Nov 06, 2010 |
Hiruk-pikuk gelombang perombakan tatanan birokrasi di Fakultas Syari’ah belum berakhir ddengan dilantikanya Dekan baru, Imam Yahya. Teka-teki tentang siapa sosok yang akan menahkodai Fakultas Syari’ah selama 4 tahun kedepan telah terjawab. Imam Yahya yang dulunya menjabat Kap Prodi D3 PBS akhirnya dipercaya dewan senat untuk memimpin Fakultas Syariah. Setelah Pildek (Pemilihan Dekan) berakhir dengan dilantiknya Imam Yahya pada tanggal 28 Oktober 2010.
Selesai pelantikan dekan bukan berarti perombakan tatanan birokrasi di Fakultas syariah berakhir. Pil PD (Pemilihan Pembantu dekan) pun segera digelar. Menurut surat edaran dari Rektorat menyebutkan bahwa batas waktu bagi dekan baru untuk menyerahkan daftar calon PD selambat-lambatnya 2 bulan pasca Dekan dilantik. “Untuk tepatnya kapan saya masih menunggu surat edaran dari Rektorat lagi” tutur Imam Yahya ketika ditemui kru Justisia disela-sela kesibukannya. “Tapi mungkin sekitaran bulan Desember” tambahnya.
Menurut Statuta IAIN Tahun 2008 Pasal 92 dijelaskan bahwa syarat menjadi PD, baik PD I, PD II, atau PD III adalah, yang pertama calon PD mempunyai jabatan lektor kepala dan berpendidikan minimal S2. Yang kedua calon PD harus mempunyai jabatan lektor dan berpendidikan S3. Untuk proses pemilihanya agak berbeda dengan pemilihan dekan yang langsung dipilih senat melalui proses aklamasi. Untuk pemilihan PD, calon nya diajukan oleh Dekan untuk kemudian di pilih Senat. Tentu saja hak preogratif Dekan hanya sebatas pengajuan nama-nama calon PD.
Ketika dikonfirmasikan kepada Imam Yahya mengenai nama-nama calon PD, ia enggan menjawab dengan jelas.”masih belum ada nama-namanya karena masih dalam pertimbangan”. Tapi laki-laki berkulit putih ini menuturkan bahwa tidak menutup kemungkinan PD sebelumnya akan bisa di ajukan lagi bahkan dipilih lagi oleh Senat. Masih bungkamnya Dekan mengenai nama-nama calon PD membuat penasaran mahasiswa. Pasalnya PD-lah yang nantinya akan menyalurkan aspirasi mereka.
PD diibaratkan sebagai penjembatan mahasiswa serta karyawan di lingkup fakultas dan PD-lah yang nantinya akan mengurusi masalah-masalah teknis sesuai dengan bagian masing-masing, semisal PD3 yang mengurusi tentang kemahasiswaan. Sedangkan Dekan menangani masalah substantif yang diantaranya membuka relasi dan network bagi mahasiswa dan Fakultas Syariah.
Melalui rapat senat Fakultas Jum’at 20 Nopember 2010 Pukul 09.00-10.30 akhirnya terpilih Calon Pembantu Dekan masing-masing: Pembantu Dekan Bidang Akademik H. Abdul Ghofur,M.Ag., Pembantu Dekan Bidang Administrasi Keuangan M Saifullah,M.Ag., dan Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan Ahmad Arif Budiman, M.Ag.
Ketika ditanya tentang Ahmad Arif Junaidy, M.Ag., dan Dr. H.Arja Imroni,M.Ag, yang disebut-sebut sebagai tim sukses pada Pildek kemarin, Imam Yahya menyatakan bahwa beliau berdua tidak berkenan untuk duduk di PD karena kesibukan masing-masing, sehingga ketika diminta untuk mengisi formasi PD keduanya tidak punya waktu khusus untuk berkhidmah di Fakultas. Secara diplomatis Imam juga menyatakan bahwa komposisi ini adalah komposisi yang baik dalam menahkodai Fakultas 4 tahun mendatang. Selamat bagi Pimpinan Fakultas Syariah, semoga lebih maju dan sukses selalu.
Minggu, 28 November 2010
MOU IAIN WALISONGO DENGAN UNIVERSITI TEKNOLOGI MALAYSIA (UTM) JOHOR BAHRU MALAYSIA
Untuk mewujudkan konversi dari IAIN ke UIN (Universitas Islam Negeri), IAIN Walisongo Semarang melakukan berbagai upaya baik bidang akademik maupun administrasi pada umumnya. Salah satu yang dialkukan adalah merintis kerja sama dengan Universitas International yakni Universitas Teknologi Malaysia di Johor Bahru Malaysia.
Rektor IAIN Walisongo Semarang Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag. bersama 6 orang Pimpinan IAIN Walisongo Semarang yang terdiri dari Drs. H. Machasin, M.PSi. (Pembantu Rektor II), DR. Nasihun Amin (Dekan Fak. Ushuluddin), M.Ag., DR. M. Sulthon, M.Ag. (Dekan Fak. Dakwah), DR. Suja'i, M.Ag. (Dekan Fak. Tarbiyah), DR. Imam Yahya, M.Ag. (Dekan Fak. Syari'ah) dan Drs. H. Satriyan A. Rahman (Ka.Biro AUAK), menandatangani MOU dengan UTM Johor-Bahru Malaysia dalam bidang penelitian, joint seminar dan students exchange.
Dalam sambutannya, Timbalan Naib Canselor (TNC) bidang akademik Prof Dr. Mohd. Azrai Kassim,menyatakan bahwa IAIN Walisongo Semarang adalah salah satu PT di Indonesia dari 13 PT yangmelakukan MOU dengan UTM. Beliau berharap agar kerjasama ini bermanfaat di antara IAIN dan UTM. Bagi UTM kerjasama ini sebagai konsekwensi International University yang dikenal di seluruh dunia. Begitu juga bagi IAIN yang akan menjadi Universitas Islam Negeri, UTM akan membantu penyelenggaraan perkuliahan bila memang dibutuhkan. Prinsipnya UTM dan IAIN harus bisa saling melengkapi.
Begitu juga dengan harapan Rektor IAIN Walisongo Prof. DR. H. Muhibbin,M.Ag., agar UTN dan IAIN bisa saling tukar menukar Dosen dan Mahasiswa dalam rangka meningkatkan mutu ilmu pengetahuan. Sebagai PT yang sedang melakukan rintisan ke Universitas, kehadliran UTM bisa memberikan semangat baru dalam penyelenggaraan Pendidikan dan pengajaran di lingkungan IAIN.
Beliau menambahkan bahwa kedatangannya bersama pimpinan baru di lingkungan IAIN yakni Dekan-Dekan baru dari 4 Fakultas merupakan wujud keseriusan para pimpinan dalam menata IAIN ke depan lebih maju dan progresif. Selepas MOU inidiharapkan para Dekan bisa pengalaman positif nya untuk kemajuan IAIN. Dengan tenaga baru dan semangat baru Dekan-Dekan di lingkungan IAIN bisa menjadi pamatuk gagasan UIN Walisongo sebagai gerbang pemikiran Islam moderat di Indonesia. (Iy)
Rektor IAIN Walisongo Semarang Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag. bersama 6 orang Pimpinan IAIN Walisongo Semarang yang terdiri dari Drs. H. Machasin, M.PSi. (Pembantu Rektor II), DR. Nasihun Amin (Dekan Fak. Ushuluddin), M.Ag., DR. M. Sulthon, M.Ag. (Dekan Fak. Dakwah), DR. Suja'i, M.Ag. (Dekan Fak. Tarbiyah), DR. Imam Yahya, M.Ag. (Dekan Fak. Syari'ah) dan Drs. H. Satriyan A. Rahman (Ka.Biro AUAK), menandatangani MOU dengan UTM Johor-Bahru Malaysia dalam bidang penelitian, joint seminar dan students exchange.
Dalam sambutannya, Timbalan Naib Canselor (TNC) bidang akademik Prof Dr. Mohd. Azrai Kassim,menyatakan bahwa IAIN Walisongo Semarang adalah salah satu PT di Indonesia dari 13 PT yangmelakukan MOU dengan UTM. Beliau berharap agar kerjasama ini bermanfaat di antara IAIN dan UTM. Bagi UTM kerjasama ini sebagai konsekwensi International University yang dikenal di seluruh dunia. Begitu juga bagi IAIN yang akan menjadi Universitas Islam Negeri, UTM akan membantu penyelenggaraan perkuliahan bila memang dibutuhkan. Prinsipnya UTM dan IAIN harus bisa saling melengkapi.
Begitu juga dengan harapan Rektor IAIN Walisongo Prof. DR. H. Muhibbin,M.Ag., agar UTN dan IAIN bisa saling tukar menukar Dosen dan Mahasiswa dalam rangka meningkatkan mutu ilmu pengetahuan. Sebagai PT yang sedang melakukan rintisan ke Universitas, kehadliran UTM bisa memberikan semangat baru dalam penyelenggaraan Pendidikan dan pengajaran di lingkungan IAIN.
Beliau menambahkan bahwa kedatangannya bersama pimpinan baru di lingkungan IAIN yakni Dekan-Dekan baru dari 4 Fakultas merupakan wujud keseriusan para pimpinan dalam menata IAIN ke depan lebih maju dan progresif. Selepas MOU inidiharapkan para Dekan bisa pengalaman positif nya untuk kemajuan IAIN. Dengan tenaga baru dan semangat baru Dekan-Dekan di lingkungan IAIN bisa menjadi pamatuk gagasan UIN Walisongo sebagai gerbang pemikiran Islam moderat di Indonesia. (Iy)
Jumat, 08 Oktober 2010
Menumbuhkan Semangat Kewirausahaan Alumni Pesantren
Oleh: Dr. Imam Yahya, M.Ag.
(Alumni Pondok Pesantren An-Nur Lasem Rembang &
Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang)
Mengawali tulisan ini, penulis bermaksud merefleksikan peran dan kiprah alumni pondok pesantren di berbagai ruang dan bidang. Sejauhmana peran dan kiprahnya, tantangannya seperti apa dan bagaimana dengan komunitas jaringan alumni pesantren.
Untuk melihat sebaran ruang alumni pondok pesantren itu, maka paling tidak kita dapat melihat dalam beberapa aspek aktifitas dan ruang ; pertama, kiprah alumni yang bergerak di dunia pendidikan (seperti mereka yang memiliki pesantren, sekolah umum, madrasah, yayasan dan lembaga kursus), kedua, kiprah alumni di ranah politik (dalam hal ini baik ruang keterlibatan alumni dalam partai politik praktis, maupun pengamat politik), ketiga, kiprah alumni dalam dunia sosial-kemasyarakatan (pendidik, muballig, tokoh masyarakat, aktivis budaya, aktivis sosial, penggiat LSM), keempat, ruang alumni dibidang pemerintahan, dan kelima ruang alumni di ranah ekonomi dan kewirausahaan.
Dari lima ruang public yang dimasuki alumni pesantren, nampaknya ranah ekonomi dan kewirausahaan menenmpati urutan terakhir. Untuk itu tulisan ini bermaksud memberikan perspektif dan analisa sejauhmana potensi alumni dalam rangka meningkatkan peran di bidang ekonomi dan kewirausahaan di lingkungan masyarakat, dan bagaimana upaya yang harus dilakukan.
Menimbang Eksistensi Pesantren
Pesantren yang merupakan lembaga pendidikan tradisional sering dikaitkan dengan prinsip keikhlasan yang dimiliki guru-gurunya dalam mengajar, mereka mengajar tanpa pamrih dan terkadang hidup mereka “diwakafkan” untuk pesantren. keikhlasan para pendiri dan guru gurunya menjadi salah satu alasan mendasar perkembangan pesantren yang begitu cepat. Catatan Direktorat Pendidikan Islam Kementrian Agama Pusat, pada tahun 2006 saja di Indonesia ada 16.015 buah pesantren, sebuah angka yang sangat fantastik. Alumnusnya mencapai puluhan juta orang dan tersebar di seluruh pelosok tanah air. Fakta itu menunjukkan bahwa pesantren merupakan kekuatan potensial dan luar biasa yang dimiliki bangsa Indonesia. Perannya bagi kemajuan negara sungguh tak ternilai harganya.
Begitu juga dengan jiwa kesederhanaan dan apa adanya yang selalu ditanamkan di kalangan civitas akademika pesantren. Prinsip ini mengajarkan santri untuk hidup selalu dalam kesederhanaan, menghindari hal-hal yang berbau poya-poya atau tidak bermanfaat, sebuah system kehidupan yang berjalan dengan apa adanya seperti air yang mengalir.
Jiwa keikhlasan dan kesederhanaan ini harus terus dipertahankan, tetapi jangan sampai hal ini membuat pesantren tidak merasa berkewajiban untuk memperhatikan kesejahtraan guru-guru dan berusaha untuk meningkatkan fasilitas pendidikanny, atau memodernkannya. Dalam catatan Kemenag RI, banyak pesantren-pesantren khususnya pesantren salaf yang mempunyai fasilitas pendidikan di bawah standar. Sebagai contoh dalam hal asrama santri, satu kamar yang berukuran sekitar 3 x 2m dihuni oleh delapan hingga dua puluh santri, karena kamarnya penuh dengan lemari para santri terkadang harus tidur di kelas, di mesjid, jerambah dan hanya beralaskan sajadah dan berbantalkan peci di kepala.
Inilah gambaran umum tentang pesantren khususnya pesantren salaf, sehingga berimplikasi pada lulusan pesantren ketika berkiprah di masyarakat. Mereka merasa bahwa dirinya kelas dua bila dibandingkan dengan lulusan lembaga pendidikan lainnya seperti perguruan tinggi. Bekal soft skill seperti kemamandirian dan kesederhanaan seharusnya bisa menjadi modal dalam mengembangkan diri di tengah masyarakat.
Namun demikian situasi dan kondisi sederhana ini tidak berbanding lurus dengan kualitas SDM yang dihasilkan. Semakin sederha maka semakin jelek kualitas pendidikannnya, sebaliknya semakin baik maka semakin baik kualitas pendidikannnya. Banyak kader-kader pesantren yang pada akhirnya bisa eksis di tengah masyarakat baik lokal, regional, maupun nasional.
Menumbuhkan Sikap Entrepreneur
Berdasar kalkulasi Ciputra, seorang pengusaha properti, jumlah entrepreneur di tanah air saat ini baru sekitar 400 ribu orang atau 0,18 persen dari populasi. Padahal, untuk menjadi bangsa maju, Indonesia setidaknya butuh entrepreneur sebanyak 2 persen dari populasi. Untuk itu, Ciputra menyarankan agar pemerintah membentuk entrepreneurship center di setiap lembaga pendidikan termasuk pesantreni agar mampu mendidik para mahasiswa supaya dapat menciptakan lapangan kerja setelah menjadi sarjana.
Kurangnya minat para sarjana menjadi entrepreneur salah satunya memang disebabkan kurikulum perguruan tinggi yang tidak mendorong kreativitas wirausaha para mahasiswa. Universitas hanya mencetak calon-calon buruh terdidik yang hanya puas mendapat gaji dan tidak berani mengambil risiko memulai sebuah usaha.
Kerwirausaha merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia karena keberadaannya sebagai khalifah fil-ardh dimaksudkan untuk memakmurkan bumi dan membawanya ke arah yang lebih baik. Namun kenyataannya tidak mudah bagi kita untuk memulai terjun berwirausaha. Kendala, rintangan dan kesukaran senantiasa menghampiri aktifitas didalamnya, namun demikian berbagai permasalahan yang datang adalah lembaran utama berupa proses menuju pendewasaan dan kematangan seorang entrepreneurship yang bermuara pada kesuksesan dalam mengelola suatu bidang usaha.
Berikut kunci sukses berwirausaha menurut Dr. Reinald Kasali untuk memulai suatu usaha bisa sukses yaitu : BODOL (Berani, Optimis, pakai Duit Orang lain), BOTOL (Berani, Optimis, pakai Tenaga Orang Lain), dan BOBOL (berani, optimis, pakai sistem Bisnis Orang Lain/ meniru Bisnis Orang Lain).
1. BODOL. Menggunakan uang orang lain dalam memulai usaha Justru amat menantang karena ada kewajiban untuk mengembalikannya tepat waktu. Lagipula jika uang orang lain yang dipakai maka secara logika spritual yang mendo’akan supaya usaha sukses tidak hanya kita, tapi seluruh keluarga yang punya uang.
2. BOTOL. Inilah bedanya pedagang dan pengusaha, pedagang merefleksikan dirinya sebagai pemilik, manajer, sekaligus sebagai karyawan apapun, sehingga usaha tersebut bertumpu hanya pada dirinya sensiri. Berbeda dengan pebisnis, system usaha dibangun berdasatrkan fungsi masing-masing. Owner (pemilik), manajer, dan karyawan mempunyai fungsi masing-masing, sehingga dalam sebuah bisnia perlu merekrut tenaga orang lain agar usahanya jalan. Warteg misalnya yang berkembang di Jakarta, sudah menerapkan system bisnis modern sehingga mereka ntetap eksis meski pemiliknya tinggal di Tegal.
3. BOBOL. Untuk BOBOL, disarankan untuk meniru sistem yang sudah sukses, misalnya waralaba. Atau untuk jenis produknya, bisa meniru yang sudah sukses dengan melakukan sedikit inovasi. Bukan mustahil, kita yang datang belakangan bisa lebih sukses dari pendahulu kita jika memang kualitasnya lebih baik dan harganya lebih murah.
Seorang entrepreneur harus bisa memanfaatkan waktu, tenaga (ketrampilan) dan duit orang lain untuk mencapai kesuksesan. Artinya, yang fokus dalam berusaha bukanlah si pengusahanya melainkan para profesional yang bekerja padanya. Tentu saja para profesional ini bisa jadi lebih pandai darinya. Agar para profesional ini tidak lari, maka perlu membesarkan radius kepercayaan mereka. Salah satunya dengan cara berikan saham atau profit sharing yang seimbang dengan profesionalitas masing-masing.
Tentu ketiga prinsip ini harus dibarengi dnegan sikap mental yang harus perlu dimiliki oleh seorang wirausahawan agar sukses menjalankan wirausahanya, di antaranya adalah : (1) Kreatif dan Inovatif; (2) Optimis dan Tegar; (3) Pekerja Keras; (4) Multi Tasking; (5) Berhemat, dan (6) Berani Ambil Resiko.
Profil Bisnis Pesantren
Tidak bermaksud menggurui alumni pesantren, tetapi sekedar menggugah angan-angan untuk memberikan eksistensi alumni di tengah masyarakat, bahwa alumni pesantren bisa melakukan upaya-upaya entrepreneur sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
1. Bisnis Waralaba; yaitu kerja sama antara entrepreneur (franchisee) dengan perusahaan besar (franchisor/parent company) dalam mengadakan persetujuan perjanjian untuk menyelenggarakan usaha. Bentuk usaha fanchisee adalah duplikasi dari perusahaan franchisor.
Kerja sama ini biasanya dengan dukungan awal seperti pemilihan tempat, rencana bangunan, pembelian peralatan, pola arus kerja, pemilihan karyawan, advertensi, pembukuan, pencatatan dan akuntansi, konsultasi, standar, promosi, pengendalian kualitas, riset, nasihat hukum, dan sumber sumber permodalan.
KELEBIHAN KEKURANGAN
Pelatihan formal
Batuan manajemen keuangan
Metode pemasaran yang telah terbukti
Bantuan manajemen operasional
Jangka waktu permulaan bisnis lebih cepat
Tingkat kegagalan keseluruhan lebih rendah
Pajak Franchise
Royalti
Batas pertumbuhan
Kurangnya kebebasan dalam operasi
Franchisor mungkin penyalur tunggal dari beberapa perlengkapan
2. Koperasi Jasa Keuangan Syariah; KJKS atau BMT Syirkah Muawanah merupakan upaya minimal dalam rangka mediasi antara shohibul mal dengan mudhorib dalam istilah perbankan syariah. Upaya ini telah dilalkukan oleh Pesantren Maslakul Huda dengan mendidrikan BPR Syariah Arta Huda dan BPR Konvensional Arta Surya di Kajen Pati.
3. Wisata Religi; Wisata religi merupakan fenomena manarik yang semakin hari semakin menyita waktu sebagian besar masyarakat Indonesia umumnya, dan masyarakat santri di Jawa pada khususnya. Menarik tidak hanya dilihat dari aspek syar’I tetapi dari aspek bisnis menjadi ranah bisnis yang prospektif. Menyiapkan saraana transportasi, menyiapkan akomodasi seperti penginapan dan konsumsi menjadi lahan yang menarik. Untuk itu bermunculan EO (event organization) atau penyelenggara wisata yang konsen dengan wisata religi.
Contoh-contoh tersebut sekedar profil bisnis yang sangat mungkin dilakukan oleh para alumni pesantren yang ingin berkiprah dalam dunia kewirausahaan (entrepreneur). Selamat mencoba. Wallohu A’lamu bi Shawab.
(Alumni Pondok Pesantren An-Nur Lasem Rembang &
Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang)
Mengawali tulisan ini, penulis bermaksud merefleksikan peran dan kiprah alumni pondok pesantren di berbagai ruang dan bidang. Sejauhmana peran dan kiprahnya, tantangannya seperti apa dan bagaimana dengan komunitas jaringan alumni pesantren.
Untuk melihat sebaran ruang alumni pondok pesantren itu, maka paling tidak kita dapat melihat dalam beberapa aspek aktifitas dan ruang ; pertama, kiprah alumni yang bergerak di dunia pendidikan (seperti mereka yang memiliki pesantren, sekolah umum, madrasah, yayasan dan lembaga kursus), kedua, kiprah alumni di ranah politik (dalam hal ini baik ruang keterlibatan alumni dalam partai politik praktis, maupun pengamat politik), ketiga, kiprah alumni dalam dunia sosial-kemasyarakatan (pendidik, muballig, tokoh masyarakat, aktivis budaya, aktivis sosial, penggiat LSM), keempat, ruang alumni dibidang pemerintahan, dan kelima ruang alumni di ranah ekonomi dan kewirausahaan.
Dari lima ruang public yang dimasuki alumni pesantren, nampaknya ranah ekonomi dan kewirausahaan menenmpati urutan terakhir. Untuk itu tulisan ini bermaksud memberikan perspektif dan analisa sejauhmana potensi alumni dalam rangka meningkatkan peran di bidang ekonomi dan kewirausahaan di lingkungan masyarakat, dan bagaimana upaya yang harus dilakukan.
Menimbang Eksistensi Pesantren
Pesantren yang merupakan lembaga pendidikan tradisional sering dikaitkan dengan prinsip keikhlasan yang dimiliki guru-gurunya dalam mengajar, mereka mengajar tanpa pamrih dan terkadang hidup mereka “diwakafkan” untuk pesantren. keikhlasan para pendiri dan guru gurunya menjadi salah satu alasan mendasar perkembangan pesantren yang begitu cepat. Catatan Direktorat Pendidikan Islam Kementrian Agama Pusat, pada tahun 2006 saja di Indonesia ada 16.015 buah pesantren, sebuah angka yang sangat fantastik. Alumnusnya mencapai puluhan juta orang dan tersebar di seluruh pelosok tanah air. Fakta itu menunjukkan bahwa pesantren merupakan kekuatan potensial dan luar biasa yang dimiliki bangsa Indonesia. Perannya bagi kemajuan negara sungguh tak ternilai harganya.
Begitu juga dengan jiwa kesederhanaan dan apa adanya yang selalu ditanamkan di kalangan civitas akademika pesantren. Prinsip ini mengajarkan santri untuk hidup selalu dalam kesederhanaan, menghindari hal-hal yang berbau poya-poya atau tidak bermanfaat, sebuah system kehidupan yang berjalan dengan apa adanya seperti air yang mengalir.
Jiwa keikhlasan dan kesederhanaan ini harus terus dipertahankan, tetapi jangan sampai hal ini membuat pesantren tidak merasa berkewajiban untuk memperhatikan kesejahtraan guru-guru dan berusaha untuk meningkatkan fasilitas pendidikanny, atau memodernkannya. Dalam catatan Kemenag RI, banyak pesantren-pesantren khususnya pesantren salaf yang mempunyai fasilitas pendidikan di bawah standar. Sebagai contoh dalam hal asrama santri, satu kamar yang berukuran sekitar 3 x 2m dihuni oleh delapan hingga dua puluh santri, karena kamarnya penuh dengan lemari para santri terkadang harus tidur di kelas, di mesjid, jerambah dan hanya beralaskan sajadah dan berbantalkan peci di kepala.
Inilah gambaran umum tentang pesantren khususnya pesantren salaf, sehingga berimplikasi pada lulusan pesantren ketika berkiprah di masyarakat. Mereka merasa bahwa dirinya kelas dua bila dibandingkan dengan lulusan lembaga pendidikan lainnya seperti perguruan tinggi. Bekal soft skill seperti kemamandirian dan kesederhanaan seharusnya bisa menjadi modal dalam mengembangkan diri di tengah masyarakat.
Namun demikian situasi dan kondisi sederhana ini tidak berbanding lurus dengan kualitas SDM yang dihasilkan. Semakin sederha maka semakin jelek kualitas pendidikannnya, sebaliknya semakin baik maka semakin baik kualitas pendidikannnya. Banyak kader-kader pesantren yang pada akhirnya bisa eksis di tengah masyarakat baik lokal, regional, maupun nasional.
Menumbuhkan Sikap Entrepreneur
Berdasar kalkulasi Ciputra, seorang pengusaha properti, jumlah entrepreneur di tanah air saat ini baru sekitar 400 ribu orang atau 0,18 persen dari populasi. Padahal, untuk menjadi bangsa maju, Indonesia setidaknya butuh entrepreneur sebanyak 2 persen dari populasi. Untuk itu, Ciputra menyarankan agar pemerintah membentuk entrepreneurship center di setiap lembaga pendidikan termasuk pesantreni agar mampu mendidik para mahasiswa supaya dapat menciptakan lapangan kerja setelah menjadi sarjana.
Kurangnya minat para sarjana menjadi entrepreneur salah satunya memang disebabkan kurikulum perguruan tinggi yang tidak mendorong kreativitas wirausaha para mahasiswa. Universitas hanya mencetak calon-calon buruh terdidik yang hanya puas mendapat gaji dan tidak berani mengambil risiko memulai sebuah usaha.
Kerwirausaha merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia karena keberadaannya sebagai khalifah fil-ardh dimaksudkan untuk memakmurkan bumi dan membawanya ke arah yang lebih baik. Namun kenyataannya tidak mudah bagi kita untuk memulai terjun berwirausaha. Kendala, rintangan dan kesukaran senantiasa menghampiri aktifitas didalamnya, namun demikian berbagai permasalahan yang datang adalah lembaran utama berupa proses menuju pendewasaan dan kematangan seorang entrepreneurship yang bermuara pada kesuksesan dalam mengelola suatu bidang usaha.
Berikut kunci sukses berwirausaha menurut Dr. Reinald Kasali untuk memulai suatu usaha bisa sukses yaitu : BODOL (Berani, Optimis, pakai Duit Orang lain), BOTOL (Berani, Optimis, pakai Tenaga Orang Lain), dan BOBOL (berani, optimis, pakai sistem Bisnis Orang Lain/ meniru Bisnis Orang Lain).
1. BODOL. Menggunakan uang orang lain dalam memulai usaha Justru amat menantang karena ada kewajiban untuk mengembalikannya tepat waktu. Lagipula jika uang orang lain yang dipakai maka secara logika spritual yang mendo’akan supaya usaha sukses tidak hanya kita, tapi seluruh keluarga yang punya uang.
2. BOTOL. Inilah bedanya pedagang dan pengusaha, pedagang merefleksikan dirinya sebagai pemilik, manajer, sekaligus sebagai karyawan apapun, sehingga usaha tersebut bertumpu hanya pada dirinya sensiri. Berbeda dengan pebisnis, system usaha dibangun berdasatrkan fungsi masing-masing. Owner (pemilik), manajer, dan karyawan mempunyai fungsi masing-masing, sehingga dalam sebuah bisnia perlu merekrut tenaga orang lain agar usahanya jalan. Warteg misalnya yang berkembang di Jakarta, sudah menerapkan system bisnis modern sehingga mereka ntetap eksis meski pemiliknya tinggal di Tegal.
3. BOBOL. Untuk BOBOL, disarankan untuk meniru sistem yang sudah sukses, misalnya waralaba. Atau untuk jenis produknya, bisa meniru yang sudah sukses dengan melakukan sedikit inovasi. Bukan mustahil, kita yang datang belakangan bisa lebih sukses dari pendahulu kita jika memang kualitasnya lebih baik dan harganya lebih murah.
Seorang entrepreneur harus bisa memanfaatkan waktu, tenaga (ketrampilan) dan duit orang lain untuk mencapai kesuksesan. Artinya, yang fokus dalam berusaha bukanlah si pengusahanya melainkan para profesional yang bekerja padanya. Tentu saja para profesional ini bisa jadi lebih pandai darinya. Agar para profesional ini tidak lari, maka perlu membesarkan radius kepercayaan mereka. Salah satunya dengan cara berikan saham atau profit sharing yang seimbang dengan profesionalitas masing-masing.
Tentu ketiga prinsip ini harus dibarengi dnegan sikap mental yang harus perlu dimiliki oleh seorang wirausahawan agar sukses menjalankan wirausahanya, di antaranya adalah : (1) Kreatif dan Inovatif; (2) Optimis dan Tegar; (3) Pekerja Keras; (4) Multi Tasking; (5) Berhemat, dan (6) Berani Ambil Resiko.
Profil Bisnis Pesantren
Tidak bermaksud menggurui alumni pesantren, tetapi sekedar menggugah angan-angan untuk memberikan eksistensi alumni di tengah masyarakat, bahwa alumni pesantren bisa melakukan upaya-upaya entrepreneur sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
1. Bisnis Waralaba; yaitu kerja sama antara entrepreneur (franchisee) dengan perusahaan besar (franchisor/parent company) dalam mengadakan persetujuan perjanjian untuk menyelenggarakan usaha. Bentuk usaha fanchisee adalah duplikasi dari perusahaan franchisor.
Kerja sama ini biasanya dengan dukungan awal seperti pemilihan tempat, rencana bangunan, pembelian peralatan, pola arus kerja, pemilihan karyawan, advertensi, pembukuan, pencatatan dan akuntansi, konsultasi, standar, promosi, pengendalian kualitas, riset, nasihat hukum, dan sumber sumber permodalan.
KELEBIHAN KEKURANGAN
Pelatihan formal
Batuan manajemen keuangan
Metode pemasaran yang telah terbukti
Bantuan manajemen operasional
Jangka waktu permulaan bisnis lebih cepat
Tingkat kegagalan keseluruhan lebih rendah
Pajak Franchise
Royalti
Batas pertumbuhan
Kurangnya kebebasan dalam operasi
Franchisor mungkin penyalur tunggal dari beberapa perlengkapan
2. Koperasi Jasa Keuangan Syariah; KJKS atau BMT Syirkah Muawanah merupakan upaya minimal dalam rangka mediasi antara shohibul mal dengan mudhorib dalam istilah perbankan syariah. Upaya ini telah dilalkukan oleh Pesantren Maslakul Huda dengan mendidrikan BPR Syariah Arta Huda dan BPR Konvensional Arta Surya di Kajen Pati.
3. Wisata Religi; Wisata religi merupakan fenomena manarik yang semakin hari semakin menyita waktu sebagian besar masyarakat Indonesia umumnya, dan masyarakat santri di Jawa pada khususnya. Menarik tidak hanya dilihat dari aspek syar’I tetapi dari aspek bisnis menjadi ranah bisnis yang prospektif. Menyiapkan saraana transportasi, menyiapkan akomodasi seperti penginapan dan konsumsi menjadi lahan yang menarik. Untuk itu bermunculan EO (event organization) atau penyelenggara wisata yang konsen dengan wisata religi.
Contoh-contoh tersebut sekedar profil bisnis yang sangat mungkin dilakukan oleh para alumni pesantren yang ingin berkiprah dalam dunia kewirausahaan (entrepreneur). Selamat mencoba. Wallohu A’lamu bi Shawab.
Kamis, 30 September 2010
Pengembangan STAIS Menuju Center of Excellent
Oleh: Imam Yahya
(Dosen Fakultas Syari'ah dan Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang)
Pengantar
Eksistensi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIS) semakin hari semakin penting dalam rangka membangun dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM dalam menjalankan pembangunan masyarakat untuk masa kini dan masa datang. Maju mundurnya suatu bangsa saat ini sangat tergantung kepada kemampuan profesional warganya dalam mengelola dan mengolah Sumber Daya Alam (SDM) yang tersedia. Untuk memiliki kemampuan ini seseorang tidak cukup lagi dengan pendidikan menengah, apalagi dengan pendidikan rendah saja.
Mantan Menteri Agama Malik Fajar, mengutip pernyataan E. Bolsius, menyatakan bahwa jika setiap orang ingin mencapai kemajuan harus menjamin dirinya dengan sebuah ijazah universitas. Maksudnya bahwa kemanjuan masyarakat akan ditentukan oleh tenaga-tenaga professional yang setara dengan lulusan Perguruan Tinggi, yakni tenaga terpelajar (ilmiah), professional (amaliah) dan bermartabat (ahlakul karimah). Konsekwensi logisnya, Perguruan Tinggi bukan lagi sebagai kebutuhan “mewah” bagi golongan elit, melainkan sudah menjadi kebutuhan masyaraka luas (A. Malik Fadjar, 1998: 137).
Apabila Perguruan Tinggi termasuk PTAIS sudah menjadi kebutuhan pokok masyarakat untuk masa depannya, maka hubungan antara Perguruan Tinggi dan masyarakat harus terjalin erat, terbuka, dan saling menopang. Perguruan Tinggi menempatkan masyarakat sebagai objek yang harus mendapat pelayanan dan pengarahan darinya dengan penuh tanggung jawab. Sebaliknya, masyarakat juga hendaknya menyadari kebutuhannya kepada Perguruan Tinggi sehingga menimbulkan rasa tanggung jawa dan kepeduliannya terhadap kehidupan Perguruan Tinggi.
Untuk itu sangat beralasan kalau masyarakat di kota sampai di pelosok desa memandang Perguruan Tinggi sebagai suatu keniscayaan (fardu ain) dalam mempersiapkan kader-kader di masa yang akan datang. Muncullah banyak Perguruan Tinggi dan PTAIS tidak saja di ibukota Provinsi, tetapi hampir di tiap Kabupaten Kota hingga Kecamatan terdapat Perguruan Tinggi, baik dalam bentuk Sekolah Tinggi, Universitas maupun Institut.
Problem PTAIS
PTAIS adalah lembaga pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat muslim, bertujuan untuk menghasilkan ahli-ahli agama Islam yang terpelajar, professional dan berakhlakul karimah. Tujuan ini mulia dan universal, untuk itu semua komponen masyarakat mendukung keberlangsungan sebuah PTAIS di manapun dan kapapun berada.
Dalam sejarahnya, upaya pembelajaran di PTAIS sendiri telah berlangsung sejak dibukanya Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) di Jakarta pada bulan Juli 1945 menjelang Indonesia merdeka. Sejak itu telah terjadi dinamika dan perkembangan pendidikan tinggi Islam di Indonesia berawal dari lahirnya STAI yang kemudian berubah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta.
Perubahan STAI menjadi UII terjadi pada 1948, saat itu UII memiliki lima fakultas. Kemudian salah satu fakultas pada UII, yaitu Fakultas Agama diserahkan kepada pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama yang kemudian dijadikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dengan PP Nomor 34 Tahun 1950 dan ditandatangani oleh Presiden I tertanggal 14 Agustus 1950. Menurut pasal 2 dari PP Nomor 34 Tahun 1950 tersebut, dijelaskan bahwa Perguruan Tinggi Agama Islam bertujuan untuk memberi pelajaran tinggi dan menjadi pusat penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan tentang agama Islam.
Saat ini, perguruan tinggi Islam swasta, baik yang berbentuk universitas, institut ataupun yang lainnya telah berkembang dengan pesat. Perkembangan ini tidak hanya terlihat dari jumlah lembaga, tetapi juga terdapat pada jumlah jurusan dan program studi yang ditawarkan. Untuk itulah pemerintah membuat kebijakan bagi PTAIS terkait dengan jurusan dan program studi yang ditawarkan. Dengan bermetamorfosisnya IAIN menjadi UIN lapangan PTAIS/PTAIN semakin lebar dan menjajikan secara operasional.
Menurut catatan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama Republik Indonesia, Diktis memfasilitasi dan mengkoordinasikan lebih dari 500 Perguruan Tinggi Agama Islam yang tersebar di seluruh Indonesia. Jumlah ini terdiri dari empat klasifikasi, yakni: 1 Enam (6) Universitas Islam Negeri (UIN). 2 Dua belas (12) Institut Agama Islam Negeri (IAIN). 3 Tiga puluh dua (32) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) 4 Empat ratus enam puluh satu (461) Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS).
No Perguruan Tinggi Jumlah PTAIN/S Jumlah Prog. Studi
1 UIN 6 225
2 IAIN 12 262
3 STAIN 32 241
4 PTAIS 461 1071
JUMLAH 511 1799
Sumber:http://www.ditpertais.net/06/profil.asp
Pada tahun 2007, Pusat Data dan Analisa Tempo pernah menyelenggarakan survei tentang persepsi masyarakat terhadap perguruan tinggi di Indonesia. Hasilnya, dari “top of mind” PTS, hanya Universitas Islam Indonesia (UII) yang masuk urutan ke-8 PTS terfavorit. PTAIS lain belum masuk dalam urutan awal.
PTAIS sebagai salah satu lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat secara umum kualitasnya masih memprihatinkan. Keadaan PTIS di Indonesia cukup bervariatif. Namun dari 461 PTAIS yang ada, hanya 5% di antaranya yang dapat dikatakan mapan. Dari 5% PTIS yang dinilai sudah mapan saat ini, diantaranya Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Universitas Islam Bandung (Unisba), Universitas Sultan Agung (Unissula) Semarang dan beberapa universitas lainnya. Sementara selebihnya masih membutuhkan bantuan. Di manakah posisi STAIS Sofyan Tsauri Majenang?
Inilah yang menjadi problem PTAIS, termasuk STAI Sufyan Tsauri di Majenang belum menjadi Perguruan Tinggi ternama di daerah masing-masing. Beberapa permasalaha yang kompleks dia nataranya meliputi infrastruktur, mahasiswa, pembiayaan, proses akademik, dan kualitas lulusan.
Dari segi inftastruktur, walaupun pada umumnya PTAIS telah memiliki kampus, namun bervariasi antara yang berada di tanah milik dilengkapi dengan bangunan dan sarana yang memadai, namun ada juga yang masih menyewa, atau di kampus sendiri namun sarananya masih sederhana dan terbatas. Kampus PTAIS rata-rata dilengkapi dengan perpustakaan namun bervariasi antara yang banyak dan sedikit buku pustakanya. Begitu juga dengan laboratorium, baik micro teaching, komputer atau bahasa, rata-rata masih terbatas, bahkan ada yang belum memiliki.
Dari segi mahasiswa, banyak PTAIS kecil sekali animonya, apalagi selain Prodi PAI, sehingga kualitas in put tidak biasa diseleksi. Dampak Dari kecilnya jumlah penerimaan mahasiswa maka mengakibatkan sulitnya pembiayaan PTAIS, sebab rata-rata pembiayaan PTAIS tergantung pada dana Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). Sedikit sekali, PTAIS yang mempunyai sumber lain yang menjadi kiprah usahanya untuk membiayai program akademik. Bantuan dari pemerintah belum terbuka, harusnya Pemerintah menyetarakan anggaran bagi perguruan tinggi negeri dan swasta.
Dari problematika sarana yang terbatas, input mahasiswa yang kecil, jumlah biaya yang tidak memadai, berimplikasi pada problematika proses akademik. Dari segi kurikulum ditempuh pengurangan SKS sampai batas yang limitatif, dari segi hari perkuliahan dikurangi jumlahnya perminggu, rekruting dosen terbatas pada pemenuhan kebutuhan pokok, tidak mustahil terjadi penyederhanaan dalam proses perkuliahan dan ujian. Yang pasti, darma penelitian masih sangat terabaikan, kecuali dalam penelitian skripsi yang dilakukan mahasiswa. Begitu juga Kuliah Kerja Nyata atau yang sejenisnya sebagai salah satu program untuk darma pengabdian kepada masyarakat, ditunaikan dalam porsi yang terbatas.
Itulah problem klasik pengembangan PTAIS secara umum di berbagai daerah, tak menutup kemungkinan ini juga dialami oleh STAIS Sufyan Tsauri Majenang Cilacap. Namun ada problem akademik yang tidak banyak dibidik oleh oleh para penyelenggaran PTAIS, yakni tentang Perguruan Tinggi sebagai pusat keunggulan (center for excellent). Mengambil contoh perkembangan Pondok Pesantren di negeri ini. Pada zaman dahulu, banyak orang tua yang ingin mengirim pesantren karena ada keunggulan suatu pesantren. Sebut saja misalnya kalau ingin anaknya mempelajari ilmu alat, maka pesantren Sarang dan Lasem menjadi tujuannya. Kalau kepengin takhassus dalam ilmu tasawuf ada pesantren Mranggen atau Cilaacap. Apabila mengharapkan ilmu kejadugan maka pilihannya adalah pesantren Temanggung. Sementara pesantren beberapa pesantren di Pati dan Kaliwungi akan mengarahkan anak-anak santri takhassus ilmu fiqh.
Begitu juga dengan PTAI di masa sekarang ini. Kalau kepengin kuliah sambil menghafal Qur’an kirim ke UIN Malang, sedangkan persoalan Pemikiran Islam kirim ke UIN Jakarta, Filsafat dan Tasawuf ke UIN Jogya, dan Fiqih dan ilmu falaq ke IAIN Semarang.
Inilah nyang menjadi kekosongan sekaligus kesempatan untuk PTAIS untuk menjadikan dirinya sebagai center for excellent bagi sebagina ilmu-ilmu ke Islaman. Di tengah suasana problem klasik seperti tidak tersedia sarana dan dana yang banyak, namun PTAIS harus tetap berjuang maksimal dalam proses akademik melalui mekanisme yang sesuai dengan standar regulasi untuk mengantarkan para mahasiswa menjadi alumni yang memenuhi kompetensinya.
Dari pengamatan penulis selama menjadi Assesor di BAN PT, patut disyukuri bahwa berdasarkan hasil akreditasi Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, banyak PTAIS mendapat akreditasi yang tidak buruk, walau belum banyak yang mendapat akreditasi puncak, rata-rata sedang-sedang saja, antara B dan C.
PTAIS Sebagai Center for Excellent
Dari kondisi dan problem di atas, penulis menilai bahwa PTAIS sebenarnya mempunyai peluang untuk unggul karena PTAIS pada umumnya berdiri terlepas dari PTAIS yang lain sehingga tidak terkekang oleh gerak langkah PTAIS yang lain. Berbagai keputusan dapat diambil cepat tanpa harus memikirkan implikasinya secara nasional. Dengan kelonggaran yang dimilik PTAIS masih sangat terbuka peluang bagi PTAIS-PTAIS untuk berkembang lebih cepat.
Sebagai PTAIS yang membuka prodi PAI dan EI, STAI Sufyan Tsauri Majenang sangat memungkinkan menjadi pusat keunggulan (center for excellent) di lingkunga Kota Cilacap dan Majenang khususnya dan Jawa Tengah pada umumnya. Prodi PAI harus mempunyai cirri khos sebagai prodi yang mencetak tenaga-tenaga kependidikan handal. Meski Prodi PAI secara factual menjadi prodi favorit di berbagai PTAIS, namun persaingan sesame penyelenggara pendidikan perlu diperhatikan. STAI Sufyan Tsauri harus bisa member keunggulan tersendiri dalam melakukan proses akademik yang kompetitif. Tanpa keunggulan tertentu semisal keunggulan di bidang penguasaan metodolgis misalnya, atau keunggulan di bidang penguasaan materi ajar fiqh, lambat laun akan ditinggalkan calon mahasiswa.
Begitu juga prodi EI di STAIS Majenang harus menjadi pusat pengembangan ekonomi Islam baik aspek teoritik maupun pragmatis. Sebagai prodi baru, EI menjadi pusat perhatian para penyelenggara lembaga ekonomi syariah. Suka atau tidak suka mereka harus merekrut lulusan prodi EI sebagai keharusan baik formal maupun substansial. Secara formal, Bank Indonesia mengharuskan pimpinan di lingkungan lembaga perbankan dan lembaga keuangan non-bank harus SDM yang memahami ekonomi syariah. Di lapangan penyelenggara perbankan syariah yang hanya mengandalkan produk-produk syariahnya semata, tanpa diikuti dengan kesyariahan SDM banyak ditinggalkan oleh nasabahnya.
Sebagai informasi di bidang perbankan Syariah, awal tahun 2009 ada 6 Bank Umum Syariah, dengan 711 kantor. Pada Juni 2010 Bank Umum Syariah menjadi 10 dengan 1302 kantor. Belum lagi dengan UUS yang hingga Juni 2010 menjadi 23 Bank Umum yang membuka Usaha Unit Syariah, dan 400 BPR Syariah di Indonesia. Perkembangan lain yang berkaitan dengan lembaga keuangan syariah adalah menjamurnya BMT atau KJKS. Pusat Koprasi Syariah dan BMT Center mencatat bahwa di tahun 2006 ada 3020 BMT, 2009 ada 4000, dan di akhir 2010 ditargetkan menjadi 10 ribu BMT/KJKS, angka yang sangat fantastic dan menantang para penyelenggara pendidikan berbasis Ekonomi Syariah.
Untuk itu upaya-upaya yang harus dilakukan tidak bisa seperti membalik telapak tangan, tetapi harus melalui beberapa fase; pertama, fase pembangunan kesadaran. Kedua, fase pengembangan sarana fisik dan fasilitas. Ketiga, fase pengembangan akademik. Keempat, fase pengembangan dan penjaminan mutu. Dan yang terakhir, fase aktualisasi diri sebagai perguruan tinggi yang sesungguhnya.
Harus ada keberanian dan kemampuan penyelenggara dan pimpinan PTAIS untuk mengambil kebijakan “strategis” dalam mengembangkan PTAIS. Bagi STAIS Majenang yang sejak 2008 telah telah mengambil keputusan brilliant, harus menerapkan prinsip al-muhafadhoh alal qadimis sholih wal akhdzu wal ijad bil jadidiil ashlah. Wallohu a’lamu bis showab.
DAFTAR PUSTAKA
Dardjowidjojo, Soenjono, Pedoman Pendidikan Tinggi. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Daulay, Haidar Putra. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media, 2007.
Departemen Agama RI-Dirjen Pendidikan Islam, Panduan Pendirian PTAI di Lingkungan Departemen Agama, www.ditpertais.net/panduan.pdf .
Indrajit, R. Eko, et.al. Manajemen Perguruan Tinggi Modern. Yogyakarta: Andi Offset, 2006.
Fajar, Malik. Spektrum Pendidikan Islam. Malang: UMM Press, 1998.
Soetari Ad., Endang, Pengembangan Perguruan Tinggi Agama Islam Dalam Akselerasi Pembangunan di Daerah, Jurnal FAI Uniga Edisi Ke-2 Desember 2007 (Online), http://alimudin. multiply.com/favicon.ico (diakses pada 20 Mei 2008).
Suprayogo, Imam, Reformulasi Visi Pendidikan Islam. Malang: UIN Press.
(Dosen Fakultas Syari'ah dan Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang)
Pengantar
Eksistensi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIS) semakin hari semakin penting dalam rangka membangun dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM dalam menjalankan pembangunan masyarakat untuk masa kini dan masa datang. Maju mundurnya suatu bangsa saat ini sangat tergantung kepada kemampuan profesional warganya dalam mengelola dan mengolah Sumber Daya Alam (SDM) yang tersedia. Untuk memiliki kemampuan ini seseorang tidak cukup lagi dengan pendidikan menengah, apalagi dengan pendidikan rendah saja.
Mantan Menteri Agama Malik Fajar, mengutip pernyataan E. Bolsius, menyatakan bahwa jika setiap orang ingin mencapai kemajuan harus menjamin dirinya dengan sebuah ijazah universitas. Maksudnya bahwa kemanjuan masyarakat akan ditentukan oleh tenaga-tenaga professional yang setara dengan lulusan Perguruan Tinggi, yakni tenaga terpelajar (ilmiah), professional (amaliah) dan bermartabat (ahlakul karimah). Konsekwensi logisnya, Perguruan Tinggi bukan lagi sebagai kebutuhan “mewah” bagi golongan elit, melainkan sudah menjadi kebutuhan masyaraka luas (A. Malik Fadjar, 1998: 137).
Apabila Perguruan Tinggi termasuk PTAIS sudah menjadi kebutuhan pokok masyarakat untuk masa depannya, maka hubungan antara Perguruan Tinggi dan masyarakat harus terjalin erat, terbuka, dan saling menopang. Perguruan Tinggi menempatkan masyarakat sebagai objek yang harus mendapat pelayanan dan pengarahan darinya dengan penuh tanggung jawab. Sebaliknya, masyarakat juga hendaknya menyadari kebutuhannya kepada Perguruan Tinggi sehingga menimbulkan rasa tanggung jawa dan kepeduliannya terhadap kehidupan Perguruan Tinggi.
Untuk itu sangat beralasan kalau masyarakat di kota sampai di pelosok desa memandang Perguruan Tinggi sebagai suatu keniscayaan (fardu ain) dalam mempersiapkan kader-kader di masa yang akan datang. Muncullah banyak Perguruan Tinggi dan PTAIS tidak saja di ibukota Provinsi, tetapi hampir di tiap Kabupaten Kota hingga Kecamatan terdapat Perguruan Tinggi, baik dalam bentuk Sekolah Tinggi, Universitas maupun Institut.
Problem PTAIS
PTAIS adalah lembaga pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat muslim, bertujuan untuk menghasilkan ahli-ahli agama Islam yang terpelajar, professional dan berakhlakul karimah. Tujuan ini mulia dan universal, untuk itu semua komponen masyarakat mendukung keberlangsungan sebuah PTAIS di manapun dan kapapun berada.
Dalam sejarahnya, upaya pembelajaran di PTAIS sendiri telah berlangsung sejak dibukanya Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) di Jakarta pada bulan Juli 1945 menjelang Indonesia merdeka. Sejak itu telah terjadi dinamika dan perkembangan pendidikan tinggi Islam di Indonesia berawal dari lahirnya STAI yang kemudian berubah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta.
Perubahan STAI menjadi UII terjadi pada 1948, saat itu UII memiliki lima fakultas. Kemudian salah satu fakultas pada UII, yaitu Fakultas Agama diserahkan kepada pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama yang kemudian dijadikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dengan PP Nomor 34 Tahun 1950 dan ditandatangani oleh Presiden I tertanggal 14 Agustus 1950. Menurut pasal 2 dari PP Nomor 34 Tahun 1950 tersebut, dijelaskan bahwa Perguruan Tinggi Agama Islam bertujuan untuk memberi pelajaran tinggi dan menjadi pusat penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan tentang agama Islam.
Saat ini, perguruan tinggi Islam swasta, baik yang berbentuk universitas, institut ataupun yang lainnya telah berkembang dengan pesat. Perkembangan ini tidak hanya terlihat dari jumlah lembaga, tetapi juga terdapat pada jumlah jurusan dan program studi yang ditawarkan. Untuk itulah pemerintah membuat kebijakan bagi PTAIS terkait dengan jurusan dan program studi yang ditawarkan. Dengan bermetamorfosisnya IAIN menjadi UIN lapangan PTAIS/PTAIN semakin lebar dan menjajikan secara operasional.
Menurut catatan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama Republik Indonesia, Diktis memfasilitasi dan mengkoordinasikan lebih dari 500 Perguruan Tinggi Agama Islam yang tersebar di seluruh Indonesia. Jumlah ini terdiri dari empat klasifikasi, yakni: 1 Enam (6) Universitas Islam Negeri (UIN). 2 Dua belas (12) Institut Agama Islam Negeri (IAIN). 3 Tiga puluh dua (32) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) 4 Empat ratus enam puluh satu (461) Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS).
No Perguruan Tinggi Jumlah PTAIN/S Jumlah Prog. Studi
1 UIN 6 225
2 IAIN 12 262
3 STAIN 32 241
4 PTAIS 461 1071
JUMLAH 511 1799
Sumber:http://www.ditpertais.net/06/profil.asp
Pada tahun 2007, Pusat Data dan Analisa Tempo pernah menyelenggarakan survei tentang persepsi masyarakat terhadap perguruan tinggi di Indonesia. Hasilnya, dari “top of mind” PTS, hanya Universitas Islam Indonesia (UII) yang masuk urutan ke-8 PTS terfavorit. PTAIS lain belum masuk dalam urutan awal.
PTAIS sebagai salah satu lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat secara umum kualitasnya masih memprihatinkan. Keadaan PTIS di Indonesia cukup bervariatif. Namun dari 461 PTAIS yang ada, hanya 5% di antaranya yang dapat dikatakan mapan. Dari 5% PTIS yang dinilai sudah mapan saat ini, diantaranya Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Universitas Islam Bandung (Unisba), Universitas Sultan Agung (Unissula) Semarang dan beberapa universitas lainnya. Sementara selebihnya masih membutuhkan bantuan. Di manakah posisi STAIS Sofyan Tsauri Majenang?
Inilah yang menjadi problem PTAIS, termasuk STAI Sufyan Tsauri di Majenang belum menjadi Perguruan Tinggi ternama di daerah masing-masing. Beberapa permasalaha yang kompleks dia nataranya meliputi infrastruktur, mahasiswa, pembiayaan, proses akademik, dan kualitas lulusan.
Dari segi inftastruktur, walaupun pada umumnya PTAIS telah memiliki kampus, namun bervariasi antara yang berada di tanah milik dilengkapi dengan bangunan dan sarana yang memadai, namun ada juga yang masih menyewa, atau di kampus sendiri namun sarananya masih sederhana dan terbatas. Kampus PTAIS rata-rata dilengkapi dengan perpustakaan namun bervariasi antara yang banyak dan sedikit buku pustakanya. Begitu juga dengan laboratorium, baik micro teaching, komputer atau bahasa, rata-rata masih terbatas, bahkan ada yang belum memiliki.
Dari segi mahasiswa, banyak PTAIS kecil sekali animonya, apalagi selain Prodi PAI, sehingga kualitas in put tidak biasa diseleksi. Dampak Dari kecilnya jumlah penerimaan mahasiswa maka mengakibatkan sulitnya pembiayaan PTAIS, sebab rata-rata pembiayaan PTAIS tergantung pada dana Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). Sedikit sekali, PTAIS yang mempunyai sumber lain yang menjadi kiprah usahanya untuk membiayai program akademik. Bantuan dari pemerintah belum terbuka, harusnya Pemerintah menyetarakan anggaran bagi perguruan tinggi negeri dan swasta.
Dari problematika sarana yang terbatas, input mahasiswa yang kecil, jumlah biaya yang tidak memadai, berimplikasi pada problematika proses akademik. Dari segi kurikulum ditempuh pengurangan SKS sampai batas yang limitatif, dari segi hari perkuliahan dikurangi jumlahnya perminggu, rekruting dosen terbatas pada pemenuhan kebutuhan pokok, tidak mustahil terjadi penyederhanaan dalam proses perkuliahan dan ujian. Yang pasti, darma penelitian masih sangat terabaikan, kecuali dalam penelitian skripsi yang dilakukan mahasiswa. Begitu juga Kuliah Kerja Nyata atau yang sejenisnya sebagai salah satu program untuk darma pengabdian kepada masyarakat, ditunaikan dalam porsi yang terbatas.
Itulah problem klasik pengembangan PTAIS secara umum di berbagai daerah, tak menutup kemungkinan ini juga dialami oleh STAIS Sufyan Tsauri Majenang Cilacap. Namun ada problem akademik yang tidak banyak dibidik oleh oleh para penyelenggaran PTAIS, yakni tentang Perguruan Tinggi sebagai pusat keunggulan (center for excellent). Mengambil contoh perkembangan Pondok Pesantren di negeri ini. Pada zaman dahulu, banyak orang tua yang ingin mengirim pesantren karena ada keunggulan suatu pesantren. Sebut saja misalnya kalau ingin anaknya mempelajari ilmu alat, maka pesantren Sarang dan Lasem menjadi tujuannya. Kalau kepengin takhassus dalam ilmu tasawuf ada pesantren Mranggen atau Cilaacap. Apabila mengharapkan ilmu kejadugan maka pilihannya adalah pesantren Temanggung. Sementara pesantren beberapa pesantren di Pati dan Kaliwungi akan mengarahkan anak-anak santri takhassus ilmu fiqh.
Begitu juga dengan PTAI di masa sekarang ini. Kalau kepengin kuliah sambil menghafal Qur’an kirim ke UIN Malang, sedangkan persoalan Pemikiran Islam kirim ke UIN Jakarta, Filsafat dan Tasawuf ke UIN Jogya, dan Fiqih dan ilmu falaq ke IAIN Semarang.
Inilah nyang menjadi kekosongan sekaligus kesempatan untuk PTAIS untuk menjadikan dirinya sebagai center for excellent bagi sebagina ilmu-ilmu ke Islaman. Di tengah suasana problem klasik seperti tidak tersedia sarana dan dana yang banyak, namun PTAIS harus tetap berjuang maksimal dalam proses akademik melalui mekanisme yang sesuai dengan standar regulasi untuk mengantarkan para mahasiswa menjadi alumni yang memenuhi kompetensinya.
Dari pengamatan penulis selama menjadi Assesor di BAN PT, patut disyukuri bahwa berdasarkan hasil akreditasi Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, banyak PTAIS mendapat akreditasi yang tidak buruk, walau belum banyak yang mendapat akreditasi puncak, rata-rata sedang-sedang saja, antara B dan C.
PTAIS Sebagai Center for Excellent
Dari kondisi dan problem di atas, penulis menilai bahwa PTAIS sebenarnya mempunyai peluang untuk unggul karena PTAIS pada umumnya berdiri terlepas dari PTAIS yang lain sehingga tidak terkekang oleh gerak langkah PTAIS yang lain. Berbagai keputusan dapat diambil cepat tanpa harus memikirkan implikasinya secara nasional. Dengan kelonggaran yang dimilik PTAIS masih sangat terbuka peluang bagi PTAIS-PTAIS untuk berkembang lebih cepat.
Sebagai PTAIS yang membuka prodi PAI dan EI, STAI Sufyan Tsauri Majenang sangat memungkinkan menjadi pusat keunggulan (center for excellent) di lingkunga Kota Cilacap dan Majenang khususnya dan Jawa Tengah pada umumnya. Prodi PAI harus mempunyai cirri khos sebagai prodi yang mencetak tenaga-tenaga kependidikan handal. Meski Prodi PAI secara factual menjadi prodi favorit di berbagai PTAIS, namun persaingan sesame penyelenggara pendidikan perlu diperhatikan. STAI Sufyan Tsauri harus bisa member keunggulan tersendiri dalam melakukan proses akademik yang kompetitif. Tanpa keunggulan tertentu semisal keunggulan di bidang penguasaan metodolgis misalnya, atau keunggulan di bidang penguasaan materi ajar fiqh, lambat laun akan ditinggalkan calon mahasiswa.
Begitu juga prodi EI di STAIS Majenang harus menjadi pusat pengembangan ekonomi Islam baik aspek teoritik maupun pragmatis. Sebagai prodi baru, EI menjadi pusat perhatian para penyelenggara lembaga ekonomi syariah. Suka atau tidak suka mereka harus merekrut lulusan prodi EI sebagai keharusan baik formal maupun substansial. Secara formal, Bank Indonesia mengharuskan pimpinan di lingkungan lembaga perbankan dan lembaga keuangan non-bank harus SDM yang memahami ekonomi syariah. Di lapangan penyelenggara perbankan syariah yang hanya mengandalkan produk-produk syariahnya semata, tanpa diikuti dengan kesyariahan SDM banyak ditinggalkan oleh nasabahnya.
Sebagai informasi di bidang perbankan Syariah, awal tahun 2009 ada 6 Bank Umum Syariah, dengan 711 kantor. Pada Juni 2010 Bank Umum Syariah menjadi 10 dengan 1302 kantor. Belum lagi dengan UUS yang hingga Juni 2010 menjadi 23 Bank Umum yang membuka Usaha Unit Syariah, dan 400 BPR Syariah di Indonesia. Perkembangan lain yang berkaitan dengan lembaga keuangan syariah adalah menjamurnya BMT atau KJKS. Pusat Koprasi Syariah dan BMT Center mencatat bahwa di tahun 2006 ada 3020 BMT, 2009 ada 4000, dan di akhir 2010 ditargetkan menjadi 10 ribu BMT/KJKS, angka yang sangat fantastic dan menantang para penyelenggara pendidikan berbasis Ekonomi Syariah.
Untuk itu upaya-upaya yang harus dilakukan tidak bisa seperti membalik telapak tangan, tetapi harus melalui beberapa fase; pertama, fase pembangunan kesadaran. Kedua, fase pengembangan sarana fisik dan fasilitas. Ketiga, fase pengembangan akademik. Keempat, fase pengembangan dan penjaminan mutu. Dan yang terakhir, fase aktualisasi diri sebagai perguruan tinggi yang sesungguhnya.
Harus ada keberanian dan kemampuan penyelenggara dan pimpinan PTAIS untuk mengambil kebijakan “strategis” dalam mengembangkan PTAIS. Bagi STAIS Majenang yang sejak 2008 telah telah mengambil keputusan brilliant, harus menerapkan prinsip al-muhafadhoh alal qadimis sholih wal akhdzu wal ijad bil jadidiil ashlah. Wallohu a’lamu bis showab.
DAFTAR PUSTAKA
Dardjowidjojo, Soenjono, Pedoman Pendidikan Tinggi. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Daulay, Haidar Putra. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media, 2007.
Departemen Agama RI-Dirjen Pendidikan Islam, Panduan Pendirian PTAI di Lingkungan Departemen Agama, www.ditpertais.net/panduan.pdf .
Indrajit, R. Eko, et.al. Manajemen Perguruan Tinggi Modern. Yogyakarta: Andi Offset, 2006.
Fajar, Malik. Spektrum Pendidikan Islam. Malang: UMM Press, 1998.
Soetari Ad., Endang, Pengembangan Perguruan Tinggi Agama Islam Dalam Akselerasi Pembangunan di Daerah, Jurnal FAI Uniga Edisi Ke-2 Desember 2007 (Online), http://alimudin. multiply.com/favicon.ico (diakses pada 20 Mei 2008).
Suprayogo, Imam, Reformulasi Visi Pendidikan Islam. Malang: UIN Press.
Senin, 20 September 2010
BELAJAR MENGEMBAN AMANAH
(Kampus, justisia.com) – Suhu konstelasi politik Pemilihan Dekan (Pildek) Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo akhirnya mencapai titik didih. Selasa, (31/8) senat Fakultas Syari’ah mengadakan rapat senat tertutup di ruang sidang Fakultas Syari’ah lantai dua. “Karena sidang tertutup maka selain anggota senat tidak diperbolehkan masuk ke ruang sidang,” tutur salah satu panita, Anang, ketika dikonfirmasi justisia.com.
Ia menyambung, “awal rapat terjadi tarik ulur dalam pembahasan Tata Tertib (Tatib),” katanya. “Pembahasan tatib saja alot, karena statuta dirasa masih mengambang,” lanjut bapak berkumis ini.
Dari pantuan, suasana rapat terlihat sangat menegangkan. Dosen yang tidak termasuk anggota senat pun tidak diperbolehkan masuk ke ruang sidang. Tak lama kemudian Antin Latifah, anggota paniti keluar. “Secara aklamasi pak Imam yang jadi,” tuturnya. Menyusul Antin kemudian anggota senat yang lain juga ikut berhamburan keluar.
Terlihat beberapa anggota senat yang lain masih berjabat tangan sambil berpelukan. Lalu, keluar berpapasanlah dengan Muhyidin, sebagai mantan dekan periode kemarin. Kemudian berjabat tangan sambil saya dipeluk (wah pak pertama kalinya saya dipeluk seorang dekan). Sangking terburu-buru ingin segera mendapatkan info yang valid tentang kemenangan kemudian justisia.com menghampiri Maksun, sebagai ketua sidang. “Meskipun hasil rapat belum fiks, tapi sekiranya rapat sudah bisa menetapkan siapa yang berhak melenggang ke kursi dekan,” bilangnya.
Setelah mempertimbangkan hasil rapat maka dekan Fakultas Syari’ah menetapkan secara aklamasi memilih Imam Yahya menjadi dekan periode 2010-2014. Itu kurang lebih point penting surat keputusan dekan yang diperoleh dari hasil rapat senat tertutup. Dari situ secara aklamasi Imam Yahya berhak melenggang ke kursi dekan melanjutkan estafet perjuangan Muhyidin.[justisia/ol/cep]
Ia menyambung, “awal rapat terjadi tarik ulur dalam pembahasan Tata Tertib (Tatib),” katanya. “Pembahasan tatib saja alot, karena statuta dirasa masih mengambang,” lanjut bapak berkumis ini.
Dari pantuan, suasana rapat terlihat sangat menegangkan. Dosen yang tidak termasuk anggota senat pun tidak diperbolehkan masuk ke ruang sidang. Tak lama kemudian Antin Latifah, anggota paniti keluar. “Secara aklamasi pak Imam yang jadi,” tuturnya. Menyusul Antin kemudian anggota senat yang lain juga ikut berhamburan keluar.
Terlihat beberapa anggota senat yang lain masih berjabat tangan sambil berpelukan. Lalu, keluar berpapasanlah dengan Muhyidin, sebagai mantan dekan periode kemarin. Kemudian berjabat tangan sambil saya dipeluk (wah pak pertama kalinya saya dipeluk seorang dekan). Sangking terburu-buru ingin segera mendapatkan info yang valid tentang kemenangan kemudian justisia.com menghampiri Maksun, sebagai ketua sidang. “Meskipun hasil rapat belum fiks, tapi sekiranya rapat sudah bisa menetapkan siapa yang berhak melenggang ke kursi dekan,” bilangnya.
Setelah mempertimbangkan hasil rapat maka dekan Fakultas Syari’ah menetapkan secara aklamasi memilih Imam Yahya menjadi dekan periode 2010-2014. Itu kurang lebih point penting surat keputusan dekan yang diperoleh dari hasil rapat senat tertutup. Dari situ secara aklamasi Imam Yahya berhak melenggang ke kursi dekan melanjutkan estafet perjuangan Muhyidin.[justisia/ol/cep]
Sabtu, 04 September 2010
Puasa dan Kesabaran
Oleh : Imam Yahya
(Dosen Fakultas Syariah dan Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang)
"Wahai saudara-saudaraku, lautan ada di belakang kalian, musuh ada di depan kalian, ke manakah kalian akan lari?, Demi Allah, yang kalian miliki hanyalah kejujuran dan kesabaran. Ketahuilah bahwa di pulau ini kalian lebih terlantar dari pada anak yatim yang ada di lingkungan orang-orang hina. Musuh kalian telah menyambut dengan pasukan dan senjata mereka. Kekuatan mereka sangat besar, sementara kalian tanpa perlindungan selain pedang-pedang kalian, tanpa kekuatan selain dari barang-barang yang kalian rampas dari tangan musuh kalian.
Demikian pidato yang terkenal ini, dilontarkan oleh seorang panglima perang Islam ketika hendak menaklukkan negeri Andalusia (Spanyol), pada bulan Rajab tahun 97 H (Juli 711 M), yakni Thariq bin Ziyad. Nama pejuang Islam ini begitu harum, hingga harus diabadikan untuk sebuah semenanjung perbukitan karang setinggi 425 m di pantai tenggara Spanyol, Gibraltar atau Jabal Tariq.
Berkat keseriusan dan kesabaran Thariq dan melaksanakan perintah pemimpin negaranya yakni Musa bin Nushair, Gubernur Afrika Utara, Thariq dengan pasukan 7000 tentara bisa menaklukkan 25000 tentara Spanyol tanpa susah payah. Kesabaran Thariq ini menjadi teladan bagi kita untuk merenungkan bahwa kesabaran yakni sabar untuk senantiasa berpegang pada jalan Alloh akan membawa kepada kenikmatan dan kebahagiaan bagi yang memilikinya. Sabar untuk konsisten melaksanakan suatu perbuatan yang telah direncanakan sebelumnya.
Sabar bukan berarti kita berpangku tangan dengan apa yang menimpa kepada diri kita, tetapi sabar sebagaimana disebutkan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridlo, dalam tafsir Al Manar, mempunyai arti al juhdu wa al istimrar, yaitu berusaha secara terus-menerus.
Dalam konteks puasa, Alloh menguji kesabaran kita untuk meninggalkan sesuatu yang membatalkan puasa yakni makan dan minum serta dari segala perbuatan yang membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari, dalam rangka meningkatkan ketaqwaan seorang muslim. Inilah relasi puasa dan sabar, puasa sebagai salah satu rukun Islam yang harus dilaksanakan dengan ikhlaas dan sabar karena mengharap ridho dan maghfiroh Alloh SWT. Sebagaimana firman Allah pada Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 183 "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa".
Selama berpuasa kita juga disuruh sabar untuk melakukan ibadah-ibadah lain yang dianjurkan. Dalam sebuah hadits menyebutkan bahwa ibadahnya orang yang berpuasa akan dilipatgandakan sebanyhak mungkin sebagaimana hadits Nabi, “Puasa itu untuk ku dan Aku yang akan memberikan padala kepada orang yang berpuasa”.
Secara tekstual lewat Surah Al Baqarah ayat 45, Alloh SWT berfirman "Dan mintalah pertolongan (kepada Alloh) dengan sabar dan sholat. Dan sesungguhnya yang demikian ini sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu." Kata sabar yang mendahului kata shalat itu mempunyai makna, betapa sikap sabar itu sangat penting dalam menjalankan segala perintah Alloh.
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu sekalian dan teguhkanlah kesabaranmu itu dan tetaplah bersiap siaga, dan bertaqwalah kepada Alloh supaya kamu beruntung” (Q.S. Ali Imran : 200). Ayat ini memerintahkan untuk bersabar dalam menjalani ketaatan ketika mengalami musibah, menahan diri dari maksiat dengan jalan beribadah dan berjuang melawan kekufuran, serta bersiap siaga penuh untuk berjihad di jalan Allah SWT.
Para ulama membagi sabar menjadi tiga kategori; sabar atas mushibah, sabar dari makshiyat, dan sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Alloh SWT. Sabar atas mushibah berarti kita tegar ketika kita diberi cobaan dari Alloh, mencari alternative untuk keluar dari mushibah yang tentunya tidak kita harapkan. Tidaklah Alloh memberikan cobaan kepada kita kecuali Alloh telah mempertimbangkan kemampuan kita, tinggal manusialah yang harus memilih sesuai dengan kemampuan yang kita miliki.
Sabar dari maksiyat artinya dengan kesadaran penuh untuk meninggalkan kemaksiyatan dan kemafsadatan. Kita yakin bahwa apa yang dilarang oleh Alloh pasti mempunyai mefek negative bagi kehidupan mansuia. Oleh karena itu seindah apapun kemaksiyatan hanyalah performance belaka dan harus ditinggalkan.
Sabar yang ketiga, sabar untuk taat kjepada Alloh. Bentuk sabar inilah yang kita ambil dari prosesi ibadah puasa yang secara fsisik maupun psikologis memberikan pelajaran kepada kita untuk mengasah kesabaran kita agar bisa mendaparkan kategori “shabirin” hamba yang sabar yang disenangi oleh Alloh SWT.****
(Dosen Fakultas Syariah dan Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang)
"Wahai saudara-saudaraku, lautan ada di belakang kalian, musuh ada di depan kalian, ke manakah kalian akan lari?, Demi Allah, yang kalian miliki hanyalah kejujuran dan kesabaran. Ketahuilah bahwa di pulau ini kalian lebih terlantar dari pada anak yatim yang ada di lingkungan orang-orang hina. Musuh kalian telah menyambut dengan pasukan dan senjata mereka. Kekuatan mereka sangat besar, sementara kalian tanpa perlindungan selain pedang-pedang kalian, tanpa kekuatan selain dari barang-barang yang kalian rampas dari tangan musuh kalian.
Demikian pidato yang terkenal ini, dilontarkan oleh seorang panglima perang Islam ketika hendak menaklukkan negeri Andalusia (Spanyol), pada bulan Rajab tahun 97 H (Juli 711 M), yakni Thariq bin Ziyad. Nama pejuang Islam ini begitu harum, hingga harus diabadikan untuk sebuah semenanjung perbukitan karang setinggi 425 m di pantai tenggara Spanyol, Gibraltar atau Jabal Tariq.
Berkat keseriusan dan kesabaran Thariq dan melaksanakan perintah pemimpin negaranya yakni Musa bin Nushair, Gubernur Afrika Utara, Thariq dengan pasukan 7000 tentara bisa menaklukkan 25000 tentara Spanyol tanpa susah payah. Kesabaran Thariq ini menjadi teladan bagi kita untuk merenungkan bahwa kesabaran yakni sabar untuk senantiasa berpegang pada jalan Alloh akan membawa kepada kenikmatan dan kebahagiaan bagi yang memilikinya. Sabar untuk konsisten melaksanakan suatu perbuatan yang telah direncanakan sebelumnya.
Sabar bukan berarti kita berpangku tangan dengan apa yang menimpa kepada diri kita, tetapi sabar sebagaimana disebutkan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridlo, dalam tafsir Al Manar, mempunyai arti al juhdu wa al istimrar, yaitu berusaha secara terus-menerus.
Dalam konteks puasa, Alloh menguji kesabaran kita untuk meninggalkan sesuatu yang membatalkan puasa yakni makan dan minum serta dari segala perbuatan yang membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari, dalam rangka meningkatkan ketaqwaan seorang muslim. Inilah relasi puasa dan sabar, puasa sebagai salah satu rukun Islam yang harus dilaksanakan dengan ikhlaas dan sabar karena mengharap ridho dan maghfiroh Alloh SWT. Sebagaimana firman Allah pada Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 183 "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa".
Selama berpuasa kita juga disuruh sabar untuk melakukan ibadah-ibadah lain yang dianjurkan. Dalam sebuah hadits menyebutkan bahwa ibadahnya orang yang berpuasa akan dilipatgandakan sebanyhak mungkin sebagaimana hadits Nabi, “Puasa itu untuk ku dan Aku yang akan memberikan padala kepada orang yang berpuasa”.
Secara tekstual lewat Surah Al Baqarah ayat 45, Alloh SWT berfirman "Dan mintalah pertolongan (kepada Alloh) dengan sabar dan sholat. Dan sesungguhnya yang demikian ini sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu." Kata sabar yang mendahului kata shalat itu mempunyai makna, betapa sikap sabar itu sangat penting dalam menjalankan segala perintah Alloh.
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu sekalian dan teguhkanlah kesabaranmu itu dan tetaplah bersiap siaga, dan bertaqwalah kepada Alloh supaya kamu beruntung” (Q.S. Ali Imran : 200). Ayat ini memerintahkan untuk bersabar dalam menjalani ketaatan ketika mengalami musibah, menahan diri dari maksiat dengan jalan beribadah dan berjuang melawan kekufuran, serta bersiap siaga penuh untuk berjihad di jalan Allah SWT.
Para ulama membagi sabar menjadi tiga kategori; sabar atas mushibah, sabar dari makshiyat, dan sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Alloh SWT. Sabar atas mushibah berarti kita tegar ketika kita diberi cobaan dari Alloh, mencari alternative untuk keluar dari mushibah yang tentunya tidak kita harapkan. Tidaklah Alloh memberikan cobaan kepada kita kecuali Alloh telah mempertimbangkan kemampuan kita, tinggal manusialah yang harus memilih sesuai dengan kemampuan yang kita miliki.
Sabar dari maksiyat artinya dengan kesadaran penuh untuk meninggalkan kemaksiyatan dan kemafsadatan. Kita yakin bahwa apa yang dilarang oleh Alloh pasti mempunyai mefek negative bagi kehidupan mansuia. Oleh karena itu seindah apapun kemaksiyatan hanyalah performance belaka dan harus ditinggalkan.
Sabar yang ketiga, sabar untuk taat kjepada Alloh. Bentuk sabar inilah yang kita ambil dari prosesi ibadah puasa yang secara fsisik maupun psikologis memberikan pelajaran kepada kita untuk mengasah kesabaran kita agar bisa mendaparkan kategori “shabirin” hamba yang sabar yang disenangi oleh Alloh SWT.****
Selasa, 15 Juni 2010
KONTRA TERORISME ALA PESANTREN
Oleh: Imam Yahya, Dr. M.Ag.
(Dosen Fakultas Syariah dan Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang.
Makalah disampaikan pada acara Halaqoh: Pesantren Kontra Terorisme,
Rabu 2 Juni 2010 di Semarang.)
Banyak di antara umat Islam yang tidak sepakat dengan terorisme dikaitkan dengan Pesantren, apalagi kalangan pesantren salaf yang selama ini mengembangkan ilmu-ilmu keIslaman murni di kalangan nahdliyyin. Namun fakta membuktikan bahwa terorisme yang berkembang selam ini di pesantren tidak lepas dari sistem pendidikan di “pesantren” yang tersebar di seantero negeri tercinta ini.
Sebut saja misalnya trio bom Bali (Amrozi, Ali Ghufron dan Imam Samudera) yang telah dieksekusi di penghujung tahun 2009 lalu, yang pernah mengaji di pesantren “Al-Islam” Ngruki Sukoharjo Solo. Dua di antaramya Amrozi dan Ali Ghufron betul-betul tercatat sebagai alumni Pondok Pesantren tersebut.Fakta inilah yang pada akhirnya menjadikan wacana Pesantren bertautan dengan wacana terorisme yang banyak dikaji belakangan ini.
Data penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian IAIN Walisongo Semaranga tahun 2008, ada tiga model pesantren yang tersebar di Jawa Tengah; ada pesantren tradisional, modern dan pesantren salafi.
Tentu saja, serangkaian tragedi pemboman di Bali ini merupakan pukulan yang dahsyat bagi bangsa Indonesia. Mungkin kalau tidak ada tragedi Bali dan rentetan pemboman lainnya, isu terorisme di Indonesia akan selalu diabaikan dan UU Terorisme tidak pernah dilegalkan. UU Terorisme selama ini selalu menjadi perdebatan di kalangan masyarakat karena dianggap akan mengembalikan kekuasaan militer dan mengancam kebebasan yang selama ini baru dinikmati masyarakat Indonesia. Peraturan ini dikhawatirkan akan merenggut demokrasi yang baru dibangun dan coba ditegakkan di bumi Indonesia tercinta ini.
Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim terbanyak di dunia mempunyai peran dan posisi yang sangat penting dalam rangka memberantas terorisme dengan cara menegakkan dan menjalankan kehidupan demokrasi dalam sistem negaranya. Peran ini bisa menjadi model dan rujukan negara-negara Islam yang kebanyakan sangat minim dan rendah responnya terhadap upaya penanganan terorisme.
A. Konsep Dasar Terorisme
1. Pengertian Terorisme
Belum ada pengertian final tentang terorisme, baik di kalangan muslim maupun bangsa barat pada umumnya. Dalam penjelasan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dinyatakan bahwa terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara, karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi.
Untuk itulah maka muncul Undang-Undang atau Perarturan Pemerintah Pengganti UU yang secara tegas menangani terorisme dengan memasukkan ke dalam tindak pidana khusus, yakni tindak pidana terorisme. Tentu pemerintah Indonesia tidak sendiri, karena Perpu ini merupakan rativikasi peraturan sejenis yang berlaku di tingkat internasional.
Menurut Departemen Pertahanan USA, terorisme adalah perbuatan melawan hukum atau tindakan yang mengandung ancamana dengan kekerasan dan paksaan terhadap individu atau hak milik untuk memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat dengan tujuan politik, agama dan idiologi. Atau bisa diartikan sebagai tindakan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang berlatar belakang politik atau kekuasaan dalam suatu pemerintahan negara.
Bahkan belakangan terorisme diartikan dengan sangat luas dengan segala tindakan atau ucapan yang membuat orang lain takut. Wal hasil terorisme menjadi sebuah kata yang sangat menakutkan bagi siapa saja baik yang melakukan maupun orang yang mengalami tindakan terorisme. Gambaran ini menjadikan negara dalam hal ini pihak yang mempunyai kekuasaan pertahanan dan keamanan yakni militer merasa sangat diperlukan dalam upaya menangani berbagai upaya terorisme.
Dalam perspektif Islam garis keras, terorisme diartikan sebagai (irhab), menggetarkan musuh. Untuk itu mereka mengartikan terorisme menjadi bagian dari jihad fi sabilillah, menuju ridho Allah SWT. Tidak mengagetkan manakala sebagian para pelaku teroris di Indonesia menganggap dirinya sebagai mujahid fi sabilillah.
Namun sebenarnya terorisme bukanlah ajaran Islam. Meski banyak dari umatnya melakukan teror, tetapi tidak bisa dikatakan bahwa Islam adalah sumber terorisme. Al-Qur’an, sebagai sumber paling utama dalam Islam, sangat jelas sekali tidak pernah mengajarkan terror. Bahkan ayat-ayat perang yang ada dalam Al-Qur’an mempunyai visi mengakhiri perang.
Ummat Islam harus memahami ajarannya dengan baik. Hal yang tidak sejalan dengan Islam harus dijauhi, misalnya kekerasan. Kekerasan tidak pernah diabsahkan oleh agama Islam. Kekerasan hanya dibolehkan karena unsur defensif. Pemahaman agama harus lebih serius dan perlu ada penelusuran yang lebih sejalan dengan nilai-nilai universal, yaitu kemaslahatan, keadilan, kesetaraan, kesejahteraan dan sejenisnya .
Beberapa istilah yang dipakai untuk membahasakan kekerasan yang bersifat dovensif, diantaranya; al-Jihâd, al-Qitâl, al-Harb, Satiyyah, Ghazwah, al-’Askariyyah, al-Jaisy, al-Jund, Para penulis menggunakan pilihan kata-kata ini sesuai dengan tujuan penulisan masing-masing.
Secara umum penggunaan istilah itu dapat dikategorisasikan menjadi dua rumpun; pertama untuk menunjukkan aktifitas yang dilakukan oleh kelompok tentara dalam konteks Islam; seperti al-Jihâd, al-Qitâl, al-Harb, Satiyyah, dan Ghazwah. Beberapa kata ini memberi banyak inspirasi perjuangan dalam konteks mempertahankan Islam dari berbagai musuh-musuh di luar Islam.
Sementara rumpun kedua tetap menunjukkan pada eksistensi lembaga yang mengelola kekerasan. Istilah yang dipakai antara lain; al-Jaisy, al-’Askariyyah, dan al-Jund. Penggunaan istilah ini sesuai dengan visi yang dikembangkan yakni visi kebangsaan dan kenegaraan.
Istilah teroris oleh para ahli kontra terorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris") layak m+endapatkan pembalasan yang kejam.
Para penulis barat menyatakan bahwa terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Maka menurut pandangan Samuel P Huntiington, pengarang The Clash of Civilization, terorisme merupakan permasalahan dua kelompok yang saling memiliki kepentingan.
Terorisme itu berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan karena terorisme bisa dilakukan secara terorganisir dan dalam waktu lama. Dalam perspektif perang biasanya perang bersifat tiba-tiba dan targenya adalah militer. Sedangkan aksi terorisme dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelaku teroris, layak mendapatkan pembalasan yang kejam.
Meski tidak ada kesepakatan tentang definisi terorisme, tetapi terorisme bisa dirasakan oleh setiap orang yang mengalaminya. Sumua yakin terorisme menakutkan dan perlu dihilangkan. Namun persoalannya adalah mengapa teorisme terjadi di tengah masyarakat muslim Indonesia yang secara umum bernaung ke dalam dua ormas besar keagamaan yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
2. Terorisme dan Pengaruh Global
Untuk itu setidaknya saya mencatat ada lima faktor dari terorisme, yaitu: Pertama; faktor modernisasi, globalisasi, dan perubahan masyarakat yang mulai mengenal teknologi, sehingga mempercepat tingkat pengetahuan masyarakat. Kedua; budaya kekeraan. Di mana masyarakat semakin terbudayakan dengan kekerasan dan kriminalitas, misalnya dengan tayangan di televisi dan film-film yang bernuansa kekerasan. Ketiga; faktor pemiskinan, penindasan dan peminggiran, yang memunculkan reaksi dengan tindakan terror. Jika kita melihat pelaku bom bunuh diri selama ini adalah para kuli bangunan dan sejenisnya. Keempat; lemahnya penegakan hukum di negeri ini. Dr. Azahari yang bisa leluasa melakukan teror di Indonesia adalah bukti lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Kelima; pemahaman keagamaan yang sempit. Mereka memahami agama hanya dari sudut ajaran kematian dan kemartiran. Hal ini adalah kedangkalan teologis karena agama tidak hanya mengajarkan kematian, tetapi juga hidup secara damai.
B. KONSEP UMUM TENTANG PESANTREN
1) Unsur Pesantren
Pondok Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan yang asli ditemukan dan dikembangkan di Indonesia. Kata pondok berarti tempat yang dipakai untuk makan dan istirahat. Istilah pondok dalam konteks dunia pesantren berasal dari pengertian asrama-asrama bagi para santri. Perkataan pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri Maka pondok pesantren adalah asrama tempat tinggal para santri.
Sekarang di Indonesia ada ribuan lembaga pendidikan Islam baik yang formal maupun non-formal. Pondok pesantren di Jawa itu terdiri dari beberapa macam, baik dilihat dari modern vzs tradisional. Dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah santri, pola kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi. Pesantren semakin bervariasi. Akan tetapi yang lebih utama adalah Unsur-unsur pokok pesantren, yaitu kyai. masjid, santri, pondok dan kitab Islam klasik (atau kitab kuning), adalah elemen unik yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya.
1. Kyai: yakni sosok yang paling berperan dalam sebuah pondok pesantren. Peranan ini bisa kerena melanjutkan para pendahulunya, maupun karena membuka pondok sendiri. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, faktor kyai sangat substansial dalam rangka pendirian, pembangunan, dan perkembangan sebuah pesantren.
Secara etimologis Kyai berasal dari bahawa jawa, bukan bahasa Arab. Dalam bahasa Arab setara dengan Syaikh, yakni orang-orang yang dianggap mulia dan alim. Namun dalam tradisi Jawa, kyai tidak selamanya identi dengan seorang ulama besar. Karena di kalangan kraton, kyai juga diberikan kepada benda-benda antik dan keramat, peninggalan masa lampau, atau bisa juga dinerikan kepada orang-orang yang secara fisik sudah tua. Sebut saja misalnmya di Keraton Surakarta ada Kyai Slamet, yakni kerbau bule yang mempunyai nilai keunikan. Ada juga nama Kyai Mojo, sebuah pedang yang dinilai punyai kramat.
b.Masjid: masjid identik dengan tempat shalkat berjamaah, khususnya shalat jumat. Biasanya masjid itu otomatis bisa diselenggarakan jumatan, sedangkan masjid yang agak kecil yang tidak dipakai untuk shalat jumat disebut denbgan mushalla atau langgar. Di peantren masjid tidak hanya digunakan untuk shalat berjamaah, tetapi masjid dijadikan sebagai pusat kegiatan seperti mengaji, musyawarah, studi club dan sebagainya. Meski demikian masjid menjadi syararat bverdiorinya sebuah pesantren. .
c. Santri:
Santri adalah panggilan bagi murid-murid yang ada di pesantren. Sanbtri di sepantren mempunyai banyak perbedaan dengan siswz ysng dearda di sekolahan. Santri biasanya sangat patu kepada gurunya, tidak saja dalam persoalan pelajaran, tetapi juga berkaitan dengan perilaku keseharian.
d.Pondok:
Definisi singkat istilah ‘pondok’ adalah tempat sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai bersama para santrinya (Hasbullah, 1999:142). Di Jawa, besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya. Adanya pondok yang sangat kecil dengan jumlah santri kurang dari seratus sampai pondok yang memiliki tanah yang luas dengan jumlah santri lebih dari tiga ribu. Tanpa memperhatikan berapa jumlah santri, asrama santri wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri laki-laki.
e.Kitab-Kitab Islam Klasik:
Kitab-kitan klasik meruap[akan Kitab-kitab Islam klasik dikarang para ulama terdahulu dan termasuk pelajaran mengenai macam-macam ilmu pengetahuan agam Islam dan Bahasa Arab. Dalam kalangan pesantren, kitab-kitab Islam klasik sering disebut kitab kuning oleh karena warna kertas edisi-edisi kitab kebanyakan berwarna kuning .
Pada mulanya kitab-kitab itu berwarna kuning sebagai ciri al-kutub al-shara, namun karean perkembangan waktu kitab tidak harus berwarna kuning tetapi juga bisa putih sebagimana penerbit melakukan sekarang ini. Kitab ini biasanya ”gundul” tanpa harakat.
Di samping lima unsur di atas, persoalan lain yang perlu mendapatperhatian adalah kurikulum pesantren yang semakin hari semakin menantang. Tapi yang kita harapkan sebenarnya bukan hanya perbaikan kurikulum, tapi koreksi dan kritik ke dalam pesantren dan masayarakat. Apakah pola keberagamaan yang kita ajarkan selama ini memang sudah tepat. Jadi, misi ini tidak hanya harus dilakukan pesantren, sebab pesantren hanyalah salah satu institusi pendidikan. Soal corak keberagamaan kita adalah tanggung jawab semua kaum muslim. Jadi pertanyaannya bisa diperluas: apakah perilaku kita sebagai muslim sudah mencerminkan ajaran-ajaran dan sistem nilai agama yang menghendaki toleransi dan kedamaian?
Kurikulum pesantren memang masih perlu dipertanyakan. Tapi itu hanyalah salah satu aspek perubahan dalam masyarakat. Yang lebih penting adalah implimentasi perubahan mental attitude atau sikap mental, dan paradigma keberagamaan kita semua. Kita diharapkan kembali ke corak Islam ala Indonesia yang dikenal menghargai keragaman. Sekarang, berbeda pendapat soal agama saja sudah dianggap kafir. Dan sayangnya, ada lembaga keagamaan yang justru memotori pengkafiran itu.
2. Perkembangan Pesantren di Indonesia
Dalam perjalanan sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pondok Pesantren tercatat cukup mewarnai dalam ikut membentuk mental bangsa. Sejak sebelum era kemerdekaan, pesantren ikut berperan aktif terutama sebagai basis pergerakan santri pejuang. Telah banyak putera pesantren yang gugur di medan perjuangan demi membela dan mempertahankan kemerdekaan. Di samping itu, pesantren juga berfungsi sebagai cagar budaya dalam gejolak antara kebudayaan asli dan dan kebudayaan barat.
Sampai pada perkembangan berikutnya, pesantren masih tetap menunjukkan fungsinya sebagai lembaga pengajaran dan pendidikan, lembaga dakwah dan pengkaderan ulama', sebagai lembaga pelayanan, pengarahan, bimbingan dan pengembangan kemasyarakatan, serta sebagai lembaga perjuangan.
Dalam pengelolaannya, searah perkembangan zaman, Pondok Pesantren dituntut untuk selalu dinamis dan mengikuti perkembangan, sehingga pada taraf berikutnya timbul pembagian tugas dan peran antara beberapa Pondok Pesantren secara fungsional sesuai dengan visi dan misi pengembangannya.
Selama ini pesantren merupakan sebuah institusi pendidikan keagamaan dan transformasi sosial yang dikenal sangat kukuh menjaga nilai-nilai keragaman, perbedaan, serta sangat akomodatif terhadap budaya lokal. Tesis Gus Dur yang menyatakan bahwa pesantren sebagai sub-kultur masyarakat tetaplah relevan, meski banyak juga pesantren yang berguguran tidak bisa bertahan sebagai sebuah sub kultur..
Dalam pandangan Gus Dur, ada tiga elemen yang membuat pesantren mampu menjadi sub-kultur tersendiri. Pertama, pola kepemimpinan yang mandiri dan tidak terkooptimasi kepentingan-kepentingan berjangka pendek. Elemen ini sungguh sangat penting bagi pesantren. Artinya, atasan seorang kiai itu hanyalah Allah. Tidak ada kelompok politik, aparatur negara, birokrat, atau manusia lain, yang bisa mengintervensi terlalu jauh di dunia pesantren. Pola kepemimpinan seperti itu membuat pesantren menjadi unik.
Persoalany sekarang ini adalah banyaknya ulama atau kyai melakukan hubungan patronase dengan partai politik dan pemerintah pada umumnya. Dengan ikut serta berpolitik maka seorang kyai harus masuk dalkam struktur kepartaian yang secara otomatis kyai tidak lagi indepemndent dalam memberikan fatwa maupun nasihat kepada orang lain. Namun sebaliknya apabila tidak mengikuti perhelatan politik, kyai tidak lagi mempunyai kesempatan besar dalam melakukan perubahan di daerahnya.
Kedua, kitab-kitab rujukan yang digunakan di pesantren, merupakan warisan peradaban Islam dari berbagai abad. Kalau itu dikaji betul, pengetahuan yang akan diserap para santri pesantren akan sangat luas sekali. Dari situ mereka tidak hanya belajar bagian fikih yang rigid, sempit, kaku, hitam-putih, dan halal-haram saja, tapi juga ilmu-ilmu ushul fikih, kalam, tasawuf, dan lain-lain. Semua itu menunjukkan kearifan dan keindahan Islam. Mestinya itu akan membentuk wawasan keislaman yang padu dan utuh bagi santri, karena mereka mendalami agama tidak sekadar pilihan hitam-putih yang nampak di permukaan.
Sedangkan elemen ketiga sub-kultur pesantren adalah sistem nilai yang diterapkan di pesantren itu sendiri. Sistem nilai itulah yang nantinya akan dibawa dalam proses kehidupan mereka di masyarakat. Di sini kita mengenal nilai-nilai dasar pesantren, seperti yang mengajarkan prinsip al-tawasut, tawazun, dan tasamuh.
Pesantren dikenal sebagai tempat belajar agama dari sumber-sumber aslinya yakni teks-teks berbahasa Arab. Namun kata ”pesantren” yang asal katanya adalah ”santri” sebagaimana dikutip Nurcholis Madjid bukanlah berasal dari kata Arab. Ada dua klemungkinan asal-usul kata santri; pertama santri berasal dari kata sansekerta ”sastri” kata sansakerta yang berarti melek huruf. Hal ini sangat wajar karena santri atau pesantgren berisi orang-oraanmg yang mempunyai pengetahuan tinggi. Santri dengan berbagai kategorisasinya merupakan sekelompok anak atau siswa yang sedang menuntut ilmu dengan serius.
Sedang yang kedua, santri berasal dari bahas Jawa cantrik yang artinya seorang yang selalu menemani gurunya atau mengikuti gurunya di manapun dan kapanpun. Sehingga cantrik akan bisa melakukan transfer ilmu kapanpun bisa dilakukan.
Dari pengertian ini maka karakter pendidikan yang diterapkan di pesantren tidak saja berdimensi formal, layaknya sekolah-sekolah klasikal sepereti sekarang ini, tetapi lebih dari itu, pendidikan pesantren sekaligus pendidikan informal dan pendidikan non formal. Di dalam pesantren seorang santri akan mengikuti sekolah fromal diniyyah, seperti kelas Madrasaha Awwalihan Diniyyah, Madrasaha wustha Diniyyah, dan Madrasaha ulya Diniyyah. Bahkan terkadang juga menggunakan istillah Muallimin-muallimat dengan jangka waktu 6 tahun.
Tidak hanya sekolah formal, bagi santri, kyai atau bu Nyai adalah sosok orang tua mereka yang sangat disegani, sehingga apa yang menjadi perintah kyai harus dilaksanakan. Maka banyak dari santri yang ikut di rumah kyai layaknya sebagai anaknya. Di samping itu, santri juga diberi ketrampilan lain yang bersifat pengembangan ketrampilan dan pengembangan bakat lainnya, seperti peternakan, pertanian, dan ketrampilan home industri.
Untuk itu setelah selesai mengikuti pendidikan pesantren, santri diharapkan bisa hidup di tengah masyarakat dengan segala pernikpernik kehidupoannya. Santri tidak saja dibekali dengan pengetahuaan dan ilmu-ilmu sosial keagamaan tetapi juga dengan dengan ilmu-ilmu sosial umum sekaligus praktek kerhifudpan kemasyarakatan. Bahkan di berbagai persantren santri dibekali dengan kemampuan dalam menghadapi IT seperti penggunaan internet dan jaringannya dan dunia global pada umumnya. Dalam berbagai diskusi keagamaan santri juga sudah mampu bagaimna mengakses internet sebagai bagaian dalam pengembangan kemampuan santri.
Pesantren sebagai institusi, tentunya juga termasuk dalam lingkup dunia global yang tidak bisa lepas dari pengaruh luar dirinya. Derasnya arus informasi lewat media, hubungan antar-negara, antar-institusi, antar-organisasi, seperti jalur sumbangan dan bantuan dengan berbagai motifnya, tentu ikut mempengaruhi dunia pesantren. Pesantren sedikit banyaknya tidak bisa lepas dari pengaruh global itu. Pesantren yang tidak mampu mempertahankan jati diri sub kulturnya, akan terjebak dalam permainan politik global. Dengan begitu, mereka dapat saja berada dalam jaringan yang punya egenda tertentu, tidak lagi seperti yang dimaui pesantren itu secara “konvensional”.
Artinya, kalaupun sebuah pesantren mengalami disorientasi, itu bisa disebabkan oleh dua faktor. Faktor internal berupa menurunnya fungsi sub kultur pesantren, sehingga masing-masing unsur pesantren tidak mampu merepresentasikan dirinya dengan baik. Sementara faktor eksternal seperti jejaring dengan dunia luar baik konteks lokal maupun global sangat berpengaruh pada perjalanan sebuah institusi pesntren. Lemahnya peran kiai atau kepemimpinan pesantren yang selama ini dikenal independen, bisa berakibar buruk bagi sebuah pesantren. Dulu, pesantren benar-benar bagaikan sebuah kerajaan kecil. Tapi sekarang, banyak pesantren yang tidak lagi menjadi panutan bagi masyarakat sekitar.
(Dosen Fakultas Syariah dan Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang.
Makalah disampaikan pada acara Halaqoh: Pesantren Kontra Terorisme,
Rabu 2 Juni 2010 di Semarang.)
Banyak di antara umat Islam yang tidak sepakat dengan terorisme dikaitkan dengan Pesantren, apalagi kalangan pesantren salaf yang selama ini mengembangkan ilmu-ilmu keIslaman murni di kalangan nahdliyyin. Namun fakta membuktikan bahwa terorisme yang berkembang selam ini di pesantren tidak lepas dari sistem pendidikan di “pesantren” yang tersebar di seantero negeri tercinta ini.
Sebut saja misalnya trio bom Bali (Amrozi, Ali Ghufron dan Imam Samudera) yang telah dieksekusi di penghujung tahun 2009 lalu, yang pernah mengaji di pesantren “Al-Islam” Ngruki Sukoharjo Solo. Dua di antaramya Amrozi dan Ali Ghufron betul-betul tercatat sebagai alumni Pondok Pesantren tersebut.Fakta inilah yang pada akhirnya menjadikan wacana Pesantren bertautan dengan wacana terorisme yang banyak dikaji belakangan ini.
Data penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian IAIN Walisongo Semaranga tahun 2008, ada tiga model pesantren yang tersebar di Jawa Tengah; ada pesantren tradisional, modern dan pesantren salafi.
Tentu saja, serangkaian tragedi pemboman di Bali ini merupakan pukulan yang dahsyat bagi bangsa Indonesia. Mungkin kalau tidak ada tragedi Bali dan rentetan pemboman lainnya, isu terorisme di Indonesia akan selalu diabaikan dan UU Terorisme tidak pernah dilegalkan. UU Terorisme selama ini selalu menjadi perdebatan di kalangan masyarakat karena dianggap akan mengembalikan kekuasaan militer dan mengancam kebebasan yang selama ini baru dinikmati masyarakat Indonesia. Peraturan ini dikhawatirkan akan merenggut demokrasi yang baru dibangun dan coba ditegakkan di bumi Indonesia tercinta ini.
Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim terbanyak di dunia mempunyai peran dan posisi yang sangat penting dalam rangka memberantas terorisme dengan cara menegakkan dan menjalankan kehidupan demokrasi dalam sistem negaranya. Peran ini bisa menjadi model dan rujukan negara-negara Islam yang kebanyakan sangat minim dan rendah responnya terhadap upaya penanganan terorisme.
A. Konsep Dasar Terorisme
1. Pengertian Terorisme
Belum ada pengertian final tentang terorisme, baik di kalangan muslim maupun bangsa barat pada umumnya. Dalam penjelasan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dinyatakan bahwa terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara, karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi.
Untuk itulah maka muncul Undang-Undang atau Perarturan Pemerintah Pengganti UU yang secara tegas menangani terorisme dengan memasukkan ke dalam tindak pidana khusus, yakni tindak pidana terorisme. Tentu pemerintah Indonesia tidak sendiri, karena Perpu ini merupakan rativikasi peraturan sejenis yang berlaku di tingkat internasional.
Menurut Departemen Pertahanan USA, terorisme adalah perbuatan melawan hukum atau tindakan yang mengandung ancamana dengan kekerasan dan paksaan terhadap individu atau hak milik untuk memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat dengan tujuan politik, agama dan idiologi. Atau bisa diartikan sebagai tindakan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang berlatar belakang politik atau kekuasaan dalam suatu pemerintahan negara.
Bahkan belakangan terorisme diartikan dengan sangat luas dengan segala tindakan atau ucapan yang membuat orang lain takut. Wal hasil terorisme menjadi sebuah kata yang sangat menakutkan bagi siapa saja baik yang melakukan maupun orang yang mengalami tindakan terorisme. Gambaran ini menjadikan negara dalam hal ini pihak yang mempunyai kekuasaan pertahanan dan keamanan yakni militer merasa sangat diperlukan dalam upaya menangani berbagai upaya terorisme.
Dalam perspektif Islam garis keras, terorisme diartikan sebagai (irhab), menggetarkan musuh. Untuk itu mereka mengartikan terorisme menjadi bagian dari jihad fi sabilillah, menuju ridho Allah SWT. Tidak mengagetkan manakala sebagian para pelaku teroris di Indonesia menganggap dirinya sebagai mujahid fi sabilillah.
Namun sebenarnya terorisme bukanlah ajaran Islam. Meski banyak dari umatnya melakukan teror, tetapi tidak bisa dikatakan bahwa Islam adalah sumber terorisme. Al-Qur’an, sebagai sumber paling utama dalam Islam, sangat jelas sekali tidak pernah mengajarkan terror. Bahkan ayat-ayat perang yang ada dalam Al-Qur’an mempunyai visi mengakhiri perang.
Ummat Islam harus memahami ajarannya dengan baik. Hal yang tidak sejalan dengan Islam harus dijauhi, misalnya kekerasan. Kekerasan tidak pernah diabsahkan oleh agama Islam. Kekerasan hanya dibolehkan karena unsur defensif. Pemahaman agama harus lebih serius dan perlu ada penelusuran yang lebih sejalan dengan nilai-nilai universal, yaitu kemaslahatan, keadilan, kesetaraan, kesejahteraan dan sejenisnya .
Beberapa istilah yang dipakai untuk membahasakan kekerasan yang bersifat dovensif, diantaranya; al-Jihâd, al-Qitâl, al-Harb, Satiyyah, Ghazwah, al-’Askariyyah, al-Jaisy, al-Jund, Para penulis menggunakan pilihan kata-kata ini sesuai dengan tujuan penulisan masing-masing.
Secara umum penggunaan istilah itu dapat dikategorisasikan menjadi dua rumpun; pertama untuk menunjukkan aktifitas yang dilakukan oleh kelompok tentara dalam konteks Islam; seperti al-Jihâd, al-Qitâl, al-Harb, Satiyyah, dan Ghazwah. Beberapa kata ini memberi banyak inspirasi perjuangan dalam konteks mempertahankan Islam dari berbagai musuh-musuh di luar Islam.
Sementara rumpun kedua tetap menunjukkan pada eksistensi lembaga yang mengelola kekerasan. Istilah yang dipakai antara lain; al-Jaisy, al-’Askariyyah, dan al-Jund. Penggunaan istilah ini sesuai dengan visi yang dikembangkan yakni visi kebangsaan dan kenegaraan.
Istilah teroris oleh para ahli kontra terorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris") layak m+endapatkan pembalasan yang kejam.
Para penulis barat menyatakan bahwa terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Maka menurut pandangan Samuel P Huntiington, pengarang The Clash of Civilization, terorisme merupakan permasalahan dua kelompok yang saling memiliki kepentingan.
Terorisme itu berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan karena terorisme bisa dilakukan secara terorganisir dan dalam waktu lama. Dalam perspektif perang biasanya perang bersifat tiba-tiba dan targenya adalah militer. Sedangkan aksi terorisme dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelaku teroris, layak mendapatkan pembalasan yang kejam.
Meski tidak ada kesepakatan tentang definisi terorisme, tetapi terorisme bisa dirasakan oleh setiap orang yang mengalaminya. Sumua yakin terorisme menakutkan dan perlu dihilangkan. Namun persoalannya adalah mengapa teorisme terjadi di tengah masyarakat muslim Indonesia yang secara umum bernaung ke dalam dua ormas besar keagamaan yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
2. Terorisme dan Pengaruh Global
Untuk itu setidaknya saya mencatat ada lima faktor dari terorisme, yaitu: Pertama; faktor modernisasi, globalisasi, dan perubahan masyarakat yang mulai mengenal teknologi, sehingga mempercepat tingkat pengetahuan masyarakat. Kedua; budaya kekeraan. Di mana masyarakat semakin terbudayakan dengan kekerasan dan kriminalitas, misalnya dengan tayangan di televisi dan film-film yang bernuansa kekerasan. Ketiga; faktor pemiskinan, penindasan dan peminggiran, yang memunculkan reaksi dengan tindakan terror. Jika kita melihat pelaku bom bunuh diri selama ini adalah para kuli bangunan dan sejenisnya. Keempat; lemahnya penegakan hukum di negeri ini. Dr. Azahari yang bisa leluasa melakukan teror di Indonesia adalah bukti lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Kelima; pemahaman keagamaan yang sempit. Mereka memahami agama hanya dari sudut ajaran kematian dan kemartiran. Hal ini adalah kedangkalan teologis karena agama tidak hanya mengajarkan kematian, tetapi juga hidup secara damai.
B. KONSEP UMUM TENTANG PESANTREN
1) Unsur Pesantren
Pondok Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan yang asli ditemukan dan dikembangkan di Indonesia. Kata pondok berarti tempat yang dipakai untuk makan dan istirahat. Istilah pondok dalam konteks dunia pesantren berasal dari pengertian asrama-asrama bagi para santri. Perkataan pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri Maka pondok pesantren adalah asrama tempat tinggal para santri.
Sekarang di Indonesia ada ribuan lembaga pendidikan Islam baik yang formal maupun non-formal. Pondok pesantren di Jawa itu terdiri dari beberapa macam, baik dilihat dari modern vzs tradisional. Dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah santri, pola kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi. Pesantren semakin bervariasi. Akan tetapi yang lebih utama adalah Unsur-unsur pokok pesantren, yaitu kyai. masjid, santri, pondok dan kitab Islam klasik (atau kitab kuning), adalah elemen unik yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya.
1. Kyai: yakni sosok yang paling berperan dalam sebuah pondok pesantren. Peranan ini bisa kerena melanjutkan para pendahulunya, maupun karena membuka pondok sendiri. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, faktor kyai sangat substansial dalam rangka pendirian, pembangunan, dan perkembangan sebuah pesantren.
Secara etimologis Kyai berasal dari bahawa jawa, bukan bahasa Arab. Dalam bahasa Arab setara dengan Syaikh, yakni orang-orang yang dianggap mulia dan alim. Namun dalam tradisi Jawa, kyai tidak selamanya identi dengan seorang ulama besar. Karena di kalangan kraton, kyai juga diberikan kepada benda-benda antik dan keramat, peninggalan masa lampau, atau bisa juga dinerikan kepada orang-orang yang secara fisik sudah tua. Sebut saja misalnmya di Keraton Surakarta ada Kyai Slamet, yakni kerbau bule yang mempunyai nilai keunikan. Ada juga nama Kyai Mojo, sebuah pedang yang dinilai punyai kramat.
b.Masjid: masjid identik dengan tempat shalkat berjamaah, khususnya shalat jumat. Biasanya masjid itu otomatis bisa diselenggarakan jumatan, sedangkan masjid yang agak kecil yang tidak dipakai untuk shalat jumat disebut denbgan mushalla atau langgar. Di peantren masjid tidak hanya digunakan untuk shalat berjamaah, tetapi masjid dijadikan sebagai pusat kegiatan seperti mengaji, musyawarah, studi club dan sebagainya. Meski demikian masjid menjadi syararat bverdiorinya sebuah pesantren. .
c. Santri:
Santri adalah panggilan bagi murid-murid yang ada di pesantren. Sanbtri di sepantren mempunyai banyak perbedaan dengan siswz ysng dearda di sekolahan. Santri biasanya sangat patu kepada gurunya, tidak saja dalam persoalan pelajaran, tetapi juga berkaitan dengan perilaku keseharian.
d.Pondok:
Definisi singkat istilah ‘pondok’ adalah tempat sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai bersama para santrinya (Hasbullah, 1999:142). Di Jawa, besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya. Adanya pondok yang sangat kecil dengan jumlah santri kurang dari seratus sampai pondok yang memiliki tanah yang luas dengan jumlah santri lebih dari tiga ribu. Tanpa memperhatikan berapa jumlah santri, asrama santri wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri laki-laki.
e.Kitab-Kitab Islam Klasik:
Kitab-kitan klasik meruap[akan Kitab-kitab Islam klasik dikarang para ulama terdahulu dan termasuk pelajaran mengenai macam-macam ilmu pengetahuan agam Islam dan Bahasa Arab. Dalam kalangan pesantren, kitab-kitab Islam klasik sering disebut kitab kuning oleh karena warna kertas edisi-edisi kitab kebanyakan berwarna kuning .
Pada mulanya kitab-kitab itu berwarna kuning sebagai ciri al-kutub al-shara, namun karean perkembangan waktu kitab tidak harus berwarna kuning tetapi juga bisa putih sebagimana penerbit melakukan sekarang ini. Kitab ini biasanya ”gundul” tanpa harakat.
Di samping lima unsur di atas, persoalan lain yang perlu mendapatperhatian adalah kurikulum pesantren yang semakin hari semakin menantang. Tapi yang kita harapkan sebenarnya bukan hanya perbaikan kurikulum, tapi koreksi dan kritik ke dalam pesantren dan masayarakat. Apakah pola keberagamaan yang kita ajarkan selama ini memang sudah tepat. Jadi, misi ini tidak hanya harus dilakukan pesantren, sebab pesantren hanyalah salah satu institusi pendidikan. Soal corak keberagamaan kita adalah tanggung jawab semua kaum muslim. Jadi pertanyaannya bisa diperluas: apakah perilaku kita sebagai muslim sudah mencerminkan ajaran-ajaran dan sistem nilai agama yang menghendaki toleransi dan kedamaian?
Kurikulum pesantren memang masih perlu dipertanyakan. Tapi itu hanyalah salah satu aspek perubahan dalam masyarakat. Yang lebih penting adalah implimentasi perubahan mental attitude atau sikap mental, dan paradigma keberagamaan kita semua. Kita diharapkan kembali ke corak Islam ala Indonesia yang dikenal menghargai keragaman. Sekarang, berbeda pendapat soal agama saja sudah dianggap kafir. Dan sayangnya, ada lembaga keagamaan yang justru memotori pengkafiran itu.
2. Perkembangan Pesantren di Indonesia
Dalam perjalanan sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pondok Pesantren tercatat cukup mewarnai dalam ikut membentuk mental bangsa. Sejak sebelum era kemerdekaan, pesantren ikut berperan aktif terutama sebagai basis pergerakan santri pejuang. Telah banyak putera pesantren yang gugur di medan perjuangan demi membela dan mempertahankan kemerdekaan. Di samping itu, pesantren juga berfungsi sebagai cagar budaya dalam gejolak antara kebudayaan asli dan dan kebudayaan barat.
Sampai pada perkembangan berikutnya, pesantren masih tetap menunjukkan fungsinya sebagai lembaga pengajaran dan pendidikan, lembaga dakwah dan pengkaderan ulama', sebagai lembaga pelayanan, pengarahan, bimbingan dan pengembangan kemasyarakatan, serta sebagai lembaga perjuangan.
Dalam pengelolaannya, searah perkembangan zaman, Pondok Pesantren dituntut untuk selalu dinamis dan mengikuti perkembangan, sehingga pada taraf berikutnya timbul pembagian tugas dan peran antara beberapa Pondok Pesantren secara fungsional sesuai dengan visi dan misi pengembangannya.
Selama ini pesantren merupakan sebuah institusi pendidikan keagamaan dan transformasi sosial yang dikenal sangat kukuh menjaga nilai-nilai keragaman, perbedaan, serta sangat akomodatif terhadap budaya lokal. Tesis Gus Dur yang menyatakan bahwa pesantren sebagai sub-kultur masyarakat tetaplah relevan, meski banyak juga pesantren yang berguguran tidak bisa bertahan sebagai sebuah sub kultur..
Dalam pandangan Gus Dur, ada tiga elemen yang membuat pesantren mampu menjadi sub-kultur tersendiri. Pertama, pola kepemimpinan yang mandiri dan tidak terkooptimasi kepentingan-kepentingan berjangka pendek. Elemen ini sungguh sangat penting bagi pesantren. Artinya, atasan seorang kiai itu hanyalah Allah. Tidak ada kelompok politik, aparatur negara, birokrat, atau manusia lain, yang bisa mengintervensi terlalu jauh di dunia pesantren. Pola kepemimpinan seperti itu membuat pesantren menjadi unik.
Persoalany sekarang ini adalah banyaknya ulama atau kyai melakukan hubungan patronase dengan partai politik dan pemerintah pada umumnya. Dengan ikut serta berpolitik maka seorang kyai harus masuk dalkam struktur kepartaian yang secara otomatis kyai tidak lagi indepemndent dalam memberikan fatwa maupun nasihat kepada orang lain. Namun sebaliknya apabila tidak mengikuti perhelatan politik, kyai tidak lagi mempunyai kesempatan besar dalam melakukan perubahan di daerahnya.
Kedua, kitab-kitab rujukan yang digunakan di pesantren, merupakan warisan peradaban Islam dari berbagai abad. Kalau itu dikaji betul, pengetahuan yang akan diserap para santri pesantren akan sangat luas sekali. Dari situ mereka tidak hanya belajar bagian fikih yang rigid, sempit, kaku, hitam-putih, dan halal-haram saja, tapi juga ilmu-ilmu ushul fikih, kalam, tasawuf, dan lain-lain. Semua itu menunjukkan kearifan dan keindahan Islam. Mestinya itu akan membentuk wawasan keislaman yang padu dan utuh bagi santri, karena mereka mendalami agama tidak sekadar pilihan hitam-putih yang nampak di permukaan.
Sedangkan elemen ketiga sub-kultur pesantren adalah sistem nilai yang diterapkan di pesantren itu sendiri. Sistem nilai itulah yang nantinya akan dibawa dalam proses kehidupan mereka di masyarakat. Di sini kita mengenal nilai-nilai dasar pesantren, seperti yang mengajarkan prinsip al-tawasut, tawazun, dan tasamuh.
Pesantren dikenal sebagai tempat belajar agama dari sumber-sumber aslinya yakni teks-teks berbahasa Arab. Namun kata ”pesantren” yang asal katanya adalah ”santri” sebagaimana dikutip Nurcholis Madjid bukanlah berasal dari kata Arab. Ada dua klemungkinan asal-usul kata santri; pertama santri berasal dari kata sansekerta ”sastri” kata sansakerta yang berarti melek huruf. Hal ini sangat wajar karena santri atau pesantgren berisi orang-oraanmg yang mempunyai pengetahuan tinggi. Santri dengan berbagai kategorisasinya merupakan sekelompok anak atau siswa yang sedang menuntut ilmu dengan serius.
Sedang yang kedua, santri berasal dari bahas Jawa cantrik yang artinya seorang yang selalu menemani gurunya atau mengikuti gurunya di manapun dan kapanpun. Sehingga cantrik akan bisa melakukan transfer ilmu kapanpun bisa dilakukan.
Dari pengertian ini maka karakter pendidikan yang diterapkan di pesantren tidak saja berdimensi formal, layaknya sekolah-sekolah klasikal sepereti sekarang ini, tetapi lebih dari itu, pendidikan pesantren sekaligus pendidikan informal dan pendidikan non formal. Di dalam pesantren seorang santri akan mengikuti sekolah fromal diniyyah, seperti kelas Madrasaha Awwalihan Diniyyah, Madrasaha wustha Diniyyah, dan Madrasaha ulya Diniyyah. Bahkan terkadang juga menggunakan istillah Muallimin-muallimat dengan jangka waktu 6 tahun.
Tidak hanya sekolah formal, bagi santri, kyai atau bu Nyai adalah sosok orang tua mereka yang sangat disegani, sehingga apa yang menjadi perintah kyai harus dilaksanakan. Maka banyak dari santri yang ikut di rumah kyai layaknya sebagai anaknya. Di samping itu, santri juga diberi ketrampilan lain yang bersifat pengembangan ketrampilan dan pengembangan bakat lainnya, seperti peternakan, pertanian, dan ketrampilan home industri.
Untuk itu setelah selesai mengikuti pendidikan pesantren, santri diharapkan bisa hidup di tengah masyarakat dengan segala pernikpernik kehidupoannya. Santri tidak saja dibekali dengan pengetahuaan dan ilmu-ilmu sosial keagamaan tetapi juga dengan dengan ilmu-ilmu sosial umum sekaligus praktek kerhifudpan kemasyarakatan. Bahkan di berbagai persantren santri dibekali dengan kemampuan dalam menghadapi IT seperti penggunaan internet dan jaringannya dan dunia global pada umumnya. Dalam berbagai diskusi keagamaan santri juga sudah mampu bagaimna mengakses internet sebagai bagaian dalam pengembangan kemampuan santri.
Pesantren sebagai institusi, tentunya juga termasuk dalam lingkup dunia global yang tidak bisa lepas dari pengaruh luar dirinya. Derasnya arus informasi lewat media, hubungan antar-negara, antar-institusi, antar-organisasi, seperti jalur sumbangan dan bantuan dengan berbagai motifnya, tentu ikut mempengaruhi dunia pesantren. Pesantren sedikit banyaknya tidak bisa lepas dari pengaruh global itu. Pesantren yang tidak mampu mempertahankan jati diri sub kulturnya, akan terjebak dalam permainan politik global. Dengan begitu, mereka dapat saja berada dalam jaringan yang punya egenda tertentu, tidak lagi seperti yang dimaui pesantren itu secara “konvensional”.
Artinya, kalaupun sebuah pesantren mengalami disorientasi, itu bisa disebabkan oleh dua faktor. Faktor internal berupa menurunnya fungsi sub kultur pesantren, sehingga masing-masing unsur pesantren tidak mampu merepresentasikan dirinya dengan baik. Sementara faktor eksternal seperti jejaring dengan dunia luar baik konteks lokal maupun global sangat berpengaruh pada perjalanan sebuah institusi pesntren. Lemahnya peran kiai atau kepemimpinan pesantren yang selama ini dikenal independen, bisa berakibar buruk bagi sebuah pesantren. Dulu, pesantren benar-benar bagaikan sebuah kerajaan kecil. Tapi sekarang, banyak pesantren yang tidak lagi menjadi panutan bagi masyarakat sekitar.
Senin, 19 April 2010
PENJARA DALAM PERSPEKTIF FIQH JINAYAT
Dr. Imam Yahya, M.Ag.
(Dosen Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang)
Pendahuluan
Ketika Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum melakukan inspeksi mendadak di awal tahun 2010, dan menemukan “hotel mewah” di rutan Salemba, masyarakat mempertanyakan tentang fungsi penjara yang selama ini berganti nama dengan Lembaga Pemasyarakatan (LP) di Indonesia ini. Artalyta Suryani, terpidana kasus suap Rp 6 miliar kepada jaksa Urip Tri Gunawan, yang menikmati fasilitas itupun merasa bahwa perlakuan ini sesuatu yang wajar. Dari ruang tahanan itu pula dia rutin mengadakan rapat bisnis dengan anak buahnya.
Penjara yang di Indonesia dikenal sejak tahun 1905 pada mulanya diperuntukkan untuk para tahanan politik. Mereka yang menantang pemerintah Hindia Belanda dijebloskan ke penjara sebagai tempat pembalasan atas tindakan kriminal perlawanan terhadap Belanda. Konsep inilah yang hingga saat ini menjadi pegangan khususnya para pengambil kebijakan untuk meneruskan eksistensi pidana penjara.
Sekarang ini penjara yang merupakan Unit Pelayanan Teknis di bawah Departemen Hukum dan HAM RI, telah beralih nama Lembaga Kemayarakatan. Namun, dalam action-nya belum bisa berfungsi dengan maksimal. Ada dua alasan klise yang menjadi kendala. Pertama, masalah otonomi yang terkait dengan terbatasnya pilihan dalam perencanaan dan penganggaran. Kedua, adalah masalah teknologi, yaitu kemampuan pelaksanaan fungsi teknis khususnya pola, bentuk, substansi dan kapasitas pendukung proses pembinaan. Dengan masalah tersebut para penyelenggara penjara merasa wajar apabila fungsi penjara belum dilaksanakan secara maksimal.
Gagasan Negara Tanpa Penjara yang pernah digulirkan oleh beberapa tokoh perlu mendapat apresiasi di saat ketidakmampuan Negara menjalankan fungsi penjara senbagaimana mestinya. M Cherif Bassiouni (2009), seorang ahli hukum Pidana Islam (Islamic Criminal law) menyatakan bahwa hukum pidana penjara penuh dengan gambaran hukuman masa lampau. Teori retributif (teori pembalasan) yang dikenal dalam hukum pidana merupakan a realistic of barbarism. Begitu juga dengan International Conference in Prison Abolition (ICOPA) dalam Konggres ke 3 tahun 1987 menggagas pergeseran dari prison abolition menjadi penal abolition. Bahkan Professor Hazairin Hukum Adat dan Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 1980-an pernah menerbitkan buku dengan judul Tujuh Serangkai Tentang Hukum, tepatnya di bawah judul ”negara tanpa penjara”.
Seiring dengan penghargaan yang tinggi terhadap Hak Asasi Manusia, konsep penjara seakan perlu dievaluasi eksistensi penjara baik dari aspek teori maupun praktis. Tulisan ini mencoba melakukan analisis secara teoritik wabil khusus dari perpektif ilmu pidana Islam (fiqh jinayat).
Teori Hukuman dalam Fiqh
Hukuman atau punishment berarti a penalty imposed on an offender for a crime or wrong doing (Neufeldt, 1996:1091) (hukuman yang dijatuhkan kepada pelanggar kejahatan atau melakukakan kesalahan), sedangkan dalam istilah bahasa Arab dikenal dengan kata عقوبة (‘uqūbah) yang berarti siksa atau hukuman (Munawwir, 1996:952) yaitu hukuman atas perbuatan yang melanggar ketentuan Syari’ yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat.
Dalam konteks Negara kita, pidana penjara adalah salah satu jenis pidana pokok yang terdapat dalam KUHP yang berlaku sekarang (Ius Constitutum) dan RUU KUHP mendatang (Ius Constituendum). Sehingga, sampai saat ini pidana penjara masih menjadi ‘primadona’ dalam hukum pidana Indonesia.
Menurut kamus hukum, penjara adalah tempat di mana orang-orang dikurung dan dibatasi berbagai macam kebebasannya. Mereka dikirim ke penjara dalam rangka mempertanggungjawabkan tindak kriminal, bukan utnuk pindah tempat tinggal atau tempat berkator. Penjara diharapkan mampu meredam tindak kriminal yang dilakukan oleh pelaku kriminal yang meresahkan masyarakat (Arief: 2010). Penjara janganlah menjadi school of crime (sekolah kriminal), yang semula penjahat kecil namun setelah masuk penjara justru tambah kebal dengan kejahatan.
Dalam khazanah hukum Islam, pidana penjara biasa disebut dengan al-habsu atau al-sijnu, yang secara etimologi berarti mencegah dan menahan. Sedangkan istilah hukuman dalam hukum pidana Islam sebagaimana dikemukakan oleh Abd al-Qadir Audah (tt: 609),
العقوبة هى الجزاء المقرر لمصلحة الجماعة على عصيان امر الشارع
Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat, karena adanya pelanggaran-pelanggaran atas ketentuan syara’.
Berdasarkan pengertian bahasa di atas dapat dipahami bahwa hukuman (punishment/uqūbah) adalah segala bentuk siksa, sanksi atau sejenisnya yang dikenakan kepada seseorang akibat dari perbuatannya yang melanggar ketententuan-ketentuan atau peraturan, baik yang ditetapkan oleh Tuhan dalam firman-firman-Nya ataupun peraturan yang disepakati bersama mayarakatnya, seperti norma, perundang-undangan dan sejenisnya.
Para ahli hukum Islam mengklasifikasi tujuan-tujuan dari syariat adalah dalam rangka mencapai kemashlahatan tingkat dharuri (primer), hajji (skunder), dan tahsini (tersier) (Khallaf: 1978). Sedangkan tujuan pokok dalam penjatuhan hukuman dalam syari’at Islam ada dua, yaitu pencegahan (زجر) dan pengajaran atau pendidikan (تهذيب). (Hanafi, 1967: 255).
Pencegahan ialah menahan pelaku agar tidak mengulangi perbuatan jarimahnya atau agar ia tidak terus menerus melakukannya. Disamping itu juga sebagai pencegahan terhadap orang lain agar ia tidak melakukan perbuatan jarimah, sebab ia mengetahui hukuman yang diterima bila ia melakukan perbuatan jarimah serupa.
Perbuatan-perbuatan yang diancam hukuman dapat berupa pelanggaran terhadap larangan atau meninggalkan kewajiban. Dalam keadaan seperti itu boleh jadi hukuman meninggalkan kewajiban jauh lebih berat, karena tujuan penjatuhan hukuman pada meninggalkan kewajiban ialah memaksa pelaku untuk mengerjakan kewajiban.
Begitu juga dalam hukum pidana umum, tujuan pemidanaan yang berkembang dari dahulu sampai sekarang telah semakin munjurus ke arah yang lebih rasional. Tujuan pemidanaan yang paling tua adalah pembalasan (revenge) atau untuk tujuan memuaskan pihak yang dirugikan atau yang menjadi korban kejahatan. Hal ini bersifat primitif, tetapi kadang-kadang masih terasa pengaruhnya pada zaman modern ini.
Sekarang ini berkaitan dengan tujuan pemidanaan, paling tidak terdapat 3 golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana, yaitu: (1) teori absolut atau teori pembalasan (vergeldingstheorien), (2) teori relatif atau teori tujuan (doeltheorien), dan (3) teori gabungan (verenigingstheorien).
Teori yang pertama muncul pada akhir abad ke 18, dianut antara lain oleh Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl, Leo Polak dan beberapa sarjana yang mendasarkan teorinya pada filsafat. Teori ini menyatakan bahwa pemidanaan tidaklah bertujuan untuk hal-hal yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk diajtuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukannya kejahatan. Oleh karena itulah maka teori ini disebut teori absolut.
Yang kedua, teori relative yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk prevensi terjadinya kejahatan. Wujud pidana ini berbeda-beda: menakutkan, memperbaiki atau membinasakan. Yang ketiga teori gabungan antara pembalasan dan prevensi terdapat beberapa variasi.
Shiddiqie (1997:5297) membagi macam-macam hukuman dalam Islam menjadi dua bentuk, yaitu: hukuman akhirat (العقوبة الاخروية) dan hukuman dunia (العقوبة الدنيوية). Hukuman akhirat merupakan kehendak Allah Swt, adalah hukuman yang benar (haq) dan adil (‘adl), ia dapat berbentuk azab atau ampunan dari-Nya. Adapun hukuman dunia menurutnya ada dua macam pula, yaitu: hudud dan takzir.
Hudud adalah hukuman-hukuman yang telah ditentukan bentuknya oleh Syari’ dengan nash-nash yang jelas. Hukuman had menurut Hanafiyah ada tujuh macam yaitu, had zina, had qadzf, had pencurian, had minum hamr, dan had mabuk. Sedangkan menurut jumhur ulama selain Hanafiyah ada tujuh macam yaitu had zina, had qadzf, had pencurian, had hirabah, had mabuk-mabukan, had qisas, had riddah.
Al-Hudud, sanksi hukum yang tertentu dan mutlak yang menjadi hak Allah, yang tidak dapat diubah oleh siapa pun. Sanksi itu wajib dilaksanakan, manakala syarat¬syarat dari tindak pidana itu terpenuhi. Sanksi ini di¬kenakan kepada kejahatan-kejahatan berat seperti zina, sariqah, riddah, qadzaf dan lain-lain. Sedangkan Qishash adalah sanksi hukuman pembalasan seimbang, seperti membunuh terhadap si pembunuh. Al-Diyat adalah sanksi hukuman dalam bentuk ganti rugi, seperti jika ahli waris si terbunuh memberi maaf maka hukuman alternatif adalah diyat. Sanksi hukum Qishash dan Diyat adalah merupa¬kan sanksi hukum perpaduan antara hak Allah dan hak manusia.
Sedangkan Takzir, adalah sanksi hukum yang diserahkan kepada keputusan hakim atau pihak berwenang yang berkompeten melaksanakan hukuman itu, seperti memenjarakan, mengasingkan dan lain-lain. Inilah keluwesan takzir sebagai bentuk hukum Islam yang shalihun likulli zamanin wamakanin.
Secara umum kajian hukum Islam terbagi menjadi hukum ijtihadi (pemikiran hukum) dan hukum tatbiqi (penerapan hukum). Sangsi penjara merupakan salah satu bentuk upaya hukum dalam ranah tatbiqi. Untuk itu dalam pespektif fiqh jinayat, sangsi penjara tetap diberlakukan apabila oleh hakim dibutuhkan dan tepat untuk memberikan balasan dan pendidikan bagi pelaku kejahatan.
Pidana Penjara dalam Perspektif Fiqh Jinayat
Hukum pidana Islam sebagai sebuah sistem hukum, mempunyai tiga aspek kajian; yakni tindak pidana ( rukn al-amali ), pertanggungjawaban pidana ( rukn al-madi ), dan pidana atau hukuman ( rukn al-syar"i ). Tiga aspek tersebut harus dipahami secara simultan sehingga akan menggambarkan hukum pidana Islam sebagai sebuah sistem hukum yang universal (Zuhaili, 1997).
Banyak umat Islam yang memahami hukum pidana Islam hanya dilihat dari satu rukun yakni rukun syar’i, yakni materi pidana, sehingga hukum Islam hanya difahami dari aspek pidana/ hukuman ( uqubat ) seperti hukum mati, potong tangan, rajam (terpidana dilempar batu hingga mati), penjara, dan jilid (terpidana dipukul dengan rotan). Padahal hukum pidana Islam juga membahas tentang pertanggungjawaban pidana dan perbuatan pidana. Dengan memahami perbuatan hukum dan pertanggungjawaban hukum sekaligus, wajah hukum pidana Islam tidak terkesan bengis, barbarian ala Arab pada masa klasik.
Dari ketiga rukun tersebut, yang mempunyai relevansi dengan tulisan ini adalah menyangkut masalah pidana dan pemidanaan. Ancaman pidana yang dikenakan pada tiap-tiap perbuatan pidana hakekatnya adalah menggambarkan ketercelaan dan keseriusan perbuatan yang bersangkutan. Dalam hukum pidana Islam (fiqh jinayat), hukum qishosh diyat berbeda dengan hudud, begitu juga dengan takzir yang secara substansial lebih rendah dari qishosh dan hudud.
Untuk qishosh, diyat dan hudud mestinya sudah jelas dituliskan dalam nash-nash agama, tetapi untuk takzir ini yang rawan dengan subyektifitas. Dalam hukum pidana dikenal azaz legalitas dengan nellum delictum nulla poena sine prevea lege poenali (tak ada delik tanpa aturan yang tertulis dalam hukum). Begitu juga dengan fiqh jinayat mengena la jarimata wa la uqubata illa binasshin (tidak ada jarimah (tindak pidana) dan tidak ada hukuman kecuali ada nash yang menunjukkan (Audah: tth).
Siddiqi (1987:204-6) membagi takzir, dilihat dari manfaat nya, menjadi tiga hal:
1. Takzir atas maksiyat, yakni maksiyat yang tersebut dalam nash, seperti riba, risywah, makan harta anaka yatim.
2. Takzir untuk kemaslahatan, seperti menakzir bapaknya seorang anak yang melakukan tindak pidana, dengan harapan ada perhatian dari orang tua.
3. Takzir atas perbuatan yang diperselisihkan, seperti melakukan perbuatan makruh atau meninggalkan perbuatan yang sunnah.
Adapun bentuk-bentuk pidana takzir yang dikenal dalam teks fiqh jinayat di antaranya; menyalib, jilid, pernjara, perampasan harta benda, dan lain lain. Di antara takzir yang hingga sekarang ini banyak diberlakukan di beberapa Negara adalah pidana penjara atau pengasingan. Istilah penjara yang menggunakan kata al-habsu atau al-sijnu dalam bahasa Arab, bahkan dijadikan sebagai pidana pokok dalam kitab undang-undang Hukum Pidana Negara-negara di dunia.
Di dalam Pasal 10 KUHP di Negara Indonesia misalnya diatur tentang jenis-jenis pidana, yaitu yang terdiri dari pidana pokok (pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan), dan pidana tambahan yang terdiri dari: pencabutan hak-hak tertentu dan perampasan barang-barang tertentu serta pengumuman putusan hakim.
Lebih lanjut berkenaan dengan pidana penjara dalam Pasal 12 KUHP ditegaskan:
(1) pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu;
(2) pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut; (3) pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat dilampaui karena perbarengan (concursus), pengulangan (residive) atau karena ditentukan dalam Pasal 52 dan 52a.
Dalam berbagai kitab fiqh, pembahasan penjara menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan takzir. Berbagai perbuatan jarimah yang tidak masuk dalam qishash diyat dan hudud dikenai dengan hukuman takzir. Contohnya antara lain perbuatan menuduh zina atau qadhaf yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak-anaknya, apabila orang tua tidak bisa mengajukan empat orang saksi, maka hukuman yang diberikan cukup dengan penjara atau pengasingan (Nihayah: 26/33).
Begitu juga dengan pencurian yang tidak memenuhi satu nishab. Bagi seorang pencuri demikian tidak dipotong tangan tetapi di penjara sesuai dengan keyakinan hakim. (Tuhfah:18/346).
Yang perlu menjadi catatan adalah bahwa meski penjara senantiasa eksis dalam setiap generasi fiqh, tetapi fiqh tidak merumuskan institusi penjara. Artinya eksistensi penjara merupakan upaya penyesuaian fiqh dengan konteks di mana fiqh berkembang.
Dalam perspektif ushul fiqh, hukum terbagi menjadi hukum ashliyyah dan hukum muayyidat (Zarqa: tt). Hukum ashliyyat adalah inti atau substansi dari hukum-hukum yang dijelaskan Allah dalam nash-nash sucinya. Potong tangan bagi pencuri misalnya, yang paling substansi adalah larangan mencurinya karena akan merugikan orang lain. Memotong tangan atau memenjarakan seorang pelaku adalah hukum muayyidatnya yakni sangsi-sangsi hukum yang digunakan dalam rangka menguatkan inti dari larangan mencuri.
Hukuman penjara mestinya hanyalah sebagai hukum muayyidat yang menjadi penguat dalam rangka menegakkan hukum-hukum Allah SWT. Sedangkan penjara, pengasingan atau sangsi hukum lainnya hanyalah pelengkap. Untuk itu hukum pidana Islam memandang efektifitas hukuman seperti penjara atau lainnya disesuaikan dengan kondisi kekinian. Penjara bukan satu-satunya media untuk menyadarkan dan menjerakan seseorang untuk berhenti untuk melakukan pelanggaran hukum. Wallohu a’lambi shawab.*)
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, Beirut: Dar al-Qalam, 1978.
Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Legislatif dalam penanggulangan Kejahatan dengan Pidana penjara, Semarang: BP Undip, 2000.
Audah, Abd al-Qadir, al-Tasyri’ al-Jianay al-Islamiy, juz I, Dar al-Kitab, Beirut: tth.
Azhari, Tahir, Criminal Law in Islam and the Muslim World A Comaparative Perspective, Institute of Objective Studies, 1996.
Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1967,
M Cherif Bassiouni, Islamic Criminal law, (2009)
Mun’in, Muhammad Abdul, Nadharoyyah al-Qur’an ila al-jarimah wa al-Iqab, Mesir, dar al-Manar:1988.
Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: pustaka Progresif, 1996.
Neufeldt,Victoria, Webster’s New Word Dictionary, New York: Macmillan company, 1996.
Shiddieqi, Abdurrohim, Al-Jarimah wa al-Uqubah fi Syariat al-Islamiyah, Mesir: Maktamab Nahdhoh:1987.
Zarqa, Mustofa, Al-Madkhal fi al-Fiqh al-Islam, (Beirut: Daar al-Fikr, 1990)..
Zuhailiy,Wahbah az-, al-Fiqh al-Islam wa al-Dillatuh, Damaskus: Daar al-Fikr, 1997.
(Dosen Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang)
Pendahuluan
Ketika Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum melakukan inspeksi mendadak di awal tahun 2010, dan menemukan “hotel mewah” di rutan Salemba, masyarakat mempertanyakan tentang fungsi penjara yang selama ini berganti nama dengan Lembaga Pemasyarakatan (LP) di Indonesia ini. Artalyta Suryani, terpidana kasus suap Rp 6 miliar kepada jaksa Urip Tri Gunawan, yang menikmati fasilitas itupun merasa bahwa perlakuan ini sesuatu yang wajar. Dari ruang tahanan itu pula dia rutin mengadakan rapat bisnis dengan anak buahnya.
Penjara yang di Indonesia dikenal sejak tahun 1905 pada mulanya diperuntukkan untuk para tahanan politik. Mereka yang menantang pemerintah Hindia Belanda dijebloskan ke penjara sebagai tempat pembalasan atas tindakan kriminal perlawanan terhadap Belanda. Konsep inilah yang hingga saat ini menjadi pegangan khususnya para pengambil kebijakan untuk meneruskan eksistensi pidana penjara.
Sekarang ini penjara yang merupakan Unit Pelayanan Teknis di bawah Departemen Hukum dan HAM RI, telah beralih nama Lembaga Kemayarakatan. Namun, dalam action-nya belum bisa berfungsi dengan maksimal. Ada dua alasan klise yang menjadi kendala. Pertama, masalah otonomi yang terkait dengan terbatasnya pilihan dalam perencanaan dan penganggaran. Kedua, adalah masalah teknologi, yaitu kemampuan pelaksanaan fungsi teknis khususnya pola, bentuk, substansi dan kapasitas pendukung proses pembinaan. Dengan masalah tersebut para penyelenggara penjara merasa wajar apabila fungsi penjara belum dilaksanakan secara maksimal.
Gagasan Negara Tanpa Penjara yang pernah digulirkan oleh beberapa tokoh perlu mendapat apresiasi di saat ketidakmampuan Negara menjalankan fungsi penjara senbagaimana mestinya. M Cherif Bassiouni (2009), seorang ahli hukum Pidana Islam (Islamic Criminal law) menyatakan bahwa hukum pidana penjara penuh dengan gambaran hukuman masa lampau. Teori retributif (teori pembalasan) yang dikenal dalam hukum pidana merupakan a realistic of barbarism. Begitu juga dengan International Conference in Prison Abolition (ICOPA) dalam Konggres ke 3 tahun 1987 menggagas pergeseran dari prison abolition menjadi penal abolition. Bahkan Professor Hazairin Hukum Adat dan Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 1980-an pernah menerbitkan buku dengan judul Tujuh Serangkai Tentang Hukum, tepatnya di bawah judul ”negara tanpa penjara”.
Seiring dengan penghargaan yang tinggi terhadap Hak Asasi Manusia, konsep penjara seakan perlu dievaluasi eksistensi penjara baik dari aspek teori maupun praktis. Tulisan ini mencoba melakukan analisis secara teoritik wabil khusus dari perpektif ilmu pidana Islam (fiqh jinayat).
Teori Hukuman dalam Fiqh
Hukuman atau punishment berarti a penalty imposed on an offender for a crime or wrong doing (Neufeldt, 1996:1091) (hukuman yang dijatuhkan kepada pelanggar kejahatan atau melakukakan kesalahan), sedangkan dalam istilah bahasa Arab dikenal dengan kata عقوبة (‘uqūbah) yang berarti siksa atau hukuman (Munawwir, 1996:952) yaitu hukuman atas perbuatan yang melanggar ketentuan Syari’ yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat.
Dalam konteks Negara kita, pidana penjara adalah salah satu jenis pidana pokok yang terdapat dalam KUHP yang berlaku sekarang (Ius Constitutum) dan RUU KUHP mendatang (Ius Constituendum). Sehingga, sampai saat ini pidana penjara masih menjadi ‘primadona’ dalam hukum pidana Indonesia.
Menurut kamus hukum, penjara adalah tempat di mana orang-orang dikurung dan dibatasi berbagai macam kebebasannya. Mereka dikirim ke penjara dalam rangka mempertanggungjawabkan tindak kriminal, bukan utnuk pindah tempat tinggal atau tempat berkator. Penjara diharapkan mampu meredam tindak kriminal yang dilakukan oleh pelaku kriminal yang meresahkan masyarakat (Arief: 2010). Penjara janganlah menjadi school of crime (sekolah kriminal), yang semula penjahat kecil namun setelah masuk penjara justru tambah kebal dengan kejahatan.
Dalam khazanah hukum Islam, pidana penjara biasa disebut dengan al-habsu atau al-sijnu, yang secara etimologi berarti mencegah dan menahan. Sedangkan istilah hukuman dalam hukum pidana Islam sebagaimana dikemukakan oleh Abd al-Qadir Audah (tt: 609),
العقوبة هى الجزاء المقرر لمصلحة الجماعة على عصيان امر الشارع
Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat, karena adanya pelanggaran-pelanggaran atas ketentuan syara’.
Berdasarkan pengertian bahasa di atas dapat dipahami bahwa hukuman (punishment/uqūbah) adalah segala bentuk siksa, sanksi atau sejenisnya yang dikenakan kepada seseorang akibat dari perbuatannya yang melanggar ketententuan-ketentuan atau peraturan, baik yang ditetapkan oleh Tuhan dalam firman-firman-Nya ataupun peraturan yang disepakati bersama mayarakatnya, seperti norma, perundang-undangan dan sejenisnya.
Para ahli hukum Islam mengklasifikasi tujuan-tujuan dari syariat adalah dalam rangka mencapai kemashlahatan tingkat dharuri (primer), hajji (skunder), dan tahsini (tersier) (Khallaf: 1978). Sedangkan tujuan pokok dalam penjatuhan hukuman dalam syari’at Islam ada dua, yaitu pencegahan (زجر) dan pengajaran atau pendidikan (تهذيب). (Hanafi, 1967: 255).
Pencegahan ialah menahan pelaku agar tidak mengulangi perbuatan jarimahnya atau agar ia tidak terus menerus melakukannya. Disamping itu juga sebagai pencegahan terhadap orang lain agar ia tidak melakukan perbuatan jarimah, sebab ia mengetahui hukuman yang diterima bila ia melakukan perbuatan jarimah serupa.
Perbuatan-perbuatan yang diancam hukuman dapat berupa pelanggaran terhadap larangan atau meninggalkan kewajiban. Dalam keadaan seperti itu boleh jadi hukuman meninggalkan kewajiban jauh lebih berat, karena tujuan penjatuhan hukuman pada meninggalkan kewajiban ialah memaksa pelaku untuk mengerjakan kewajiban.
Begitu juga dalam hukum pidana umum, tujuan pemidanaan yang berkembang dari dahulu sampai sekarang telah semakin munjurus ke arah yang lebih rasional. Tujuan pemidanaan yang paling tua adalah pembalasan (revenge) atau untuk tujuan memuaskan pihak yang dirugikan atau yang menjadi korban kejahatan. Hal ini bersifat primitif, tetapi kadang-kadang masih terasa pengaruhnya pada zaman modern ini.
Sekarang ini berkaitan dengan tujuan pemidanaan, paling tidak terdapat 3 golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana, yaitu: (1) teori absolut atau teori pembalasan (vergeldingstheorien), (2) teori relatif atau teori tujuan (doeltheorien), dan (3) teori gabungan (verenigingstheorien).
Teori yang pertama muncul pada akhir abad ke 18, dianut antara lain oleh Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl, Leo Polak dan beberapa sarjana yang mendasarkan teorinya pada filsafat. Teori ini menyatakan bahwa pemidanaan tidaklah bertujuan untuk hal-hal yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk diajtuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukannya kejahatan. Oleh karena itulah maka teori ini disebut teori absolut.
Yang kedua, teori relative yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk prevensi terjadinya kejahatan. Wujud pidana ini berbeda-beda: menakutkan, memperbaiki atau membinasakan. Yang ketiga teori gabungan antara pembalasan dan prevensi terdapat beberapa variasi.
Shiddiqie (1997:5297) membagi macam-macam hukuman dalam Islam menjadi dua bentuk, yaitu: hukuman akhirat (العقوبة الاخروية) dan hukuman dunia (العقوبة الدنيوية). Hukuman akhirat merupakan kehendak Allah Swt, adalah hukuman yang benar (haq) dan adil (‘adl), ia dapat berbentuk azab atau ampunan dari-Nya. Adapun hukuman dunia menurutnya ada dua macam pula, yaitu: hudud dan takzir.
Hudud adalah hukuman-hukuman yang telah ditentukan bentuknya oleh Syari’ dengan nash-nash yang jelas. Hukuman had menurut Hanafiyah ada tujuh macam yaitu, had zina, had qadzf, had pencurian, had minum hamr, dan had mabuk. Sedangkan menurut jumhur ulama selain Hanafiyah ada tujuh macam yaitu had zina, had qadzf, had pencurian, had hirabah, had mabuk-mabukan, had qisas, had riddah.
Al-Hudud, sanksi hukum yang tertentu dan mutlak yang menjadi hak Allah, yang tidak dapat diubah oleh siapa pun. Sanksi itu wajib dilaksanakan, manakala syarat¬syarat dari tindak pidana itu terpenuhi. Sanksi ini di¬kenakan kepada kejahatan-kejahatan berat seperti zina, sariqah, riddah, qadzaf dan lain-lain. Sedangkan Qishash adalah sanksi hukuman pembalasan seimbang, seperti membunuh terhadap si pembunuh. Al-Diyat adalah sanksi hukuman dalam bentuk ganti rugi, seperti jika ahli waris si terbunuh memberi maaf maka hukuman alternatif adalah diyat. Sanksi hukum Qishash dan Diyat adalah merupa¬kan sanksi hukum perpaduan antara hak Allah dan hak manusia.
Sedangkan Takzir, adalah sanksi hukum yang diserahkan kepada keputusan hakim atau pihak berwenang yang berkompeten melaksanakan hukuman itu, seperti memenjarakan, mengasingkan dan lain-lain. Inilah keluwesan takzir sebagai bentuk hukum Islam yang shalihun likulli zamanin wamakanin.
Secara umum kajian hukum Islam terbagi menjadi hukum ijtihadi (pemikiran hukum) dan hukum tatbiqi (penerapan hukum). Sangsi penjara merupakan salah satu bentuk upaya hukum dalam ranah tatbiqi. Untuk itu dalam pespektif fiqh jinayat, sangsi penjara tetap diberlakukan apabila oleh hakim dibutuhkan dan tepat untuk memberikan balasan dan pendidikan bagi pelaku kejahatan.
Pidana Penjara dalam Perspektif Fiqh Jinayat
Hukum pidana Islam sebagai sebuah sistem hukum, mempunyai tiga aspek kajian; yakni tindak pidana ( rukn al-amali ), pertanggungjawaban pidana ( rukn al-madi ), dan pidana atau hukuman ( rukn al-syar"i ). Tiga aspek tersebut harus dipahami secara simultan sehingga akan menggambarkan hukum pidana Islam sebagai sebuah sistem hukum yang universal (Zuhaili, 1997).
Banyak umat Islam yang memahami hukum pidana Islam hanya dilihat dari satu rukun yakni rukun syar’i, yakni materi pidana, sehingga hukum Islam hanya difahami dari aspek pidana/ hukuman ( uqubat ) seperti hukum mati, potong tangan, rajam (terpidana dilempar batu hingga mati), penjara, dan jilid (terpidana dipukul dengan rotan). Padahal hukum pidana Islam juga membahas tentang pertanggungjawaban pidana dan perbuatan pidana. Dengan memahami perbuatan hukum dan pertanggungjawaban hukum sekaligus, wajah hukum pidana Islam tidak terkesan bengis, barbarian ala Arab pada masa klasik.
Dari ketiga rukun tersebut, yang mempunyai relevansi dengan tulisan ini adalah menyangkut masalah pidana dan pemidanaan. Ancaman pidana yang dikenakan pada tiap-tiap perbuatan pidana hakekatnya adalah menggambarkan ketercelaan dan keseriusan perbuatan yang bersangkutan. Dalam hukum pidana Islam (fiqh jinayat), hukum qishosh diyat berbeda dengan hudud, begitu juga dengan takzir yang secara substansial lebih rendah dari qishosh dan hudud.
Untuk qishosh, diyat dan hudud mestinya sudah jelas dituliskan dalam nash-nash agama, tetapi untuk takzir ini yang rawan dengan subyektifitas. Dalam hukum pidana dikenal azaz legalitas dengan nellum delictum nulla poena sine prevea lege poenali (tak ada delik tanpa aturan yang tertulis dalam hukum). Begitu juga dengan fiqh jinayat mengena la jarimata wa la uqubata illa binasshin (tidak ada jarimah (tindak pidana) dan tidak ada hukuman kecuali ada nash yang menunjukkan (Audah: tth).
Siddiqi (1987:204-6) membagi takzir, dilihat dari manfaat nya, menjadi tiga hal:
1. Takzir atas maksiyat, yakni maksiyat yang tersebut dalam nash, seperti riba, risywah, makan harta anaka yatim.
2. Takzir untuk kemaslahatan, seperti menakzir bapaknya seorang anak yang melakukan tindak pidana, dengan harapan ada perhatian dari orang tua.
3. Takzir atas perbuatan yang diperselisihkan, seperti melakukan perbuatan makruh atau meninggalkan perbuatan yang sunnah.
Adapun bentuk-bentuk pidana takzir yang dikenal dalam teks fiqh jinayat di antaranya; menyalib, jilid, pernjara, perampasan harta benda, dan lain lain. Di antara takzir yang hingga sekarang ini banyak diberlakukan di beberapa Negara adalah pidana penjara atau pengasingan. Istilah penjara yang menggunakan kata al-habsu atau al-sijnu dalam bahasa Arab, bahkan dijadikan sebagai pidana pokok dalam kitab undang-undang Hukum Pidana Negara-negara di dunia.
Di dalam Pasal 10 KUHP di Negara Indonesia misalnya diatur tentang jenis-jenis pidana, yaitu yang terdiri dari pidana pokok (pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan), dan pidana tambahan yang terdiri dari: pencabutan hak-hak tertentu dan perampasan barang-barang tertentu serta pengumuman putusan hakim.
Lebih lanjut berkenaan dengan pidana penjara dalam Pasal 12 KUHP ditegaskan:
(1) pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu;
(2) pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut; (3) pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat dilampaui karena perbarengan (concursus), pengulangan (residive) atau karena ditentukan dalam Pasal 52 dan 52a.
Dalam berbagai kitab fiqh, pembahasan penjara menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan takzir. Berbagai perbuatan jarimah yang tidak masuk dalam qishash diyat dan hudud dikenai dengan hukuman takzir. Contohnya antara lain perbuatan menuduh zina atau qadhaf yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak-anaknya, apabila orang tua tidak bisa mengajukan empat orang saksi, maka hukuman yang diberikan cukup dengan penjara atau pengasingan (Nihayah: 26/33).
Begitu juga dengan pencurian yang tidak memenuhi satu nishab. Bagi seorang pencuri demikian tidak dipotong tangan tetapi di penjara sesuai dengan keyakinan hakim. (Tuhfah:18/346).
Yang perlu menjadi catatan adalah bahwa meski penjara senantiasa eksis dalam setiap generasi fiqh, tetapi fiqh tidak merumuskan institusi penjara. Artinya eksistensi penjara merupakan upaya penyesuaian fiqh dengan konteks di mana fiqh berkembang.
Dalam perspektif ushul fiqh, hukum terbagi menjadi hukum ashliyyah dan hukum muayyidat (Zarqa: tt). Hukum ashliyyat adalah inti atau substansi dari hukum-hukum yang dijelaskan Allah dalam nash-nash sucinya. Potong tangan bagi pencuri misalnya, yang paling substansi adalah larangan mencurinya karena akan merugikan orang lain. Memotong tangan atau memenjarakan seorang pelaku adalah hukum muayyidatnya yakni sangsi-sangsi hukum yang digunakan dalam rangka menguatkan inti dari larangan mencuri.
Hukuman penjara mestinya hanyalah sebagai hukum muayyidat yang menjadi penguat dalam rangka menegakkan hukum-hukum Allah SWT. Sedangkan penjara, pengasingan atau sangsi hukum lainnya hanyalah pelengkap. Untuk itu hukum pidana Islam memandang efektifitas hukuman seperti penjara atau lainnya disesuaikan dengan kondisi kekinian. Penjara bukan satu-satunya media untuk menyadarkan dan menjerakan seseorang untuk berhenti untuk melakukan pelanggaran hukum. Wallohu a’lambi shawab.*)
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, Beirut: Dar al-Qalam, 1978.
Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Legislatif dalam penanggulangan Kejahatan dengan Pidana penjara, Semarang: BP Undip, 2000.
Audah, Abd al-Qadir, al-Tasyri’ al-Jianay al-Islamiy, juz I, Dar al-Kitab, Beirut: tth.
Azhari, Tahir, Criminal Law in Islam and the Muslim World A Comaparative Perspective, Institute of Objective Studies, 1996.
Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1967,
M Cherif Bassiouni, Islamic Criminal law, (2009)
Mun’in, Muhammad Abdul, Nadharoyyah al-Qur’an ila al-jarimah wa al-Iqab, Mesir, dar al-Manar:1988.
Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: pustaka Progresif, 1996.
Neufeldt,Victoria, Webster’s New Word Dictionary, New York: Macmillan company, 1996.
Shiddieqi, Abdurrohim, Al-Jarimah wa al-Uqubah fi Syariat al-Islamiyah, Mesir: Maktamab Nahdhoh:1987.
Zarqa, Mustofa, Al-Madkhal fi al-Fiqh al-Islam, (Beirut: Daar al-Fikr, 1990)..
Zuhailiy,Wahbah az-, al-Fiqh al-Islam wa al-Dillatuh, Damaskus: Daar al-Fikr, 1997.
Senin, 08 Maret 2010
HAM dan Civil Society
Imam Yahya dan Moh Adnan
A. Pendahuluan
Hak asasi manusia atau biasa disingkat HAM merupakan sebuah hal yang menjadi keharusan dari sebuah negara untuk menjaminnya dalam konstitusinya. Melalui deklarasi universal ham 10 desember 1948 merupakan tonggak bersejarah berlakunya penjaminan hak mengenai manusia sebagai manusia. Sejarah HAM dimulai dari magna charta di inggris pada tahun 1252 yang kemudian kemudian berlanjut pada bill of rights dan kemudian berpangkal pada DUHAM PBB.
Manusia, menurut Thomas Hobbes adalah makhluk sosial yang menuntut haknya, tetapi tidak menginginkan kawajibannya, karena sifatnya yang alami. Pada diri manusia melekat hak-hak yang diberikan oleh alam, yakni untuk hidup (Life), hak atas kemerdekaan (Liberty), dan hak atas milik (Property), karena sifatnya yang alamiah tadi, mengakibatkan suatu perasaan takut, gelisah, resah akan keberadaan hak-hak asasinya serta kebebasan-kebebasan yang dimilikinya terenggut oleh orang lain, maka didirikanlah negara melalui kontrak sosial. Negara diciptakan untuk melindungi hak-hak asasi setiap individu warganya.
Dalam konteks warga Negara vis a vis Negara inilah, HAM sering tidak diperhatikan. Negara seakan menjadi kuat apabila warga Negara tunduk dan taat tanpa ada koreksi apapun. Civil society mengandaikan bahwa warga Negara mempunyai kekuatan yang berimbang dengan Negara.
Pengertian Hak asasi manusia
Hak Asasi manusia (HAM) adalah, sejumlah hak yang melekat pada setiap individu manusia. Hak-hak itu diperoleh sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, bukan pemberian manusia atau penguasa. Sementara dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tantang HAM, adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum pemerintah dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia.
Bila kita tinjau HAM dalam perspektif Islam adalah Islam menganggap dan meyakini bahwa Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada setiap manusia yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia (Jan Materson/Komisi HAM PBB).Hak asasi Manusia adalah al-huquq al-insan al-dhoruriyyah yakni hak-hak kodrati yang dianugerahkan Allaoh SWT kepada setiap manusia dan tidak dapat dicabut atau dikurangi oleh kekuasaan atau badan apapun.
Di antara konsep yang relevan dengan HAM adalah rumusan fuqaha tentang maqâshid al Syar’i (tujuan Syari’ah) berdasarkan analisi fuqaha, bahwa Allah dan Rasulnya , membuat syari’ah dengan beberapa tujuan, memelihara kebebasan beragama (hifz ad-din), memelihara diri atau menjaga kelangsungan hidup (hifz al-nafs),akal (hifz al-‘Aql),keturunan (hifz al-nasl), dan memelihara harta (hifz al-amwal)
Bentuk HAM secara umum dibagi menjadi 4 kelompok, yakni hak sipil, hak politik, hak ekonomi dan hak sosial budaya. Hak sipil, diperlakukan sama dimuka hukum, bebas dari kekerasan, hidup, dan kehidupan, sementara hak politik, berarti kebebasan berserikat, berpendapat dan berkumpul, kemerdekaan mengeluarkan pemikiran dengan lisan dan tulisan. Adapun hak ekonomi, berupa jaminan sosial, perlindungan kerja, perdagangan dan pembangunan. Hak Sosial Budaya, berupa hak untuk memperoleh pendidikan, hak kekayaan intelektual, kesehatan, perumahan, dan pemukiman.
Dalam UU HAM Nomor 39 Tahun 1999 tertulis dalam Pasal 24 Ayat 1; “ Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.” Sementara dalam pasal 19 Deklarasi HAM (Universal Declaration of Human Right) menyebutkan “Setiap orang berhak untuk mengeluarkan pendapat dan ekspresinya, hak ini mencakup kebebasan untuk memiliki pendapat tanpa adanya campur tangan, dan juga hak untuk mencari, menerima, menyebarkan informasi dan ide melalui media apapun dan tak boleh dihalangi.
Munculnya pasal Kriminalisasi terhadap publik sebagai pengguna informasi, yakni pasal 51 UU KIP, “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan informasi publik secara melawan hukum dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak 5 juta rupiah”, menjadi kontra produktif dalam menegakkan HAM di Indonesia.
Dari pengertian di atas dapat difahami bahwa HAM bukan saja hak untuk mengeluarkan pendapat tetapi juga hak untuk mendapatkan pendapat orang lain. Bagi kalangan masyarakat awam, HAM lebih dilihat sebagai pengakuan terhadap hak-hak sebagai warga Negara.
Konsep HAM berawal dari konsep tentang adanya negara. Gagasan asal mula adanya konsep negara pertama kalinya diperkenalkan oleh seorang filosof Yunani bernama Plato (427-247 SM) yang terkenal dengan konsepnya Negara Ideal, menurutnya bahwa negara ideal adalah suatu komunitas ethical untuk mencapai kebajikan dan kebaikan, karena pada hakekatnya adalah sesuatu keluarga, yang didalamnya kamu semua adalah saudara.
Penguatan Civil Society
Dalam ilmu politik, penguatan civil society menjadi isu penting yang harus dibahas.Civilk society merupakan kondisi ideal di mana ada sekelompok warga yang mampu mandiri dari kungkungan Negara. Mereka mamapu menyeimbangkan hak dan kewajibannya di depan Negara, sehingga warga Negara diperhitungkan sebagai kekuatan mandiri.
Kebanyakan warga Negara memandang bahwa ketaatan kepada Negara merupakan sebuah keharusan bukan sebagai hak warga Negara. Oleh karena itu nilai tawar warga Negara kurang berarti di depan Negara. Sebaliknya apabila warga Negara kuat dan maju, maka warga Negara tidak saja sebagai objek, tetapi justru sebagai subjek Negara. Keseimbangan hak dan kewajiban bagi warga Negara merupakan sebuah keniscayaan
Dengan demikian penguatan hak politik warga Negara akan terlaksana manakala warga Negara menjadi warga Negara yang mandiri tanpa ada ketergantungan dengan Negara (civil society). Dengan Civil society yang kuat hak-hak warga Negara sangat diperhatikan oleh Negara.
Dari uraian di atas yaitu tentang “Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Perspektif Politik”, mengingatkan kepada kita, bahwa HAM sangat diperlukan dalam membangun civil society yang kuat. Civil society sebagai bagian dari unsur-unsur Negara, yakni warga Negara, wilayah, perundang-undangan, dan pemerintah mutlak keberadaannya.
Untuk mewujudkan penguatan civil society maka dibutuhkan dua suasana yakni pengakuan Negara atas hak-hak warga Negara dan penguatan lembaga civil society. Pengakuan Negara atas hak-hak sipil dan politik warga menjadi penting karena dalam sebuah Negara demokrasi political will dari Negara terutama dari penyelengara pemerintahan sangat mentukan eksistensi warga Negara.
Pengakuan hak-hak politik warga Negara sekarang ini bisa dilihat dari berbagai undang-undang politik yang mengakomodir hak-hak politik warga. Diperbolehkannya calon bupati/walikota atau calon presiden dari kelompok independent perlu diapresiasi oleh warga, karena wacana ini sebagai upaya pembelaan terhadap hak politik warga. Begitu juga dengan diberlakukannya UU No 14/2008 tentanag Kebebasan Informasi Publik yang mengamanatkan terbentuknya KIP (Komite Informasi Publik) yang dibentuk di pusat dan Provinsi, merupakan upaya dalam rangka menjamin terealisasinya hak-hak politik warga agar mendapatkan berbagai informasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintah.
Tak kalah pentingnya menggelindingkan isu seputar RUU Hukum Materiil Peradilan Agama yang mengangkat perdebatan pemidanaan nikah sirri, memberikan ruang kepada public untuk mendiskusikannya sebelum RUU disahkan. Terlepas dari perdebatan ini menjadi blunder di kalangan tokoh-tokoh agama, tetapi hah-hak social politik warga menjadi perhatian penyelenggara Negara. Begitu juga dengan isu pembatasaan penggunaan informasi di dunia maya yang digagas Menkominfo, menuai banyak pro dan kontra di kalangan warga masyarakat. Masyarakat mempunyai kebebasan tentang informasi yang tidak boleh terkekang oleh kebijakan Negara manapun.
Sementara dalam bidang penguatan kelembagaan wargta Negara, banyak hal yang harus dipersiapakan, di antaranya mengefektifkan lembaga-lembaga masyarakat seperti LSM, organisasi sosial keagamaan dan sosial kemasyarakatan. LSM yang selama ini dianggap kritis atas perilaku pemerintah tentu harus meningkatkan isu-isu strategis yang diperlukan dalam melakukan kritik terhadap pemerintah. Para aktifis LSM tidak hanya mendahulukan kepentingan kelompoknya dengan menjual isu-isu strategis kepada khalayak, tetapai perlu difikirkan upaya atau langkah-langka yang baik dalam merespon isu-isu kemasyartakatan.
Organisasi social keagamaan seperti NU, MUhammadiyah dan organisasi keagamaan lainnya harus bisa merumuskan ide-ide hingga tehnik operasionalnya dalam kehidupan social kemasyarakatan sehari-hari. NU misalnya, di tengah kesibukannya melayani umat dari kalangan du’afa hingga kelompok menengah ke atas, masih sempat melakukan advokasi anggaran di beberapa daerah yang dilakukan oleh generasi muda NU seperti Lakpesdam. Kegiatan ini dikemas dengan berbagai pelatihan dan advokasi terhadap rancangan RAPBD di tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Upaya ini menjadi catatan bagi organisasi social keagamaan lain agar bisa bersama NU mewujudkan pemerintahan yang good governance.
Dengan mengefektifkan lembaga-lembaga ini, upaya penguatan civil society bisa diwujudkan. Hak-hak politik warga Negara sering diabaikan oelh Negara sehingga setiap saat dan tempat, warga Negara harus bisa pro aktif untuk mendapatkan hak-haknya sebagai warga Negara. Semoga ***)
A. Pendahuluan
Hak asasi manusia atau biasa disingkat HAM merupakan sebuah hal yang menjadi keharusan dari sebuah negara untuk menjaminnya dalam konstitusinya. Melalui deklarasi universal ham 10 desember 1948 merupakan tonggak bersejarah berlakunya penjaminan hak mengenai manusia sebagai manusia. Sejarah HAM dimulai dari magna charta di inggris pada tahun 1252 yang kemudian kemudian berlanjut pada bill of rights dan kemudian berpangkal pada DUHAM PBB.
Manusia, menurut Thomas Hobbes adalah makhluk sosial yang menuntut haknya, tetapi tidak menginginkan kawajibannya, karena sifatnya yang alami. Pada diri manusia melekat hak-hak yang diberikan oleh alam, yakni untuk hidup (Life), hak atas kemerdekaan (Liberty), dan hak atas milik (Property), karena sifatnya yang alamiah tadi, mengakibatkan suatu perasaan takut, gelisah, resah akan keberadaan hak-hak asasinya serta kebebasan-kebebasan yang dimilikinya terenggut oleh orang lain, maka didirikanlah negara melalui kontrak sosial. Negara diciptakan untuk melindungi hak-hak asasi setiap individu warganya.
Dalam konteks warga Negara vis a vis Negara inilah, HAM sering tidak diperhatikan. Negara seakan menjadi kuat apabila warga Negara tunduk dan taat tanpa ada koreksi apapun. Civil society mengandaikan bahwa warga Negara mempunyai kekuatan yang berimbang dengan Negara.
Pengertian Hak asasi manusia
Hak Asasi manusia (HAM) adalah, sejumlah hak yang melekat pada setiap individu manusia. Hak-hak itu diperoleh sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, bukan pemberian manusia atau penguasa. Sementara dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tantang HAM, adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum pemerintah dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia.
Bila kita tinjau HAM dalam perspektif Islam adalah Islam menganggap dan meyakini bahwa Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada setiap manusia yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia (Jan Materson/Komisi HAM PBB).Hak asasi Manusia adalah al-huquq al-insan al-dhoruriyyah yakni hak-hak kodrati yang dianugerahkan Allaoh SWT kepada setiap manusia dan tidak dapat dicabut atau dikurangi oleh kekuasaan atau badan apapun.
Di antara konsep yang relevan dengan HAM adalah rumusan fuqaha tentang maqâshid al Syar’i (tujuan Syari’ah) berdasarkan analisi fuqaha, bahwa Allah dan Rasulnya , membuat syari’ah dengan beberapa tujuan, memelihara kebebasan beragama (hifz ad-din), memelihara diri atau menjaga kelangsungan hidup (hifz al-nafs),akal (hifz al-‘Aql),keturunan (hifz al-nasl), dan memelihara harta (hifz al-amwal)
Bentuk HAM secara umum dibagi menjadi 4 kelompok, yakni hak sipil, hak politik, hak ekonomi dan hak sosial budaya. Hak sipil, diperlakukan sama dimuka hukum, bebas dari kekerasan, hidup, dan kehidupan, sementara hak politik, berarti kebebasan berserikat, berpendapat dan berkumpul, kemerdekaan mengeluarkan pemikiran dengan lisan dan tulisan. Adapun hak ekonomi, berupa jaminan sosial, perlindungan kerja, perdagangan dan pembangunan. Hak Sosial Budaya, berupa hak untuk memperoleh pendidikan, hak kekayaan intelektual, kesehatan, perumahan, dan pemukiman.
Dalam UU HAM Nomor 39 Tahun 1999 tertulis dalam Pasal 24 Ayat 1; “ Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.” Sementara dalam pasal 19 Deklarasi HAM (Universal Declaration of Human Right) menyebutkan “Setiap orang berhak untuk mengeluarkan pendapat dan ekspresinya, hak ini mencakup kebebasan untuk memiliki pendapat tanpa adanya campur tangan, dan juga hak untuk mencari, menerima, menyebarkan informasi dan ide melalui media apapun dan tak boleh dihalangi.
Munculnya pasal Kriminalisasi terhadap publik sebagai pengguna informasi, yakni pasal 51 UU KIP, “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan informasi publik secara melawan hukum dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak 5 juta rupiah”, menjadi kontra produktif dalam menegakkan HAM di Indonesia.
Dari pengertian di atas dapat difahami bahwa HAM bukan saja hak untuk mengeluarkan pendapat tetapi juga hak untuk mendapatkan pendapat orang lain. Bagi kalangan masyarakat awam, HAM lebih dilihat sebagai pengakuan terhadap hak-hak sebagai warga Negara.
Konsep HAM berawal dari konsep tentang adanya negara. Gagasan asal mula adanya konsep negara pertama kalinya diperkenalkan oleh seorang filosof Yunani bernama Plato (427-247 SM) yang terkenal dengan konsepnya Negara Ideal, menurutnya bahwa negara ideal adalah suatu komunitas ethical untuk mencapai kebajikan dan kebaikan, karena pada hakekatnya adalah sesuatu keluarga, yang didalamnya kamu semua adalah saudara.
Penguatan Civil Society
Dalam ilmu politik, penguatan civil society menjadi isu penting yang harus dibahas.Civilk society merupakan kondisi ideal di mana ada sekelompok warga yang mampu mandiri dari kungkungan Negara. Mereka mamapu menyeimbangkan hak dan kewajibannya di depan Negara, sehingga warga Negara diperhitungkan sebagai kekuatan mandiri.
Kebanyakan warga Negara memandang bahwa ketaatan kepada Negara merupakan sebuah keharusan bukan sebagai hak warga Negara. Oleh karena itu nilai tawar warga Negara kurang berarti di depan Negara. Sebaliknya apabila warga Negara kuat dan maju, maka warga Negara tidak saja sebagai objek, tetapi justru sebagai subjek Negara. Keseimbangan hak dan kewajiban bagi warga Negara merupakan sebuah keniscayaan
Dengan demikian penguatan hak politik warga Negara akan terlaksana manakala warga Negara menjadi warga Negara yang mandiri tanpa ada ketergantungan dengan Negara (civil society). Dengan Civil society yang kuat hak-hak warga Negara sangat diperhatikan oleh Negara.
Dari uraian di atas yaitu tentang “Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Perspektif Politik”, mengingatkan kepada kita, bahwa HAM sangat diperlukan dalam membangun civil society yang kuat. Civil society sebagai bagian dari unsur-unsur Negara, yakni warga Negara, wilayah, perundang-undangan, dan pemerintah mutlak keberadaannya.
Untuk mewujudkan penguatan civil society maka dibutuhkan dua suasana yakni pengakuan Negara atas hak-hak warga Negara dan penguatan lembaga civil society. Pengakuan Negara atas hak-hak sipil dan politik warga menjadi penting karena dalam sebuah Negara demokrasi political will dari Negara terutama dari penyelengara pemerintahan sangat mentukan eksistensi warga Negara.
Pengakuan hak-hak politik warga Negara sekarang ini bisa dilihat dari berbagai undang-undang politik yang mengakomodir hak-hak politik warga. Diperbolehkannya calon bupati/walikota atau calon presiden dari kelompok independent perlu diapresiasi oleh warga, karena wacana ini sebagai upaya pembelaan terhadap hak politik warga. Begitu juga dengan diberlakukannya UU No 14/2008 tentanag Kebebasan Informasi Publik yang mengamanatkan terbentuknya KIP (Komite Informasi Publik) yang dibentuk di pusat dan Provinsi, merupakan upaya dalam rangka menjamin terealisasinya hak-hak politik warga agar mendapatkan berbagai informasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintah.
Tak kalah pentingnya menggelindingkan isu seputar RUU Hukum Materiil Peradilan Agama yang mengangkat perdebatan pemidanaan nikah sirri, memberikan ruang kepada public untuk mendiskusikannya sebelum RUU disahkan. Terlepas dari perdebatan ini menjadi blunder di kalangan tokoh-tokoh agama, tetapi hah-hak social politik warga menjadi perhatian penyelenggara Negara. Begitu juga dengan isu pembatasaan penggunaan informasi di dunia maya yang digagas Menkominfo, menuai banyak pro dan kontra di kalangan warga masyarakat. Masyarakat mempunyai kebebasan tentang informasi yang tidak boleh terkekang oleh kebijakan Negara manapun.
Sementara dalam bidang penguatan kelembagaan wargta Negara, banyak hal yang harus dipersiapakan, di antaranya mengefektifkan lembaga-lembaga masyarakat seperti LSM, organisasi sosial keagamaan dan sosial kemasyarakatan. LSM yang selama ini dianggap kritis atas perilaku pemerintah tentu harus meningkatkan isu-isu strategis yang diperlukan dalam melakukan kritik terhadap pemerintah. Para aktifis LSM tidak hanya mendahulukan kepentingan kelompoknya dengan menjual isu-isu strategis kepada khalayak, tetapai perlu difikirkan upaya atau langkah-langka yang baik dalam merespon isu-isu kemasyartakatan.
Organisasi social keagamaan seperti NU, MUhammadiyah dan organisasi keagamaan lainnya harus bisa merumuskan ide-ide hingga tehnik operasionalnya dalam kehidupan social kemasyarakatan sehari-hari. NU misalnya, di tengah kesibukannya melayani umat dari kalangan du’afa hingga kelompok menengah ke atas, masih sempat melakukan advokasi anggaran di beberapa daerah yang dilakukan oleh generasi muda NU seperti Lakpesdam. Kegiatan ini dikemas dengan berbagai pelatihan dan advokasi terhadap rancangan RAPBD di tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Upaya ini menjadi catatan bagi organisasi social keagamaan lain agar bisa bersama NU mewujudkan pemerintahan yang good governance.
Dengan mengefektifkan lembaga-lembaga ini, upaya penguatan civil society bisa diwujudkan. Hak-hak politik warga Negara sering diabaikan oelh Negara sehingga setiap saat dan tempat, warga Negara harus bisa pro aktif untuk mendapatkan hak-haknya sebagai warga Negara. Semoga ***)
Langganan:
Postingan (Atom)