Total Tayangan Halaman

Kamis, 30 September 2010

Pengembangan STAIS Menuju Center of Excellent

Oleh: Imam Yahya
(Dosen Fakultas Syari'ah dan Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang)
Pengantar
Eksistensi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIS) semakin hari semakin penting dalam rangka membangun dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM dalam menjalankan pembangunan masyarakat untuk masa kini dan masa datang. Maju mundurnya suatu bangsa saat ini sangat tergantung kepada kemampuan profesional warganya dalam mengelola dan mengolah Sumber Daya Alam (SDM) yang tersedia. Untuk memiliki kemampuan ini seseorang tidak cukup lagi dengan pendidikan menengah, apalagi dengan pendidikan rendah saja.
Mantan Menteri Agama Malik Fajar, mengutip pernyataan E. Bolsius, menyatakan bahwa jika setiap orang ingin mencapai kemajuan harus menjamin dirinya dengan sebuah ijazah universitas. Maksudnya bahwa kemanjuan masyarakat akan ditentukan oleh tenaga-tenaga professional yang setara dengan lulusan Perguruan Tinggi, yakni tenaga terpelajar (ilmiah), professional (amaliah) dan bermartabat (ahlakul karimah). Konsekwensi logisnya, Perguruan Tinggi bukan lagi sebagai kebutuhan “mewah” bagi golongan elit, melainkan sudah menjadi kebutuhan masyaraka luas (A. Malik Fadjar, 1998: 137).
Apabila Perguruan Tinggi termasuk PTAIS sudah menjadi kebutuhan pokok masyarakat untuk masa depannya, maka hubungan antara Perguruan Tinggi dan masyarakat harus terjalin erat, terbuka, dan saling menopang. Perguruan Tinggi menempatkan masyarakat sebagai objek yang harus mendapat pelayanan dan pengarahan darinya dengan penuh tanggung jawab. Sebaliknya, masyarakat juga hendaknya menyadari kebutuhannya kepada Perguruan Tinggi sehingga menimbulkan rasa tanggung jawa dan kepeduliannya terhadap kehidupan Perguruan Tinggi.
Untuk itu sangat beralasan kalau masyarakat di kota sampai di pelosok desa memandang Perguruan Tinggi sebagai suatu keniscayaan (fardu ain) dalam mempersiapkan kader-kader di masa yang akan datang. Muncullah banyak Perguruan Tinggi dan PTAIS tidak saja di ibukota Provinsi, tetapi hampir di tiap Kabupaten Kota hingga Kecamatan terdapat Perguruan Tinggi, baik dalam bentuk Sekolah Tinggi, Universitas maupun Institut.


Problem PTAIS
PTAIS adalah lembaga pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat muslim, bertujuan untuk menghasilkan ahli-ahli agama Islam yang terpelajar, professional dan berakhlakul karimah. Tujuan ini mulia dan universal, untuk itu semua komponen masyarakat mendukung keberlangsungan sebuah PTAIS di manapun dan kapapun berada.
Dalam sejarahnya, upaya pembelajaran di PTAIS sendiri telah berlangsung sejak dibukanya Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) di Jakarta pada bulan Juli 1945 menjelang Indonesia merdeka. Sejak itu telah terjadi dinamika dan perkembangan pendidikan tinggi Islam di Indonesia berawal dari lahirnya STAI yang kemudian berubah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta.
Perubahan STAI menjadi UII terjadi pada 1948, saat itu UII memiliki lima fakultas. Kemudian salah satu fakultas pada UII, yaitu Fakultas Agama diserahkan kepada pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama yang kemudian dijadikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dengan PP Nomor 34 Tahun 1950 dan ditandatangani oleh Presiden I tertanggal 14 Agustus 1950. Menurut pasal 2 dari PP Nomor 34 Tahun 1950 tersebut, dijelaskan bahwa Perguruan Tinggi Agama Islam bertujuan untuk memberi pelajaran tinggi dan menjadi pusat penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan tentang agama Islam.
Saat ini, perguruan tinggi Islam swasta, baik yang berbentuk universitas, institut ataupun yang lainnya telah berkembang dengan pesat. Perkembangan ini tidak hanya terlihat dari jumlah lembaga, tetapi juga terdapat pada jumlah jurusan dan program studi yang ditawarkan. Untuk itulah pemerintah membuat kebijakan bagi PTAIS terkait dengan jurusan dan program studi yang ditawarkan. Dengan bermetamorfosisnya IAIN menjadi UIN lapangan PTAIS/PTAIN semakin lebar dan menjajikan secara operasional.
Menurut catatan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama Republik Indonesia, Diktis memfasilitasi dan mengkoordinasikan lebih dari 500 Perguruan Tinggi Agama Islam yang tersebar di seluruh Indonesia. Jumlah ini terdiri dari empat klasifikasi, yakni: 1 Enam (6) Universitas Islam Negeri (UIN). 2 Dua belas (12) Institut Agama Islam Negeri (IAIN). 3 Tiga puluh dua (32) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) 4 Empat ratus enam puluh satu (461) Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS).


