pada eksperimen sejarah, yakni pengangkatan Khalifah Umar bin Khattab oleh khalifah sebelumnya, Abu Bakar Ash Shiddiq. Sebelumnya juga ada rujukan sejarah, lewat pemilihan “dewan formatur” yang memilih khalifah Utsman juga dipilih oleh khalifah sebelumnya, Umar bin Khattab.
Dalam masalah pemecatan seorang khalifah, al-Mawardi menyebutkan dua hal yang mengubah kondisi dirinya, dan karenanya Ia harus mundur dari jabatannya itu. Pertama, cacat dalam keadilannya (bisa disebabkan akibat syahwat, atau akibat syubhat. Kedua, cacat tubuh.
Dalam kaitan ini adalah cacat pancaindera (termasuk cacat yang menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai seorang imam, seperti hilang ingatan secara permanen, hilang penglihatan). Selain itu, juga cacat organ tubuh, dan cacat tindakan. Sedangkan cacat yang tidak menghalangi untuk diangkat sebagai imam, seperti cacat hidung yang menyebabkan tidak mampu mencium bau sesuatu, cacat alat perasa, seperti membedakan rasa makanan.
Berbeda dengan Ibn Taimiyah yang berpendapat bahwa mengatur urusan umat memang merupakan bagian dari kewajiban agama, namun hal ini bukan berarti bahwa agama tidak dapat hidup tanpa negara. Untuk itu Ibn Taimiyah mendapat bahwa ijma bukan sebagai dalil kewajiban tersebut. Sebaliknya Ibn Taimiyah menolak ijma dan menawarkan pendekatan sosiologis dalam mengatur urusan umat.
Bagi Ibn Taimiyah penegakan imamah itu tidak berdasarkan pada ijma tetapi pada kebutuhan praktis sosiologis. Implikasinya Ibn Taimiyah menolak kekuasaan Bani Umayyah dan Bani Abbasyiyah sebagai pijakan dalam persoalan-persoalan keagamaan.
Meski demikian menurut Ibn Taimiyyah, imamah atau kepemimpinan dalam sebuah komunitas masyarakat merupakan kewajiban yang amat penting. Menurutnya sebuah komunitas masyarakat tanpa pemimpin akan berujung pada kondisi chaos, karena pada dasarnya manusia memiliki sifat homo homini lupus, siapa yang kuat dia-lah yang akan berkuasa. Oleh karena itu kondisi tanpa pemimpin lebih jelek daripada sebuah komunitas yang dipimpin oleh orang yang dhalim dan bodoh.
2). Ahl Halli Wal Aqdi: Ide Partai Politik Versi Al-Mawardi
Apa yang digagas oleh dua tokoh Ibn Taimiyah dan al-Mawardi tentang Ahl Halli Wal Aqdi –atau ahl al-syaukah dalam bahasa Ibn Taimiyah--, memberikan pandangan bahwa cita-cita partai politik sudah dikonsepkan oleh dua tokoh tersebut.
Menurut al-Mawardi dlam pemilihan kepala negara harus ada dua institusi; ahl al-ikhtiyar (sekelompok orang yang berhak memilih) dan ahl imamah (sekelompok orang yang berhak menjadi imam). Selanjutnya al-Mawardi mensyaratkan ahl al-ikhtiyar harus adil, punya wawasan yang luas dan bijaksana, agar mampu memilih imam yang bagus. Bagitu juga ahl al-imamah harus memenuhi tujuh syarat di antaranya harus suku quraisy.
Ahl al-ikhtiyar atau selanjutnya disebut ahl al-hilli al-aqdi berhak memilih imam atau kepala negara. Bahkan menurut al-Mawardi mengangkat imam bisa juga diwasiatkan oleh kepala negara sebelumnya kepada calon imam yang aan datang. Menurutnya kebolehan ini berbdasarkan apa yang pernah dilakukan oleh Abu Bakar ketika meninggalkan kekhalifahannya. Sebelum Abu Bakar meninggal beliau menunjuk Umar dan kemudian Umar dibaiat oleh kaum muslimin.
Baiat mutlak diperlukan sebagai tanda kesepakatan politik antara pemilih dan yang dipilihnya. Secara garis besar kepala negara terpilih mempunyai beberapa tugas dan kewajiban; memelihara agama, melaksanakan hukum yang adil, memelihara keamanan negara, menegakkan hudud, membentengi negara ari mususg, memungut fai dan zakat, membagian kepada mustahiq, menyampaikan amanah, memperhatikan rakyatnya secara politis. Dengan tugas dan kewajiban tersebut, maka ada hak bagi kepala negara untuk menuntut kesetiaan rakyat kepada pemimpinnya.
Al-Mawardi juga menegaskan apabila kepala negara di tengah jalan melanggar apa yang diwajibkan kepadnya seperti tidak adanya amanah maka hak masyaraat adalah memakzulkan imam, yakni menurunkan imam demi hukum.
Yang menjadi persoalan adalah ketidak tegasan al-Mawardi tentang prosedur pemilihan Ahl Halli Wal Aqdi. Prakteknya Ahl Halli Wal Aqdi diangkat oleh kepala negara, sehingga Ahl Halli Wal Aqdi tidak efektif sebagai alat kontrol bagi kepala negara. Karena mereka diangkat oleh orang yang dikontrolnya. Apalagi al-Mawardi juga berpendapat bahwq kepala negara bisa diangkat berdasarkan wasiat kepala negara sebelumnya.
Dalam bukunya Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah, menyebutkan bahwa pemilihan kandidat diawali dengan meneliti persyaratan kandidat. Kandidat yang memiliki kualitas yang paling tinggilah yang akan dipilih sebagai kepala negara. Namun kesediaan kandidat juga menjadi pertimbangan tersebut. Karena hal ini merupakan kesepakatan kedua belah fihak; pemilih (ahl al-ikhtiyar) dan yang dipilih (ah al- imamah).
Menurut al-Mawardi, ahl imamah mempunyai beberapa tugas dan kewajiban, di antaranya: memelihara agama, melaksnakan hukum di antara rakyatnya dan menyelesaikan perkara yang terjadi agar tidak ada yang teraniaya dan menganiaya, memelihara keamanan dalam negeri, menegakkan hudud, membentuk tentara yang kuat untuk membentengi negara dari musuh, melakukan jihad terhadap orang yang menolak dakwah, memungut harta fai’ dan zakat dari para muzakki, membagikan zakat kepada para mustahiq, menyampaikan amanah, dan meningkatkan segala sesuatu yang dapat meningkatkan politik pemerintahannya.
Begitu juga dengan ahl al-ikhtiyar. Mereka wajib taat terhadap pemimpin negara selagi kepala negara tersebut masih dalam menjalankan tugas kenegaraan. Sebaliknya manakala kepala negara bisa dilengserkan manakala kepala negara menyimpang dari konteks keadilan, kehilangan salah satu fungsi organ tubuhnya atau tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai kepala negara.
Namun al-Mawardi tampak ragu dengan pernyataannya bahwa penyimpangan kepala negara secara otomatis bisa dijadikan dalalah untuk melengserkan kepala negara. Apabila dia bisa memberikan alasan yang rasional, maka perlu dipertimbangkan. Jadi, yang jelas bisa melengserkan adalah alasan-alasan fisikly, seperti hilangnya kesehatan atau berkurangnya fungsi organ tubuhnya. Di samping itu ketidakjelasan al-Mawardi karena beliau tidak menjelaskan bagaimana tehnis untuk pemilihan kepala negara.
Mungkin saja ketidakjelasan ini sebagai keberpihakan al-Mawardi terhadap kekhalifahan Abbasyiah yang disinyalir banyak melakukan pelanggaran dalam kekuasaan. Idealnya seorang khalifah bisa menentukan arah perjalanan pemerintahan secara independent, tanpa ada gangguan dari orang-orang dekatnya. Namun fakta pada masa Abbasyiah, khalifah tidak banyak melakukan apa-apa.
Mestinya andaikata al-Mawardi menjelaskan secara rinci ide-ide besarnya tentang good governance pada saat itu, banyak di antara khalifah dari bani Abbasyiah yang harus lengser demi hukum. Hal ini sangat mungkin karena al-Mawardi sendiri sebagai Qadhi al-Qudhat.
Oleh karena itu untuk mempertahankan prinsip di atas, al-Mawardi merumuskan konsep wazir tafwid dan wazir tanfidz dalam pemerintahan. Wazir yang pertama adalah kementrian yang memiliki kekuasaan yang agak luas. Wazir ini bisa menentukan kebiajkan politik sendiri. Karenanya al-Mawardi mensyaratkan jabatan diisi oleh orang-orang Arab yang setia kepada kepala negara. Sedangkan wazir bentuk kedua tidak memiliki kewenangannya tersendiri.
3) Ahl al-Syaukah, Partai Politik versi Ibn Taimiyah
Sementara itu, Ibn Taimiyah menolak pendapat al-Mawardi yang memberikan wewenang penuh kepada ahl ahl-hilli wa al-aqdi. Bagi Ibn Taimiyah posisi ini akan mengarah pada pengultusan ahl al-hilli, dan akan fatal akibatnya. Beliau menawarkan konsep ahl al-syaukah, yakni mereka yang mempunyai kekuatan. Mereka adalah orang-orang terpandang dari berbagai profesi dan latar belakang yang mempunyai pengaruh dan terpandang di masyarakatnya. Bahkan menurut Ibn taimiyah ebagaimana dikutip oleh Qamarudin khan, istilah ahl hilli tidak dikenal dalam awal sejarah Islam. Istilah ini mulai ditawarkan sejak Abbasyiyah berkuasa.
Pendapat ini berbeda dengan al-Mawardi yang meniscayakan pemilihan kepala negara ada di tangan Ahl Halli Wal Aqdi. Ibn Taimiyah tidak menerima teori khilafah sunni. Ibn Taimiyah menolak pengangkatan kepala negara oleh Ahl Halli Wal Aqdi karena bagi Ibn taimiyah keadaan Ahl Halli Wal Aqdi hanya sebagai stempel atas apa yang didiinginkan oleh kepala negara.
Menurut Qamarudin, Ahl Halli Wal Aqdi tidak dikenal dalam sejarah klasik pra Abbasyiah. Untuk itu perlu dilakukan penelitian ulang atas praktek Ahl Halli Wal Aqdi pada zaman Abbasyiyah. Sangat mungkin apabila Ahl Halli Wal Aqdi mengarah pada terbentuknya sistem kependetaan dalam Kristen, atau imamah di kalangan muslim Syi’ah.
Sebagai alternatif, Ibn Taimiyah menawarkan konsep al-Syaukah, yakni orang-orang dari berbagai profesi dan kedudukan yang dihormati dan ditaati oleh masyarakat. Ahl al-Syaukah inilah yang memilih dan mengangkat kepala negara, kemudian diikuti sumpah setia oleh masyarakat untuk mentaati segala perintahnya. Seorang tidak bisa menjadi kepala negara tanpa dukungan dari ahl al-syaukah.
Pendapat Ibn Taimiyah ini didasarkan pada perilaku politik klasik pada masa al-khulafa al-rasyidun, sewaktu pengangkatan Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Abu Bakar menjadi khalifah pertama kali pasca nabi bukan karena bay’at Umar, tetapi karena baiat sejumlah tokoh-tokoh sahabat senior yang selanjutnya diiringi sumpah setia oleh seluruh kaum muslim pada saat itu. Begiu juga Umar, diangkat sebagai al-khulafa bukan karena wasiat yang diberikan Abu Bakar, tetapi karena disepakati oleh para tokoh sahabat senior. Untuk itu mereka berdua tidak bisa menjadi khalifah tanpa ada baiat dari kaum muslimin.
Ibn Taimiyah menolak keabsahan kepala negara yang dipilih oleh dua atau empat oarang saja, sebgaimana dikemiukakan al-Mawardi. Karena cara-cara semacam bisa menjurus pada pembenaran terhadap pergantian kepala negara yang kekuasaannya dicapai dengan cara paksa.
Bila dikaitkan dengan latar belakang sosial Ibn Taimiyah, pandangannya merupakan refleksi atas kekecewaannya terhadap Abbasyiah. Sejak abad ke IX, sebenarnya bani Abbas sudah mulai mundur yakni pada masa khalifah al-Watsiq (842-874 M) sampai al-Mu’tashim. Mereka lebih banyak berlaku sebagai khalifah boneka, karena secara de facto mereka hanya diperintah oleh pejabat-pejabat di bawahnya.
Namun demikian Ibn taimiyah juga mengakui bahwa sedikit sekali pemimpin yang memiliki kualifikasi dunia sifat yakni wibawa dan adil.
Dari sini lahirnya kontrak antara kepala negara dan rakyat dan terjadilah hak dan kewajiban timbal balik antara keduanya. Kepala negara mempunyai hak untuk ditata dan berkewajiban untuk mencukupi segala kebutuhan warganya. Sebaliknya rakyat juga mempunyai kewajiban untuk taat kepada kepala negara.
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut: Pertama, dalam tradisi fiqh siyasah partai politik diinspirasikan oleh institusi ahl al-halli wal aqdi sebagaimana disebutkan al-Mawardi, atau ahl al-syaukah dalam bahasa Ibn Taimiyah. Institusi ini bertugas untuk mencari, memilih dan menetapkan kepala negara.
Kedua, partai politik dalam perspektif Fiqh Siyasah mendasarkan pada keseimbangan urusan duniawi dan ukhrawi (siyasat al-dunya dan haratsat al-din). Hal ini penting agar partai politik tidak hanya mendasarkan pada idiologi who get what, atau idiologi menang kalah.
Ketiga, dalam pemilihan anggota partai politik, diharuskan diambilkan dari orang-orang yang berpengaruh di masyarakatnya. Apalagi menurut Al-Mawardi para tokoh politik harus memenuhi beberapa kriteria di antaranya adil, bijaksana punya integritas kepribadian, sehat jasmani dan rohani. Hal ini untuk menghindarkan partai politik hanya diisi oleh para pencar keuntungan pribadi.
Bagi sebagian kalangan, kehadiran partai politik Islam seperti Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, Partai Bulan Bintang, atau Partai Keadilan Sejahtera dalam kancah perpolitikan di Indonesia sekarang ini merupakan fragmentasi partai politik Islam tahun 1955-an. Saat itu partai Islam meliputi Masyumi, NU, PSII Partai Syarikat Islam Indonesia, PERTI Perhimpunan Tarbiyah Islamiyah, serta Partai Persatuan Thariqat Indonesia. Tokoh-tokohnya tidak beranjak dari para pimpinan organisasi sosial keagamaan yang menjadi cikal bakal pendiriannya. Tentunya harapan terhadap tokoh-tokoh berlatar belakang agama itu akan bisa memberikan nuansa religius dalam berbagai kegiatan partai politik.
Namun partai politik jelas berbeda dengan organisasi sosial keagamaan seperti NU, `Muhammadiyah maupun lainnya. Organisasi sosial keagamaan menjadikan tokoh-tokohnya untuk berkonsentrasi di bidang keagamaan dan kemasyarakatan. Sedang dunia politik adalah bersifat profan yang meniscayakan adanya kepamrihan, penuh muatan politis, dan tendensius. Banyak politisi berlatar belakang agama, yang pada gilirannya menggiring ke arah logika kekuasaan (the logic of power) yang cenderung kooptatif, hegemonik, dan korup. Akibatnya, kekuatan logika (the power of logic) yang dimiliki tokoh agama, seperti logika moralitas yang mengedepankan ketulusan pengabdian menjadi sirna.
Masyarakat yang mempunyai persepsi bahwa berpolitik itu kotor, lantaran banyaknya prilaku politik dan prilaku politisi yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah politik yang benar. Di sisi lain tokoh agama dianggap sebagai penjaga moralitas umat yang bisa memberika uswah dalam berbagai perilaku kehidupan di masyarakat. Untuk itu tidaklah mungkin seorang tokoh agamawan bisa menjadi seorang tokoh politik pada waktu yang bersamaan.
Sepintas, argumen yang diajukan beberapa kalangan agar tokoh agama tidak berpolitik sangat luhur dan mulia. Sebagian kalangan itu sepertinya menghendaki agar kesucian, keluhuran moral, dan tugas mulia para kiai yang ada di dunia ‘lain’ harus tetap terjaga dari ‘kubangan’ politik yang penuh dengan kenistaan.
Berpolitik dan berdakwah bagi tokoh agama bagaikan dua sisi mata uang. Berdakwah dan berpolitik sama-sama pentingya. Sejarah politik Islam memberikan pelajaran kepada kita, ketika Nabi wafat persoalan yang pertama muncul adalah persoalan politis, yakni soal pengankatan wakil pemipin negara Madinah pasca Nabi. Namun dengan semangat kebersamaan, tokoh-tokoh politik kelompok anshar harus menerima pengangkatan Abu Bakar yang muhajirin untuk memimpin negara Madinah pasca Nabi.
Dengan paradigma tokoh-tokoh anshar di atas, berpolitik atau masuk ke salah satu parpol, diharapkan bisa menyuarakan kebenaran. Inilah mungkin prinsip-prinsip yang dipraktekkan Rasulullah SAW selama memimpin komunitas muslim di Madinah, bisa menjadi semangat berpolitik para tokoh agama.
Tentu benar bahwa ketika tokoh agama berpolitik, maka akan muncul permasalahan, baik berkaitan dengan penggunaan otoritas dan penggunaan legitimasi, maupun pada substansi keterlibatan tokoh agama dalam politik praktis. Tokoh agama harus melakukan perannya sesuai dengan posisi dan kedudukannya di partai politik dimanapun berada.
Peran itu berupa tugas pencerahan bagi umat manusia sesuai dengan kedudukannya sebagai para pewaris Nabi. Peran itu biasa disebut dengan ‘amar ma’ruf nahi munkar. Sedang rinciannya adalah tugas untuk: (a) mendidik umat di bidang agama dan lainnya, (b) melakukan kontrol terhadap masyarakat, (c) memecahkan problem yang terjadi di masyarakat, (d) menjadi agen perubahan sosial. Kesemua tugas itu, akan berusaha dijalankan oleh para ulama’ sepanjang hidupnya, meski jalur yang ditempuh berbeda.
Tulisan ini bermaksud melakukan penelusuran konsep fiqh siyasah berkaitan dengan eksistensi partai politik dalam sejarah politik Islam. Hal ini penting agar prinsip-prinsip yang pernah dilakukan dalam sejarah bisa dijadikan sebagai reverensi bagi para tokoh agama yang bergelut di bidang politik sekarang dan masa yang akan datang. Partai politik Islam tidak haya berlebelkan Islam tetapi secara substansial partai politik Islam harus bisa mencerminkan nilai-nilai Islam yang humanis dan membumi.
Secara tegas sejarah politik Islam tidak memberikan contoh tentang partai politik. Partai politik baru dikenal pada masa moden ini. Apa yang bisa kita cari adalah benih-benih partai politik yang telah dilakukan pada masa lampau khususnya Islam awal.
Peristiwa tsaqifah bani saidah misalnya yang dikenal sebagai cikal bakal politik Islam, bisa menjadi model munculnya partai politik dalam sejarah politik Islam. Kelompok ansar yang merupakan penduduk asli Madinah secara bersama-sama atau berkelompok merasa bertanggungjawab atas keberlangsungan “negara” Madinah yang telah didirikan oleh Nabi dan sahabat-sahabatnya.
Kelompok ini semula memandang bahwa secara politis negara Madinah harus duteruskan dengan cara mencari pengganti Nabi sebagai khalifah di Madinah. Nabi tidak pernah memberikan petunjuk atas apa yang harus dilakukan apabila kelak nanti sahabat ditinggalkan Nabinya. Mereka bermusyawarah dan berkesepakatan bulat memilih Abu Ubaidah sebagai pemimpin pengganti Nabi Muhammad. Hal ini didasarkan kepada integritas Abu Ubaidah sebagai sahabat senior dan mumpuni dalam persoalan politik kenegaraan.
Sebelum Abu Ubaidah dibaiat kaum Anshar, Abu Bakar dan Umar dating dan menganulir kesepakatan yang dihasilkan. Mensikapi permintaan Umar ini kaum Anshar berselisih ada yang menerima dan ada yang menolak bahkan mengancam akan tetap mempunyai pemimpin dari kaum Anshar meski telah dianulir oleh sahabat Abu Bakar dan Umar.
Namun demi persatuan dan kesatuan umat Islam saat itu, mayoritas kaum anshar menerima permohonan Umar yang pada akhirnya meilih Abu Bakar sebagai khalifah pasca meninggalnya Nabi. Alasan Umar, Abu Bakar adalah sahabat yang paling pantas untuk memimpin umat Islam saat itu. Demi kebersamaan akhirnya kaum Anshar dan Muhajirin membaiat Abu Bakar sebagai khalifah.
Ketika dibaiat oleh kaum muslin di tsaqifah bani saidah, Abu Bakar meminta kepada seluruh kaum muslimin, apabila mendapatinya kesalahan dan kekurangan untuk segera mengingatkan atau mengkritiknya. Hal ini karena Abu Bakar menyadari bahwa dirinya adalah manusia biasa yang diberi amanat kaum muslimin untuk memimpin. Tak ada salahnya kalau kaum muslimin melakukan kritik demi kebaikan bersama.
Namun berbeda dengan Umar karena mengetahui keinginan dan harapan kaum Anshar, Khalid bin Walid dengan segala kelebihan dan kekurangannya diganti dengan Abu Ubaid yang dari Anshar. Ini adalah respon Umar atas aspirasi kaum anshar yang menginginkan ada ada rekrutmen kader dari kaum anshar.
Beberapa peristiwa politik yang terjadi pada zaman klasik bisa kita baca melalui tulisan-tulisan para pujangga politik muslim seperti Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun maupun Al-Mawardi dan Al-Farra. Tokoh-tokoh ini menjadi rujukan awal dalam sejarah politik di samping buku-buku sejarah klasik seperti Tarikh al-Umam wa al-Muluknya al-Thabari, Ibn Atsir, dan Sirah Nabawi-nya Ibn Hisyam.
Al-Mawardi misalnya dalam buku al-Ahkam al-Sulthaniyah memperkenalkan konsep Makzul, yang menurunkan imam (khalifah) apabila seorang pemimpin itu kedapatan melakukan maksiyat terhadap Allah. Ini mengandung maksud bahwa seorang pemimpin harus mengabdikan dirinya untuk kemaslahatan umat dan agamanya.
Sementara Ibn Taimiyah yang hidup pasca al-Mawardi mengalami masa yang dilematis. Sebagai seorang intelektual muslim, Ibn Taimiyah menginginkan system ketatanegaraan yang ideal. Kasus pemilihan kepala negara (khalifah) tidak harus didasarkan pada berbagai kualifikasi yang terukur. Untuk itu beliau hanya mensyaratkan dua sifat yakni; sifat amanah dan sifat quwwah. Namun ide Ibn Taimiyah yang fleksibel ini susah diwujudkan karena terbentur dengan beberapa hal, di antaranya suasana pemerintahan yang sedang mengalami kemunduran.
Gagasan Partai Politik
1). Pengertian Partai Politik
Partai politik secara etomologis berasal dari kata partai dan politik. Kata "partai" berasal dari bahasa Inggris "part" yang berarti menunjuk kepada sebagian orang yang seazaz, sehaluan, dan setujuan terutama di bidang politik. Sedangkan politik yang dalam bahasa Inggris politics berarti ilmu yang mengatur ketatanegaraan, atau seni mengatur dan mengurus negara dan ilmu kenegaraan.
Jadi partai politik adalah perkumpulan orang-orang yang seidiologi atau tempat/wadah penyaringan dan pembulatan, serta tempat berkumpulnya orang-orang yang seide, cita-cita dan kepentingan.
Para ahli politik seperti PJ. Bouman, Carl J. Friedrich, dan Mac Iver juga mengartikan partai politik sebagai: sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil.
Secara umum dapat dikatakan, partai politik adalah suatu kelompok yang teorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara konstitusionil, serta menumbuhkan partisipasi masyarakat.
Partisipasi politik merupakan salah satu bentuk dari berbagai kegiatan yang dilakukan partai politik. Partisipasi politik mencakup semua kegiatan seperti turut serta dalam proses pemilihan pemimpin¬ politik baik secara langsung atau tak langsung, kegiatan memilih dalam pemilihan umum, duduk dalam lembaga politik seperti dewan perwakilan rakyat atau mengadakan komunikasi dengan wakil-wakil rakyat yang duduk dalam badan itu, berkampanye, menghadiri kelompok diskusi dan sebagainya.
Dalam kepustakaan ilmu politik, ditemukan beberapa definisi yang berbeda mengenai partai politik. Namun ilmuwan politik tersebut tidak menyertakan aspek ideologi dalam menyusun definisi partai politik. Ramlan Surbakti menduga, hal itu disebabkan oleh pengaruh pandangan di Barat bahwa ideologi telah mati. Padahal pada kenyataannya setiap negara pasti memiliki ideologi, apakah bersifat doktriner, pragmatis atau jalan tengah dari keduanya, dan hal ini tercermin dalam partai yang ada di negara bersangkutan, terlepas dari keragaman definisi ideologi yang dipakai oleh setiap partai politik.
Karena itulah Ramlan Surbakti merumuskan partai politik sebagai Kelompok anggota yang terorganisasi secara rapi dan stabil yang dipersatukan dan dimotivasi dengan ideologi tertentu, dan yang berusaha mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan melalui pemilihan umum dan cara-cara lain yang sah guna melaksanakan alternatif kebijakan umum yang mereka susun, sebagai hasil dari pemaduan berbagai kepentingan yang hidup dalam masyarakat.
Dari sinilah kemudian muncul istilah partai Islam, atau partai yang dilandasakan pada symbol-simbol Islam, penganut Islam maupun substansi ajaran Islam. Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim tak bisa mengelakkan dengan menjamurnya partai-partai yang menamakan dirinya sebagai partai Islam, baik yang secara tekstuial maupun substansial.
Tentunya pembahasan bagaimana format dan bentuk partai Islam tidak lepas dari pola hubungan Islam dan politik yang sekarang ini berkembang di tengah masyarakat Indoensia. Partai Islam semacam Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangaunan serta Partai Bulan Bintang secara tegas menamakan dirinya partai Islam. Sementara Partai Kebangkitan Bangsa serta Partai Amanat Nasional yang jelas berlatarbelakang dirinya organisasi sosial keagamaaan menamakan dirinya sebagai partai terbuka bagi penganut agama manapun.
Bentuk lain adalah partai seperti Partai Golongan Karya, atau Partai Demokrat yang banyak orang muslimnya bukan partai yang berdasarkan Islam. Namun sebagai pribadi-pribadi para anggota partai Golkar atau Demokrat banyakyang mencoba melakukan agregasi terhadap kepentingan-kepentingan umat Islam.
Untuk itu format dan bentuk partai Islam perlu dirumuskan baik sebagai kontektualisasi ajaran Islam maupun sebagai sumbangan Islam terhadap perkembangan politik di Indonesia.
2). Fungsi Partai Politik
Untuk mengetahui efgektif atau tidakny a sebuah partai politik, maka kita peerlu melihat kinerja maupun dfungsi-fungsi yang sudah dilakukan oleh sebuah partai politik.
Dalam Undang-Undang Partai Politik Nomor 31 tahun 2002, partai politik mempunyai beberapa fungsi di antaranya:
1. Pendidikan politik bagi anggotanya(political education);
2. Sebagai sarana persatuan dankesatuan bangsa
3. Penyalur aspirasi masyarakat
4. Partisipasi politik warga
5. Rekrutmen politik(political selection);
Dalam praktik politik di hampir negara-negara modern saat ini, baik yang bercorak demokratis maupun totaliter, kehadiran partai politik tidak dapat dielakkan. Di negara-negara demokratis, partai politik dipakai sebagai sarana untuk mewujudkan hak rakyat dalam menentukan figur-figur yang akan menjadi pemimpinrrya. Sedangkan di negara-negara totaliter, partai didirikan oleh elite politik dengan pertimbangan bahwa rakyat perlu dibina agar tercipta stabilitas yang berkelanjutan.
Di antara fungsi-fungsi sebuah partai poltik yang utama adalah sebagai berikut:
1. Partai politik adalah media penyaluran aspirasi
Dalam masyarakat modern pendapat dan aspirasi seseorang atau suatu kelompok merupakan suara rakyat yang harus disalurkan sesuai dengan kran demokrasi. Sekecil apapun suara, suara rakyat harus mendapatkan porsi yang layak, karena sesungguhnya kebijakan negara akan kembali untuk kesejahteraan rakyat. Tentunya suara rakyat berbagai ragam macam dan bentuknya. Oleh karena itu partai politik harus mampu untuk menyeleksi dan mengambil yang paling aspiratif. Proses ini dinamakan "penggabungan kepentingan" (interest aggregation).
Setelah dilakukan interest aggregation, suara-suara ini harus menjadi kebijakan negara agar bias direalisasikan dalam kehidupan riil. Proses ini dinamakan "perumusan kepentingan" (interest articulation). Partai politik selanjutnya merumuskannya sebagai usul kebijaksanaan. Dengan demikian rakyat akan mengetahui dan bermnat untuk menggunakan partai politik sebagai wadah untuk menyampaikan unek-uneknya tanpa harus menggunakan kekerasan maupun protes bagai parlemen jalanan.
Di lain fihak partai politik berfungsi juga untuk memperbincangkan dan menyebarluaskan rencana-rencana dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Dengan demikian terjadi arus informasi serta dialog dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas, di mana partai politik memainkan peranan sebagai penghubung antara yang memerintah dan yang diperintah, antara pemerintah dan warga masyarakat.
2. Partai sebagai sarana pendidikan politik
Fungsi partai politik adalah sebagai sarana sosialisasi politik. Di dalam ilmu politik sosialisasi politik diartikan sebagai proses melalui mana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap phenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat di mana ia berada. Biasanya proses sosialisasi berjalan secara berangsur-angsur dari masa kanak-kanak sampai dewasa. Di samping itu sosialisasi politik juga mencakup proses melalui mana masyarakat menyampaikan norma-norma dan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya.
3. Partai politik sebagai sarana rekruitmen politik
Partai politik juga berfungsi untuk mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai. Dengan demikian partai turut memperluas partisipasi politik. Caranya ialah melalui kontak pribadi, persuasi dan lain-lain. Juga diusahakan untuk menarik golongan muda untuk dididik menjadi kader yang di masa mendatang akan mengganti pimpinan lama. Partai politik sebagai sarana pengatur konflik (conflict management)
Partai Politik dalam Kajian Normatif
Dalam wacana politik Islam kita mengenal ada tiga pola hubungan Islam dengan politik yang dikenalkan oleh Abdurrahman Wahid atau Munawir Syadzali. Pertama pola integrative, yakni Islam dipandang sebagai agama yang kaffah sehingga Islam mengatur segala persoalan baik yang berdinensi ke-Tuhanan, maupun berdimensi keduniaan termasuk persoalan politik. Bagi kelompok ini aturan politik dalam Islam haruslah bersifat menyeluruh, sehingga bagi kelompok ini partai Islam harus berlandaskan kepada Alqur’an dan Assunnah.
Kedua, pola sekularistik yakni faham yang menyatakan bahwa Islam itu agama yang mengatur persoalan-persoalan individual yang berhubungan dengan Tuhannya. Persoalan keduniaan tidak diatur secara detail dan bahkan Tuhan memberikan kebebasan kepada umatnya. Oleh karena itu dalam persoalan politik tidak ada kewajiban bagi umat Islam untuk berpartai politik yang berlandaskan kepada ajaran-ajaran Islam. Apalagi wajib berlandasakan kepa Alqur’an dan Assunnah.
