Oleh : Dr. Imam Yahya, M.A. (Dosen Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang)
Teror telah hadir dan menjelma dalam kehidupan kita sebagai momok, sebagai virus ganans dan monster yang menakutkan yang sewaktu-waktu dan tidak dapat diduga bisa menjelmakan terjadinya “prahara nasional dan global”, termasuk mewujudkan tragedi kemanusiaan, pengebirian martabat bangsa dan penyejarahan tragedi atas Hak Asasi Manusia (HAM). Hak Asasi Manusia kehilangan eksistensinya dan tercerabut kesucian atau kefitrahannya di tangan pembuat teror yang telah menciptakan kebiadaban berupa aksi animalisasi (kebinatangan) sosial, politik, budaya, dan ekonomi.
Terorisme adalah puncak aksi kekerasan, terrorism is the apex of violence. Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan. Terorisme tidak sama dengan intimidasi atau sabotase. Sasaran intimidasi dan sabotase umumnya langsung, sedangkan terorisme tidak. Korban tindakan Terorisme seringkali adalah orang yang tidak bersalah. Kaum teroris bermaksud ingin menciptakan sensasi agar masyarakat luas memperhatikan apa yang mereka perjuangkan.
Pengertian Terorisme
Mengenai pengertian yang baku dan definitif dari apa yang disebut dengan Tindak Pidana Terorisme itu, sampai saat ini belum ada keseragaman. Menurut Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Oleh karena itu menurut Brian Jenkins, Terorisme merupakan pandangan yang subjektif.
Dalam penjelasan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dinyatakan bahwa terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara, karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi.
Dalam kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Terorisme dapat diartikan sebagai penggunaan kekerasan atau ancaman untuk menurunkan semangat, menakut-nakuti, dan menakutkan, terutama untuk tujuan politik. Sedangkan Hafid Abbas, Dirjen Perlindungan HAM Depkeh dan HAM RI. Terorisme adalah pemakaian kekuatan atau kekerasan tidak sah melawan orang atau property untuk mengintimidasi atau menekan pemerintah, masyarakat sipil, atau bagian-bagiannya, untuk memaksa tujuan sosial, dan politik.
Para aktifis muslim seperti Fauzan al-Anshari, Terorisme adalah tindakan yang menggunakan kekeerasan atau ancaman kekerasan yang berlatar belakang politik atau kekuasaan dalam suatu pemerintah negara. Sementara Imam Samudera mengartikan terorisme sebagai (irhab), menggetarkan musuh. Untuk itu mereka mengartikan terorisme menjadi bagian dari jihad fi sabilillah, menuju ridho Allah SWT. Tidak mengagetkan manakala sebagian para pelaku teroris di Indonesia menganggap dirinya sebagai mujahid fi sabilillah.
Bahkan belakangan terorisme diartikan dengan sangat luas dengan segala tindakan atau ucapan yang membuat orang lain takut. Wal hasil terorisme menjadi sebuah kata yang sangat menakutkan bagi siapa saja baik yang melakukan maupun orang yang mengalami tindakan terorisme. Gambaran ini menjadikan negara dalam hal ini pihak yang mempunyai kekuasaan pertahanan dan keamanan yakni militer merasa sangat diperlukan dalam upaya menangani berbagai upaya terorisme.
Bentuk-bentuk Terorisme
Secara kategoris, gerakan terorisme dilihat dari aspek spiritnya, dapat dibedakan dalam beberapa kategori, diantaranya:
a. Semangat Nasionalisme
Pejuang kemerdekaaan, umumnya menggunakan kekerasan politik untuk melawan rezm penjajah. Memang kekerasan politik tidak selalu identik dengan terorisme. Kekersan politik dalam artian kerusuhan massal, perang saudara, revolusi, atau perang antar bangsa, tidak termasuk kategori terorisme. Namun demikian, terorisme itu sendiri sering terjadi berkaitan kekerasan-kekerasan politik tersebut. Contoh terorisme dengan spirit nasionalisme ini dapat ditemukan di Aljazair, Palestina, dan sejumlah negara jajahan di masa suburnya kolonialisme.
b. Semangat Separatisme
Terorisme karena semangat separatis juga dapat terjadi melalui kekerasan politik. Kekerasan politik yang dipilih sebagai perjuangan oleh kaum separatis, cenderung diklaim sebagai bentuk teror oleh opini dunia. Pemberanian opini dunia itu sangat logis. Sebab, kekerasan politik yang dieksploitasi gerakan separatis selalu memenuhi premis dasar terorisme, yaitu menggunakan ancaman kekerasan dan atau kekerasan untuk menimbulkan ketakutan di lingkungannya. Menurut mereka pembunuhan dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan bukanlah soal yang harus dirisaukan, bahkan sasarannya adalah mereka yang tidak berdosa.
Gerakan separatisme jenis ini hampir terdapat di banyak negara, seperti; IRA di Irlandia, Macan Tamil Ealam di Srilanka, SPLA di Sudan, MNLF di Philipina, dan Gerakan Aceh Merdeka, Republik Maluku Selatan atau Organisasi Papua Merdeka di Indonesia.
c. Semangat Radikalisme Agama
Kelompok-kelompok radikal agama pun ditengarai menggunakan teror untuk memperjuangkan kepentingannya. Kekerasan politikl dalam bentuk teror seringkali dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Kelompok jihad di Mesir, jihad di Yaman, National islamic Front di Sudan, Al-Qaedah yang berbasis di Afganistan, Jamaah Islamiyah yang berbasis di malaysia, atau kelompok-kelompok radikal yahudi seperti Haredi, Gush Emunim, Kach Kabane di israel adalah sekedar contoh elemen-elemen dengan spirit radikalisme agama yang cenderung mengdepankan budaya kekerasan dan terorisme.
d. Gerakan Terorisme yang didorong oleh spirit bisnis
Narcoterorism di Myanmar yang dikenal dengan sebutan United War State Army adalah kelompok teroris yang berlatar belakang perdagangan narkotika dan obat-obatan terlarang. Di Jepang juga dikenal Yakuza, yaitu organisasi di kalangan dunia hitam yang melakukan bisnis illegal dengan mengedepankan metode teror sebagai cara untuk mencpi tujuan.
Sedangkan bentuk-bentuk teroris ditinjau dari segi sejarah terdiri dari:
a. Pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah yang terjadi sebelum perang dunia II.
b. Terorisme dimulai di Aljazair di tahun limapuluhan, dilakukan oleh FLN yang mempopulerkan “serangan yang bersifat acak” terhadap masayrakat sipil yang tidak berdosa. Hal ini untuk melawan apa yang mereka (Algerian Nationalist) disebut sebagai “terorisme negara”.
c. Terorisme muncul pada tahun enampuluhan dan terkenal dengan istilah “terorisme media”, berupa serangan acak atau random terhadap siapa saja dengan tujuan publisitas.
Terorisme Perspektif Fiqh
Persoalan utama yang menjadi pembahasan terorisme dalam pandangan Islam adalah pemaknaan kata “jihad”. Para aktifis muslim yang sering dituduh penyebar teror memahami jihad sebagai bentuk perlawanan terhadap para penolak Islam yang disponsori oleh Amerika Serikat. Maka sekarang ini kita banyak melihat prilaku teror ditujukan kepada asset-asset yang berhubungan dengan Amerika, seperti hoteel Marriot dan Ritzcalsen belakangan ini.
Dalam benak para aktifis muslim, jihad lebih dipahami dalam kerangka balas dendam. Karena kafir telah memerangi muslim tanpa batas, maka muslim wajib membalasnya dengan memerangi kafir secara tanpa batas pula. Menurutnya, dalam ketentuan syari’ah, jihad berarti berperang melawan kaum kafir yang memerangi Islam dan kaum muslimin. Konsep inilah yang ia sebut dengan jihad fi sabilillah. Dalam pemahamannya, ayat al-Qur’an pertama tentang jihad yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah memerangi kaum kafir sebatas yang memerangi Islam. Kaum kafir yang terlibat langsung dalam perang tetap tidak boleh diperangi. Ayat tersebut adalah surat al-Baqarah: 190, ”Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu. Dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”.
Perang dalam sejarah militer Islam melawan Romawi dan Persia didasari oleh etika pelarangan berperang secara ”melampaui batas”, yaitu dilarang membunuh wanita dan anak-anak, orang tua renta, para ahli ibadah dan juga dilarang merusak tanaman dan lingkungan.
Dalam memahami konsep jihad dan perang dalam Islam, meraka membaginya ke dalam empat tahapan; tahapan menahan diri, tahapan diizinkan berperang, tahapan diwajibkan memerangi secara terbatas, dan tahapan kewajiban memerangi seluruh kaum kafir/musyrik. Pada tahap pertama, tahapan enahan diri, jihad belum diperintahkan. Kaum muslimin diperintahkan untuk menahan diri untuk bersabar dan tidak melakukan pembalasan terhadap penindasaan, kekejaman dan celaan kafir quraisy.