No Perguruan Tinggi Jumlah PTAIN/S Jumlah Prog. Studi
1 UIN 6 225
2 IAIN 12 262
3 STAIN 32 241
4 PTAIS 461 1071
JUMLAH 511 1799




Sumber:http://www.ditpertais.net/06/profil.asp

Pada tahun 2007, Pusat Data dan Analisa Tempo pernah menyelenggarakan survei tentang persepsi masyarakat terhadap perguruan tinggi di Indonesia. Hasilnya, dari “top of mind” PTS, hanya Universitas Islam Indonesia (UII) yang masuk urutan ke-8 PTS terfavorit. PTAIS lain belum masuk dalam urutan awal.
PTAIS sebagai salah satu lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat secara umum kualitasnya masih memprihatinkan. Keadaan PTIS di Indonesia cukup bervariatif. Namun dari 461 PTAIS yang ada, hanya 5% di antaranya yang dapat dikatakan mapan. Dari 5% PTIS yang dinilai sudah mapan saat ini, diantaranya Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Universitas Islam Bandung (Unisba), Universitas Sultan Agung (Unissula) Semarang dan beberapa universitas lainnya. Sementara selebihnya masih membutuhkan bantuan. Di manakah posisi STAIS Sofyan Tsauri Majenang?
Inilah yang menjadi problem PTAIS, termasuk STAI Sufyan Tsauri di Majenang belum menjadi Perguruan Tinggi ternama di daerah masing-masing. Beberapa permasalaha yang kompleks dia nataranya meliputi infrastruktur, mahasiswa, pembiayaan, proses akademik, dan kualitas lulusan.
Dari segi inftastruktur, walaupun pada umumnya PTAIS telah memiliki kampus, namun bervariasi antara yang berada di tanah milik dilengkapi dengan bangunan dan sarana yang memadai, namun ada juga yang masih menyewa, atau di kampus sendiri namun sarananya masih sederhana dan terbatas. Kampus PTAIS rata-rata dilengkapi dengan perpustakaan namun bervariasi antara yang banyak dan sedikit buku pustakanya. Begitu juga dengan laboratorium, baik micro teaching, komputer atau bahasa, rata-rata masih terbatas, bahkan ada yang belum memiliki.
Dari segi mahasiswa, banyak PTAIS kecil sekali animonya, apalagi selain Prodi PAI, sehingga kualitas in put tidak biasa diseleksi. Dampak Dari kecilnya jumlah penerimaan mahasiswa maka mengakibatkan sulitnya pembiayaan PTAIS, sebab rata-rata pembiayaan PTAIS tergantung pada dana Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). Sedikit sekali, PTAIS yang mempunyai sumber lain yang menjadi kiprah usahanya untuk membiayai program akademik. Bantuan dari pemerintah belum terbuka, harusnya Pemerintah menyetarakan anggaran bagi perguruan tinggi negeri dan swasta.