Ketiga, pola hubungan yang simbiotik di mana kelompok ini mengakui bahwa Islam adakah agama universal. Islam memberikan prinsip-prinsip kehidupan keduniaan termasuk bidang politik. Bagi kelompok ini partai politik adalah urusan keduniaan, sehingga ajaran Islam hanya mengatur prinsip-prinsip politik secara umum, seperti prinsip al-adalah, al-musawa, dan al-hurriyyah.
Tiga pola ini yang secara paradigmatik menjadi dasar tulisan ini dalam melakukan format ulang terhadap partai politik perspektif Islam.
a. Prinsip-prinsip politik dalam Islam
Sebagai sebuah ajaran yang universal, Islam memberikan pedoman bagi seluruh kehidupan umat manusia, baik kehidupan di dunia ini maupun kelak di akhirat nanti. Ajaran Islam selalu berdimensi dunia dan akhirat, meski terkadang kita umat Islam belum mampu mengungkap dimensinya. Rukun Islam yang lima seperti shalat misalnya, tidak saja berarti ibadah mahdhah kepada Allah, tetapi juga mempunyai dimensi keduniaan seperti kedisiplinan waktu, kebersamaan dalam berjamaah dan sebagainya. Zakat dan haji juga kental dengan dimensi duniawinya.
Begitu juga dengan prinsip-prinsip politik yang terdapat dalam ajaran Islam mempunyai nilai ibadah sekaligus nilai-nilai keduniaan yang humanis dan fleksibel. Beberapa prinsip yang ada antara lain: prinsip persatuan dan kesatuan (QS. Al-Baqarah; 213), kepastian hukum dan keadilan (QS. An-Nisa:58), kepemimpinan (QS, Nisa:59), musyawarah (QS. As-Syura: 38), persaudaraan (QS. Al-hujurat:2), dan tolong menolong (QS. Al-Maidah:2).
Negara Islam Madinah yang berdiri setelah Nabi dan sahabatnya hijrah ke Madinah, merupakan kesempatan pertama kepada Nabi Muhammad untuk membuktikan bahwa Islam bukan saja sebagai agama ritual, sebagaimana agama-agama sebelumnya. Islam adalah agama sekaligus mengajarkan tuntunan bernegara dan bermasyarakat.
Tentu saja format pemerintahan yang digagas oleh Nabi tidak secara mutlak ditetapkan dalam Al-Qur’an karena sesungguhnya Al-Qur’an adalah korpus yang bisa diinterpretasikan oleh umat Nabi hingga akhir masa. Islam hanya mengajarkan nilai-nilai universal yang berkaitan dengan konsep negara Islam.
Sebagai seorang pemimpin pemerintahan, Nabi berpegang kepada ajaran-ajaran Islam dalam Al-Qur’an dan Assunnah. Konsep kepemimpinan yang dikembangkan oleh Nabi adalah konsep yang menekankan pada aspek musyawarah dan menghargai heteroginitas. Hal ini tercermin dalam banyak perilaku politik yang dilakukan oleh Nabi.
Pada saat awal Nabi masih di Madinah adalah mendirikan Masjid dan membuat Perjanjian Madinah atau dikenal dengan : “Piagam Madinah”. Pembuatan masjid di Madinah merupakan upaya Nabi baik secara keagamaan maupun politis menggalang persatuan ummat atau kaum muslimin yang sudah menjadi satu daerah yaitu Madinah. Sebagaimana kita ketahui suku Quraisy yang berasal dari Makkah terdiri dari suku Aus dan Khzraj, dua suku kuat yang hingga masuk Islam masih sering terjadi kontak senjata antar dua suku. Melalui media Masjid, Nabi berupaya untuk mempertemukan sesering mungkim kaum muslimin untuk memikirkan bersama keberlangsungan Islam atau negara Islam Madinah di tengah ancaman kaum musyrik Makkah.
Sementara untuk menggalang persatuan antar penduduk muslim dan non-muslim yakni kaumYahudi di kota Madinah, Nabi membuat piagam Madinah yang menjadi symbol kebersamaan antar ummat dengan kaum Yahudi. Di sinin jelas bahwa Nabi Muhamad menjunjung pluralitas suku agama dan bangsa. Perjanjian Madinah inilah yang hingga kimni masih banyak dicontoh sebagai landasan menjalin ukhuwwah wathaniyah sesama warga negara. Inilah yang oleh Phillip K Hitti disebut sebagai miniatur negara bangsa Madinah.
Sebagai seorang pemimpin pemerintahan, Nabi memimpin jalannya pemerintahan negara Madinah. Namun sebagai orang yang menjunjung musyawarah dan kebersamaan, Nabi Muhammad membuat strata pemerintahan. Beberapa prinsip pemerintahan yang dikembangkan oleh Nabi berdasarkan kepada ayat-ayat Al-Qur’an seperti:
1. Prinsip equality (Al-Musawa)
2. Prinsip Independen (Al-Hurriyyah)
3. Prinsip Pluralisme (Taaddudiyah)
Prinsip-prinsip ini yang kemudian dikembangkan menjadi prinsip berbangsa dan bernegara hingga sekarang ini kita kenal. Universalisme prinsip ini tidak saja bias dikembangkan di negara-negara Islam tetapi juga di negara-negara non-muslim.
b. Latar belakang sosial-historis
Secara tegas sejarah politik Islam tidak memberikan contoh tentang partai politik. Partai politik baru dikenal pada masa moden ini. Apa yang bisa kita cari adalah benih-benih partai politik yang telah dilakukan pada masa lampau khususnya Islam awal.
Peristiwa tsaqifah bani saidah misalnya yang dikenal sebagai cikal bakal politik Islam, bisa menjadi model munculnya partai politik dalam sejarah politik Islam. Kelompok ansar yang merupakan penduduk asli Madinah secara bersama-sama atau berkelompok merasa bertanggungjawab atas keberlangsungan “negara” Madinah yang telah didirikan oleh Nabi dan sahabat-sahabatnya.
Kelompok ini semula memandang bahwa secara politis negara Madinah harus duteruskan dengan cara mencari pengganti Nabi sebagai khalifah di Madinah. Nabi tidak pernah memberikan petunjuk atas apa yang harus dilakukan apabila kelak nanti sahabat ditinggalkan Nabinya. Mereka bermusyawarah dan berkesepakatan bulat memilih Abu Ubaidah sebagai pemimpin pengganti Nabi Muhammad. Hal ini didasarkan kepada integritas Abu Ubaidah sebagai sahabat senior dan mumpuni dalam persoalan politik kenegaraan.
Sebelum Abu Ubaidah dibaiat kaum Anshar, Abu Bakar dan Umar dating dan menganulir kesepakatan yang dihasilkan. Mensikapi permintaan Umar ini kaum Anshar berselisih ada yang menerima dan ada yang menolak bahkan mengancam akan tetap mempunyai pemimpin dari kaum Anshar meski telah dianulir oleh sahabat Abu Bakar dan Umar.
Namun demi persatuan dan kesatuan umat Islam saat itu, mayoritas kaum anshar menerima permohonan Umar yang pada akhirnya meilih Abu Bakar sebagai khalifah pasca meninggalnya Nabi. Alasan Umar, Abu Bakar adalah sahabat yang paling pantas untuk memimpin umat Islam saat itu. Demi kebersamaan akhirnya kaum Anshar dan Muhajirin membaiat Abu Bakar sebagai khalifah.
Ketika dibaiat oleh kaum muslin di tsaqifah bani saidah, Abu Bakar meminta kepada seluruh kaum muslimin, apabila mendapatinya kesalahan dan kekurangan untuk segera mengingatkan atau mengkritiknya. Hal ini karena Abu Bakar menyadari bahwa dirinya adalah manusia biasa yang diberi amanat kaum muslimin untuk memimpin. Tak ada salahnya kalau kaum muslimin melakukan kritik demi kebaikan bersama.
Masih dalam pandangan siyasah, Abu Ubaidah yang menjadi pemimpin Anshar tidak mendapat tempat di pemerintahan Abu Bakar. Abu Bakar lebih banyak mengutamakan sahabat-sahabat yang lebih dulu masuk Islam sebagai pejabat negara. Khalid bin Walid al-Makhzumi misalnya, diangkat sebagai panglima tertinggi angkatan perang. Umar Utsman dan Ali dijadikan sebagai staf ahlinya.
Namun berbeda dengan Umar karena mengetahui keinginan dan harapan kaum Anshar, Khalid bin Walid dengan segala kelebihan dan kekurangannya diganti dengan Abu Ubaid yang dari Anshar. Ini adalah respon Umar atas aspirasi kaum anshar yang menginginkan ada ada rekrutmen kader dari kaum anshar.
Sebagai khalifah yang dikenal aspiratif, Umar juga pernah menyatakan di saat baiat agar masyarakat jangan takut untuk mengkritiknya. Karena sesungguhnya khalifah adalah khadimul ummah, yang melayani umat Islam, sehingga tugas utamanya adalah memberikan solusi terhadap apa yang dirasakan umatnya. Sebagai manusia biasa beliau meinta kaum muslimin mengingatkan segala tindakannya agar tetap sesuai dengan ajaran Rasulallah SAW.
Beberapa peristiwa politik yang terjadi pada zaman klasik bisa kita baca melalui tulisan-tulisan para pujangga politik muslim seperti Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun maupun Al-Mawardi dan Al-Farra. Tokoh-tokoh ini menjadi rujukan awal dalam sejarah politik di samping buku-buku sejarah klasik seperti Tarikh al-Umam wa al-Muluknya al-Thabari, Ibn Atsir, dan Sirah Nabawi-nya Ibn Hisyam.
Al-Mawardi misalnya dalam buku al-Ahkam al-Sulthaniyah memperkenalkan konsep Makzul, yang menurunkan imam (khalifah) apabila seorang pemimpin itu kedapatan melakukan maksiyat terhadap Allah. Ini mengandung maksud bahwa seorang pemimpin harus mengabdikan dirinya untuk kemaslahatan umat dan agamanya. Meski pemimpin telah dibaiat dan disepakati oleh kaum muslimin tetapi masyarakat harus melakukan kontrol bahkan boleh melakukan mosi tidak percaya atas perbuatan pemimpin yang dhalim.
Ajaran politik Islam bukanlah sebagai konsep langit, tetapi konsep bumi. Ini diharapkan bisa menjadi model bagi masyarakat bangsa menjadi politisi yang baik dan benar. Politik bukan selamanya kalah dan menang sebagaimana yang distigmakan sekarang ini. Tetapi sisi positif dari berpolitik itu lebih besar dari pada ungkapan streotip tadi. Meski baru mencari landasan normatif dan historis tetapi upaya ini perlu dilanjutkan dimasa yang akan datang.
Pemikiran Partai Politik dalam Sejarah Politik Islam
Salah satu ciri pemikiran politik sunni adalah menekankan pada faham khilafah centries, yakni kepala negara atau khilafah menempati posisi yang sangat kuat dalam politik kenegaraan. Sebaliknya, rakyat hanya dijadikan penonton yang harus mentaati segala perintah kepala negaranya. Ketaatan dan kepatuhan yang berlebihan ini di dasarkan pada teks-teks Al Qur’an seperti QS. Al-Nisa:59 dan QS Al-An’am: 165.
Pencirian tersebut tentunya didasarkan pada latar belakang dan kecenderungan tokoh-tokoh sunni dalam persoalan politik kenegaraan, semisal Al-Mawardi dan Ibn Taimiyah. Mereka berdua adalah tokoh ilmu politik Islam yang hidup di lingkungan negara Islam yang sedang mengalami kemunduran, terutama setelah berkobarnya perang suci atau perang salib antara tentara Islam dengan tentara.
Pembahasan tentang pokok-pokok pemikiran Ibn Taimiyah dan Al-Mawardi itu dirasa penting karena keduanya memiliki banyak kesamaan. Namun sebagai sebuah karya yang tidak dalam satu waktu dan tempat, keduanya memiliki beberapa perbedaan sesuai dengan latar belakang masing-masing.
1) Perdebatan tentang konsep Imamah
Sebelum masuk pada pembahasan tentang pokok-pokok pikiran tentang partai politik, perlu ditelusuri terlebih dulu pandangan al-Mawardi dan Ibn Taimiyah tentang institusi imamah. Pembahasan ini sangat penting karena beraitan dengan persoalan fundamental yang menyangkut hak-hak politik warga.
Bagi al-Mawardi, institusi imamah diwujudkan dalam rangka melindungi kepentingan agama dan mengatur kehidupan dunia. Hal ini didasarkan pada ijma ulama yang menganggap bahwa perwujudan itu bersifat fardu kifayah. Di samping itu juga didasarkan pada realitas empirik selama masa Nabi, al-khulafa al-rasyidin, dan imperium bani Abbasyiyah dan Umayyah yang merupakan lambang kesatuan politik Islam.
Pandangan ini memberikan implikasi bahwa sejarah politik pada masa Nabi, khalifah, dan pasca khalifah menjadi ”sunnah” yang wajib diikuti oleh kaum-kaum sesudahnya. Fakta ini menjadi terjemahan atas teks-teks agama yang secara umum mewajiban kepatuhan rakyat atas penguasa.
Menghukumi fardu kifayah dalam persoalan institusi imamah merupaan contoh tentang pendekatan fiqh dalam politik di kalangan ulama sunni. Meski seharusnya fiqh bersifat mengikat bagi kaum muslimin, namun kefarduan imamah ini lebih didasarkan pada alasan sosiologis, bukan alasan teologis. Sekelompok manusia yang berkumpul lebih dari dua maka seharusnya salah satu menjadi pemimpin. Karena tanpa ada pemimpin kelompok atau komunitas itu akan hilang dengan sendirinya.
Dalam perspektif ilmu politik kepemimpinan dibutuhkan manakala terjadi perkumpulan antara beberapa orang yang mempunyai tujuan bersama. Sekelompok manusia yang berkelompok menjadi sebuah komunitas politik. Dan komunitas politik itu dapat membentuk Negara manakala memenuhi unsur-unsur terbentuknya suatu Negara; yakni pertama, adanya wilayah yang meliputi wilayah darat, laut, dan udara. Kedua, adanya rakyat, yakni semua orang yang ada di wilayah Negara itu dan yang tunduk pada kekuasaan dari Negara tersebut, baik menggunakan asas ius sanguinis (keturunan) maupun asas ius soli (tempat tinggal/tempat kelahiran). Ketiga terwujudnya pemerintahan yang berkuasa atas seluruh rakyat dan daerahnya, dan keempat terpenuhinya pengakuan dari Negara lain atas eksistensi Negaranya sendiri.
Sekadar menjelaskan, bahwa al-Mawardi mendasarkan teori politiknya atas kenyataan yang ada dan kemudian secara realistik menawarkan saran-saran perbaikan atau reformasi, misalnya dengan mempertahankan status quo. Dia menekankan, bahwa khalifah harus tetap berbangsa Arab dari suku Quraisy. Wazir Tafwidh atau pembantu utama Khalifah dalam penyusunan kebijakan harus berbangsa Arab, dan bahwa perlu ditegaskan persyaratan bagi pengisian jabatan kepala negara serta jabatan pembantu-pembantunya yang penting.
Bagi al-Mawardi, imam (yang dalam pemikirannya adalah seorang raja, presiden, sultan) merupakan sesuatu yang niscaya yang keberadaannya sangat penting dalam suatu masyarakat atau negara. Karena itu, jelasnya, tanpa imam akan timbul suasana chaos. Manusia menjadi tidak bermartabat, begitu juga suatu bangsa menjadi tidak berharga. Dengan demikian, al-Mawardi memberikan juga baju agama kepada jabatan kepala negara di samping baju politik. Kemudian dipertegas lagi bahwa Allah mengangkat seorang pemimpin untuk umatnya sebagai pengganti (khalifah) nabi, untuk mengamankan agama, dengan disertai mandat politik. Di sinilah muncul pemahaman bahwa seorang imam di satu pihak adalah pemimpin agama, dan di lain pihak adalah pemimpin politik.
Sebelumnya, al-Mawardi menjelaskan bahwa diperlukan dua hal dalam proses pemilihan atau seleksi. Pertama, ahl al-ikhtiar atau mereka yang berwenang untuk memilih imam bagi umat. Mereka harus memenuhi tiga syarat: 1). memiliki sikap adil; 2). memiliki ilmu pengetahuan yang memungkinkan mereka mengetahui siapa yang memenuhi syarat untuk diangkat sebagai imam; dan 3). memiliki wawasan yang luas dan kearifan yang memungkinkan mereka memilih siapa yang paling tepat untuk menjadi imam, dan paling mampu mengelola kepentingan umat di antara mereka yang memenuhi syarat untuk jabatan-jabatan itu.
Kedua, ahl al-imamah, atau mereka yang berhak mengisi jabatan imam. Mereka harus memiliki tujuh syarat: 1). sikap adil dengan segala persyaratannya; 2). ilmu pengetahuan yang memadai untuk ijtihad; 3). sehat pendengaran, penglihatan dan lisannya; 4). Utuh anggota-anggota tubuhnya; 5). Wawasan yang memadai untuk mengatur kehidupan rakyat dan mengelola kepentingan umum; 6). keberanian yang memadai untuk melindungi rakyat dan mengenyahkan musuh; dan 7). Keturunan Quraisy.
Lantas bagaimana ketentuan seorang imamah yang dianggap legal? Dalam hal ini, al-Mawardi menjelaskan, jabatan imamah (kepemimpinan) dinilai sah apabila memenuhi dua metodologi. Pertama, dia dipilih oleh parlemen (ahl al-halli wa al-‘aqdi). Mereka inilah yang memiliki wewenang untuk mengikat dan mengurai, atau juga disebut model “ahl al-Ikhtiar”. Kedua, ditunjuk oleh imam sebelumnya (wasiat imam sebelumnya). Dalam hal ini, model pertama dinilai memang selaras dengan demokrasi dalam konteks modern. Sementara, tipe kedua, al-Mawardi merujuk pada eksperimen sejarah, yakni pengangkatan Khalifah Umar bin Khattab oleh khalifah sebelumnya, Abu Bakar Ash Shiddiq. Sebelumnya juga ada rujukan sejarah, lewat pemilihan “dewan formatur” yang memilih khalifah Utsman juga dipilih oleh khalifah sebelumnya, Umar bin Khattab.
Dalam masalah pemecatan seorang khalifah, al-Mawardi menyebutkan dua hal yang mengubah kondisi dirinya, dan karenanya Ia harus mundur dari jabatannya itu. Pertama, cacat dalam keadilannya (bisa disebabkan akibat syahwat, atau akibat syubhat. Kedua, cacat tubuh.
Dalam kaitan ini adalah cacat pancaindera (termasuk cacat yang menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai seorang imam, seperti hilang ingatan secara permanen, hilang penglihatan). Selain itu, juga cacat organ tubuh, dan cacat tindakan. Sedangkan cacat yang tidak menghalangi untuk diangkat sebagai imam, seperti cacat hidung yang menyebabkan tidak mampu mencium bau sesuatu, cacat alat perasa, seperti membedakan rasa makanan.
Berbeda dengan Ibn Taimiyah yang berpendapat bahwa mengatur urusan umat memang merupakan bagian dari kewajiban agama, namun hal ini bukan berarti bahwa agama tidak dapat hidup tanpa negara. Untuk itu Ibn Taimiyah mendapat bahwa ijma bukan sebagai dalil kewajiban tersebut. Sebaliknya Ibn Taimiyah menolak ijma dan menawarkan pendekatan sosiologis dalam mengatur urusan umat.
Bagi Ibn Taimiyah penegakan imamah itu tidak berdasarkan pada ijma tetapi pada kebutuhan praktis sosiologis. Implikasinya Ibn Taimiyah menolak kekuasaan Bani Umayyah dan Bani Abbasyiyah sebagai pijakan dalam persoalan-persoalan keagamaan.
Meski demikian menurut Ibn Taimiyyah, imamah atau kepemimpinan dalam sebuah komunitas masyarakat merupakan kewajiban yang amat penting. Menurutnya sebuah komunitas masyarakat tanpa pemimpin akan berujung pada kondisi chaos, karena pada dasarnya manusia memiliki sifat homo homini lupus, siapa yang kuat dia-lah yang akan berkuasa. Oleh karena itu kondisi tanpa pemimpin lebih jelek daripada sebuah komunitas yang dipimpin oleh orang yang dhalim dan bodoh.
2). Ahl Halli Wal Aqdi: Ide Partai Politik Versi Al-Mawardi
Apa yang digagas oleh dua tokoh Ibn Taimiyah dan al-Mawardi tentang Ahl Halli Wal Aqdi –atau ahl al-syaukah dalam bahasa Ibn Taimiyah--, memberikan pandangan bahwa cita-cita partai politik sudah dikonsepkan oleh dua tokoh tersebut.
Menurut al-Mawardi dlam pemilihan kepala negara harus ada dua institusi; ahl al-ikhtiyar (sekelompok orang yang berhak memilih) dan ahl imamah (sekelompok orang yang berhak menjadi imam). Selanjutnya al-Mawardi mensyaratkan ahl al-ikhtiyar harus adil, punya wawasan yang luas dan bijaksana, agar mampu memilih imam yang bagus. Bagitu juga ahl al-imamah harus memenuhi tujuh syarat di antaranya harus suku quraisy.
Ahl al-ikhtiyar atau selanjutnya disebut ahl al-hilli al-aqdi berhak memilih imam atau kepala negara. Bahkan menurut al-Mawardi mengangkat imam bisa juga diwasiatkan oleh kepala negara sebelumnya kepada calon imam yang aan datang. Menurutnya kebolehan ini berbdasarkan apa yang pernah dilakukan oleh Abu Bakar ketika meninggalkan kekhalifahannya. Sebelum Abu Bakar meninggal beliau menunjuk Umar dan kemudian Umar dibaiat oleh kaum muslimin.
Baiat mutlak diperlukan sebagai tanda kesepakatan politik antara pemilih dan yang dipilihnya. Secara garis besar kepala negara terpilih mempunyai beberapa tugas dan kewajiban; memelihara agama, melaksanakan hukum yang adil, memelihara keamanan negara, menegakkan hudud, membentengi negara ari mususg, memungut fai dan zakat, membagian kepada mustahiq, menyampaikan amanah, memperhatikan rakyatnya secara politis. Dengan tugas dan kewajiban tersebut, maka ada hak bagi kepala negara untuk menuntut kesetiaan rakyat kepada pemimpinnya.
Al-Mawardi juga menegaskan apabila kepala negara di tengah jalan melanggar apa yang diwajibkan kepadnya seperti tidak adanya amanah maka hak masyaraat adalah memakzulkan imam, yakni menurunkan imam demi hukum.
Yang menjadi persoalan adalah ketidak tegasan al-Mawardi tentang prosedur pemilihan Ahl Halli Wal Aqdi. Prakteknya Ahl Halli Wal Aqdi diangkat oleh kepala negara, sehingga Ahl Halli Wal Aqdi tidak efektif sebagai alat kontrol bagi kepala negara. Karena mereka diangkat oleh orang yang dikontrolnya. Apalagi al-Mawardi juga berpendapat bahwq kepala negara bisa diangkat berdasarkan wasiat kepala negara sebelumnya.
Dalam bukunya Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah, menyebutkan bahwa pemilihan kandidat diawali dengan meneliti persyaratan kandidat. Kandidat yang memiliki kualitas yang paling tinggilah yang akan dipilih sebagai kepala negara. Namun kesediaan kandidat juga menjadi pertimbangan tersebut. Karena hal ini merupakan kesepakatan kedua belah fihak; pemilih (ahl al-ikhtiyar) dan yang dipilih (ah al- imamah).
Menurut al-Mawardi, ahl imamah mempunyai beberapa tugas dan kewajiban, di antaranya: memelihara agama, melaksnakan hukum di antara rakyatnya dan menyelesaikan perkara yang terjadi agar tidak ada yang teraniaya dan menganiaya, memelihara keamanan dalam negeri, menegakkan hudud, membentuk tentara yang kuat untuk membentengi negara dari musuh, melakukan jihad terhadap orang yang menolak dakwah, memungut harta fai’ dan zakat dari para muzakki, membagikan zakat kepada para mustahiq, menyampaikan amanah, dan meningkatkan segala sesuatu yang dapat meningkatkan politik pemerintahannya.
Begitu juga dengan ahl al-ikhtiyar. Mereka wajib taat terhadap pemimpin negara selagi kepala negara tersebut masih dalam menjalankan tugas kenegaraan. Sebaliknya manakala kepala negara bisa dilengserkan manakala kepala negara menyimpang dari konteks keadilan, kehilangan salah satu fungsi organ tubuhnya atau tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai kepala negara.
Namun al-Mawardi tampak ragu dengan pernyataannya bahwa penyimpangan kepala negara secara otomatis bisa dijadikan dalalah untuk melengserkan kepala negara. Apabila dia bisa memberikan alasan yang rasional, maka perlu dipertimbangkan. Jadi, yang jelas bisa melengserkan adalah alasan-alasan fisikly, seperti hilangnya kesehatan atau berkurangnya fungsi organ tubuhnya. Di samping itu ketidakjelasan al-Mawardi karena beliau tidak menjelaskan bagaimana tehnis untuk pemilihan kepala negara.
Mungkin saja ketidakjelasan ini sebagai keberpihakan al-Mawardi terhadap kekhalifahan Abbasyiah yang disinyalir banyak melakukan pelanggaran dalam kekuasaan. Idealnya seorang khalifah bisa menentukan arah perjalanan pemerintahan secara independent, tanpa ada gangguan dari orang-orang dekatnya. Namun fakta pada masa Abbasyiah, khalifah tidak banyak melakukan apa-apa.
Mestinya andaikata al-Mawardi menjelaskan secara rinci ide-ide besarnya tentang good governance pada saat itu, banyak di antara khalifah dari bani Abbasyiah yang harus lengser demi hukum. Hal ini sangat mungkin karena al-Mawardi sendiri sebagai Qadhi al-Qudhat.
Oleh karena itu untuk mempertahankan prinsip di atas, al-Mawardi merumuskan konsep wazir tafwid dan wazir tanfidz dalam pemerintahan. Wazir yang pertama adalah kementrian yang memiliki kekuasaan yang agak luas. Wazir ini bisa menentukan kebiajkan politik sendiri. Karenanya al-Mawardi mensyaratkan jabatan diisi oleh orang-orang Arab yang setia kepada kepala negara. Sedangkan wazir bentuk kedua tidak memiliki kewenangannya tersendiri.
3) Ahl al-Syaukah, Partai Politik versi Ibn Taimiyah
Sementara itu, Ibn Taimiyah menolak pendapat al-Mawardi yang memberikan wewenang penuh kepada ahl ahl-hilli wa al-aqdi. Bagi Ibn Taimiyah posisi ini akan mengarah pada pengultusan ahl al-hilli, dan akan fatal akibatnya. Beliau menawarkan konsep ahl al-syaukah, yakni mereka yang mempunyai kekuatan. Mereka adalah orang-orang terpandang dari berbagai profesi dan latar belakang yang mempunyai pengaruh dan terpandang di masyarakatnya. Bahkan menurut Ibn taimiyah ebagaimana dikutip oleh Qamarudin khan, istilah ahl hilli tidak dikenal dalam awal sejarah Islam. Istilah ini mulai ditawarkan sejak Abbasyiyah berkuasa.
Pendapat ini berbeda dengan al-Mawardi yang meniscayakan pemilihan kepala negara ada di tangan Ahl Halli Wal Aqdi. Ibn Taimiyah tidak menerima teori khilafah sunni. Ibn Taimiyah menolak pengangkatan kepala negara oleh Ahl Halli Wal Aqdi karena bagi Ibn taimiyah keadaan Ahl Halli Wal Aqdi hanya sebagai stempel atas apa yang didiinginkan oleh kepala negara.
Menurut Qamarudin, Ahl Halli Wal Aqdi tidak dikenal dalam sejarah klasik pra Abbasyiah. Untuk itu perlu dilakukan penelitian ulang atas praktek Ahl Halli Wal Aqdi pada zaman Abbasyiyah. Sangat mungkin apabila Ahl Halli Wal Aqdi mengarah pada terbentuknya sistem kependetaan dalam Kristen, atau imamah di kalangan muslim Syi’ah.
Sebagai alternatif, Ibn Taimiyah menawarkan konsep al-Syaukah, yakni orang-orang dari berbagai profesi dan kedudukan yang dihormati dan ditaati oleh masyarakat. Ahl al-Syaukah inilah yang memilih dan mengangkat kepala negara, kemudian diikuti sumpah setia oleh masyarakat untuk mentaati segala perintahnya. Seorang tidak bisa menjadi kepala negara tanpa dukungan dari ahl al-syaukah.
Pendapat Ibn Taimiyah ini didasarkan pada perilaku politik klasik pada masa al-khulafa al-rasyidun, sewaktu pengangkatan Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Abu Bakar menjadi khalifah pertama kali pasca nabi bukan karena bay’at Umar, tetapi karena baiat sejumlah tokoh-tokoh sahabat senior yang selanjutnya diiringi sumpah setia oleh seluruh kaum muslim pada saat itu. Begiu juga Umar, diangkat sebagai al-khulafa bukan karena wasiat yang diberikan Abu Bakar, tetapi karena disepakati oleh para tokoh sahabat senior. Untuk itu mereka berdua tidak bisa menjadi khalifah tanpa ada baiat dari kaum muslimin.
Ibn Taimiyah menolak keabsahan kepala negara yang dipilih oleh dua atau empat oarang saja, sebgaimana dikemiukakan al-Mawardi. Karena cara-cara semacam bisa menjurus pada pembenaran terhadap pergantian kepala negara yang kekuasaannya dicapai dengan cara paksa.
Bila dikaitkan dengan latar belakang sosial Ibn Taimiyah, pandangannya merupakan refleksi atas kekecewaannya terhadap Abbasyiah. Sejak abad ke IX, sebenarnya bani Abbas sudah mulai mundur yakni pada masa khalifah al-Watsiq (842-874 M) sampai al-Mu’tashim. Mereka lebih banyak berlaku sebagai khalifah boneka, karena secara de facto mereka hanya diperintah oleh pejabat-pejabat di bawahnya.
Namun demikian Ibn taimiyah juga mengakui bahwa sedikit sekali pemimpin yang memiliki kualifikasi dunia sifat yakni wibawa dan adil.
Dari sini lahirnya kontrak antara kepala negara dan rakyat dan terjadilah hak dan kewajiban timbal balik antara keduanya. Kepala negara mempunyai hak untuk ditata dan berkewajiban untuk mencukupi segala kebutuhan warganya. Sebaliknya rakyat juga mempunyai kewajiban untuk taat kepada kepala negara.
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut: Pertama, dalam tradisi fiqh siyasah partai politik diinspirasikan oleh institusi ahl al-halli wal aqdi sebagaimana disebutkan al-Mawardi, atau ahl al-syaukah dalam bahasa Ibn Taimiyah. Institusi ini bertugas untuk mencari, memilih dan menetapkan kepala negara.
Kedua, partai politik dalam perspektif Fiqh Siyasah mendasarkan pada keseimbangan urusan duniawi dan ukhrawi (siyasat al-dunya dan haratsat al-din). Hal ini penting agar partai politik tidak hanya mendasarkan pada idiologi who get what, atau idiologi menang kalah.
Ketiga, dalam pemilihan anggota partai politik, diharuskan diambilkan dari orang-orang yang berpengaruh di masyarakatnya. Apalagi menurut Al-Mawardi para tokoh politik harus memenuhi beberapa kriteria di antaranya adil, bijaksana punya integritas kepribadian, sehat jasmani dan rohani. Hal ini untuk menghindarkan partai politik hanya diisi oleh para pencar keuntungan pribadi.
Langganan:
Postingan (Atom)