Total Tayangan Halaman

Selasa, 05 Juli 2011

Pendidikan Karakter Berbasis Nilai-nilai Keberagamaan

Oleh:

Dr. Imam Yahya, MA. (Dekan Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang)

Pengantar

Agama (religi) dan keberagamaan (religiusitas) merupakan dua kata yang mirip tetapi tidak sama. Agama difahami sebagai doktrin yang bersifat idealitas yang datangnya dari Tuhan, sehingga seringkali apabila doktrin difahami secara tekstual apa adanya akan cenderung eksklusif. Pemahaman seperti ini menjadikan doktrin agama sebagai sebuah teks kebenaran yang tidak boleh ditafsirkan dengan konteks zaman ini.

Sedangkan keberagamaan adalah perilaku manusia dalam mewujudkan nilai-nilai Agama yang praktis. Keberagamaan (religiusitas) lebih melihat aspek yang sangat personal, dan karena itu, religiusitas lebih dalam dari agama yang tampak formal. Sebagai nilai-nilai yang diintrodusir oleh Agama, prilaku keagamaan tidak selamanya mirip dengan teks agama.

Banyak orang yang merasa beragama tetapi tidak melakukan prilakunya sesuai dengan yang diinginkan oleh Agama. Secara formal mereka beragama, tetapi nilai-nilai Agama mereka tinggalkan. Dalam film Islam KTP misalnya, sukses memerankan orang-orang yang kelihatannya berperilaku shalih, tetapi dibalik itu semua kemunafikan dan ketidakjujuran menjadi tradisi dalam kehidupan sehari-hari.

Agama Formal dan Agama Kultural

Banyak orang beriman yang meyakini bahwa agama itu adalah urusan manusia dengan Tuhannya. Beragama berarti melaksanakan ibadah untuk kejayaan dan kemahakuasaan Tuhan. Tetapi sesungguhnya agama adalah aturan Tuhan untuk kemaslahatan manusia. Bagaimana manusia bisa hidup di dunia bersama mahluk lainnya dengan bekal ajaran-ajaran agamanya.

Dalam Agama dikenal dua pokok ajaran yakni: keimanan (aqidah) dan ibadah (syariah). Dua ajaran pokok ini bagaikan dua sisi mata uang, keimanan sebagai sisi dalam yang ada di dalam agama, sedang sisi luar agama berupa ibadah. Beriman tanpa ibadah menjadi penganut kepercayaan, sebaliknya beribadah tampa keimanan menjadi sia-sia.

Ajaran keimanan berarti percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Melalui ajaran keimanan memberikan ajaran yang kuat bahwa dalam mengarungi kehidupan ini manusia harus mempunyai tujuan yang jelas. Manusia mengimani bahwa apa yang dilakukan selama hidup di dunia ini akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Tuhan.

Dengan dasar iman ini manusia akan senantiasa berhati-hati dalam menjalani hidup di dunia ini. Hidup bukan hanya untuk berfoya-foya, tetapi untuk persiapan hidup kelak di alam akhirat. Keyakinan akan ada kehidupan setelah hidup di dunia akan senantiasa memberikan semangat menatap masa depan dengan serius.

Sedangkan ajaran ibadah adalah prilaku ritual yang harus dilakukan oleh umat beragama. Ibadah mengajarkan kepada umat manusia bahwa kehidupan ini harus dilalui sesuai dengan aturan yang disepakati bersama untuk mencapai kebahagiaan bersama. Teks agama mengajarkan kepada kita bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia semua.

Kehadliran Nabi sebagai wakil Tuhan di bumi ini, merupakan utusan Tuhan kepada umat manusia. Salah satu tugas utama Nabi adalah untuk menyempurnakan moral umat manusia. Berganti Nabi dan Rasul dalam sejarah umat manusia, dalam rangka menyampaikan ajaran Tuhan untuk kemashlahatan manusia.

Ada beberapa sifat Nabi yang harus diteladani oleh orang beriman, sebagaimana yang dicontohkan nabi Muhammad dengan sifat kebenaran (shiddiq), kejujuran (amanah), memperhatikan hak dan kewajiban (tablig), dan memiliki visi ke depan (fatonah).

a. Kebenaran.

Kebenaran menjadi sangat mahal di tengah zaman penuh dengan tipu daya. Setiap manusia diharuskan bisa menyampaikan kebenaran meskipun berat dan penuh resiko. Apabila datang kebenaran maka kebatilan akan sirna.

b. Kejujuran

Berkata jujur menjadi faktor utama dalam meraik berbagai kesuksesan. Kita meyakini ketidakjujuran kepada orang lain, sesungguhnya akan kembali kepada kita sendiri.

c. Memperhatikan hak dan kewajiban

Salah satu skill seseorang yang religius adalah mampu bersikap adil kepada semua pihak, bahkan saat ia terdesak sekalipun. Meraka meyakini bahwa pada saat saya berlaku tidak adil, berarti saya telah mengganggu keseimbangan dunia.

d. Memiliki visi ke depan.

Manusia mampu mengajak orang ke dalam angan-angannya, kemudian menjabarkan bagitu terinci, cara-cara untuk menuju kesana. Tetapi pada saat yang sama ia dengan mantap menatap realitas masa kini.

Sebagai agama formal, ajaran-ajaran agama ini tidak akan bermakna manakala tidak diwujudkan dalam kehidupan keberagamaan. Agama formal sebagai teori-teori Agama, kaya dengan nilai-nilai universal yang bisa diterapkan kepada seluruh umat beragama. Kejujuran dan kebenaran merupakan nilai-nilai kebaikan yang senantiasa dijunjung tinggi oleh umat manusia.

Agama bukanlah sekedar tindakan-tindakan ritual seperti shalat dan membaca do’a. Agama lebih dari itu, yaitu keseluruhan tingkah laku manusia yang terpuji, yang dilakukan demi memperoleh ridla atau perkenan Tuhan. Agama dengan demikian meliputi keseluruhan tingkah laku manusia dalam hidup ini, yang tingkah laku itu membentuk keutuhan manusia berbudi luhur atas dasar percaya atau iman kepada Tuhan dan tanggung jawab pribadi di hari kemudian. Itulah wujud agama kultural.

Agama kultural adalah ajaran agama yang telah mensejarah dalam kehidupan keseharian umat. Tolong menolong dan saling mangasihi sesama umat merupakan perilaku keseharian yang telah menjadi tradisi masyarakat. Setiap agama mengajarkan tolong menolong dan kasih sayang. Tanpa mengatakan bahwa tolong menolong adalah ajaran agama, semua umat meyakini akan kemuliaan tolong menolong dan kasih sayang.

Problem Keberagamaan

Ada dua problem utama dalam proses transformasi nilai-nilai agama ke dalam pola keberagamaan di lingkungan kita.

Pertama, problem pemahaman agama secara formalistik yang menekankan pada simbol-simbil agama semata. Banyak kaum yang rajin sholat ke Masjid, atau kebaktian ke Gereja setiap minggu, tetapi korupsi tetap dilaksanakan. Sembahyang belum mampu memberikan dampak positif pada perilaku keberagamaan umat, padahal seharusnya sembahyang misa menagkal perbuatan jelek dan dan mungkar.

Seharusnya korupsi harus ditinggalkan karena secara moral merusak keseimbangan hak dan kewajiban sesama umat manusia. Apalagi teks agama jelas melarang perbuatan korupsi karena dianggap sebagai bagian dari pencurian.

Problem kedua adalah masih minimnya keteladanan dari para tokoh masyarakat untuk menerapkan nilai-nilai Agama dalam praktek bermasyarakat. Masih banyak tokoh masyarakat yang berkata “mari kita berantas korupsi” tetapi justru mereka yang melakukan korupsi. Agama mengajarkan sungguh besar dosa seseorang yang bisa berkata benar tetapi dia sendiri tidak melaksanakan kebenaran itu.

Berapa banyak para penegak hukum termasuk para legislator yang harus berurusan dengan korupsi. Korupsi seakan sudah menjadi kelumrahan yang harus diterima oleh masyarakat. Bahkan belakangan korupsi juga sudah melanda dunia pendidikan kita.

Persitiwa contek masal pada Ujian Nasional di Surabaya dan kota-kota lain, memberikan kesan negatif kepada peserta didik. Para guru pasti tahu bahwa mencontek itu dilarang, tetapi tanpa beban mereka mendidik ketidakjujuran para peserta didiknya.

Yang menghawatirkan lagi, apabila peserta didik mempunyai kesimpulan bahwa kalau di depan orang banyak, harus berlaku jujur tetapi kalau tidak ada orang boleh tidak berlaku jujur. Perilaku ini akan membentuk karakter peserta didik menjadi tidak jujur.

Begitu juga dengan banyaknya para tokoh publik di DPR yang seharusnya bisa menjadi tauladan dalam pemberantasan korupsi justru menjadi pelaku korupsi. Apa kata masyarakat kalau sapu yang bertugas untuk menyapu kotoran, malah kotor sebelum dipakai.

Untuk itu perlu ada tindakan kongkrit agar pendidikan karakter menjadi pekerjaan rumah bersama masyarakat. Kebenaran, kejujuran, keseimbangan hak dan kewajiban serta mempunyai visi ke depan dan harus menjadi spirit dalam melaksanakan PR bersama.

Keteguhan ibu Rosmia untuk mengungkapkan kasus contek masal di SD Gadel Surabaya, meski harus berbuntut panjang karena diusir dari rumah pribadinya, patut diapresiasi sebagai barang langka dalam menyampaikan kebenaran. Begitu juga tokoh-tokoh seperti Munir yang harus di arsenik karena membela fakta kebenaran.

Untuk itu nilai-nilai keberagamaan menjadi sangat berarti manakala diterapkan sejak di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, hingga lingkungan masyarakat secara umum. Sebagai benteng yang paling utama, pendidikan di lingkungan keluarga menjadi tanggungjawab orang tua. Keteladanan orang tua dalam kehidupan keseharian sangat membentuk karaktek anak.

Begitu juga dengan penanaman nilai-nilai keberagaman di lingkungan sekolah (school value) sangat berkesan bagi peserta didik. Nilai-nilai kebenaran dan kejujuran yang dialami di sekolah seperti kantin jujur akan membentuk karakter siswa yang mulia. Lingkungan sekolah dari sekolah dasar, sekolah menengah hingga Perguruan Tinggi, merupakan masa-masa efektif bagi perkembangan jiwa seseorang.

Seandainya seluruh lapisan masyarakat mampu bersatu padu memberikan keteladanan akan kebenaran dan kejujuran, akan terbentuk generasi generasi yang unggul, tangguh dan bertanggungjawab.*)

*) Makalah disampaikan pada acara Seminar Nasional; PENDIDIKAN INTEGRITAS; LANGKAH UNTUK MEMBANGUN KARAKTER BANGSA, di Universitas Katolik Soegijapranata, 5 Juli 2011.

1 komentar:

riadi budiman mengatakan...

sharing www.pendikarmuslim.untan.ac.id