Dari problematika sarana yang terbatas, input mahasiswa yang kecil, jumlah biaya yang tidak memadai, berimplikasi pada problematika proses akademik. Dari segi kurikulum ditempuh pengurangan SKS sampai batas yang limitatif, dari segi hari perkuliahan dikurangi jumlahnya perminggu, rekruting dosen terbatas pada pemenuhan kebutuhan pokok, tidak mustahil terjadi penyederhanaan dalam proses perkuliahan dan ujian. Yang pasti, darma penelitian masih sangat terabaikan, kecuali dalam penelitian skripsi yang dilakukan mahasiswa. Begitu juga Kuliah Kerja Nyata atau yang sejenisnya sebagai salah satu program untuk darma pengabdian kepada masyarakat, ditunaikan dalam porsi yang terbatas.
Itulah problem klasik pengembangan PTAIS secara umum di berbagai daerah, tak menutup kemungkinan ini juga dialami oleh STAIS Sufyan Tsauri Majenang Cilacap. Namun ada problem akademik yang tidak banyak dibidik oleh oleh para penyelenggaran PTAIS, yakni tentang Perguruan Tinggi sebagai pusat keunggulan (center for excellent). Mengambil contoh perkembangan Pondok Pesantren di negeri ini. Pada zaman dahulu, banyak orang tua yang ingin mengirim pesantren karena ada keunggulan suatu pesantren. Sebut saja misalnya kalau ingin anaknya mempelajari ilmu alat, maka pesantren Sarang dan Lasem menjadi tujuannya. Kalau kepengin takhassus dalam ilmu tasawuf ada pesantren Mranggen atau Cilaacap. Apabila mengharapkan ilmu kejadugan maka pilihannya adalah pesantren Temanggung. Sementara pesantren beberapa pesantren di Pati dan Kaliwungi akan mengarahkan anak-anak santri takhassus ilmu fiqh.
Begitu juga dengan PTAI di masa sekarang ini. Kalau kepengin kuliah sambil menghafal Qur’an kirim ke UIN Malang, sedangkan persoalan Pemikiran Islam kirim ke UIN Jakarta, Filsafat dan Tasawuf ke UIN Jogya, dan Fiqih dan ilmu falaq ke IAIN Semarang.
Inilah nyang menjadi kekosongan sekaligus kesempatan untuk PTAIS untuk menjadikan dirinya sebagai center for excellent bagi sebagina ilmu-ilmu ke Islaman. Di tengah suasana problem klasik seperti tidak tersedia sarana dan dana yang banyak, namun PTAIS harus tetap berjuang maksimal dalam proses akademik melalui mekanisme yang sesuai dengan standar regulasi untuk mengantarkan para mahasiswa menjadi alumni yang memenuhi kompetensinya.
Dari pengamatan penulis selama menjadi Assesor di BAN PT, patut disyukuri bahwa berdasarkan hasil akreditasi Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, banyak PTAIS mendapat akreditasi yang tidak buruk, walau belum banyak yang mendapat akreditasi puncak, rata-rata sedang-sedang saja, antara B dan C.


PTAIS Sebagai Center for Excellent
Dari kondisi dan problem di atas, penulis menilai bahwa PTAIS sebenarnya mempunyai peluang untuk unggul karena PTAIS pada umumnya berdiri terlepas dari PTAIS yang lain sehingga tidak terkekang oleh gerak langkah PTAIS yang lain. Berbagai keputusan dapat diambil cepat tanpa harus memikirkan implikasinya secara nasional. Dengan kelonggaran yang dimilik PTAIS masih sangat terbuka peluang bagi PTAIS-PTAIS untuk berkembang lebih cepat.
Sebagai PTAIS yang membuka prodi PAI dan EI, STAI Sufyan Tsauri Majenang sangat memungkinkan menjadi pusat keunggulan (center for excellent) di lingkunga Kota Cilacap dan Majenang khususnya dan Jawa Tengah pada umumnya. Prodi PAI harus mempunyai cirri khos sebagai prodi yang mencetak tenaga-tenaga kependidikan handal. Meski Prodi PAI secara factual menjadi prodi favorit di berbagai PTAIS, namun persaingan sesame penyelenggara pendidikan perlu diperhatikan. STAI Sufyan Tsauri harus bisa member keunggulan tersendiri dalam melakukan proses akademik yang kompetitif. Tanpa keunggulan tertentu semisal keunggulan di bidang penguasaan metodolgis misalnya, atau keunggulan di bidang penguasaan materi ajar fiqh, lambat laun akan ditinggalkan calon mahasiswa.
Begitu juga prodi EI di STAIS Majenang harus menjadi pusat pengembangan ekonomi Islam baik aspek teoritik maupun pragmatis. Sebagai prodi baru, EI menjadi pusat perhatian para penyelenggara lembaga ekonomi syariah. Suka atau tidak suka mereka harus merekrut lulusan prodi EI sebagai keharusan baik formal maupun substansial. Secara formal, Bank Indonesia mengharuskan pimpinan di lingkungan lembaga perbankan dan lembaga keuangan non-bank harus SDM yang memahami ekonomi syariah. Di lapangan penyelenggara perbankan syariah yang hanya mengandalkan produk-produk syariahnya semata, tanpa diikuti dengan kesyariahan SDM banyak ditinggalkan oleh nasabahnya.
Sebagai informasi di bidang perbankan Syariah, awal tahun 2009 ada 6 Bank Umum Syariah, dengan 711 kantor. Pada Juni 2010 Bank Umum Syariah menjadi 10 dengan 1302 kantor. Belum lagi dengan UUS yang hingga Juni 2010 menjadi 23 Bank Umum yang membuka Usaha Unit Syariah, dan 400 BPR Syariah di Indonesia. Perkembangan lain yang berkaitan dengan lembaga keuangan syariah adalah menjamurnya BMT atau KJKS. Pusat Koprasi Syariah dan BMT Center mencatat bahwa di tahun 2006 ada 3020 BMT, 2009 ada 4000, dan di akhir 2010 ditargetkan menjadi 10 ribu BMT/KJKS, angka yang sangat fantastic dan menantang para penyelenggara pendidikan berbasis Ekonomi Syariah.
Untuk itu upaya-upaya yang harus dilakukan tidak bisa seperti membalik telapak tangan, tetapi harus melalui beberapa fase; pertama, fase pembangunan kesadaran. Kedua, fase pengembangan sarana fisik dan fasilitas. Ketiga, fase pengembangan akademik. Keempat, fase pengembangan dan penjaminan mutu. Dan yang terakhir, fase aktualisasi diri sebagai perguruan tinggi yang sesungguhnya.
Harus ada keberanian dan kemampuan penyelenggara dan pimpinan PTAIS untuk mengambil kebijakan “strategis” dalam mengembangkan PTAIS. Bagi STAIS Majenang yang sejak 2008 telah telah mengambil keputusan brilliant, harus menerapkan prinsip al-muhafadhoh alal qadimis sholih wal akhdzu wal ijad bil jadidiil ashlah. Wallohu a’lamu bis showab.



DAFTAR PUSTAKA
Dardjowidjojo, Soenjono, Pedoman Pendidikan Tinggi. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Daulay, Haidar Putra. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media, 2007.
Departemen Agama RI-Dirjen Pendidikan Islam, Panduan Pendirian PTAI di Lingkungan Departemen Agama, www.ditpertais.net/panduan.pdf .
Indrajit, R. Eko, et.al. Manajemen Perguruan Tinggi Modern. Yogyakarta: Andi Offset, 2006.
Fajar, Malik. Spektrum Pendidikan Islam. Malang: UMM Press, 1998.
Soetari Ad., Endang, Pengembangan Perguruan Tinggi Agama Islam Dalam Akselerasi Pembangunan di Daerah, Jurnal FAI Uniga Edisi Ke-2 Desember 2007 (Online), http://alimudin. multiply.com/favicon.ico (diakses pada 20 Mei 2008).
Suprayogo, Imam, Reformulasi Visi Pendidikan Islam. Malang: UIN Press.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

syukron pak info'nya,copy paste ya...