Pada tahap kedua, tahapan sebatas diizinkan berperang tetapi belum diperintahkan berperang, sehingga belum ada kewajiban berperang. Pada tahap ketiga, tahapan diwajibkan memerangi kaum kafir secara terbatas, yaitu terbatas kepada kaum kafir yang memerangi kaum muslimin. Sedangkan kaum kafir yang tidak ikut memerangi kaum muslimin tetap tidak diperbolehkan untuk diperangi. Pada tahap keempat, yaitu tahapan yang mewajibkan bagi kaum muslim untuk memerangi seluruh kaum kafir dan musyrik. Dengan ayat-ayat ini, ia melegitimasi bahwa peledakan bom Legian adalah bentuk dari aksi jihad fi sabilillah.
Dalam terminologi agama, jihâd tidak serta merta diartikan sebagai mengangkat senjata untuk memerangi non-muslim, sebagaimana difahami sebagian kalangan umat Islam. Secara umum, arti jihâd dikategorisasikan menjadi tiga pengertian; jihâd dengan hati jihâd dengan harta benda, dan jihâd dengan nyawa.
a) Jihâd dengan hati, maksudnya adalah berjihâd untuk memerangi hawa nafsu yang muncul dari dirinya sendiri. Hawa nafsu ini hanya bisa ditangani oleh dirinya sendiri.
b) Jihâd dengan harta benda. Yakni mendermakan hartanya di jalan Allah.
c) Jihâd dengan nyawa.
Pada pengertian pertama berarti jihâd internal, yakni jihâd dalam memerangi hawa nafsu, yang dalam bahasa Nabi disebut sebagai jihâd al-akbar. Jihâd diinterpretasikan sebagai upaya individual untuk mendekatkan diri dari seorang hamba kepada Khâliq-nya, hanya diri sendirilah yang bertindak sebagai subyek menang atau kalah.
Pada pengertian kedua ini, jihâd sebagai social action (aksi sosial) antar sesama makhluk. Konteks kemiskinan yang selalu melanda umat Islam di sepanjang zaman tentunya harus menjadi perhatian kaum muslimin untuk berusaha maksimal agar terbebas dari segala bentuk kemiskinan. Islam telah mengajarkan prinsip ekonomi Islam seperti zakat dan bait al-mâl yang secara konseptual bisa menjadi kekuatan besar dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umat.
Adapun pada pengertian ketiga, jihâd diartikan sebagai perang yang sesungguhnya, bellum justum dan bellum pium yakni perang demi keadilan dan kesalehan. Menurut Edmund Bosworth dalam Armies of the Prophet, jihâd dalam pengertian inilah yang merupakan salah satu isu populer dalam proses hubungan Islam dan Kristen selama beberapa abad. Kontak Islam dan Kristen ini ditandai dengan banyaknya konflik militer dan angkatan laut antara negara-negara Islam dan non-Islam.
Dalam berbagai pendapat para ahli fiqih, jihâd diartikan sebagai upaya yang dilakukan kaum muslim dalam memerangi non-muslim karena memaksa mereka untuk menganut Islam. Mereka sepakat bahwa jihâd itu dilakukan untuk dalam rangka menolong agama Islam dengan memerangi kaum kafir.
Dalam berbagai pendapat para ahli fiqih, jihâd diartikan sebagai upaya yang dilakukan kaum muslim dalam memerangi non-muslim karena memaksa mereka untuk menganut Islam. Mereka sepakat bahwa jihâd itu dilakukan untuk dalam rangka menolong agama Islam dengan memerangi kaum kafir.
Imam Nawawi al-Bantani menuturkan bahwa jihad itu fardu kifayah yang dilaksanakan paling tidak satu tahun sekali. Jika di negaranya tersebut ada orang kafir. Jika lebih dari satu kali maka itu lebih baik. Kewajiban akan gugur dikarenakan dua hal. Pertama, adanya pemimpin atau tentara yang dipersiapkan untuk berperang. Kedua, sudah terjaminnya keamanan karena kesiapan tentara di masing-masing sudut negara.
Sedangkan Ibn Qasim menjelaskan bahwa hukum jihad pada masa Nabi tepatnya sebelum hijrah adalah fardu kifayah, sedangkan pada masa setelah hijrah ada dua kemungkinan yang pertama jihad hukumnya fardu kifayah yakni jika kaum kafir tetap berada pada negaranya. Apabila kaum kafir masuk dan menyerang masyarakat muslim maka hukum jihad menjadi fardu‘ain. Al-Sya’rani dengan mengutip pendapat Imam Malik mengatakan bahwa kewajiban berjihad sama halnya dengan haji, yaitu adanya perbekalan dan kendaraan.
Ibn Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan jika dilihat dari pelaksanaannya, jihad dapat dibagi menjadi tiga bentuk yaitu jihad mutlaq, jihad hujjah dan jihad ’amm. Jihad mutlaq adalah perang melawan musuh di medan pertempuran. Jihad ini mempunyai persyaratan tertentu, diantaranya; pertama, perang tersebut harus bersifat defensive, Kedua, sebagai hujjah untuk menghilangkan fitnah, Ketiga, hujjah untuk menciptakan perdamaian, Keempat, hujjah untuk mewujudkan kebajikan dan keadilan. Tampak di sini bahwa makna jihad lebih dekat ke dalam pengertian perang (qital).
Adapun jihad hujjah adalah jihad yang dilakukan dalam berhadapan dengan pemeluk agama lain dengan mengemukakan argumentasi yang kuat. Kemudian jihad terakhir adalah jihad ‘amm. Jihad yang dimaksud adalah jihad yang mencakup segala aspek kehidupan baik yang bersifat moral maupun yang bersifat material, terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain di tengah-tengah masyarakat. Jihad seperti ini dapat dilakukan dengan pengorbanan harta, jiwa, tenaga, waktu dan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Jihad ini juga trans-temporal dan tidak terbatas oleh ruang dan bisa dilakukan terhadap musuh yang nyata, setan dan hawa nafsu. Pengertian musuh nyata di sini, di samping perang, juga berarti semua tantangan yang dihadapi umat Islam, seperti kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.
Para ulama fiqh menyatakan bahwa Hukum jihad adalah fardu kifayah dengan dalil-dalil baik dalil dari al-Qur'an maupun sunah yang sahih serta penjelasan ulama ahl al-sunnah antara lain dari al-Qur’an surah an-Nisa’: 95- 96, at-Taubah: 122, al-Muzzamil: 20, dan beberapa hadis Nabi yang shahih. Berdasarkan dalil-dalil ini, maka empat Imam Mazhab dan lainnya telah sepakat bahwa jihad fi sabilillah hukumnya adalah fardu kifayah, apabila sebagian kaum Muslimin melaksanakannya, maka gugur (kewajiban) atas yang lainnya. Kalau tidak ada yang melaksanakannya maka berdosa semuanya.
Para ulama menyebutkan bahwa jihad menjadi fardu ‘ain pada tiga kondisi, yakni: pertama, apabila pasukan muslim dan kafir bertemu dan sudah saling berhadapan di medan perang, maka tidak boleh seseorang mundur atau berbalik. Kedua, apabila musuh menyerang negeri muslim yang aman dan mengepungnya, maka wajib bagi penduduk negeri untuk keluar memerangi musuh (dalam rangka mempertahankan tanah air), kecuali wanita dan anak-anak. Ketiga, apabila Imam meminta satu kaum atau menentukan beberapa orang untuk berangkat perang, maka wajib berangkat. Dalam hal ini dasar hukumnya adalah QS. at-Taubah: 38-39.
Kesimpulan
Terorisme adalah perlawanan atau peperangan bukan pada militer melainkan terhadap orang-orang yang tidak berdosa dan masyarakat sipil. Teror adalah menakut-nakuti dan mengancam. Ia tidak bisa diterima oleh akal manusia dan tidak dibenarkan oleh agama. Kejahatan terorisme merupakan produk perilaku kebiadaban dan kebinatangan. Akibat yang ditimbulkan sangat terasa sebagi wujud pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Berdasarkan ketentuan berlakunya hukum pidana Islam terhadap setiap jarimah yang dilakukan di dar as-salam, teori Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal dapat diberlakukan terhadap setiap orang yang melakukan kejahatan di wilayah dar as-salam tanpa melihat kewarganegaraan pelaku begitu juga terhadap kejahatan yang dilakukan penduduk dar as-salam di dar al-harb, ketentuan hukum Islam senantiasa dapat diberlakukan berdasarkan ke-Islaman pelaku maupun akad zimmah.
Kamis, 05 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar