Total Tayangan Halaman

Jumat, 01 Juli 2011

Hukum al-Ashliyyat dan al-Muayyidat dalam Pembacaan Mustofa Ahmad Zarqo

Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW bertujuan untuk kebahagiaan manusia, baik dalam kehidupan di dunia maupun dalam kehidupan di akhirat kelak. Maslahat dunia dan akhirat, yang menjadi tujuan Syara, manusia tidak mampu untuk mengetahuinya, oleh karena itu Allah SWT memberikan petunjuk kepada manusia melalui Al-Qur’an yang disampaikan kepada Nabi Muhammad untuk dijelaskan kepada ummat manusia, baik dengan perkataan, perbuatan atau persetujuannya terhadap perbuatan para sahabatnya yang dilakukan dengan sepengetahuannya.

Pedoman tersebut baik dalam Al-Qur’an, maupun dalam kitab-kitab Hadits terdiri dari kumpulan titah (amr) dan kumpulan larangan (nahyu) semestinya ditaati oleh manusia dan tidak dilanggarnya.

Untuk mengantisipasi pelanggaran tersebut dalam pedoman itupun baik dalam Al-Qur’an maupun dalam Hadits, syara’ telah menyiapkan berupa sanksi terhadap setiap pelanggaran.

Dalam makalah ini akan dijelaskan perintah dan larangan yang mengarahkan manusia untuk mencapai maslahat tersebut di atas, yang merupakan tujuan asal dari syari’at itu sendiri, sekaligus dengan sanksi terhadap setiap pelanggaran yang akan menjauhkan dari tujuan syari’at itu sendiri. Kajian tersebut dalam Ushul Fiqh terdapat dalam tema “Al-Ashliyat wa Al-Mu’ayyidat”. Makalah ini akan menyajikan hasil kajian Musthafa Ahmad Zarqa’ Profesor di bidang Hukum Perdata dan bidang Syari’ah Islam, di Fakultas Hukum di Universitas Damaskus, dalam bukunya “Al-Fiqh Al Islami fi Thaubihi al-Jadid Al-madkhal al-Fiqhu al-Am”.


Kajian Al-Ahkam Al-Ashliyat

Musthafa Ahmad Zarqa’ tidak banyak mengupas Al-Ashliyat dalam bukunya, dan tidak membahas secara khusus di bawah suatu mau’dlu pembahasan, namun bisa dilihat dalam pembahasan “Mansya’ul al Mu’ayyidat” (Al-Zarqa’: 1967:591).

Aturan-aturan syara’ dibuat untuk mengatur hubungan manusia, menjaga kemaslahatan mereka baik umum maupun khusus, menegakkan keadilan dan mencegah permusuhan antar mereka.

Yang paling penting dari kekhususan “al-Tasyri’ al-amaly” bersifat ilzamy (memaksa), dan setiap mukallaf wajib mentaatinya menghormati amar dan nahinya, dan mesti menetapi aturan-aturan yang telah digariskan dalam amal-amal mereka dan mu’amalat-mu’amalat mereka yang menerbitkan hak-hak antar mereka.

Yang dimaksud dengan “الأعمال” adalah semua “الأفعال المادية” yang nampak dari mereka, seperti berjalan, berkata, makan, minum, berkendaraan, dan sebagainya yang dimungkinkan bisa timbul dari perbuatan tersebut suatu hak, sekalipun si pelaku tidak bermaksud untuk menimbulkan hak tersebut.

Yang dimaksudkan dengan “المعاملات” adalah “التصرفات المدنية” yaitu dengan melakukannya secara langsung bermaksud untuk menimbulkan hak atau menggugurkannya, dilakukan oleh dua orang atau lebih, baik termasuk tasarruf-tasarruf dari kehendak sepihak seperti talak, pelepasan (al-ibra) dan wakaf, ataupun termasuk transaksi-transaksi (al-Uqud) yang dilakukan oleh dua belah pihak, seperti jual beli dan syirkah.

Baik “al-A’mal” maupun “al-mu’amalat” seperti yang telah dijelaskan di atas hendaklah memperhatikan aturan Syara’, dan menghormatinya.

a. Pada “a’mal al-‘adiyah”, apabila manusia berjalan umpamanya, berusaha memenuhi kebutuhannya, wajib dia terikat oleh aturan berjalan, hendaklah ia tidak mengambil tanah milik orang sebagai jalan. Barangsiapa yang memperkatakan orang atau bicara dengannya, hendaklah tidak melukai perasaannya, dengan menghinanya, mengecamnya atau mencacinya.

Barangsiapa yang makan, minum, memakai, menafkahkan, mengumpulkan dan memiliki harta wajib membatasi perbuatannya pada batas-batas hartanya dan haknya, atau pada batas wewenangnya dan kemaslahatannya, jangan sekali-kali sampai melanggar harta dan hak-hak orang lain, dan sebagainya.

b. Pada bidang “al-mu’amalat” baik berupa transaksi (al-Uqud) maupun tasarruf-tasarruf lainnya yang termasuk keperdataan, seseorang wajib mengikat dan membatasi dirinya dengan cara-cara, aturan-aturan dan bentuk-bentuk tertentu demikian pula persyaratan-persyaratan lainnya yang telah ditetapkan oleh syara’ dan diwajibkannya. Sebab syara’ tidak akan mewajibkan sesuatu kecuali di sana ada suatu maslahat yang telah ditentukan oleh Syari yaitu Allah SWT.

Disamping itupun, juga untuk pencegahan terhadap timbulnya segala macam musykilat yang diakibatkan tidak memelihara atau mengabaikan aturan-aturan yang telah ditetapkan.

Dalam transaksi umpamanya, wajib untuk terjadinya pertukaran antara dua kehendak (تبادل الارادتين)dengan mempergunakan bentuk yang pasti dan jelas, hendaklah orang yang berakad punya kemampuan (اهلية) untuk melaksanakan akad, hendaklah barang atau yang ditransaksikan (معقود عليه) bisa diketahui, agar mungkin untuk bisa dilaksanakan. Hendaklah objek transaksi sendiri baik berupa kerja atau urusan lainnya tidak dilarang oleh syara’. Dan hendaklah berjalan sesuai dengan bentuk-bentuk formal (resmi) yang ditetapkan oleh aturan-aturan yang berlaku, umpamanya transaksi tersebut dilaksanakan dengan terus terang dihadapan saksi-saksi pada transaksi (akad) yang wajib disaksikan seperti perkawinan. Hendaklah transaksi tersebut ditulis atau didokumenter dengan cara-cara tertentu dalam hal yang dianggap perlu ditulis atau didokumenter, umpamanya pada perusahaan-perusahaan yang berbadan hukum, atau menjadi kuasa hukum dalam kasus persengketaan.

Demikian pula pada jual beli barang-barang tidak bergerak seperti yang berlaku pada saat ini. Ikatan-ikatan tersebut yang terdiri dari syarat-syarat dan bentuk-bentuk formal, diwajibkan oleh syara’ merupakan peraturan dan kepastian hukum, dan juga sebagai upaya untuk menolak kejahatan dan memelihara kemaslahatan. Oleh karena itu patutlah bagi manusia mengikatkan diri dengan aturan0aturan di bidang mu’amalat apabila syara’ telah mewajibkannya. (Al-Zarqa’, 1968:591-593).

Dari uraian di atas bisa diketahui apa yang dimaksud dengan Al-ashliyah menurut Al-Zarqa’. Sekalipun beliau banyak memberikan contoh-contoh yang menyangkut bidang hukum keperdataan, namun yang dimaksud adalah hukum ashal dari semua bidang. Bisa ditarik kesimpulan demikian karena beliau memberikan definisi hukum ashli (ahkamun ashliyatun) sebagai berikut (Al-Zarqa’: 1968: 596).

وهي التي تكون منها نظام الشريعة النام للمصالح ولعلاقات والمعاملات وتجب حماية حدودها من تجازالناس عليها

Dari definisi di atas jelas bahwa al-Ahkam cakupannya meliputi aturan-aturan yang menyangkut dengan maslahat, hubungan dan mu’amalat yang menjadi kepentingan manusia. Dan telah dimaklumi bahwa maslahat yang hakiki dikembalikan kepada pemeliharaan lima perkara, yaitu memelihara agama, jiwa, akal dan memelihara kerutunan. Dan tidak bisa hidup manusia di dunia ini dengan sempurna kecuali terpeliharanya lima perkara tersebut (Abu Zahrah, 1968:368). Maka dengan demikian Al-Ahkam al-Ashliyah sudah barang tentu mengatur pemeliharaan kelima perkara yang menjadi tujuan utamanya.

Agama, yang paling asasi, memang mendapat tempat yang paling utama dalam agama Islam. Tidak dibenarkan pemaksaan agama dari manapun datangnya.

Pemeliharaan jiwa, memang salah satu tujuan syari’at, mendapat tempat yang utama setelah urutan pemeliharaan agama. Dalam Al-Qur’an atau hadits banyak larangan mengenai pembunuhan, melenyapkan jiwa seseorang tanpa ada pembenaran dari syara’, demikian pula perbuatan-perbuatan yang mendekati pembunuhan, seperti pemotongan anggota badan, pelukan dan sebagainya. Malahan Abu Zahrah (1968: 267 menambahkan pemeliharaan terhadap “al-karamah al-insaniyyah” seperti pelanggaran qazaf, mencela dan sebagainya.

Terhadap pemeliharaan harta, dalam syari’at Islam mendapat perhatian juga, seperti dengan adanya larangan pencurian, perampokan, penipuan dan sebagainya. Disamping itupun diatur bagaimana hubungan mu’amalat antar manusia di bidang harta, sehingga dengan demikian terciptalah asas adil dan ridla (Abu Zahrah, 1968: 268).

Terhadap pemeliharaan akal, syari’at Islam memang suatu syari’at yang menghargai akal, malahan dalam hadits dikatakan tidak ada agama bagi orang yang tidak punya akal. Agama Islam melarang segala bentuk pemabukan, termasuk diantaranya larangan minum khamar.

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.

Terhadap pemeliharaan keturunan, syari’at Islam menganjurkan kawin dan memelihara keturunan. Melarang zina dan menyia-nyiakan anak.

÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ

Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur $pköŽn=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâŸxÏî ׊#yÏ© žw tbqÝÁ÷ètƒ ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtƒur $tB tbrâsD÷sムÇÏÈ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

tûïÏ%©!$#ur Ÿw šcqããôtƒ yìtB «!$# $·g»s9Î) tyz#uä Ÿwur tbqè=çFø)tƒ }§øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$# žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ Ÿwur šcqçR÷tƒ 4 `tBur ö@yèøÿtƒ y7Ï9ºsŒ t,ù=tƒ $YB$rOr& ÇÏÑÈ

Artinya: Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya),

Semua perintah dan larangan dalam ayat-ayat di atas bertujuan agar lahirlah keturunan yang sehat lahir dan batin, yang siap untuk memakmurkan dunia, sesuai dengan kehendak Al-Khalik.

Jadi Al-Ahkam al-Ashliyat itu, bertujuan agar manusia itu bisa mencapai kebahagiaan, baik dalam kehidupan di dunia ini, maupun dalam kehidupan kelak di akhirat.

Kajian Al-Ahkam Al-Mu’ayyidat

1. Pengertian Al-Muayyidat

Al-Muayyidat diambil dai kata “Ta’yid” menurut bahasa artinya menguatkan. Kata “Ta’yid” tersebut musytaq dari الايد yang artinya sangat kuat. Disamping itu suka pula diungkapkan ucapan رجل أيد hurufnya pakai tasydid dan dikasrahkan seperti wazan سيد artinya kuat.

Maka dengan demikian “Al-Mu’ayyidad al-Tasyri’iyyah” adalah hukum-hukum yang menjadikan al-Tasyri’ menjadi kuat, ditakuti dan ditaati.

Dalam bahasa Perancis padanannya adalah “ Sanctions” yang brarti “al-jaza” dan “al-Mukafa’ah” (pemberi balasan) (Al-Zarqa’, 1967: 594).

Dalam bahasa Inggris padaannya adalah “sanction” yang dalam bahasa Indonesianya sama dengan sangsi, tindakan menghukum (Salim, 1989: 1706).

Adapun pengertian “al-Mu’ayyidat al-Sya’iyyah” pengertiannya adalah

Setiap aturan-aturan hukum yang disyari’atkan agar manusia menaati hukum-hukum asal dari syari’ah. (Ahkam al-Syari’ah al-Ashliyyah).

Mu’ayyidat itu suka diistilahkan juga dengan ضوامن jama dari ضامن , yang berarti menjamin terlaksana ketaatan terhadap Syari’ah.

Dan disebut juga oleh para Fuqaha Islam dengan زواجر yang berarti cegahan atau bentakan, karena berperan untuk mencegah dari penyimpangan terhadap hukum syara’, dan mencegah pula dari setiap pelanggaran terhadap perintah-perintah-Nya.

2. Hubungan Al-Muayyidat dan Al-AShliyat

Peran Al-Mu’ayyidat dalam hukum sebagai penjaga sedangkan Al-Ashliyat yang dijaganya. Seumpama tentara dan negara, maka tentara sebagai penjaga negara dari rong-rongan yang mungkin terjadi, dan negara sebagai yang dijaga. Maka jika tentara lemah atau tidak ada, maka negarapun akan lemah bahkan hancur.

Demikian pula jika Al-Mu’ayyidat lemah dan tak berfungsi, maka Al-AShliyat pun akat lemah dan hilang. Maka berubahlah hukum Al-Ashliyat yang seharusnya bisa memaksa untuk ditaati, berperan menjadi mawa’iz, yang hilang wibawanya dan tidak ditakuti apalagi ditaati. (Al-Zarqa’, 1968:596-597).

Maka bisa disimpulkan bahwa Al-Ahkam Al-Ashliyat itulah yang menjadi tujuan syari’at Islam, sedangkan Al-Ahkam al-Mu’ayyidat hanyalah sebagai alat untuk terwujudnya Al-Ahkam al-Ashliyat. Meskipun demikian Al-Ahkam Al-Mu’adiyyat itu tetap diperlukan.

3. Pembagian Al-Ahkam Al-Mu’ayyidat

Secara garis besarnya Al-Ahkam AL-Mu’ayyidat terbagi kepada dua bagian. Pertama, Al-Mu’ayyidat yang menghasung untuk berbuat, di sebut Al-Mu’ayyidat AL-Targibiyah, yang kedua Al-Mu’ayyidat untuk menahan atau mencegah terwujudnya perbuatan.

3.1.Al-Mu’ayyidat al-Targibiyah

Al-Mu’ayyidat al-Targibiyah adalah al-Mu’ayyidat yang menghasung untuk melakukan sesuatu perbuatan dan bekerja penuh semangat untuk mencapai dengan penuh kesabaran dan tahan menderita dalam melaksanakannya, maka bagi mereka yang melaksanakannya disediakan balasan atau upah yang menyenangkan.

Upah tersebut ada yang bersifat duniawi umpamanya seperti salab atau ganimah dalam peperangan. Dan ada pula bahkan banyak sekali balasan tersebut bersifat ukhrawi, yang dijanjikan untuk diakhirat nanti.

3.2.Al-Mu’ayyidat al-Tarhibiyah

Apabila Al-Syari’ bermaksud untuk mencegah manusia agar tidak berbuat sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan perintah atau laranyan-Nya, maka Al-Syari’ menyediakan balasan yang bersifat menakutkan baik di dunia maupun kelak di akhirat. Terbagi kepada dua bagian, al-Mu’ayyid al-Ta’dibi atau Al-Uqubah, dan Al-Mu’ayyid al-Huquqi atau Al-madani. Penjelasan masing-masing akan diuraikan sebagai berikut:

3.2.1. Al-Mu’ayyid al-Ta’dibi

Al-Mu’ayyid al-Ta’dibi dikenal juga dengan istilah Al-Uqubah, yaitu apabila perbuatan pengingkaran tersebut berupa pelanggaran (jarimah) yang bersifat permusuhan, yang bisa meresahkan masyarakat apabila dilakukan, maka Mu’ayyidnya mesti berupa uqubah yang mengekang, dan mengecam setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang diwajibkan, Mu’ayyid tersebut bisa berupa ‘uqubah badaniyah, ‘uqubah maliyah, mempersempit kemerdekaannya, dengan dibuang (diasingkan) atau ipenjarakan, dan bisa juga dengan ‘uqubah ma’nawiyah, seperti dipermalukan di depan umum. Dalam pelaksanaannya bisa terdiri dari dua unsur atau lebih dari uqubah-uqubah yang telah disebutkan.

Al-Mu’ayyid al-Ta’dibi yang jama’nya disebut Al-Mu’ayyidat al-Tadibiyat, dalam syari’at Islam termasuk Al ‘uqubat al-Jazirat secara global dibagi dua macam:

a. ‘Uqubat Maddrasah

Yaitu ‘uqubat yang telah ditetapkan oleh syara, baik macam maupun kadarnya dengan nash yang sharih, penentuannya tidak diserahkan kepada wukat ak Amr untk diijtihadkan. Syari’ memandang jarimah tersebut merupakan jarimah yang membahayakan masyarakat. Uqubat ini disebut juga dengan ‘uqubat nashshiyah dinisbatkan kepada nash al-Syari’. Terbagi kepada dua bagian: yaitu hudud dan qishash.

1) Hudud, terbagi kepada

a) Had qazaf dan had minum-minuman keras, dengan jilid 80 kali pada bagian badan yang berbeda-beda, tidak dibenarkakn pada bagian badan yang mematikan, dengan mempergunakan cambuk yang sedang.

b) Had zina: Terhadap ghair mushan sebanyak 100 kali dera. Had terhadap muhshan, dirajam sampai mati berdasarkan hadis. Syarat muhshan hendaklah telah menikah dan dukhul, merdeka, baligh, dan berakal. Syarat-syarat tersebut hendaklah terdapat pada kedua pasangannya. [1]

2) Had pencurian, yaitu dengan potong tangan dari pergelangannya.

3) Had hirabah.

Penjelasan masing-masing secara rinci terdapat dalam kitab-kitab fiqh bab hudud, termasuk pembahasan mengenai persyaratan masing-masing.

Diantara persyaratan umum yang harus terdapat pada masing-masing jarimah tersebut adalah harus dapat dibuktikan, sekalipun ada perbedaan dalam syarat-syarat pembuktian.

Disamping itu, tidak ada syubhat, sebab dengan adanya syubhat bisa terlepas dari hukuman.

Apabila jarimah-jarimah tersebut telah ditetapkan sesuai dengan persyaratan maka had wajib dilaksanakan, tidak berlaku maafnya dari pihak korban (Mujna Alaih), dan tidak ada amnesti atau grasi dari pihak penguasa, karena hal ini termasuk hak syar’i yang disebut hak Allah, dimana mu’ayyidad ini dilaksanakan demi tercapainya tujuan susunan masyarakat muslim yaitu menjaga Al-Dlaruriyat al-Khamsi” yaitu: Agama, jiwa, keturunan, akal dan harta.

Dikecualikan dari ketentuan di atas adalah had qazaf, karena hampir semua sepakat ijtihad para ulama menetapkan bahwa padanya ada hak syahshi, disamping adanya hak Syar’i. maka jika si maqzuf memaafkannya, atau karena si maqzuf telah meninggal, dimaafkan oleh salah seorang keturunannya atau yang menurunkannya, maka had tersebut telah gugur.

Perlu diketahui pula bahwa gugurnya had tidak berarti lepas sama sekali dari segala macam ‘uqubah, hak umum pada asal uqubah masih tetap berlaku.

Menurut pandangan ulama Syari’ah ada dua hak pada hudud.

1. Hak Jama’ah umum, terdapat pada asal uqubah, sebagai pendidikan dan pencegahan terhadap kemadlaratan yang diakibatkan oleh bermacam-macam kerusakan.

2. Hak Allah SWT, yaitu hak Syara’, terdapat pada macamnya uqubah yang telah ditentukan. Gugurnya macam uqubah tidak menggugurkan asal uqubah itu sendiri (Al-Zarqa’: 1968:597-613)

4) Qishash

Dengan kata-kata singkat tergambar hikmah yang luas terkandung di dalamnya. Hukuman yang tidak setimpal ibarat api dalam sekam terpendam pada hati keluarga korban yang pada suatu ketika dendam terpendam itu akan membakar lebih hebat lagi.

Macam-macam qishash beserta persyaratannya.

(1) Qishash pada jiwa

(2) Qishash pada anggota badan atau pada luka.

Persyaratan secara menyeluruh bisa dikemukakan sebagai berikut:

(a) Al-Udwan (permusuhan), maka apabila ada “al ’udwan” maka tidak ada jarimah dan tidak ada qishash, contohnya dalam pembunuhan mempertahankan diri.

(b) Al ‘Amd (sengaja), maka apabila tidak ada kesengajaan maka termasuk pembunuhan tersalah (al-qatlu al khatha). Maka tidak ada pula qishash, dengan demikian ‘uqubah berubah menjadi diyat dengan harta.

(c) Imkan al-mumatsalah bain al-jarimah wa qishashiha.

Apabila tidak mungkin terlaksana, atau diragukan kemungkinannya, maka qishash pun tidak bisa diberlakukan. Dan hukuman berpindah kepada ta’zir yang tidak ditentukan beserta jaminan harta. Mumatsalah tersebut bisa dilaksanakan pada qishash seperti: mencongkel mata, memotong tangan dari persendian, omencebut gigi, dan memotong telinga atau hidung. Adapun memotong tulang bukan pada persendian, tangan sehat sebagai balasan memotong tangan lumpuh tidak bisa dilaksanakan. Telah berbeda pendapat para ulama memberikan batasan terhadap mumatsalah ini. Oleh karena itu pendapat yang telah disepakati dalam hal ini sempit sekali, lebih-lebih menurut mahzab Hanafi yang mengatakan bahwa tidak bisa dilaksanakan qishash kecuali si korban telah sembuh dari lukanya agar bisa diketahui dahulu besar luka tersebut setelah sembuh.

Persyaratan secara rinci bisa dilihat pada kitab-kitab fiqh.

b. Al-‘Uqubat al-Mufawwadlat

Al-‘Uqubat al-Mufawwadlat disebut juga dengan ta’zir.

Hal tersebut berlaku dalam semua pelanggaran hukum yang menuntut adanya Al-Jazr dan al-Tadib selain hudud dan qishash.

Syari’at Islam memandang bahwa kejahatan itu senantiasa berkembang, kejahatan yang’ ada sekarang ternyata dahulu tidak dikenal, satu bentuk kejahatan yang bervariasi , maka untuk menghentikannya pun mesti dengan cara lain. Oleh karena itu Syari’at Islam membagi jarimah tersebut kepada dua macam. Dua macam. Jarimah yang mu’ayyidatnya telah ditentukan oleh syara’ yaitu hudud dan qishash, dan ada pula iyang diserahkan mu’ayyidatnya kepada wulat al-Amr, inilah yang disebut Al-Uqubat sesuai dengan perkembangan zaman, perbedaan tempat, pribadi dan tingkat pendidikan masyarakat.

Sebagian manusia cukup hanya dengan memberikan peringatan atau tindakan yang ringan. Namun ada pula yang tidak bisa dihentikan kecuali harus dengan siksaan yang berat. Oleh karena itu seseorang Hakim bisa menjatuhkan hukum kepada satu bentuk perbuatan salah dengan hukuman yang berbeda, hal ini disebabkan pertimbangan di atas.

Berat ringannya ta’zir tergantung kepada ijtihad hakim, seseorang bisa dikenakan hukuman cukup dengan sorotan mata atau dengan bentakan. Namun ta’zirpun tingkatannya bisa sampai kepada bentuk penghilangan jiwa. Pada masa sekarang ada pula ta’zir yang berbentuk tebusan dengan uang, yang pada masa lalu hal ini diperselisihkan para ulama.

Kalau ta’zir itu berbentuk dera, apakah mesti di bawah Al-Muayyi dat untuk hudud? Ulama berbeda pendapat. Sebagian mereka berpendapat, mesti kurang walau hanya satu deraan.

Walau demikian, kalau masih belum cukup dengan hukuman tersebut boleh ditambah dengan memasukkannya ke penjara tambah denda.

Yang lain berpendapat, boleh melebihi dera untuk hudup, alasannya putusan Umar terhadap pencuri cincin dari Bait al Mal, sampai tiga ratus dera ditambah dengan masuk penjara dan dibuang.

Kejahatan dikenai ta’zir

Kejahatan yang dikenakan ta’zir tersimpul dalam kaidah, memasukkan semua kejahatan, kelalaian dan kesalahan yang meresahkan masyarakat (harus diartikan yang belum ada mussyidat muqarrahnya) atau kesalahan-kesalahan lainnya termasuk melalaikan kewajiban terhadap Allah SWT.

Yang berhak menggugurkan hukuman ta’zir

Yang berhak menuntut hukuman ta’zir tergantung dari jarimah yang dilakukannya.

(a) Apabila yang dilanggar hak Allah semata, seperti meninggalkan shalat, maka hukuman ta’zir merupakan hak Wulat al-Amr, maka pada pemerintah (Wulat al Amr) berkewajiban memberikan pendidikan dan meluruskannya.

(b) Apabila yang dilanggar hak perorangan, maka Wulat al-Amr tidak bisa memaafkannya sehingga bebas dari hukuman, sebab dia tidak punya wewenang untuk menggugurkan hak orang.

Apabila orang tersebut memaafkannya, maka Wulat al Amr (hakim) berhak untuk menghukum pelaku, sebagai pelajaran terhadap kesalahannya, hak penguasa (Wulat al Amr) masih tetap ada, yaitu hak untuk meluruskan dan memberikan pendidikan. Namun, apabila Wulat al Amr berpendapat bahwa membebaskan dari hukuman itu mengandung maslahat maka boleh membebaskan si pelaku.

3.2.2. Al-Mu’ayyidat Al-Huquqiyat atau Al Mu’ayyidat al-Madaniyat

Al-Mu’ayyidat Al-Huquqiyat atau Al Mu’ayyidat ini menyangkut perbuatan-perbuatan yang melanggar aturan hukum keperdataan yang telah ditetapkan syara’ dalam bidang mu’amalat dan beberapa tasarruf yang berhubungan dengan hak, baik berupa transaksi (uqud) atau lainnya.

Fungsi Al-Mu’ayyidat dalam mencegah penyelewengan dari ketentuan baru bisa terwujud kalau si pelaku dihalangi untuk mendapatkan hasil yang ia harapkan. Hal tersebut bisa terlaksana jika Syari'ah menganggap perbuatan atau tasawrruf tersebut tak punya arti dengan pengertian tercabut hukum dan tercabut hasil (natijah). Dengan demikian mutasharrif (pelaku) tidak bisa mendapatkan yang ia cari, dan tidak bisa berhujah di hadapan hakim ketika berperkara.

Mu’ayyidat seperti ini disebut Al-Mu’ayyid Al-Madani atau al Huquqi, yang kaan menimbulkan nazariyat al-buthlan dengan segala cabangnya dalam al-Jasyri’ al-Madani.

Muayyidat macam ini sangat efektif dibandingkan dengan al-Mu’asyyidat al-Ja’dibiat, dengan alasan bahwa pengaruh dari hasil bersifat hukum terhadap taarruf bukan berupa fisik yang bisa diindra, yang bisa dihelah, tapi dia berupa “amrun i’tibari yang tergantung adanya pada pandangan syari’ yaitu Allah SWT. Apabila syari mencabut natijah dari tasawuf yang bertentangan dengan aturan syara’, baik semuanya ataupun sebagiannya, maka si pelaku tidak mampu dengan jalan apapun untuk mendapatkannya di hadapan hakim, terhadap hak yang ditiadakan oleh al-syari’ yaitu Allah SWT, selagi pengadilan tersebut mencocokkan dan melaksanakan terhadap Syari'ah Syari’.

a. Macam-macam Al-Mu’ayyidat Al-Huquqiyat

Ditinjau dari segi pembatalannya, maka pembagiannya tergantung kepada derajat pembatalan itu sendiri.

Maka disini secara ringkas akan diuraikan :

(1) Batal, dinamai m’uayyid itu batal apabila terjadi pembatalan secara keseluruhan. Hal ini apabila terdapat penyimpangan terhadap aturan mu’amalat pada dasarnya. Sebagai contoh, shalat itu batal, berarti apabila sholat itu tidak dipandang sah, maka si mukallaf belum terlepas dari kewajiban shalat tersebut, bahkan tetap dituntut untuk mengulanginya.

Demikian pula batalnya tasarruf yang bersifat syara, seperti jual-beli, nikah, thalak, iqrar, ibra, mengambil, memberi, dan lainnya yang termasuk al-Mu’amalat al-Madaniyah, yaitu tidak adanya hasil yang memberi bekas dari tasarruf yang telah ditetapkan berdasarkan hukum syara yang berlaku antar manusia. Bekas tersebut seperti pemilikan, pemanfaatan, kemubahan, bisa bersenang-senang dan hak-hak lainnya, hasil dan kemaslahatan-kemaslahatan yang mana tasarruf tersebut dijadikan sebagai jalan untuk mendapatkannya, atau sebagai sebab timbulnya.

Yakni, batal itu ialah tidak adanya wujud i’tibary bagi tasaruf, sekalipun terdapat pada bentuknya secara lahir.

Setiap tasarruf yang terjadi dari manusia mempunyai dua segi pada wujudnya.

a. Wujud hisi, yaitu terjadinya disebabkan geraknya dan bentuknya yang nyata

b. Wujud i’tibari, yaitu : bahwa Al-Syari’ memandang adanya sifat al-shuluh pada tasarruf itu, disebabkan diikuti oleh hukum-hukumnya, yaitu bekasnya (atsarnya) yang ditetapkan baginya menurut pandangan syara’.

(2) Fasad, apabila pembatalannya hanya sebagian dari beberapa aspek, hal ini terjadi apabila terjadi penyimpangan pada aspek furu bukan pada dasarnya. (Al-Zarqa’, 1968 : 601)

a. Pengertian fasad

Dalam pemakaian bahas dipakai juga pada semua perkara yang keluar dari aturan yang lurus umpamanya kedurhakaan, kezaliman dan fitnah.

Contoh akad yang fasid adalah akad riba, dengan alasan bahwa riba itu terlarang karena adanya sifat tambahan yang dipandang buruk menurut syara’, bukan larangan pada asalnya, sebab akad riba sama dengan akad jual beli atau akad pinjaman. Dengan demikian larangan tersebut terdapat pada furu’ bukan pada asal akan itu sendiri.

Sedangkan akad yang batal menurut mereka, adalah akad yang tidak disyari’atkan baik asalnya maupun sifatnya, seperti akad zina pembunuhan dan ghashab.

Untuk membedakan antara akad yang fasid dengan yang batal, para fuqaha membikin ketentuan dari hasil penelitian mereka. Mereka meneliti tasarruf yang bisa dimasuki fasad adalah tasarruf-tasarruf yang terhimpun dalam ketentuan berikut ini:

a. Dalam ketentuan ini termasuk akad jual beli, sewa-menyewa, gadai hiwalah, sulhu (perdamaian) dengan harta, syirkah, muzara’ah dan lainnya sebab menimbulkan kepastian taqabul (saling menerima) termasuk juga akad qiradl, dan hibah, sebab pada kedua akad tersebut terdapat pemindahan milik.

b. Yang tidak termasuk ketentuan di atas adalah semua tasarruf lainnya berikut ini :

- Tasarruf yang bersifat fi’li secara mutlak.

- Tasarruf qualiyah, yang tidak terjadi transaksi, tetapi tasarruf sepihak, seperti talak, memerdekakan, wakaf, pelepasan hak, kafilah, dan iqrar.

- Transaksi yang tidak termasuk transasksi harta, seperti perkawinan, wakalah (perwakilan), wasiyat, tahkim. Sebab semuanya termasuk akad penyerahan (ukud tafwidl).

- Transaksi harta yang tiak menimbulkan kemestian saling menerima (taqabul) dan tidak memindahkan pemilikan, umpamanya wadi’ah (penitipan barang) dan i’arah (peminjaman barang)

Pada mu’amalat seperti diatas ini, tidak terbayang adanya fasad, yang ada adalah sah atau tidak sah (batal), tidak ada kategori ketiga yakni fasad. Bahkan terdapat kefasadannya itu ada pada kebatalannya dengan pengertiannya dengan pengertian satu, yaitu menunjukkan tidak ada wujud i’tibari menurut pandangan syara’ (Al-Zarqa’, 1968 : 682-683).

(3) Tawaqquf, apabila tasarruf tersebut melanggar hak orang lain, umpamanya menjual barang orang lain tanpa izin dari yang punya barang, maka akad tersebut dianggap terjadi apabila terpenuhi segala persyaratannya, namun hukum dan natijah dari jual beli tersebut ditawaqufkan (ditangguhkan) sehingga yang empunya barang yang dilanggar haknya merelakannya, atau menolaknya. Apabila ia merelakan terjadinya akad maka jual beli tersebut dilangsungkan, dan apabila menolaknya jual beli tersebut menjadi batal. Inilah yang disebut tawaqquf, hal ini disyari’atkan demi untuk menjaga hak orang lain.

(4) Apabila dalam tasarruf yang berhubungan dengan bidang perdata terjadi peniadaan perimbangan antara hak-hak yang berakad yang saling serah terimakan barang, sekiranya terdapat dugaan berat pihak satu merugikan pihak lainnya, sehingga tidak terdapat keridoannya, maka dalam kasus seperti ini al-Mu’ayyid yang menjamin untuk mengembalikan pertimbagnan, atau mewujudkan keridoan dari pihak yang merasa dirugikan, memberikan hak khiyar terhadap pihak yang dirugikan, untuk melanjutkan jual beli tersebut atau memfasahkannya. Al-Muayyid ini disebut “Al-Jakhyir”. (Al-Zarqa’, 1968 : 601-602)


Penutup

Setelah mengadakan pembahasan, sebagai penutup dalam makalah ini, penulis mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Ditinjau dari segi tujuannya, hukum-hukum dalam Syari’at Islam secara garis besarnya dibagi dua bagian, Al-Ahkam Al-Ashliyan dan Al-Ahkam Al-Mu’ayyidat. Al-Ahkam al-Ashliyah adalah hukum asal, dari padanya tersusun aturan Syari’at Islam, yang sasaran utamanya untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Oleh karenanya hukum asal dalam syariat Islam senantiasa terkait dengan kemaslahatan yang hakiki, yakni memelihara agama, jiwa, keturunan, akal dan harta, sehingga dengan demikian tercapailah kebahagiaan dunia dan akhirat.

2. Untuk merealisir tujuan diatas Al-Syari’, menunjangnya dengan Al-Ahkam al-Mu’ayyidat, bertujuan agar hukum asal tersebut terpelihara, berwibawa dan ditaati. Terbagi menjadi dua bagian, Al-Mu’ayyidat al-Targhibiyah berisi hasungan untuk beramal, dan janji-janji yang disediakan oleh Al-Syari’ bagi mereka yang beramal baik di dunia maupun di akhirat kelak; dan keduanya, Al-Mu’ayyidat al-Tarhibiyah, berupa ancman terhadap mereka yang menyeleweng dari hukum-hukum asal tadi, baik ancaman tersebut di dunia maupun kelak di akhirat.

3. Al-Mu’ayyidat al-Tarhibiyah, dibagi dua bagian, Al-Ta’dibiyah yang lebih dikenal dengan Al’Uqubah menyangkut sangsi-sangsi dibidang hukum pidana, dan Al-Huquqiyah atau Al-Madaniyan menyangkut sangsi-sangsi di bidang hukum perdata yang terbagi pada bata, fasad, tawaqquf dan takhyir.

4. Al-Mu’ayyidat al-Tarhibiyah atau al’uqubah terbagi kepada al-Uqubah al-Muqaddarah atau al’Uqubah al-Nashshiyah, dan al-‘Uqubah al-Mufawwadlah yang lebih dikenal dengan al-Ta’zir, yang mana ketentuan hukumnya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim; Sedang al-Muqaddarah telah ditetapkan oleh Syari’ sendiri terbagi kepada hudud yang terinci kepada qazaf, syarab, syirqah, zina, dan hirabah, dan kecoda qishash yang terbagi kepada qishash fi al-Nafs dan qishash fi-al-A’dla. Sangsi-sangsi terhadap pelanggaran tersebut telah ditetapkan oleh Syari’ baik kadar atau macamnya.

5. kesimpulan terakhir : bahwa Syari’at Islam termasuk hukum-hukumnya bertujuan untuk membahagiakan manusia baik di dunia maupun di akhirat, dan memberikan hukuman dengan sangsi bervariasi sesuai dengan berat ringannya kejahatan dan pelanggaran, terlihat seperti kejam, padahal terkandung di dalamnya hikmah yang sangat dalam. Berulangnya kejahatan yang tak mempan dihentikan sekedar dengan penjara, seharusnya menyadarkan insan-insan beriman akan kearifan dan keadilan Tuhan.



[1] Persyaratan harus ada pada kedua pasangan, perlu pembahasan lebih lanjut, sebab dalam Hadits Ghamidiyah, Rasulullah tidak meneliti pangannya, apakah pasangannya memenuhi persyaratan atau tidak. Jika hal tersebut diperlukan, maka sudah barangtentu Rasulullah akan menelitinya.

Tidak ada komentar: